Di Balik Cerita Ulang Tahun

Happy Birthday

Tahun ini adalah ulang tahun yang istimewa buat saya. Karena di tahun 2017 ini ulang tahun saya jatuh di hari dan weton yang sama dengan ketika saya lahir dulu. Sama-sama jatuh di hari Jumat dan, weton yang sama yaitu Pon! Halah, penting banget, yaa… Ya hari kaya begini kan belum tentu bisa ditemukan di setiap tahun, jadi wajarlah kalau saya menganggap ulang tahun di 2017 ini istimewa. Lebih istimewa lagi ketika jatuhnya di bulan Ramadan. Jadi saya nggak perlu traktiran teman satu biro… *eh*

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya sudah molor duluan sebelum pukul 00.00, waktu di mana orang-orang sering mendapatkan kejutan atau ucapan selamat ulang tahun pertama kalinya. Tapi saya selama ini belum pernah ada kejutan apa-apa tuh. Tapi biasanya sih yang mengucapkan selamat ulang tahun duluan Pak Suami sih, tentu saja sayanya juga sambil merem karena tidak kuat menahan kantuk.

Paginya barulah mulai ramai smartphone saya berbagai ucapan dari keluarga, whatsapp-whatsapp group dan pribadi, sama riuhnya dengan ucapan selamat di sosial media. Ah, kalian… terima kasih ya. Semoga doa yang sama juga tercurah pada kalian semua ya. Aamiin…

Yang lucu dan mengharukan itu pas di kantor. Jadi ceritanya sudah jam pulang kantor. Di ruangan hanya ada beberapa orang teman saja yang masih tinggal karena lembur. Saya sendiri sudah bersiap akan pulang sebenarnya. Sampai akhirnya ada 2 orang teman yang mengajak pulang bareng. Anyway, sampai situ saya masih belum nyadar lho kalau mereka berdua ini mau kasih saya surprise ulang tahun. Yang saya lihat mereka ini kok masih ribet aja nggak pulang-pulang, sementara saya sudah siap dari tadi.

birthday surprise

Ketika saya sedang asyik mainan HP, tiba-tiba salah satu dari mereka datang ke kubikel saya dengan alasan mencari berkas yang ditinggalkannya tadi. Padahal seingat saya dia nggak meninggalkan berkas apa-apa. Sampai akhirnya saya baru sadar kalau mau dikasih surprise ketika tiba-tiba dia menutup mata saya dari belakang, dan datanglah beberapa teman yang masih di ruangan, berkumpul di kubikel saya sambil membawakan mini tart dengan beberapa lilin ulang tahun. OMG! Kalian ini ya… 😀

Setelah mengucap doa dalam hati, saya pun meniup lilin ulang tahun dengan perasaan terharu. Kuenya, tentu saja belum bisa dimakan saat itu juga, kan masih pada puasa, hihihi…

Tak putus sampai situ saja, ternyata keesokan harinya saya diberi surprise oleh Pak Suami dan adik tercinta berupa… dijajanin di mall, boleh milih kado apa aja yang saya suka. Yes! Kesempatan! Saatnya menguras dompet dua orang ini! Hahaha… Eh, tapi nggaklah, saya nggak setega itu. Saya cuma pilih apa yang kebetulan saya butuhkan saja kok. High heels impian saya dan dompet. Sudah itu saja… *nangis lihat bon*

Hari Seninnya, saya pikir semua kejutan dan kado-kadoan sudah selesai dong, ternyata alhamdulillah masih ada yang kasih kado lagi. Kali ini berupa mini ice cream yang bentuknya imut lucu, yang dirajut sendiri oleh temen kantor, dan yang satu lagi yaitu In Ear Monitor, semacam alat untuk memonitor suara yang didesain agar pas terpasang di telinga penyanyi itu lho. Pas terima kado yang ini saya langsung membatin, wah, berasa sudah jadi penyanyi profesional aja ya, pakai IEM, hihihik. Ah, suka semualah pokoknya. Thank you very much, dear you!

Tapi, ngomong-ngomong yah, dari sekian banyak kado ulang tahun yang pernah saya terima, ada satu kado yang belum pernah saya terima sama sekali. Eh, pernah ding, tapi sudah dulu banget dan bukan dalam rangka ulang tahun, di zaman masih belum menikah. Apa itu? Bunga. Lah?! Iya, dulu sudah pernah sih kode-kodean sama suami soal bunga-bungaan ini, sampai dengan kemarin jawaban dia masih keukeuh

“Haiyah, ngapain sih minta dikasih bunga segala, wong ya nggak bisa dimakan, nggak tahan lama. Kasih kado itu yang bermanfaat, tahan lama, bisa dipakai, gitu…”

Jadi ya begitulah, pemirsa. Mungkin beginilah nasib bersuamikan orang teknik yang terbiasa berpikir pragmatis, dan kebetulan bukan tipe romantis. Halah, malah curhat, hahaha. Tapi ada enaknya juga sih nggak dikado bunga, kalau pemikirannya begitu, saya malah bisa minta kado yang lebih mahal dari harga bunga. Ye kaaan…

 

 

[devieriana]

 

 

picture source: from here

Continue Reading

Alea+Demam=Baper

20170410_151344

Jadi ceritanya, seminggu yang lalu (1/4/2017) Alea demam. Seperti biasa, saya sudah sedia obat penurun demam dan obat flu racikan dokter yang biasa saya minumkan kalau Alea demam, flu, batuk, pilek. Demamnya sempat turun, tapi cuma karena reaksi obat saja, sekitar 3-4 jam pasca minum penurun demam, tapi setelah itu demam lagi. Bahkan suhunya sempat mencapai 39 derajat celcius.

Hari Minggunya (2/4/2017) saya coba minumkan air kelapa hijau, Alea langsung berkeringat banyak sekali, dan suhu badannya langsung turun ke suhu badan normal 37 derajat celcius. Alhamdulillah, sedikit lebih tenang. Apalagi dia juga jadi mau makan dan minum susu, padahal sebelumnya dia menolak, dengan alasan rasa makanannya asin. Mungkin maksudnya pahit ya.

Hari Seninnya (3/4/2017) suhu badannya kembali naik pelan-pelan, padahal Alea harus saya titipkan di daycare. Sedih lho ninggalin anak di daycare tuh, apalagi kalau anak lagi sakit, sementara kita tidak ada pilihan lain selain menitipkannya di daycare. Walaupun sudah saya bekali obat-obatan tetap kondisi Alea saya pantau dan meminta bunda-bundanya di sana untuk secara berkala mengecek kondisi Alea dengan memeriksa suhu badannya dan meminumkan obat sehabis makan siang. Tapi toh badan Alea tetap demam ditambah batuk pilek yang lagi hebat-hebatnya karena flunya baru mulai. Makin baperlah saya.

Tanpa berlama-lama, saya segera membuat janji konsultasi dengan Prof. dr. Soepardi Soedibyo, Sp.A(K) di RS Metropolitan Medical Centre (MMC), Rasuna Said. Sengaja saya pulang lebih cepat karena saya dapat nomor antrean 6, yaitu pukul 16.00.

Eyang Dokter (demikian beliau memanggil dirinya sendiri untuk para pasien kecilnya) melakukan pemeriksaan dengan seksama. Selain batuk, pilek, ternyata penyebab demamnya adalah virus. Jadi kalau virus obatnya bukan dengan antibiotik, tapi kekebalan si anaklah yang akan bekerja melawan virus tersebut. Eyang Dokter hanya meresepkan obat penurun demam dan obat racikan untuk batuk pileknya saja.

Sehari, dua hari, tiga hari, kok Alea masih demam? Duh, kenapa ya? Berarti sudah lebih dari 4 hari dia demam tinggi, tidak biasanya Alea demam sampai selama ini. Mulai deh tuh bermunculan berbagai kekhawatiran di kepala saya. Bagaimana kalau Alea kena demam berdarah? Bagaimana kalau thypus? Mengingat salah satu teman di daycare-nya juga ada yang didiagnosa typhus dan harus rawat inap selama 3 hari di rumah sakit. Nah, kan saya jadi makin baper, ya.

Dari pada saya baper sendiri, akhirnya saya konsul lagi via whatsapp (untung lho Eyang Dokter ini berkenan ditanya-tanya via whatsapp), sekadar tanya, kalau masih demam, kapan Alea harus kembali lagi ke dokter? Jawabannya, “Kamis, kalau masih panas”.

Dan ternyata sampai dengan hari Kamis (6/4/2017) suhu badan Alea masih tinggi. Panik? Lebih ke khawatir sih ya, karena Alea sudah tidak mau makan, hanya minum saja, kalaupun iya mau makan hanya 1 -2 sendok saja, alasan rasanya asin (pahit). Otomatis kondisi badannya makin drop, lemah, dan hanya mau tidur saja. Itu juga tidak nyenyak, hanya mau bobo gendong.

Tapi #MamaKuduSetrong , hari Kamis (6/4/2017) setelah maghrib, saya dan eyangnya membawa Alea ke dokter, naik taksi, dan ternyata harus menghadapi kemacetan luar biasa parah di sekitar Mampang akibat adanya pengerjaan underpass yang memangkas jalur menjadi lebih sedikit yang bisa dilewati. Pukul 18.45 saya masih parkir manis di Mampang belum bergerak sama sekali. Sementara dokter hanya praktik sampai pukul 20.00. Perjalanan jadi begitu lama karena macet yang luar biasa tadi.

Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.

Sepertinya driver taksi yang saya tumpangi itu membaca pikiran saya. Dia pun segera melesat sesegera mungkin setelah terbebas dari ujung kemacetan di Gatot Subroto, dan sampai dengan selamat di RS MMC tepat pukul 19.20. Alhamdulillah akhirnya sampai juga. Baru kali ini jarak Mampang-Rasuna Said yang biasanya tinggal ngegelundung doang sekarang harus ditempuh dalam waktu hampir 1.5 jam.

Tapi untunglah kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Alea pun diperiksa dengan seksama. Dan diagnosa dokter masih tetap sama, penyebab demamnya ‘hanya’ karena virus, bukan demam berdarah atau typhus seperti yang saya khawatirkan. Tapi namanya ibu, tetap saja saya ‘ngeyel’. Kok diagnosanya ‘cuma gitu aja’? (woalah, profesor kok dieyeli, hihihik). Lhaaah, terus maunya gimana? Ya, berasa kurang mantep gimana gitu ya. Penyakit kok dimantep-mantepkan…

Eyang Dokter menjelaskan tentang berbagai penyebab demam, salah satunya jika demam disebabkan oleh virus. Bagaimana dengan typhus pada balita? Beliau menjelaskan bahwa tidak ada typhus yang menyerang anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kebanyakan demam yang menyerang anak-anak dikarenakan oleh virus, jadi kekebalan anaklah yang akan melawan virus itu, bukan dengan antibiotik. Bisa jadi kondisi badan si anak sedang drop, dengan mudah virus memasuki tubuh si anak. Ketika kondisi anak sedang kuat, virus akan lebih mudah dilawan. Tapi sebaliknya, ketika kondisi anak sedang drop, virus akan bertahan lebih lama di tubuh anak.

Bagaimana dengan demam berdarah? Beliau menjelaskan, demam berdarah ‘zaman sekarang’ tidak lagi menampakkan diri dengan bintik-bintik merah, tapi harus melalui tes darah.

Me: “Jadi, anak saya demamnya cuma karena virus aja, Dok?”

Dokter: “Iya, virus. Tapi ya sudah, coba kita cek darah sederhana aja ya. Makan dan minumnya gimana? Masih mau, nggak?”

Me: “Kalau minum sih dia mau, Dok. Makan yang dia nggak mau, alasannya rasanya asin… hehehe”

Dokter: “Kalau masih mau minum, itu bagus. Karena pada saat flu/demam, anak harus banyak minum supaya tidak dehidrasi. Sudah pup belum?”

Me: “Sudah, Dok. Malah sempat pup yang cair gitu, semacam diare”

Dokter: “Bagus, gapapa. Sekali aja, kan?”

Me: “Iya, sekali aja”

Dokter: “Itu tandanya tubuhnya sedang berusaha mengeluarkan racun. Gapapa. Jadi, sekarang kita coba ambil darah sambil sekalian diinfus aja ya…”

Saya pun mengangguk sambil trenyuh sendiri membayangkan tangan mungil batita saya untuk pertama kalinya disentuh jarum infus. Baper. Tapi sekali lagi, kan #MamaKuduSetrong , jadi ya harus kuat!

Percayalah, tidak ada seorang ibu pun yang tega melihat batitanya menangis panik ketakutan melihat dirinya dikelilingi para petugas medis yang mulai melakukan penanganan. Dengan tangis yang keras, Alea saya peluk sambil tiduran, sementara tangan kirinya mulai dibebat untuk dicari urat nadinya, diambil darahnya, dan disusul dengan cairan infus.

Alea diinfus selama kurang lebih 2 jam, mulai pukul 20.00-22.00. Suhu badannya berangsur-angsur normal, 37.5 derajat celcius. Hasil cek darahnya pun menyatakan bahwa demam yang diderita Alea ‘hanya’ virus, bukan demam berdarah atau typhus seperti yang saya khawatirkan. Alhamdulillah. Sekitar pukul 23.00 kami pun pulang ke rumah dengan perasaan sedikit lebih lega ketimbang sebelumnya.

Sekarang tinggal batuk pileknya saja yang belum sembuh, tapi insyaallah berangsur-angsur membaik, walaupun nafsu makannya masih belum pulih seperti semula.

Semoga cepat sehat ya, Nak. Jangan sakit-sakit lagi ya. Mwach!

 

[devieriana]

 

ilustrasi: koleksi pribadi

Continue Reading

Hello, 2017!

happy-new-year

Hai, selamat tahun baru 2017, ya! Alhamdulillah, terbit juga artikel pertama di tahun ini, hihihik.Semoga tahun 2017 ini kita semua diberikan kesehatan, keberkahan yang luar biasa, kebahagiaan, kesuksesan, tahun di mana terwujudnya semuacita-cita yangbelum kesampaian di tahun-tahun sebelumnya. Dan semoga di tahun 2017 ini saya lebih rajin menulis, dibandingkan dengan tahun 2016 yang lebih banyak hibernasinya.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saya melewatkan moment pergantian tahun dengan sedikit berbeda. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya melewatkan pergantian tahun di Jakarta, kali ini saya sekeluarga pergi ke kota sebelah. iya, Bogor. Tujuan utamanya sih sebenarnya bukan khusus merayakan pergantian tahun Masehi, tapi lebih ke bersilaturahim ke rumah tante.

Jujur, saya bukan orang yang antusias merayakan pergantian tahun, apalagi pakai acara begadang. Mata saya itu sudah ada jam tidurnya, jadi sudah bisa dipastikan nggak bakal betah kalau diajak melekan. Makanya saya jarang nonton wayang, salah satu alasannya karena nggak kuat begadang.Dari dulu, moment pergantian tahun hampir selalu saya lalui dengan biasa-biasa saja, alias tidur. Apalagi ketika sudah ada anak, jam tidur saya jadi mendadak random, bahkan sering kali ikut bablas ketiduran sampai pagi sambil ngeloni Alea.

Oh ya, sebelum ke rumah tante, kami mampir dulu untuk makan siang bersama di Pasar Ahpoong, Sentul. Selepas makan siang barulah kami meluncur ke rumah tante di daerah Cimanggu. Nah, ada kejadian lucu nih pas di rumah tante. Biasanya kan kalau pergantian tahun identik dengan barbeque-an, bakar-bakaran jagung, sate-satean, atau makan rebus-rebusan apalah. Dan biasanya itu dilakukan di jam-jam menjelang pergantian tahun. Ketika kamidi rumah tante ini beda. Entah tante yang kerajinan, atau kami yang kelaparan, tanpa menunggu gemuruh bunyi kembang api dan petasan, hidangan yang sudah tersedia sejak pukul 19.00 itu langsung ludes tak bersisa dalam waktu kurang dari 30 menit. Begitu juga nasib nasi goreng dan martabak manis/gurih, semua tandas sebelum tengah malam. Bukan itu saja, saya sendiri langsung terkapar lelap tidur di samping Alea sejak pukul 21.00, begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, tidak ada satu pun yang terjaga di detik-detik pergantian tahun. Niatan menyaksikan perayaan pergantian tahun di sekitaran Tugu Kujang itu pun pupus dengan sendirinya. Jadi ini judulnya pindah makan dan tidur saja ke Bogor. Zzzzz…. zzzz….

20170105_221335

Paginya ketika saya scroll timeline di sosial media ada banyak cerita tentang moment pergantian tahun baru. Ada yang menggelar pengajian, ada yang nonton konser, ada yang camping, ada yang sibuk menulis resolusi, ada yang menginap di hotel, ada yang melewatkan moment pergantian tahun di luar negeri, dan banyak cerita lainnya. Tapi saya yakin, yang punya cerita seperti saya pun tak kalah banyaknya.Iya, saya cari teman…

Keesokan paginya, kami on the spot saja memutuskan untuk jalan ke Kuntum Farmfield di daerah Tajur. Alasan utama saya ke sana sih selain mengajak anggota keluarga piknik, juga supaya Alea lebih mengenal binatang dan alam. Anak-anak seusia Alea kan sedang antusias-antusiasnya mengenal hewan, tumbuhan, dan warna. Jadi di Kuntum Farmfield itu Alea bisa piknik sambil belajar mengenal alam dan lingkungan.

Konsep yang disajikan Kuntum Farmfield kurang lebih hampir sama dengan Farmhouse yang ada di Bandung. Bedanya harga tiket masuknya kalau di Farmhouse kita cukup membayar sebesar Rp.20.000,00/orang sudah termasuk welcome drink atau sosis bakar. Sedangkan di Kuntum Farmfield harga tiket masuknya sebesar Rp.40.000,00/orang. Kalau dari segi lahan, keragaman tanaman, dan binatang lebih banyak di Kuntum Farmfield sih. Kuntum Farmfield lebih ke agrowisata, jadi memang didesain semacam gabungan antara perkebunan dan peternakan. Kalau Farmhouse konsepnya hampir sama, peternakan di dalam area perkebunan juga, tapi digabung dengan fasilitas wisata unik ala-ala Eropa. Eh, di sini banyak spot yang fotogenic dan instagramable lho...

Jadi, buat saya, moment pergantian tahun 2016 ke 2017 kemarin benar-benar moment untuk keluarga. Walaupun hanya di rumah saja, tidak ke mana-mana, dan lelap semua, tapi justru di situ letak keunikan perayaan tahun baru di keluarga kami. Ya, namanya juga antimainstream, jadi ya harus beda dong dengan acara kekinian lainnya, hihihik.

Bagaimana cerita kalian melewatkan pergantian tahun ini? Semoga tak kalah serunya ya…

 

[devieriana]

 

sumber gambar: Pinterest dan koleksi pribadi

Continue Reading

Drama itu bernama Long Weekend

mood-swing

Seperti umumnya perempuan, pasti akan mengalami masa datang bulan. Dan, seperti biasa juga, pasti kita akan mengalami yang namanya mood swing alias mood senggol bacok a.k.a supersensitive. “Ah, siapa bilang? Aku lempeng-lempeng aja, kok…”. Sini, berantem sama saya, yok! Hahaha…

Seperti bulan ini misalnya, seminggu sebelum datang bulan, saya sudah ‘mengendus’ bau-bau sensi dan nafsu makan yang gila-gilaan. Sudah makan nasi, masih makan roti. Sudah makan roti masih juga ngembat buah. Istirahat sebentar, eh ngemil keripik singkong. Habis keripik singkok, dilanjut Belvita. Tidur. Bangun-bangun makan cincau. Habis itu nimbang. Eh, kaget sendiri karena jarum timbangan mengarah ke kanan menjadi 52 kg, setelah sebelumnya 48-49 kg. Itu kayanya yang 3 kg selain camilan, juga mengandung emosi deh, karena kalau sudah selesai datang bulan ya berat badan kembali ‘normal’.

Nah, 3 hari libur kemarin itu jadi masa yang penuh drama buat saya. Kami memang sengaja tidak pergi ke mana-mana selain ke Superindo untuk belanja bulanan, selebihnya di rumah saja, main sama Alea dan jadi ibu rumah tangga sejati. Ciyeee, sejati. Kaya ibu kita Kartini. Putri Sejati. Nggak ke mana-mana selama long weekend itu sebenarnya ada positifnya juga sih, saya jadi punya quality time sama keluarga, utamanya sih sama Alea. Mulai nonton youtube/film bareng, main masak-masakan bareng, bikin bubble dari air sabun, atau mainan play dough dari tepung terigu. Ada waktu juga buat masak ala kadarnya buat Alea dan papanya, beberes lemari yang selama ini cuma janji palsu. “Iya, tenang, nanti aku beresin…”. Tapi itu janji 6 bulan yang lalu dan baru sempat ‘kepegang’ kemarin, pas semua pada pulas tidur siang. Eh, jangan salah, beberes rumah atau lemari itu butuh niat dan tekad yang bulat, didukung dengan kesempatan dan waktu yang tepat.

Trus, kemarin cranky, nggak? Iya, biasalah, namanya juga perempuan mau datang bulan, kadang lebaynya suka berlebihan. Sudah lebay, berlebihan pula. Eh, tapi beneran deh, kemarin itu full kejadian yang menuntut kesabaran tingkat nasional. Suami saya itu tipe suami panikan. Kalau Alea nangis, atau merengek minta sesuatu, dan dia nggak ngerti apa maksudnya, pasti akan mengarahkan, “ya udah ke mommy aja ya… yuk, yuk…”. Kalau saya lagi nggak ngerjain apa-apa sih, ya nggak apa-apa. Lha kalau lagi banyak yang harus dikerjain ya kenapa nggak dibantu ngasuh dulu sih *usap peluh*. Nah, kemarin gara-garanya juga sepele banget, tapi berhubung sayanya juga lagi mood senggol bacok, makanya jadi agak ngambek-ngambekan sama suami. Cuma gara-gara, youtube di i-Pad lagi no connection, gara-garanya saya salah tekan apalah, nah saya yang lagi masak minta tolong ke suami buat setting ulang modem, atau benerin apalah biar internet lancar lagi. Ya kan saya lagi nyambi masak, nanti gosong dong masaknya, ya kan? Ndilalah Aleanya lagi baperan, maunya saya aja yang benerin internetnya, jangan papanya, karena katanya papanya nggak bisa benerin. Yaelah, Nak. Kamu ini nambahin PR mama aja. Duh, pokoknya lagi pada lebaylah serumah.

Itu pertama, kasus kedua. Pas lagi beberes dapur, mendadak rumah kaya kok berasa ada aromaterapinya ya, kaya wangi-wangi minyak gosok, gitu. Feeling saya agak nggak enak nih. Nah, bener deh, di kamar, Alea lagi asik menuangkan minyak gosok ke lantai sampai kecret ke mana-mana, sebagian lagi diolesin ke badan bonekanya. Jadilah itu boneka wangi minyak gosok, plus lantai-lantainya tentu saja. Antara geli, kesel, dan capek, numpuk jadi satu, tapi tetap lumer juga ketika melihat senyum tengil di wajah Alea yang innocent, demi melihat saya menyemprot lantai, mengepel, dan membereskan bonekanya yang wangi obat gosok.

OK, berarti sudah aman ya, Kakak? Aman sih, sampai setengah jam kemudian hal yang sama terjadi berulang. Kali ini Alea kembali beraksi. Kali ini bukan dengan obat gosok, melainkan dengan minyak rambut kemiri. Minyak kemirinya tidak lagi dioleskan ke badan bonekanya, tapi dituang ke lantai, buat ngepel. Huhuhuhuhu…. Alea, huhuhuhu… Suami saya karena judulnya masih sensi, dia cuma menengok sebentar lalu sibuk dengan outstanding pekerjaannya. Pokoknya judulnya saya lagi dicuekin sama suami, ceritanya masih marah gara-gara kejadian tadi pagi yang menurut saya sih… come on,.. sudah kedaluwarsa.

Hingga puncaknya sore, menjelang maghrib, setelah seharian ‘tegangan tinggi’, pecah juga tangis saya, hanya gara-gara camilan yang tidak sengaja ditendang Alea hingga berhamburan ke lantai yang baru saja saya sapu dan pel. Alea, seperti merasa bersalah, langsung mendekati saya dan memeluk saya erat. Lah, saya ya jadi makin baper. Saya tahu dia tidak sengaja menumpahkan makanan di lantai, saya juga sedang dalam kondisi emosi yang ‘berantakan’ karena hormonal, ditambah dengan suasana yang emosi-emosian antara saya dan suami, walaupun saya sendiri sudah tidak marah. Saya itu kalau marah cuma 5 menit kok, habis itu ya sudah selesai. Enak lho kalau mau berantem sama saya, marahnya sebentar. Eh, gimana, gimana?

Tapi ada hal positif yang saya pelajari selama 3 hari kemarin. Tugas menjadi seorang perempuan, seorang ibu, seorang isteri, seorang perempuan bekerja, itu tidak pernah mudah. Dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk memainkan 3 peranan itu secara bergantian. Menjadi orang tua itu juga tidak ada sekolahnya, begitu juga menjadi suami/isteri. Kita tiba-tiba saja ‘diceburkan’ dalam peran-peran itu tanpa terlebih dulu ditanya kesiapan kita. Karena kalau ditanya siap tidak siap ya selamanya akan tidak siap. Jadi anggap saja ini semua semacam pembelajaran seumur hidup.

Di situ, sebagai orang tua, saya bukan hanya belajar mengendalikan emosi, tapi saya juga belajar melihat bagaimana Alea mengelola emosinya, perasaannya, bagaimana dia menempatkan diri ketika ada salah satu orangtuanya yang sedang marah (entah itu marah kepada dirinya, atau ketika orang tua sedang bersitegang). Itulah kenapa saya dan suami berkomitmen untuk tidak bertengkar di depan anak. Kalaupun terpaksan kami sedang marahan, jangan sampai melibatkan/melampiaskan kepada anak. Karena bagaimana pun perasaan seorang anak itu sangat peka, melebihi kepekaan perasaan orang dewasa.

Sebagai seorang pasangan, saya juga masih terus belajar mengendalikan emosi, terutama lisan saya, jangan sampai lisan atau perbuatan saya mencederai perasaan suami saya atau orang-orang di sekitar saya. Terutama dalam kehidupan berumah tangga, karena bagaimana pun ridho suami adalah ridho Allah. Bukankah begitu, pemirsa? Tentu saja begitu!

Jadi, pesan moralnya apa? Sesungguhnya seminggu menjelang datang bulan adalah masa-masa berat bagi seorang perempuan. Bukan hanya berat di mengelola emosinya, tapi juga berat di sesi menahan nafsu makannya… hiks… 😐

[devieriana]

 

 

sumber gambar dari : sini

Continue Reading

Selagi Masih Ada Waktu

myxj_20160919141103_save

Beberapa waktu lalu, sepulang dari kantor, di dalam sebuah taksi, Alea waktu itu sudah lelap dalam dekapan saya lantaran capek seharian beraktivitas di daycare, ngobrollah saya dengan pengemudi taksi sebut saja Pak Budi. Sebenarnya saya bukan tipikal orang yang sering membuka percakapan ketika di dalam taksi, tapi berhubung Pak Budi yang memulai percakapan duluan, dan kebetulan setelah ngobrol orangnya asik juga, jadi ya sudah lanjut saja. Tapi siapa sangka justru dari obrolan itu jadi membuat saya merenung sendiri.

Pak Budi adalah seorang bapak berusia sekitar 60 tahun. Beliau seorang ayah dari 2 orang putri yang sudah dewasa dan keduanya tinggal di Amerika Serikat. Isteri beliau sudah meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kanker rahim. Dulu, sebelum menjadi pengemudi taksi, Pak Budi adalah seorang karyawan di sebuah BUMN yang sengaja mengambil pensiun dini demi menemani sang istri menjalani pengobatan/terapi. Namun takdir berkata sebaliknya, sang istri tercinta dipanggil Allah terlebih dulu meninggalkan Pak Budi bersama kedua buah hati mereka.

Setelah beberapa waktu, sepeninggal istrinya, Pak Budi pun mulai melamar pekerjaan demi mengisi waktu luangnya. Di antara beberapa pilihan pekerjaan, pilihannya jatuh menjadi seorang pengemudi taksi.

Him: “Sebenarnya saya juga nggak niat-niat banget cari kerja, Mbak. Wong usia saya juga sudah nggak muda lagi. Cuman ya namanya sendirian ya, Mbak…, anak jauh, istri sudah nggak ada, kalau saya di rumah aja tanpa ada kesibukan kok bosen amat. Makanya saya jadi supir taksi sajalah.”

Me: “Bapak biasa narik sampai jam berapa, Pak?”

Him: “Ah, habis nganter Mbak ini saya langsung ngembaliin mobil trus pulang kok, Mbak. Saya itu narik paling malam jam 7. Lagian ngapain juga saya ngoyo-ngoyo kerja, buat siapa lagi, coba? Kan cuma buat hidup saya sendiri…”

Lalu Pak Budi menceritakan betapa nelangsanya ketika Ramadan menjelang. Beliau yang biasanya melewatkan puasa Ramadan bersama sang istri, sekarang harus menghabiskan puasa Ramadan sendirian. Sahur sendiri, buka sendiri, ibadah sendiri, mengerjakan segala sesuatunya serba sendiri. Bahkan ketika Idul Fitri pun hanya dirayakannya sendirian. Kebetulan kedua putrinya tidak sempat pulang, hanya sempat menelepon mengucapkan selamat lebaran sambil meminta maaf karena belum bisa pulang ke Indonesia.

Me: “Kenapa mereka nggak pulang pas lebaran, Pak? Nggak bisa cuti emangnya?”

Him: “Mereka itu hanya bisa libur di bulan Juli aja, Mbak. Selain bulan itu mereka nggak bisa cuti. Ya tapi alhamdulillah Juli kemarin mereka sempat pulang walaupun nggak lama. Lumayan kesepian saya sedikit terobatilah, Mbak. Sebenarnya mereka itu mengizinkan saya untuk menikah lagi, biar saya ada temannya. Tapi namanya cari jodoh kan nggak segampang membalikkan telapak tangan ya, Mbak. Apalagi yang mau terima saya apa adanya gini kan ya nggak mudah…”

Me: “Oh, gitu. Kenapa Bapak nggak ikut aja ke Amerika, kan enak kumpul sama anak-anak, ada yang merawat, merhatiin…”

Him: “Ah, saya orangnya nggak seneng ngerepotin anak, Mbak. Memang sih saya pernah ke sana, gantian jengukin mereka, tapi ya nggak bisa lama-lama, kan mereka juga kerja, saya ngapain juga bengong di rumah nggak ke mana-mana kecuali sama mereka. Lagi pula kan mereka nggak tinggal satu kota, Mbak…”

Me: “Oh… gitu…”, jawab saya pendek.

Jujur sekelumit cerita Pak Budi tadi membuat saya mendadak sedih, baper sebagai orang tua.

Setiap keluarga pasti mendambakan kehadiran anak yang akan menyemarakkan kehidupan berumah tangga. Celoteh, tawa riang, dan tingkah lucu anak, pasti menjadi hiburan tersendiri bagi tiap orang tua. Anak adalah pelepas lelah yang paling mujarab. Selelah apapun orang tua, kalau sudah ketemu anak pasti lelahnya tak terasa. Walaupun sering kali setelah bekerja masih harus ditambah dengan membereskan rumah akibat ‘kekacauan’ yang diciptakan oleh si kecil, misalnya membersihkan tumpahan susu, remahan biskuit yang ada di mana-mana, membereskan pensil/crayon setelah mereka mencoret ‘karya masterpiece’ mereka di dinding-dinding rumah, membereskan mainan yang berserakan di mana-mana. Itu pun masih ditambah ketika si kecil tidak mau ditinggal sedetik pun oleh kita, alhasil mengerjakan apapun sambil menggendong si kecil. Been there done that.

Si kecil pun agaknya tahu makna quality time bersama kedua orang tuanya. Di hari Sabtu/Minggu atau hari libur lainnya, ketika kedua orang tuanya ada di rumah, si kecil seolah seperti menagih haknya. Dia hanya mau main, disuapi, dimandikan, dan dikeloni cuma sama orangtuanya. Jangankan ke salon untuk me time, lha wong ke kamar mandi saja ditungguin di depan pintu.

Pernah tak sengaja saya mengeluh betapa capeknya membereskan rumah setelah pulang kerja, sepertinya kok tidak beres-beres, karena satu selesai, satunya masih ada. Nanti yang ini beres, kerjaan berikutnya sudah menunggu. Apalagi saya dan suami memang belum sepakat untuk menggunakan jasa support village (pengasuh) bagi Alea, dan juga jasa asisten rumah tangga untuk sekadar membereskan rumah. Rumah cuma sepetak ini, masa iya pakai jasa asisten rumah tangga.

“wis tho, ini cuma soal waktu kok. Nanti akan ada masa di mana rumahmu akan tampak seperti rumah-rumah yang ada di majalah-majalah itu, bersih, rapi, wangi. Akan ada masanya juga nanti kamu bisa menikmati waktumu sebebas-bebasnya tanpa ada yang mengganggu. Akan ada saatnya juga capekmu akan berkurang, nanti pas anak-anak mulai beranjak besar. Sekarang ini, nikmati saja semua kebersamaan dan waktu ‘ribet’ bersama mereka, karena percaya sama Mama, keribetan itu nggak akan lama…”

Di situ saya langsung baper.

Iya, semua cuma masalah waktu. Nanti, ketika anak-anak mulai besar, belum tentu mereka mau kita ajak ke mana-mana seperti sekarang; mereka akan mulai bisa memilih acara mereka sendiri, teman-teman mereka sendiri. Selama masih bisa uyel-uyel, cium-cium, dan peluk-peluk mereka, lakukan sepuas hati, karena akan ada suatu masa ketika mereka risih kita cium dan peluk, apalagi di depan umum/teman-teman mereka. Suatu saat nanti mereka akan meminta kamar sendiri, terpisah dari orang tuanya. Privacy. Seketika itu pula peran kita tak lagi ‘sepenting’ ketika mereka masih bayi/anak-anak.

Kelak, ketika mereka sudah mulai dewasa, akan ada saat di mana mereka pergi meninggalkan kedua orang tuanya untuk menggapai cita-cita mereka, dan mungkin hanya sesekali pulang untuk melepas rindu. Bahkan terkadang untuk sekadar menanyakan kabar ayah ibunya saja tidak mungkin mereka lakukan setiap hari. Kitalah yang akan gantian menunggu telepon mereka. Kitalah yang akan menyiapkan cerita-cerita ‘tak penting’ hanya supaya bisa mengobrol bersama mereka lebih lama.

Sebagai orang tua kadang kita kelepasan, membiarkan ego kita berjalan begitu saja di masa-masa anak-anak sedang membutuhkan kehadiran utuh kita sebagai orang tua dalam kehidupan mereka.

“Yah, Dev… gue juga butuh gaul sama temen-temen gue kali, masa iya ngendon aja di rumah. Masa iya jalur gue rumah-kantor-rumah, gitu melulu. Sesekali gue juga butuh ngopi-ngopi cantik bareng sama temen-temen gue. Gue butuh refreshing dan me time juga selepas pening di kantor. Gue yakin lo juga gitu, kan?”

Dulu, ketika belum ada Alea, saya masih bisa begitu. Tapi ketika sudah anak, rutinitas dan aktivitas saya berubah 180 derajat. Rute saya hanya rumah-kantor-rumah. Hari libur saatnya jadi ‘upik abu’ dan waktunya full untuk anak. Kalaupun iya saya bisa me time, itu juga kalau Aleanya sudah tidur, atau ada yang bantu jagain Alea. Kalau tidak ada, waktu dan kesempatan saya bersama Alea itulah yang menjadi me time saya, mengingat saya seorang ibu bekerja yang harus membagi waktu antara menjadi seorang ibu sekaligus perempuan bekerja.

Selagi masih ada waktu, sayangilah anak-anak kita dengan sepenuh hati, karena waktu dan kebersamaan dengan mereka tak akan pernah bisa ditarik mundur. Sekalipun itu cuma sedetik.Begitu pula sebaliknya, sayangilah kedua orang tua kita selagi mereka masih ada, karena waktu kita untuk mereka pun tidak lama.

 

 

[devieriana]

 

Foto: koleksi pribadi

Continue Reading