Sabtu Bersama Bapak

in loving memory

Judul postingan ini sengaja saya ambil bukan bermaksud untuk menyamai judul bukunya Adhitya Mulya, ataupun terinspirasi Tuesday With Morrie-nya Mitch Albom. Tapi memang hanya judul inilah yang pas untuk postingan yang merujuk pada kebersamaan saya bersama ayah mertua saya yang baru saja wafat hari Minggu, 7 Juni 2015 lalu.

Hubungan saya dengan ayah mertua yang kami panggil Bapak ini lumayan baik walaupun tidak terlalu akrab. Bapak hanya hadir di acara lamaran saya di penghujung tahun 2006, tapi ketika hari pernikahan saya di bulan Juli 2007, Bapak tidak bisa hadir di Surabaya karena terbaring sakit. Tapi tak apa, saya yakin, meskipun beliau tidak bisa hadir, tapi doa beliau sampai ke kami kok.

Selepas mengalami kecelakaan kerja di off shore, sehingga mata kakinya cedera menyebabkan aktivitas Bapak tidak bisa lagi seleluasa dulu. Ada satu moment mengharukan di tahun 2008, di mana Bapak yang sebenarnya kakinya belum terlalu baik kondisinya memaksakan diri untuk datang di pemakaman putri pertama saya yang meninggal di usia 7 bulan dalam kandungan. Di sore menjelang malam, di tengah rintik hujan, Bapak mengayuh sepeda menuju ke pemakaman menemani suami dan ibu mertua saya yang sudah ada di sana duluan.

Kondisi beliau sempat up and down beberapa kali hingga akhirnya beliau menyerah dan harus terbaring saja selama kurang lebih 5 tahun di tempat tidur karena beberapa penyakit yang dideritanya, yang salah satunya adalah osteoporosis. Sebagai orang yang dulunya aktif lalu menjadi tidak aktif sama sekali dan menjadi sangat tergantung pada orang lain, tentu saja menimbulkan perasaan yang kurang mengenakkan bagi Bapak. Emosinya naik turun, tingkah lakunya kembali seperti anak kecil. Kami berusaha memaklumi, karena kami yakin Bapak sedang dalam kondisi psikologis yang labil akibat perubahan yang signifikan terhadap kondisi tubuhnya.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencurahkan segenap kesabaran dan ketelatenan dalam merawat Bapak, terutama bagi ibu mertua saya. Hormat dan salut saya tercurah untuk beliau. Di tengah kesibukannya mencukupi kebutuhan sehari-hari plus merawat Bapak, kerap kali beliau terlihat lelah, gusar, sedih, dan emosi, tapi toh semua itu cuma berupa curhatan yang ditelan kembali oleh Ibu, karena langsung ingat, yang sedang dihadapi adalah suaminya, seorang lelaki yang sudah sepuh, dan tidak berdaya. Sering saya berdoa, semoga kesabaran Ibu merawat Bapak menjadi ladang pahala Ibu.

Hingga akhirnya kurang lebih seminggu yang lalu, Bapak tiba-tiba jatuh dari tempat tidur dan dahinya luka. Sejak saat itulah Bapak total menggantungkan hidupnya hanya pada pertolongan dan perawatan Ibu saja.

Seminggu sebelum Bapak wafat, saya sempat ke sana bersama suami dan Alea. Waktu itu Bapak masih bisa ngobrol dan bercanda dengan kami, bahkan sempat mengomentari Alea yang menurut beliau cepat besar.

Bapak: “Berapa usia anak kau ini?”

Me: “10.5 bulan, Pak”

Bapak: “Wah, sudah besar ya… Sudah berapa giginya?”

Me: “Baru empat, Kek. Dua di atas, dua di bawah…”

Bapak: “Oooh, sehat terus ya, Nak…”

Me: “Iya, Kek… Insyaallah Alea sehat selalu. Kakek juga ya… :)”

Kami tidak sempat ngobrol lama karena Alea merengek minta keluar kamar, dan Bapak juga lebih sering tidur ketimbang terjaga. Tapi ada pesan terakhir Bapak untuk saya; ketika saya dan Alea bermaksud berpamitan pulang. Setelah saya cium tangan Bapak, beliau berpesan:

“Jaga anakmu baik-baik ya, Dev…”

Dan saya pun mengangguk, “Pasti, Kek. Akan Devi jaga Alea baik-baik. Kakek juga sehat, ya. Insyaallah nanti kami main lagi ke sini. Ya sudah, kami pulang dulu, ya, Kek. Daagh, Kakek. Assalamualaikum…”.

Bapak hanya mengangguk dan tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kami berdua. Uniknya Alea pun sempat kiss bye ke kakeknya padahal sebelumnya dia rewel tiap kali diajak ke kamar Bapak.

Tak disangka ternyata itulah pertemuan terakhir kami dengan Bapak. Ternyata itu adalah kiss bye perpisahan Alea dengan kakeknya. Masih teringat betapa riang dan sumringah wajah Bapak ketika melihat saya membawa Alea pulang dari rumah sakit setelah lahiran. Melihat matanya berbinar-binar melihat bayi saya yang seharusnya saya bedong malah saya dandani dengan rok terusan dan bando merah. Maklum, baru kali ini melihat ada cucu perempuan. Kebetulan adik ipar saya sudah memberikan dua cucu laki-laki, makanya ketika melihat saya melahirkan bayi perempuan, beliau terlihat gembira.

Kini mata sayu itu sudah tertutup untuk selama-lamanya. Pun tubuh Bapak yang kian mengurus itu pun kini telah pergi meninggalkan dunia yang fana. Hanya kenangan bersama beliau saja yang tersisa.

Sugeng tindak, Pak. Selamat jalan. Selamat beristirahat di tempat Bapak yang baru. Purna sudah perjuangan Bapak dalam melawan rasa sakit dan ketidakmampuan fisik yang disebabkan oleh sakit yang bertahun-tahun Bapak derita. Semoga Allah melapangkan jalan Bapak menuju surag, menerima segala amal ibadah Bapak, dan menempatkan Bapak di tempat terbaik di sisi-Nya. Doa kami menyertai kepergian Bapak menghadap Sang Pencipta…

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Happy Thirty Something!

my thirty something

Seharusnya postingan ini saya publish tepat di hari ulang tahun saya, 2 Juni 2015 yang lalu. Tapi apa daya, berhubung bertepatan dengan hari libur, dan kalau sudah libur Alea maunya diemong sama saya, akhirnya baru sempat up date blog lagi hari ini. Gapapalah telat dikit, ketimbang telat banget, hahahaha…

Alhamdulillah, di 30 sekian tahun usia saya tahun ini, Allah masih memberikan kebahagiaan, kesempatan hidup, usia, pengalaman-pengalaman berharga, keluarga dan teman-teman yang sangat support. Ulang tahun di tahun ini alhamdulillah berkesan. Kalau tahun lalu saya ulang tahun dalam keadaan masih mengandung, tahun ini sudah ada tambahan anggota keluarga yang baru yaitu Alea. Bagi saya, Alea adalah salah satu bagian kado terindah yang Allah kasih pada saya.

Seperti tahun-tahun lalu, sejak shubuh hp saya sudah sibuk menerima ucapan selamat ulang tahun. Dan seperti biasa, doa dan ucapan selamat dari kedua orang tua adalah hal yang paling mengharukan. Doa dan ucapan dari para sahabat di Bincang Edukasi, teman-teman kantor, dan teman-teman socmed juga tak kalah menyempurnakan pertambahan angka usia saya tahun ini.

Ada hal unik yang sedikit berbeda dengan ulang tahun-ulang tahun sebelumnya. Tahun ini saya mendapatkan hadiah ulang tahun berupa batu akik dari teman-teman kantor saya, hahaha. Katanya, biar saya nggak ngecengin melulu tiap kali ada yang ngobrolin batu cincin. Jadi, biar saya nggak bawel, dan siap dibaiat sebagai anggota batu lovers, diberilah saya liontin batu Giok Aceh, dan batu Bacan Merah yang imut (katanya sih dipakai buat cincin aja). “Dipake, ya!”, gitu pesan mereka. Ya nantilah, kalau saya sudah ada waktu buat ngiket batunya.

Hadiah ulang tahun dari Mama adalah brownies spesial buatan Mama yang rasanya endeus surendeus (lupa saya abadikan karena keburu amblas sesampainya di kantor). Kalau kado dari adik saya beda lagi, dia memberi saya kado baju batik. Ah, dia paling tahu memang kalau saya sedang mengumpulkan koleksi baju batik; mengingat setiap kali pelantikan sekarang bukan lagi pakai baju PSL (Pakaian Sipil Lengkap, berupa setelan jas) tapi pakai batik. Alhasil saya sering pinjam koleksi dia ketimbang beli, hihihihik. Dasar nggak modal! Kalau dari Si Bungsu dan keluarganya, berupa foto masakan plus tulisan yang dibuat dari saos sambal, hahahaha…

Apapun itu, terima kasih banyak untuk segala doa dan ucapan yang telah kalian berikan. Semoga segala kebaikan tercurah pula untuk kalian semua. Semoga segala doa yang dikirimkan untuk ulang tahun saya kemarin semuanya diijabah oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamiin…

Love you loads!

[devieriana]

Continue Reading

Balada Batu Akik

-----

Sudah beberapa bulan ini hampir semua teman-teman saya sibuk diskusi tentang topik yang satu ini. Topik apa lagi kalau bukan tentang akik! Sebenarnya sih bukan topik yang baru ya. Tapi entah kenapa baru sekarang ini menjadi topik yang unik, spontan, dan masive. Hampir semua teman saya yang jari jemarinya dulu ‘bersih’ dari perhiasan (kecuali cincin kawin), sekarang mendadak pada tersemat cincin akik. Padahal dulu, sebelum akik menjadi trend seperti sekarang ini, mereka sering komentar kalau akik itu identik dengan pelawak Tessy, atau dukun; kalau kebetulan ada yang batu akik yang dipakai segede gaban.

Tapi kini batu akik menjadi fenomena unik tersendiri. Penggemarnya pun random, dan datang dari berbagai kalangan. Pokoknya kalau nggak pakai akik, nggak kekinian. Batu akik menjadi idola hampir di semua kalangan, tak memandang usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan profesi. Pokoknya kalau sudah membahas akik, wuih… bisa kapan saja dan di mana saja. Durasi waktunya pun bisa tak terbatas.

Para akik lovers ini tak segan-segan mengeluarkan kocek hanya untuk mendapatkan batu akik yang mereka sukai. Ukurannya pun bermacam-macam, dari mulai yang kecil imut sampai yang seukuran… entahlah… (saking speechless-nya melihat ukuran mentah batu akik). Penjualnya pun bisa ditemui di berbagai tempat; mulai dari pinggir jalan, hingga ke Pasar Rawa Bening sebagai pusat penjualan batu akik. Teman saya yang memang kolektor batu akik sempat nanya:

“Eh, suamimu suka pake cincin akik, Dev?”

“Enggak, dia nggak suka. Lagian, nggak usahlah! Hahahaha…”

“Wah, bisa nih kalo diracunin biar suka . Kantor suamimu di mana? Mau kita culik ke Rawa Bening… Hahaha…”

Sampai segitunya ya, hahahahah. Tapi untunglah, suami saya bukan penggemar perhiasan. Lha wong cincin kawin saja masih utuh tersimpan di lemari kok, boro-boro pakai cincin akik.

Di ruangan, obrolan tentang batu akik sudah menjadi topik wajib sehari-hari. Bukan hanya di dalam diskusi langsung saja di ruangan, tapi juga merambah ke obrolan di whatsap group. Sudah, di situ saja? Ya belumlah. Kemarin saja, waktu mau upacara, sempat-sempatnya bapak-bapak itu ngobrol dulu tentang koleksi akik masing-masing sambil menyebutkan apa saja kelebihan akik yang dimilikinya. Sudah? Beluuuum! Kemarin, pas ngisi di acaranya ibu-ibu Dharma Wanita, ternyata mereka pun pakai! Pokoknya sesuatu bangetlah akik ini. Jadi ya boro-boro mau ada moratorium obrolan tentang akik. Nggak mungkinlah untuk saat ini.

Ada berbagai alasan kenapa para kolektor ini mengoleksi batu akik. Katanya, batu-batu dengan jenis tertentu ada yang memiliki unsur klenik, ada juga yang netral saja tapi mempercayai bahwa dalam batuan yang mereka koleksi itu memiliki energi sesuai dengan kandungan mineralnya. Jadi ada batuan yang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi penggunanya. Ada juga yang mengoleksi karena warnanya ‘lucu’, jadi bisa disesuaikan dengan warna baju yang dipakai. So, ada banyak motivasi kenapa seseorang itu menggunakan batu akik. Kalau saya sih bagian yang mem-bully teman-teman saya yang pakai cincin batu.

Nah, tapi ada kejadian yang lucu. Ceritanya saya sedang membereskan perhiasan yang baru saja saya pakai pergi ke kondangan. Pas lagi buka salah satu kotak perhiasan, saya kaget sendiri. Ya kagetlah, lha wong ternyata saya sebenarnya juga punya kalung dengan liontin batu Kecubung warna abu/keunguan. Itu perhiasan lawas milik Mama yang sengaja diberikan kepada saya; dan koleksi itu jauh sebelum trend akik melanda dunia persilatan…

Pas saya pasang status di Path beberapa waktu yang lalu, komentar teman-teman yang saya bully,

“Whatever! Pokoknya besok kamu harus pake kalung Kecubung! Kalo enggak, awas aja!”

Duh! Kualat sama para akik lovers nih. Udah rajin-rajin nge-bully, eh ternyata diem-diem punya juga!
Hahahahaha….*sungkem*

[devieriana]

Continue Reading

Work-Life Balance

life balance

Pada sebuah sore di penghujung tahun 2014, di menjelang jam pulang kantor, Kasubbag saya terlihat sibuk mondar-mandir dari kubikelnya ke ruang Kabag, tak lama lalu ke ruang Deputi, dan lalu ke ruang Kepala Biro, sambil membawa selembar berkas. Saya sendiri masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas surat yang harus diinput dalam aplikasi persuratan elektronik.

Tak lama kemudian dia mampir ke kubikel saya sambil menjentik-jentikkan jarinya ke arah surat yang dia bawa. “Gua harus cari yang qualified, nih!”. Saya menoleh sebentar ke arahnya, “(Ada) apaan sih, Kak?”. Dia cuma manggut-manggut nggak jelas sambil membawa kembali, “Nggak apa-apa, nanti deh…”.

Sambil agak bengong saya kembali fokus dengan setumpuk berkas yang tadi. Kasubbag saya itu lalu kembali ke kubikelnya, mengetik sebentar dan tak lama kemudian terdengar printer yang sedang mencetak dokumen. Dan setelahnya, dia segera bergegas ke ruang Deputi lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.05 wib. Ruangan sudah mulai sepi karena memang sudah lewat jam pulang kantor pukul 16.00 wib. Tapi masih ada beberapa pegawai yang masih ada di ruangan karena lembur, termasuk saya. Kasubbag saya kembali mendatangi kubikel saya, menyeret kursi di sebelah saya, dan melontarkan pertanyaan ini:

“Kak, kamu mau nggak jadi Sekretarisnya Bu Menteri?”

“Hah? Bu Menteri siapa?”

Pikiran saya mendengar kata-kata ‘Bu Menteri’ kok langsung mengarahnya ke Menteri Susi Pudjiastuti ya; padahal perempuan yang menjabat sebagai menteri kan bukan cuma beliau ya. Tapi entahlah mungkin karena sosok Bu Susi terlalu kuat dan populer, sehingga kalau ada yang menyebut kata ‘Bu Menteri’, asosiasinya langsung ke beliau. Kembali lagi ke tawaran yang tadi, So, so, kalau jadi saya jadi Sekretarisnya Bu Menteri Kelautan dan Perikanan, berarti saya mau dimutasi ke sana, gitu? Pikir saya.

“Bu Menteri, Bu Menteri… Isterinya Pak Menteri… “, lanjut Kasubbag saya.

“Ooh, Bu Pratikno?”, jelas saya sambil menarik nafas lega.

“Iya, hehehe. Mau, nggak?”

“Aku? Lah, kenapa aku? Kok tiba-tiba aku? Mekanismenya gimana ini?”

“Iya, jadi gini… Ibu lagi butuh sekretaris untuk mendampingi beliau, karena nantinya beliau bakal sibuk banget. Bukan cuma sekadar menghadiri acaranya Bapak aja, tapi juga agenda bersama para ibu pejabat lainnya…”

“Trus?”

“Aku udah diskusi sama Pak Karo, plus menyeleksi sekretaris-sekretaris yang ada di kementerian kita, dan pilihan kita jatuh ke kamu. Kalau kamu setuju, kita akan ajukan nama kamu ke Ibu..”

“Lho, lho… sik, sebentar. Itu tugasnya ngapain aja?”

“Ya kamu akan melekat ke Ibu. Ke mana pun Ibu berkegiatan ya kamu akan ikut. Tapi prinsipnya sih lebih kurang semacam ajudannya Ibu gitu…”

“Lah, bukannya selama ini, kaya yang sebelum-sebelumnya, Bu Menteri biasanya disekretarisi plus diajudani oleh TNI/Polri, ya?”

“Iya sih, tapi kali ini ada permintaan dari Ibu khusus Sekretaris beliau nggak mau dari TNI/Polri, makanya kita tawarkan yang existing aja dulu. Gimana, mau nggak?”

“Terus, kenapa aku? Kenapa nggak di-FGD-kan aja, atau diajukan aja dulu nama-nama Sekretaris di sini terus kasih ke Ibu, biar diseleksi sendiri sama Ibu…”

“Ibu menyerahkan seluruh mekanisme pemilihannya ke kita, Kak. Kenapa kamu yang kita pilih ya karena kita lihat kamu lebih menonjol di antara kandidat yang lain. Gimana?”

“mmmmh….” saya tertegun

“Nggak harus sekarang sih jawabnya. You may think it first. You may discuss it with your family. Pikir positif negatifnya. Tapi jangan lama-lama mikirnya ya, Kak. Hehehe. Biar kita bisa segera komunikasikan ke Ibu gitu…”

“Ok, aku diskusikan dulu sama keluarga ya, Kak 🙂 “

Jujur, bukan sebuah keputusan mudah untuk menolak/menerima tawaran itu. Di satu sisi mungkin baik untuk pengalaman kerja saya, di mana saya bisa secara langsung menangani pekerjaan yang levelnya lebih tinggi dan lebih sibuk dibandingkan dengan pekerjaan yang saya tangani sekarang. Di sisi lainnya, kalau saya jadi menerima pekerjaan itu, artinya waktu saya bersama keluarga — terlebih dengan Alea — akan sangat berkurang, karena bisa saja saya akan lebih banyak bekerja dan dinas untuk mendampingi Ibu.

Alea sedang lucu-lucunya. Saat tawaran itu diajukan, Alea berusia 5 bulan. Walaupun masih 5 bulan, dia sudah tahu waktu, terutama tidur malam. Kalau sudah waktunya, dia pasti rewel ‘minta’ dikeloni sambil minum ASI, sambil diusap-usap punggungnya. Kalau waktunya bobo tapi saya belum ada buat dia, ya dia akan rewel terus, kasian Mama saya kalau Alea belum bobo-bobo.

Pernah suatu hari saya dan suami terpaksa terlambat sampai di rumah karena di tengah jalan ternyata hujan deras sehingga kami harus berteduh menunggu hujan reda. Sesampainya di rumah, ternyata Alea masih melek. Matanya agak sembab, perpaduan antara ngantuk berat dan habis menangis (rewel) karena tidak bisa bobo. Dan memang, tak lama setelah saya bersih-bersih badan dan shalat, dia pun tidur pulas dalam pelukan saya.

Tuntutan menjadi seorang istri dan ibu terkadang bentrok dengan keinginan untuk mengembangkan karir yang sudah lebih dulu dijalani. Menikah dan memiliki keluarga memang merupakan cita-cita setiap perempuan. Tapi toh pada praktiknya peran seorang perempuan menjadi begitu kompleks ketika memasuki dunia perkawinan. Seorang perempuan dituntut menjadi seorang istri sekaligus ibu yang bertanggung jawab atas anak dan kelangsungan hidup berumah tangga, tapi di sisi lain, perempuan juga memiliki keinginan untuk memajukan karir yang sudah dijalani sejak dulu. Pffiuh, akhirnya saya mengalami juga fase ini ya; memilih antara fokus di karir atau keluarga.

Dari diskusi bersama keluarga, dan pertanyaan kepada diri sendiri yang akhirnya langsung terjawab secara tidak langsung lewat Alea itu, akhirnya dengan ikhlas saya putuskan, lebih baik saya menjalani pekerjaan saya yang sekarang. Pekerjaan yang load pekerjaannya tidak setinggi jika saya menjadi Sekretarisnya Bu Menteri. Pekerjaan yang kalau saya jalani, saya masih punya waktu untuk keluarga, dan utamanya bisa menjalin kedekatan bersama putri saya. Kehadiran Alea sudah saya tunggu selama 6 tahun, masa iya ketika dia sudah dihadirkan di tengah keluarga, saya malah lebih memilih fokus ke pekerjaan. Agak dilematis memang. Tapi ya inilah hidup. Kita pasti akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Itulah kenapa kadang kita butuh skala prioritas. Apabila prioritas saat ini adalah karir, mungkin ada beberapa kenyamanan yang harus dikorbankan, begitu pula sebaliknya.

Bukan bermaksud mengesampingkan karir, tapi kalau boleh flashback, alasan saya dulu memilih bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, salah satunya adalah agar saya punya waktu untuk keluarga.

Saya percaya, setiap manusia sudah punya kesempatan dan rezeki masing-masing. Kalau soal materi insyaallah masih bisa dicari, tapi soal waktu… tidak akan pernah bisa kembali. Pertumbuhan dan perkembangan Alea tidak akan menunggu sampai mamanya punya waktu buat dia. Dia akan tumbuh berkembang di setiap harinya. Dan saat ini saya tidak ingin kehilangan moment melihat tumbuh kembangnya dari hari ke hari.

There is no such thing as work-life balance. Everything worth fighting for unbalances your life.
— Alain de Botton —

[devieriana]

ilustrasi saya pinjam dari sini

Continue Reading

Limitless Love

happy-mom-daughter

My mother was the most beautiful woman I ever saw. All I am I owe to my mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from her.
– George Washington –

Ibu adalah sosok yang rasanya tak akan pernah habis untuk diceritakan. Sosok istimewa yang sudah jatuh cinta kepada anak-anaknya bahkan sebelum mereka terlahir ke dunia. Jadi wajar kalau akhirnya Ibu menjadi sosok inspiratif bagi semua orang. Saya pun punya pemikiran yang sama; bagi saya Mama adalah sosok yang banyak memberikan saya inspirasi.

Sejak menikah, Mama memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Padahal dulu Mama juga bekerja dan punya kesempatan berkarir yang cukup bagus. Namun demi keluarga yang baru dibangunnya, Mama memilih untuk menjalani karir sebagi ibu rumah tangga yang jam kerjanya 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan itu sepanjang tahun.

Mama adalah pribadi dengan kombinasi yang unik. Sosok ibu yang cerewet, tegas, disiplin, keras kepala, dan absurd. Namun di luar itu semua Mama adalah sosok yang penyayang, berhati lembut, konsisten, dan luwes bergaul dengan siapa saja. Bukan itu saja, saking dekatnya beliau dengan kami bertiga, Mama sampai hafal satu per satu sahabat kami lengkap dengan cerita mereka. Si A rumahnya di mana, Si B pacaran sama siapa, Si C silsilah keluarganya bagaimana, Si D sekolah/kerja di mana, dan seterusnya.

Bukan hanya itu saja, kami (terutama adik saya yang bungsu) sering menjadikan rumah sebagai tempat nongkrong, Mama pun aktif mengajak ngobrol mereka. Bagi kami, Mama bukan hanya seorang ibu, tapi juga sahabat untuk anak-anaknya. Kami bisa cerita tentang apapun, karena Mama adalah pendengar yang baik untuk setiap cerita yang kami ceritakan. Mama adalah sosok yang istimewa. Seistimewa masakan-masakannya yang racikan, takaran, dan rasanya selalu pas!

Orang tua kami kebetulan adalah pasangan yang kompak dalam membesarkan kami. Mereka bukan hanya memberikan kami hal-hal yang manis saja, tapi juga ‘pahit-pahitnya’. Kalau soal dijewer, dimarahi, dihukum, itu sih biasa. Toh imbangannya kami juga sering mendapatkan hadiah dan kebahagiaan dalam bentuk lainnya. Semua diberikan dalam ‘dosis’ yang pas dan seimbang.

Lewat Mama, saya belajar prinsip-prinsip kehidupan; baik sebagai pribadi maupun sebagai individu dalam lingkup sosial. Ada salah satu nasihat yang paling saya ingat dari Mama, “ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”, artinya: manusia itu dihargai dari ucapan/kata-kata dan penampilannya, karena penampilan adalah salah satu cerminan kepribadian. Masih menurut Mama, seorang Ibu harus mampu mendidik anak-anaknya lewat perilaku. Anak akan dididik oleh ibunya bukan secara lisan semata, tapi juga pada perilaku dan kesehariannya.

Kini, saya adalah ibu dari bayi mungil bernama Alea yang berusia 6,5 bulan. Menjadi seorang ibu sama seperti diberi kesempatan untuk merasakan keajaiban dalam hidup. Mata saya jadi lebih terbuka. Ternyata menjadi seorang isteri yang sekaligus ibu bekerja ternyata bukan perkara mudah. Setelah cuti selama 2 bulan pasca melahirkan, saya kelimpungan mencari pengasuh bagi Alea.

Bukan hal mudah mencari pengasuh bayi di zaman sekarang, apalagi menyerahkan begitu saja pengasuhan bayi kepada seorang yang belum saya kenal sebelumnya. Hingga akhirnya Mama menawarkan diri untuk membantu menjaga dan mengasuh Alea selama saya bekerja. Tentu saja tawaran ini saya terima dengan suka cita karena dulu saya pernah ‘bercita-cita’ kelak suatu hari kalau saya sudah punya anak, saya ingin Mama saya yang menjaga anak saya 😀 .

Keputusan ini sedikit dilematis memang, karena dengan Mama sementara tinggal bersama saya di Jakarta, berarti akan meninggalkan Papa di Surabaya. Walaupun masih ada adik bungsu saya yang tinggal sekota dengan Papa tapi tetap saja muncul segumpal rasa berat. Tapi untunglah Papa sangat pengertian. Beliau ‘merelakan’ Mama menjaga Alea daripada Alea diasuh oleh orang yang belum tentu bisa menjaga Alea dengan benar. Tentu saja kami akan beberapa kali ke Surabaya untuk pulang ke Papa.

Sampai sebegitunya ya pengorbanan orang tua. Bukan hanya berhenti sampai ke anak, tapi sampai ke cucu. Their love and affection are limitless!

Buat saya Mama adalah guru pertama saya dalam hal pengasuhan anak. Seringkali saya menemukan insight tentang parenting dari beliau. Memang beliau bukan sosok ibu yang sempurna. Sebagai manusia, saat menjalani berbagai perannya, Mama tentu punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, ketika saya officially menjadi orang tua, orang pertama sekaligus tempat saya berguru tentang parenting ya Mama saya sendiri. Ya, kalau misalnya ada perbedaan cara mengasuh di sana sini ya wajarlah, namanya beda zaman, beda generasi, beda up date informasi. Jadi, adjustment itu pasti diperlukan. Tapi alhamdulillah sejauh ini masih discussable.

Ada satu nasihat sekaligus doa bagi kami, anak-anaknya, “semoga kelak ketika kalian sudah menjadi orang tua, kalian bisa mendidik anak-anak kalian menjadi anak-anak yang sesuai dengan zamannya, humanis, rasional, dan bahagia.”

Pamela Druckerman menulis dalam bukunya yang berjudul Bringing Up Bebe :

” to be a different kind of parent, you do not just need a different parenting philosophy. You need a very different view of what a child actually is. “

Btw, you did it, Ma! 🙂
[devieriana]

 

___

sumber ilustrasi diambil dari sini

Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

Continue Reading
1 3 4 5 6 7 14