Community Gathering Radio A Jakarta

Tanggal 7 Desember 2011 yang lalu saya diundang oleh Radio A 96.7 FM Jakarta untuk hadir dalam Pakdeshow –  Community Gathering. Pakdeshow sendiri adalah nama salah satu program talkshow di Radio A 96.7 FM Jakarta. Acara dimulai pukul 18.00 di Black Cat Jazz & Blues Club, Plaza Arcadia Senayan.

Saya datang mewakili komunitas Indonesia Bercerita yang kebetulan waktu acara Socmedfest kemarin dikunjungi oleh Radio A Jakarta untuk sekedar ngobrol ringan di booth. Awalnya agak canggung juga karena ketika saya datang sepertinya acara sudah dimulai, dan saya sama sekali nggak ada yang kenal, kecuali teman saya Ade dan Patty Hutagalung, teman penyiar yang suka saya gangguin dengan request lagu dan obrolan nggak penting kalau sedang siaran. Selebihnya, nggak ada. Ada sih, beberapa sosok selebritis yang wajahnya cukup familiar, tapi ya tetep aja jatuhnya saya nggak kenal, kan? ;))

Sampai akhirnya teman saya, Ade, yang malam itu menjadi host mulai menyadari kehadiran saya, mulai memperkenalkan saya ke tamu-tamu undangan yang lain. Dengan wajah kikuk saya ‘say hi’ dan  tersenyum ke arah mereka. Ah, untung suasana kafe itu redup, jadi kalau tampang saya agak kucrut jadi nggak terlalu kelihatan, maklum pulang kantor, datang hanya berbekal high heels doang biar keliatan eksis tingginya! :))

Sempat agak heran juga karena kok yang hadir disana kok kebanyakan komunitas bola, ada Milanisti Indonesia, Indo Barca, Juventus Club Indonesia, Madridista Indonesia. Lha saya yang mewakili komunitas imut dan unyu ini kan ya agak jadi berasa salah kumpul komunitas, gitu. Yang lainnya komunitas bola, ya masa saya sendirian aja gitu dari komunitas pendongeng :-s. Seharusnya saya datang bersama rekan saya, Fiki Maulani, tapi dia jam segitu masih ada acara lain, jadilah dia datang menyusul agak malam setelah acara dia selesai. Tapi untunglah ternyata ada juga yang hadir mewakili dari komunitas film yang diwakili oleh Adilla Dimitri (suami Wulan Guritno), Komunitas Dog Does Disco yang diwakili oleh Amanda Sukasah (puteri Ghea panggabean), Yayasan Syair yang diwakili oleh Deasy Noviyanti, serta dari Jakarta Bergerak yang dimotori oleh Wanda Hamidah ternyata juga hadir dalam acara itu. Pffiuh… \:D/

Malam itu kami bukan hanya dihibur oleh special performance dari Dhisa yang dikenal lewat lagu (galau) Cintaku Kamu, tapi juga ada pemutaran spesial trailer film Dilema The Movie yang baru pertama kalinya diputar khusus di acara itu. Bukan itu saja, kami juga dihibur oleh penampilan Mario Ricardo, Bemby Noor, dan juga Tengku Shafick. Mereka bertiga adalah pencipta lagu sekaligus komposer lagu-lagu hits di Indonesia, macam lagu-lagunya Afgan, Marcel Siahaan, dll. Malam itu mereka bukan hanya perform menyanyi saja, namun juga ternyata berani menerima tantangan untuk menciptakan lagu diatas panggung dalam waktu 5 menit saja dengan 3 kata yang diberikan oleh pengunjung secara spontan. Amanda Sukasah memberikan kata “dilema”, saya menyumbang kata “cinta”, dan Adilla Dimitri menyumbang kata “hidup”. Tak lama kemudian, taraaa… jadilah sebuah lagu easy listening dan super catchy! :-bd

Satu-persatu dari kami mulai memperkenalkan diri mewakili komunitas masing-masing. Tak disangka malam itu terjadi banyak engagement antar komunitas. Yang suka bikin film indie ternyata malam itu ketemu dengan sutradara dan movie maker, yang suka bikin lagu tapi belum ada kesempatan untuk merekam lagu-lagunya ternyata ketemu sama komposer beneran. Nah saya, kebetulan bertemu sama Deasy Noviyanti yang ternyata adalah salah satu aktivis di Yayasan Syair. Yayasan Syair ini adalah sebuah yayasan yang berusaha mengajak masyarakat agar lebih memahami tentang HIV dan AIDS, membina dan memberdayakan ODHA agar bisa hidup mandiri, dan membantu memperpanjang harapan hidup ODHA dengan harapan bisa menekan laju penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia.

Kami saling bercerita tentang komunitas dan gerakan kami masing-masing. Deasy juga menuturkan bahwa di yayasan yang dibinanya itu ada banyak anak yang sudah terkena HIV adan AIDS karena orangtuanya. Rata-rata mereka dari kalangan kurang mampu. Salut dengan gerakan ini karena mereka ingin membuat bagaimana para ODHA itu kembali punya semangat hidup, dan tetap merasa hidupnya berguna bagi orang lain. Caranya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan ketrampilan, penyuluhan kesehatan secara berkala, pengobatan dan konsultasi kesehatan secara cuma-cuma, dan kegiatan hiburan bagi anak-anak.

Di akhir perjumpaan Deasy ingin mengajak Indonesia Bercerita suatu hari nanti ikut memberikan hiburan bagi anak-anak penyandang HIV dan AIDS yang ada di Yayasan Syair berupa dongeng. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak yang tetap butuh hiburan, dan butuh suntikan motivasi, dan dia merasa melalui media dongenglah pesan-pesan itu akan lebih mudah tersampaikan.

Selepas acara, sambil menunggu jemputan, sembari menahan AC yang super dingin itu, saya menyaksikan penampilan Idang Rasyidi yang malam itu tampil di Black Cat Jazz & Blues Club. Hmm, saya sebenernya suka musik Jazz (yang easy listening jazz terutama), tapi entahlah… malam itu saya mendadak bego aja gitu karena nonton sambil ngomel nggak jelas dalam hati.

“Ini intonasinya kemana? Ini nyanyi apaan, sih? Nyanyi apa kumur, Mbak? Kalau cuma nyanyi dubidadidam-dumdumdum doang sih aku juga bisa”

*BLETAK!* *dilempar mikropon*

Yah gitu deh, mungkin efek mata ngantuk dan badan capek kali, ya. Tapi overall saya puas dengan acara malam itu, karena bukan hanya dapat goodie bag yang isinya ok, dan sekedar kumpul-kumpul nggak jelas, tapi saya juga jadi punya ilmu dan teman baru. Oh ya, yang lebih penting lagi adalah, saya punya 10 tiket nonton bareng di Blitzmegaplex Grand Indonesia buat nonton rame-rame sekomunitas, dong! \:D/ *kipas-kipas*

Terima kasih juga buat Radio A 96.7 FM yang sudah berkenan mengundang saya. Terima kasih juga untuk email “thank you regarding last night”-nya. How sweet you are, Guys!

Sampai ketemu lagi di event berikutnya (kalau masih diundang)! :-h

 

 

[devieriana]

sumber gambar : twitternya Pakdeshow  & koleksi pribadi

Continue Reading

Think Outside The Stigma

Kemarin ada Mbak Latree Manohara menge-tag saya dan beberapa teman —yang kebetulan juga PNS— di twitter begini,

“I may not be the best, but I do my best http://bit.ly/uqpwGO

Ah ya, lagi-lagi bicara tentang stigma yang sudah melekat di PNS. Stigma, semacam penamaan yang buruk terhadap sosok tertentu akibat adanya pengetahuan dan pemahaman yang kurang tepat. Klasik. Stigmatisasi bisa terjadi kepada siapa saja, profesi apa saja, status dan kondisi apa saja dalam masyarakat.

Dalam hal stigmatisasi negatif tentang PNS, bak dua sisi mata uang, diantara yang kontra pasti masih ada yang pro. Berusaha memberikan perspektif yang lebih humanis, karena masih banyak aparatur negara yang punya dedikasi, loyal, dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Walaupun mungkin lebih banyak tertutup oleh stigma yang terlanjur terbentuk di masyarakat ya… 🙁

Oh ya, sekedar flashback, sekitar bulan Oktober 2010, saya juga pernah membaca hal serupa di twitter, dan (saking gemesnya) saya menuliskannya dengan judul Totem Pro Parte. Totem Pro Parte adalah majas yang digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Generalisasi.

Tapi lagi-lagi trenyuh waktu baca salah satu tulisan seperti ini:

“PNS? Apa sih kerjaan mereka ? MAKAN GAJI BUTA. Masih mending mereka yang jadi kuli, tiap hari kerja keras tapi memuaskan. PNS kerja cuma nyari gaji seumur hidup+gaji pensiun, tapi apa yang mereka berikan tak sebanding seperti kerja kuli tadi”

Apa iya profesi yang saya jalani sekarang stigmanya sudah separah ini? Antara sedih sekaligus geli, saya cuma bisa berdoa, semoga yang bilang begitu kalau sudah lulus kuliah nggak jadi kuli ya, Nak ;)).

Serba salah sih memang, karena kita tidak bicara dengan orang yang benar-benar paham dengan kondisi yang ada di lapangan. Kalau cuma sekedar melihat dari luar dan kemudian melakukan judgement, ya semua orang pasti bisa.Tapi kok ya rasanya terlalu picik ya, kalau ada yang menggeneralisasi opini, “semua PNS itu magabut, nggak guna, tukang korupsi!” Nah gimana kalau ada yang bilang “semua mahasiswa sekarang itu tukang tawuran!”  Kira-kira fair nggak, ya? 🙂

Saya mau cerita sedikit yang di kantor saya, ya. Kalau bicara soal kerjaan, kami juga sama hectic-nya kok dengan yang bekerja sebagai non PNS. Banyak diantara kami yang terpaksa harus pulang larut malam karena memang tumpukan pekerjaan yang menjelang deadline (maksimal sekian jam atau sekian hari sudah harus diterima oleh pejabat ini itu). Saya juga pernah mengalami hal serupa, apalagi kalau sedang menyiapkan seleksi CPNS, boro-boro bisa pulang jam 4 atau jam 5 :(. Di jam makan siang pun kami tidak bisa seenak udel meninggalkan ruangan, lantaran harus ada yang posisi standby di ruangan, just in case ada permintaan yang mendadak. Kalau sedang tugas di Bogor kami juga seringkali baru selesai kerja pukul 1 dini hari, dan pukul 6 pagi sudah harus meluncur kembali ke Jakarta untuk ngantor seperti biasa. Acara menginap di kantor pun sudah menjadi agenda rutin tahunan bagi kami ketika harus menyiapkan perhelatan 17 Agustusan.

Di pagi hari kami juga harus mempertimbangkan waktu dan jarak tempuh dari rumah menuju kantor. Karena kalau tidak, ya pasti akan terlambat, dan kompensasinya adalah pemotongan tunjangan kinerja sebesar 1%. Kedengarannya sih kecil ya, ah cuma 1% ini. Tapi kalau sudah akumulasi, besaran potongannya bukan hanya terlihat hanya satuan persen saja, tapi langsung menjadi puluhan persen, dan itu jumlahnya… hiks… ngenes! 🙁 . Kalau ada pemandangan pukul 8 masih ada yang baru datang, itu pasti malu hati sendiri. Saya pernah baru sampai kantor pukul 8 lebih sedikit karena mendadak kendaraan bermasalah, dan kantor sudah sangat sepi. Keluar belanja atau menghilang pas jam kerja? Hadeuh, boro-boro… :-s

Intinya sih, semoga ini bisa berlaku untuk semua hal, jika kita hanya mengetahui sedikit saja tentang sesuatu, atau hanya kulit luarnya,  jangan buru-buru mengkritisi, mengambil kesimpulan secara sepotong-sepotong, dan atau membuat opini sendiri secara totem pro parte, menggeneralisasi sebuah kondisi padahal hanya untuk mengambil sebagian informasi saja.

“Don’t criticize what you don’t understand, Son. You never walked in that man’s shoes.”

– Elvis Presley –

[devieriana]

picture source : here

Continue Reading

Just a cup of idea

“The principal goal of education is to create (people) who are capable of doing new things, not simply of repeating what other generations have done.”

– Jean Piaget –

—–

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan datang ke acara ON|OFF yang penyelenggaraannya masih sama dengan tahun sebelumnya, Pesta Blogger 2010, di Epicentrum Walk – Rasuna Said. Walaupun penyelenggaraan event kali ini terbilang lebih sepi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun demikian sama sekali tidak menyurutkan langkah saya untuk tetap hadir disana, karena kebetulan saya ada janji untuk melihat penampilan Peduli Musik Anak, dan hadir dalam breakout session-nya Bincang Edukasi.

Dalam diskusi sepanjang satu jam itu ternyata ada banyak ide dan mimpi seru yang bisa diwujudkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kami diminta untuk menuliskan ide di selembar kertas, dan lalu mendiskusikan ide-ide tersebut dalam kelompok yang terdiri dari 5-7 orang. Diskusi tentang apa sih mimpi kita untuk dunia pendidikan di Indonesia. Berat ya bahasannya? Kita hanya diberikan clue untuk mengaitkan dengan apa yang menjadi ketertarikan kita. Nah, gimana tuh? Eh iya, iseng saya lihat sebelah, jadi ketawa sendiri. Dia menulis begini :

“Yah, saya nggak punya ide, Kak. Saya bingung. Kan saya bukan guru..” ;))

Dulu, saya pernah menulis tentang salah satu bahasan Bincang Edukasi Meet Up #2 di sini. Disana ada kisah Mas Agus Sampurno, seorang guru sebuah sekolah internasional dan seorang edublogger yang memanfaatkan kekuatan social media sebagai salah satu alat pengajaran dan berbagi. Nah, salah satu ide yang coba kita share dalam diskusi kemarin adalah bagaimana mengoptimalkan fungsi social media menjadi salah satu bagian dari proses belajar belajar. Menurut kami ini akan menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dan bisa menginspirasi para pengajar yang lain. Mengingat perkembangan dunia social media sekarang semakin pesat, dan pelajar jaman sekarang juga sudah sangat maju pergaulannya, karena hampir semua punya akun social media. Nah, mengapa kita tidak mencoba untuk mengoptimalkan penggunaan social media sebagai salah satu penunjang pendidikan? Emang bisa? Emang bakal efektif? Emang bakal menyenangkan? Nggak ribet?

Ada seorang teman yang cerita kalau salah satu adiknya yang masih SMA pernah diminta untuk mengumpulkan tugas via email dan atau facebook oleh gurunya. Tugas sekolah pun diberikan via facebook (terkadang juga via email), dan pengumpulannya pun via kedua media tersebut. Tentu saja jika guru menggunakan cara seperti ini otomatis semua murid wajib punya akun facebook dan punya email, dong. Disinilah proses belajar mengajar menjadi lebih fun 😀

Saya sempat tanya, kok bisa muncul ide kasih tugas via facebook atau media digital lainnya itu gimana ceritanya? Dia bilang alasannya karena mayoritas murid lebih tertarik membuka akun social media daripada situs intranet sekolah, akhirnya guru melihat adanya celah untuk melibatkan socmed sebagai sarana belajar mengajar. Saya tertawa, sambil mengiyakan dalam hati ;)). Iya juga sih, jangankan mereka, saya saja yang kerja kantoran, lebih sering buka akun socmed ketimbang intranet kantor kok… *eh* #pengakuan.

Menurut saya ini ide yang cukup unik. Namun tentu saja jenis pengajaran yang seperti ini hanya bisa diterapkan di sekolah-sekolah yang mayoritas pengajar dan siswanya sudah banyak yang melek teknologi. Intinya, pelibatan akun socmed dalam dunia pendidikan harus sudah ditunjang  dengan SDM yang sama-sama siap, dan jika diterapkan dalam porsi yang wajar dan ditangani oleh orang yang tepat diharapkan akan memberikan hasil yang maksimal. IMHO.

Nah, ide kedua yang kami khayalkan bisa diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang fun bagi guru dan murid. Bagaimana guru mampu menggali potensi dan kesukaan anak didiknya, bagaimana cara mengembangkan pengajaran yang menggunakan “out of the box methods”, dan bagaimana mengembangkan positive rewards yang mengasyikkan bagi anak didik.

Di sekolah, biasanya murid berprestasi paling reward-nya kalau nggak beasiswa, ya piagam. Tapi mengapa tidak dicoba dengan sesekali memberikan reward yang memang diinginkan oleh si murid? Jadi selain murid akan lebih terpacu semangat belajarnya, juga reward yang akan diterima sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka.

Kita mungkin bisa mulai melakukan survey tentang apa sih yang disukai murid? Misalnya, ternyata si A suka musik, ya kenapa tidak sesekali bisa menjanjikan nonton konser musik bareng. Atau ketika kita tahu kalau ternyata si B punya hobby travelling, ya mengapa tidak sesekali diberikan hadiah berupa tiket jalan-jalan atau travelling, misalnya. Atau murid ternyata punya hobby membaca, bisa kita berikan hadiah buku yang benar-benar mereka inginkan. Begitu pula untuk jika ada potensi-potensi lain yang dimiliki si murid, ya reward-nya akan disesuaikan dengan potensi dan hobby mereka.

Ya, namanya juga berkhayal, dan kebetulan ini adalah hasil saripati khayalan berjamaah setelah didiskusikan di kelas kemarin 😀

Nah, kalau kalian punya ide/khayalan seru apa buat dunia pendidikan di Indonesia? 🙂

[devieriana]

 

Continue Reading