Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Tentang Memaafkan (2)

Konon, hati manusia itu seluas samudera. Tapi dalamnya siapa tahu? Pun tentang kekuatan hati. Tak ada satupun manusia yang tahu kekuatan hati manusia lainnya. Itulah mengapa tidak semua orang memiliki sikap dan pandangan yang sama ketika harus berhadapan dengan komentar tajam dan jahatnya perbuatan orang lain.

Bagi yang terlahir dengan hati yang sekeras baja, semua hal yang membuat rasa sakit hati mungkin akan dianggap sebagai angin lalu, ya. Tapi tidak demikian dengan orang yang hatinya serapuh cangkang telur. Rasa sakit hati akan lebih rentan mendera dan meninggalkan bekas. Bukan hanya sehari, bisa berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga menggumpal menjadi dendam tak berkesudahan, bahkan ada yang dibawa hingga ke liang lahat.

Dari dulu saya mengklaim bahwa saya adalah seorang pemaaf. Jika ada yang menyakiti saya baik itu lewat kata maupun perbuatan, biasanya saya cepat melupakan dan memaafkan. Tapi praktiknya saya belum sepemaaf itu. Ada suatu masa di mana saya pernah menyimpan rasa sakit hati yang berkepanjangan.

Semua berawal dari peristiwa 3 tahun tahun lalu, ketika saya harus pulang mendadak karena sepulang umrah Papa masuk ruang ICU. Kondisi Papa waktu itu sudah tidak terlalu bagus. Selain karena usia, juga ada cairan di paru-paru hingga Papa mengalami kesulitan bernafas dengan lega.

Saya, adik-adik, dan Mama saling bergantian menjaga Papa di rumah sakit. Meski tetap berharap yang terbaik untuk kesembuhan Papa, tapi entah kenapa melihat perkembangan kesehatan Papa yang tidak stabil dan sempat beberapa kali menurun, membuat saya tidak berharap terlalu banyak.

Hingga ketika saya berkesempatan berjaga tepat di hari ulang tahun saya. Keadaan Papa saat itu sedikit lebih baik dan sudah dipindahkan ke ruang HCU setelah sempat tak sadarkan diri di hari sebelumnya,

“Pa, Papa pengen ngobrol atau telepon siapa gitu, nggak?”  

Dengan tersenyum Papa mengatakan kalau ingin sekali disambungkan dengan Oom (kakak kandungnya) di Jakarta, sebentar saja. Dengan sigap saya segera menyambungkan ke nomor Oom, walaupun pasti akan diterima Tante terlebih dahulu, yang penting bisa tersambung, dan dua kakak beradik yang sudah sangat lama tak bertemu ini bisa ngobrol sebentar.

Tapi siapa sangka kalau permintaan sederhana itu tidak dapat saya wujudkan hingga Papa kembali mengalami masa kritis sebelum akhirnya berpulang. Perasaan saya campur aduk, antara sedih, marah, dan menyesal.

Sejak Papa bilang kalau ingin menelepon kakaknya, tak henti-hentinya saya berusaha untuk menghubungi nomor Oom di Jakarta.  Sebenarnya selalu tersambung, walau tidak pernah diangkat. Pesan singkat yang saya kirimkan via aplikasi Whatsapp pun sebenarnya selalu dibaca karena 2 checklist biru pada pesan Whatsapp selalu terlihat. Tapi berhari-hari saya coba menghubungi nomor tersebut, namun tak jua membuahkan hasil.

Hingga selang beberapa hari setelah Papa berpulang, sebuah nomor asing menghubungi saya. Suara di ujung telepon adalah suara yang saya kenal. Suara tante yang saya pernah saya harapkan akan berkenan menyambungkan kepada Oom. Dengan suara yang agak parau beliau menyampaikan kalimat duka cita dan permintaan maaf karena tidak sempat mengangkat telepon dan membalas pesan-pesan saya lantaran terlalu sibuk mengurus rumah dan Oom yang kondisinya mulai menurun. Tante sengaja tidak mengangkat telepon saya, lantaran beliau khawatir hal itu akan mengganggu kesehatan Oom. By the way, hingga akhir hayatnya, Oom tidak pernah tahu kalau Papa sudah pergi mendahului.  

Entahlah, mungkin saat itu hati saya masih diselimuti emosi dan rasa kecewa, sehingga semua kalimat yang diucapkan Tante terdengar begitu egois bagi saya. Seolah semua ingin jadi pihak yang paling dipahami, dimengerti, dan dimaklumi. Jadi meski saat itu mulut saya memaafkan, tapi sesungguhnya tidak demikian dengan hati saya.

Selang dua tahun setelah kepergian Papa, sebuah kabar duka beredar di grup Whatsapp keluarga. Kakak kesayangan Papa ini pun berpulang menyusul hampir semua saudara kandungnya yang sudah lebih dulu pergi. Berhubung beliau dulunya adalah seorang mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, maka setelah disalati sebagai penghormatan terakhir pada pukul 16.00 akan dimakamkan dengan upacara militer di Taman makam Pahlawan di Kalibata.

Gamang. Haruskah saya pergi melayat? Mampukah saya bertemu dengan orang yang dulu membuat permintaan terakhir Papa tidak terwujud? Apakah lebih baik saya berpura-pura tidak tahu saja kalau Oom meninggal dunia? Saya sempat sebatu itu, lho.

Hingga akhirnya saya ditegur oleh suami,

“Sampai kapan kamu kaya gitu? Memendam rasa sakit yang nggak perlu. Papa insyaallah juga sudah tenang di alamnya. Mama juga sudah lama memaafkan Tante dan memaklumi semua keadaan. Kenapa malah kamu yang belum bisa memaafkan? Mau kamu apakan rasa dendammu itu?”

Air mata saya tumpah bak kubangan sisa air hujan yang menjebolkan plafon rumah. Tuhan, sungguh semua rasa ini membuat saya bukan jadi diri saya. Saya yang katanya seorang pemaaf ini nyatanya adalah seorang tokoh antagonis yang kejahatannya dibalut rasa sakit hati. Rasa yang sama sekali bukan terbangun di hati, namun di kepala, yang kemudian bermetamorfosa sedemikian rupa hingga akhirnya malah membutakan diri saya sendiri.

Dengan emosi yang pelahan luruh, saya sekeluarga dan adik saya sampai juga di Taman Makam Pahlawan Kalibata menjelang magrib, karena memang upacara militer untuk beliau baru selesai. Di blok makam tempat peristirahatn Oom yang terakhir, terlihat seorang perempuan seusia Mama sedang duduk di kursi menghadap gundukan tanah yang masih merah dan penuh taburan bunga. Perawakannya kecil, matanya sembab, wajahnya pucat, dan badannya jauh lebih kurus jika dibanding dengan saat terakhir bertemu beberapa tahun lalu. Beliau adalah Tante saya.

Tante yang menyadari kehadiran kami berdua, langsung berdiri dan memeluk saya erat. Dia menangis tergugu.

Wallahualam, apakah beliau tahu apa yang saya rasa dan pikirkan, ya? Karena di sela sedu tangisnya beliau bilang begini,

“Devi, maafkan semua kesalahan Oom semasa hidup, ya. Maafkan Tante yang nggak bantu Devi buat memenuhi keinginan terakhir Papa buat ngobrol sama Oom. Maafkan keegoisan Tante waktu itu. Jujur kalau inget almarhum Papa, Tante sedih banget dan merasa bersalah. Sampaikan juga maaf Tante kepada Mama, ya. Dengan tulus Tante minta maaf… Semoga Devi berkenan memaafkan …”

Saya mengangguk dalam tangis yang tak kalah derasnya. Di sela azan magrib yang bergema, saat itu pula ego dan luka hati saya luruh bersama air mata. Permintaan maaf yang tulus sudah sewajarnya mendapatkan maaf yang sama tulusnya. Pikiran saya terbuka pelahan. Sekalipun kata maaf dari orang yang telah menyakiti itu penting, tapi sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, mata saya bengkak tapi hati saya jauh lebih damai dan lapang.

Ternyata sakit hati yang selama ini saya simpan, tak malah membuat saya merasa lebih baik. Bukannya malah sembuh, rasa sakit dan kecewa yang saya pelihara itu makin menjadi-jadi. Hingga sore itu, ketika semua sudah saling memaafkan, luka-luka saya pun sembuh. Saya tidak pernah ingin mendatangi rasa sakit itu lagi.

Jadi, last but not least, bagi siapapun yang mungkin pernah tersinggung atau sakit hati atas kata-kata dan perbuatan saya, baik yang saya sengaja maupun tidak, dengan segenap kerendahan hati saya mohon dimaafkan, ya 🙂

-devieriana-

picture source mindful.org

.

Continue Reading

Pandemi oh Pandemi

Pandemi coronavirus (COVID-19) telah menyebabkan banyak organisasi di seluruh dunia menyarankan para stafnya untuk mengisolasi diri dan bekerja dari rumah untuk mengurangi penyebaran virus. Bagi banyak orang, yang mungkin untuk pertama kalinya beralih dari tempat kerja komunal ke rumah, tentu butuh banyak penyesuaian.

Ketika sekolah dan kantor ditutup untuk sementara waktu karena wabah Coronavirus, orang tua berusaha mencari cara agar bisa melakukan tiga pekerjaan penuh waktu sekaligus, sebagai karyawan jarak jauh, sebagai orang tua, sekaligus sebagai pengajar di rumah. Tentu bukan suatu hal yang mudah, karena menjalani pekerjaannya sendiri saja sudah membutuhkan energi, apalagi menjalani sekaligus sebagai pengajar di rumah, pasti lebih membutuhkan energi ekstra.

Bekerja di rumah tentu banyak tantangannya. Tak jarang anak-anak menganggap orang tua mereka sedang tidak sedang bekerja Jadilah mereka mengajak bermain. Bagi anak-anak, keberadaan kita di rumah seolah mengibaratkan adanya ketersediaan waktu dan kesiapan kita untuk bermain atau memanjakan mereka. Padahal sebenarnya ada pekerjaan bertenggat waktu yang sudah menunggu untuk diselesaikan. Selama pandemi ini, sekalipun kita berada di rumah, tidak serta merta memberi kita lebih banyak waktu bersama keluarga, karena meskipun kita di rumah, kita juga masih bekerja. Idealnya kita perlu memberikan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, meskipun kedua hal itu akan terjadi di tempat yang sama.

Bagaimana dengan belajar di rumah? Selama pandemi berlangsung, murid belajar via daring setiap hari atau di waktu yang telah ditentukan, para guru mengirimkan rekomendasi pelajaran, lembar kerja, dan PR ke rumah untuk membantu anak-anak untuk tetap berada dalam rutinitas sekolah dan mengikuti pelajaran akademik. Pada awalnya masa pembelajaran, mungkin masih terasa seru bagi orangtua karena bisa menemani anak mereka belajar. Tapi lama kelamaan, seiring dengan semakin bertambahnya target pelajaran dan tugas yang harus diselesaikan, yang terasa bukan lagi seru, tapi justru emosi jiwa.

Bagi keluarga yang didukung dengan akses internet cepat, penyelesaian tugas secara online ini tidak terlalu berkendala. Tapi sebaliknya bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses internet, tentu hal ini jadi beban tambahan karena penyelesaian tugas sekolah maupun pekerjaan jadi terhambat.

Sama halnya dengan para orang tua yang mendambakan bisa kembali beraktivitas di luar rumah seperti sedia kala, anak-anak pun berharap bisa kembali lagi ke sekolah untuk bertemu teman-teman dan guru mereka. Tapi di sisi lain kita semua pasti takut terpapar virus Corona. Sehingga mau tidak mau kita semua harus tetap di rumah sampai dengan pandemi mereda.

Namun selalu ada hal positif di balik semua kejadian negatif. Meskipun histeria massal sedang berlangsung, kenyataannya orang-orang masih membeli barang-barang dan kebutuhan hidup. Itulah sebabnya meskipun beberapa sektor bisnis mengalami kelumpuhan selama pandemi berlangsung, namun pada kenyataannya beberapa bisnis online sebenarnya sedang tumbuh.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sedang menghadapi badai yang sama, walau tidak berada di kapal yang sama. Bisa saja kapal kita yang tenggelam atau sebaliknya. Tetapi di satu, sisi pandemi ini sejatinya tidak hanya destruktif – namun bisa juga konstruktif. Mereka juga bisa menyebabkan perubahan, dan sering memicu perkembangan ilmiah dan reformasi sosial. Pandemi juga sesungguhnya tengah menguji kreativitas kita dalam bertahan hidup. Semoga kelak ketika pandemi telah reda, kita berhasil lulus dengan lebih banyak keterampilan dan motivasi. We are all trying to survive the apocalypse.

Doa sederhana yang tidak sederhana untuk saat ini, semoga badai segera berlalu. 

— devieriana —

Continue Reading

Satu Dekade

MYXJ_20170717120351_save

Sampai dengan tanggal 17 Juni 2017 kemarin sebenarnya masih belum percaya bahwa kami telah menjalani satu dasawarsa hidup berumah tangga. Di usia yang digambarkan sebagai Perkawinan Timah ini sebenarnya sama saja ceritanya dengaan usia-usia perkawinan lainnya, pasti banyak suka dukanya.

Tapi sebenarnya berapapun usia pernikahan kita bukan sebuah hal yang penting, karena sama-sama bukan jaminan dan tolok ukur kematangan dan kebahagiaan. Sejatinya, pernikahan itu tentang kemampuan kita menyesuaikan diri dengan pasangan, dan usaha masing-masing dalam mempertahankan mahligai komitmen yang sudah dimulai.

Saya sadar sepenuhnya bahwa tidak semua pasangan bisa hidup bersama sampai ke usia pernikahan yang sama dengan saya, karena mempertahankan pernikahan, hidup bersama dengan orang yang sangat berbeda sifat dan karakter itu bukan perkara gampang. Di sepanjang waktu berjalan pasti akan ada friksi dan gesekan yang akan timbul.

Dulu, zaman masih belum menikah sementara sudah banyak teman yang menikah, pernah saya bertanya kepada salah satu dari mereka begini,

“menurut kamu, pernikahan itu apakah selalu berakhir bahagia? Maksudku gini, kan ketika orang udah pacaran nih, pengennya kan selalu berujung di pelaminan, hidup berkeluarga, bahagia selama-lamanya. Menurut kamu sebagai orang yang sudah menjalani perkawinan, gimana?”

Tapi, alih-alih menjawab pertanyaan lugu saya itu, dia justru tertawa. Lah, kok malah tertawa. Jujur ya, saya selalu mikirnya begitu. Kenalan, pacaran, menikah, happily ever after. Layaknya film-film Disney, begitulah.

“Perkawinan itu nggak sesederhana yang ada dalam pikiranmu, Dev. Nggak sama kaya cerita di film-film Disney yang hampir selalu berakhir bahagia; that marriage is everybody’s happy ending. Justru masalah-masalah yang sebenarnya itu baru akan muncul setelah kita menikah. Pikiran kita justru akan ‘pecah’ ya setelah menikah, bukan pada saat pacaran yang masih banyak indah-indahnya itu”

Flashback ke 10 tahun lalu ketika pertama memulai hidup dengan suami yang karakter dan sifatnya berkebalikan bak bumi langit dengan saya. Beberapa tahun setelah percakapan itu, saya pun akhirnya menikah. Singkat cerita, benar memang, saya harus menyesuaikan diri dengan status baru saya yaitu sebagai istri. Jujur, itu bukan hal yang mudah, apalagi kalau sudah menyangkut ego masing-masing.

Dan ketika sedang perang dingin dengan suami, teringat kalimat demi kalimat teman yang dulu pernah cerita ini-itu,

“Dalam hubungan nanti, pasti akan ada kelakuan pasangan yang akan menghantam ego kita, baik itu perkataan maupun perbuatan…”

Dan lagi-lagi itu memang nyata adanya. Baik sengaja atau tidak, bukan hanya suami, saya pasti pernah berlaku hal yang sama kepada suami. Hiks…

Seiring waktu dan banyaknya pengalaman yang menyadarkan kami berdua, kami pun ‘insaf’ dan mulai saling mengisi, saling mengingatkan, saling memperbaiki diri kami masing-masing, dan lebih memaafkan. Saya dan suami sama-sama belajar menemukan nilai-nilai berharga dari apa yang telah kami jalani selama 10 tahun ini. Tidak ada manusia yang sempurna, pun halnya dengan kehidupan pernikahan.

Sampai dengan sekarang, memang masih ada sifat, karakter, cara berpikir, dan cara kami masing-masing mengambil keputusan yang berbeda dan tidak mudah untuk diubah, tapi tetap berusaha kami terima. Kami sadar bahwa terlahir dari latar belakang keluarga yang berbeda, dan tumbuh di lingkungan yang berbeda, wajar bila faktor-faktor perbedaan itu pasti akan tetap mewarnai relasi kita dengan pasangan.

Sepuluh tahun hidup bersama, semakin membuat saya sadar bahwa kami adalah dua karakter berbeda yang secara emosional saling melengkapi.

Tough times don’t last, tough teams do. Happy 10th wedding anniversary, Dear Husband. Thanks for the decade of amazing time with you…

Love you!

[devieriana]

Continue Reading

Viral

go-viral

Beberapa waktu ini banyak sekali penggunaan kata ‘viral’ baik itu di media online maupun di kehidupan sehari-hari. Definisi viral kurang lebihnya adalah ‘sesuatu’ yang bisa jadi sangat cepat menjadi populer, seperti sebuah ‘virus’ yang menyebar salinan dirinya atau bermutasi.

‘Sesuatu’ di sini bisa berarti orang, tempat, foto, pikiran, trend, atau bahkan sebuah informasi. Kalau kita bicara tentang social media, viral lebih lekat kepada video, foto, atau cerita yang dimulai dari mereka sendiri, yang kemudian menyebar di semua lini platform social media. Bisa jadi yang awal mulanya cuma berupa status yang ditulis di social media, berhubung banyak yang menyebarluaskan, jadilah dia sebuah status viral. Kalau masih ingat, kita bisa ambil contoh kasus status Dinda yang awalnya cuma bermaksud curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk, tapi berhubung status itu dia tuangkan di social media, dan ‘ndilalah’ ada yang me-repath statusnya, maka dengan cepat status itu tersebar, seketika menjadi berita viral, dan Dinda pun menjadi bahan bully-an massal di social media. Dinda dianggap kurang memiliki rasa empati.

Bagaimana dengan trend yang menjadi viral? Apakah kalian pernah menjadi bagian dari trend mannequin challenge, Harlem Shake, atau mungkin bagian dari trend pengunggah video parodi Pen Pinneaple Apple Pen-nya Piko Taro? Kalau iya, kalian adalah bagian dari trend viral itu. Mannequin challenge misalnya, dengan begitu banyaknya orang yang mengikuti trend ini, seolah seluruh dunia menjadi diorama hidup. Walaupun bagi sebagian orang itu konyol, tapi banyak juga yang melakukan itu, karena selain dianggap keren juga bagian dari hal yang kekinian. Padahal, kalau kalian menyadari, mannequin challenge itu sudah pernah dilakukan oleh salah satu artis Indonesia jauh sebelum trend ini mengemuka lho. Tidak percaya? Klik saja videonya Deasy Ratnasari yang berjudul Tenda Biru , hihihik.

Di dalam kehidupan sehari-hari pun kata viral sudah mulai banyak dipergunakan. Bahkan di tempat kerja saya, beberapa pejabat sering menggunakan kata “viralkan!” sebagai kata ganti sebar luaskan informasi kepada pejabat/pegawai lainnya di lingkungan kantor kami.

Di social media, banyak orang yang ingin dikenal banyak orang. Mereka melakukan segala cara untuk bisa terkenal, alias menjadi selebriti online. Wajar, karena menjadi lebih dikenal oleh orang lain adalah salah satu tujuan diciptakannya social media.

Tapi, benarkah semua orang berkeinginan untuk menjadi viral baik di dunia nyata maupun maya? Selama viral itu dalam konteks yang positif mungkin masih masuk akal. Tapi kalau konteksnya sudah negatif, rasanya tidak mungkin ada yang bercita-cita menjadi viral, ya.

Seseorang yang sedang menjadi ‘viral’ negatif di sebuah lingkungan tertentu ada kalanya dia sendiri tidak sadar kalau sedang jadi trending topic di lingkungannya. Mungkin ini lebih didasari karena kekurangpekaan orang tersebut terhadap lingkungan. Sekalipun ada pihak-pihak yang memberikan klarifikasi bahwa tidak sepenuhnya si objek yang menjadi viral itu senegatif yang disangkakan orang lain, tapi tetap akan kalah dengan asumsi yang sudah terlanjur beredar di lingkungan tersebut. Ya, namanya saja viral, virus, penyebarannya bisa sangat cepat, tanpa tahu dari mana asal muasalnya.

Belajar dari pengalaman orang lain (yang sempat jadi viral), kunci supaya kita tidak menjadi viral negatif adalah dengan menjadi lebih peka dengan lingkungan di mana kita berada; more overmenjaga lisan, pikiran, dan perbuatan, itu jauh lebih penting, karena tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Begitu, bukan? Bukaaaan….

Sebagai manusia toh nyatanya kita tidak selalu tahu apa yang ada di diri kita, sekalipun kita kerap mengklaim demikian. Sebagaimana tertera dalam teori 4 kuadran Johari Window yang mencerminkan tingkat keterbukaan seseorang yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu open area, blind area, hidden area, dan unknown area. Johari Window ini dikenal sebagai jendela komunikasi melalui mana kita memberi dan menerima informasi tentang diri kita dan orang lain.

Dalam hal berita viral (negatif) singkat saja, area/kuadran ‘blind‘ adalah area paling rapuh dalam diri kita, karena di kuadran ini berisikan apa yang orang lain ketahui tentang kita, tapi tidak kita ketahui. Dengan mengurangi blind area, selain akan meningkatkan kesadaran diri, juga akan meningkatkan hubungan interpersonal kita dengan orang lain.

Lumrah, kalau manusia seringkali tanpa sadar lupa/khilaf, tanpa sengaja telah melakukan hal-hal yang kurang bisa diterima oleh lingkungan tempatnya berada. Beruntung kalau kita cepat sadar, dan segera mengubah perilaku kita, tapi bagaimana kalau ternyata kita terlalu lama ‘pingsannya’, nggak sadar-sadar kalau ternyata selama ini sudah jadi bahan pembicaraan? Harus ada orang yang memberi tahu, karena kita sedang berada di blind area. Tapi bagaimana kalau ternyata walaupun orang lain tahu, tapi mereka segan menegur kita karena (di mata orang lain) kita adalah tipe manusia dengan ‘daya ledak tinggi’, emosian. Jadi dari pada cari masalah mending diamsajalah; malas ribut.

Jadi, tidak ada salahnya mulai berintrospeksi, lebih peka, coba mengubah cara pandang (point of view), dan mulai lebih luwes dalam menerima kritik selama itu membangun. Namanya manusia kan gudangnya luput dan salah ya. Bersyukur jika masih ada hati dan pikiran sehat yang menjadi filter pencari kebenaran yang sesungguhnya. Bersyukur kalau masih ada orang lain yang mau peduli, mengingatkan, bahkan rela menjadi bumper untuk kita, semata-mata karena mereka masih menganggap kita sebagai teman.

Last but not least, mencoba untuk melawan atau mengendalikan materi viral sama saja seperti berperang melawan flu. Kita bisa saja mengambil langkah-langkah untuk mencegah jangan sampai kita terkena flu, tapi sekali saja virus itu telah memasuki aliran darah kita, tidak akan ada yang bisa kita lakukan selain menunggu virus itu keluar dengan sendirinya.

Duh, sore-sore kok serius amat postingannya, ya? Ngopi dulu bisa kali, Kak!
*beberes meja sambil menunggu ojek online*

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading
1 2 3 28