Kau bilang duniamu itu bulat, persis seperti bola yang mudah menggelinding kesana kemari. Aku bilang duniaku bentuknya kotak persis seperti kubus yang hanya bisa diam di tempat mana dia diletakkan & hanya akan berpindah ketika ada yang memindahkan. Kau menertawakanku terbahak-bahak, “hei, mana mungkin dunia itu kubus!”. Tapi coba kau lihat, duniaku memang kubus. Lagi-lagi kau tertawa, bahkan kali ini jauh lebih keras.
Aku termenung gusar… Kami sama-sama punya dunia. Tapi mengapa dunia kami bentuknya berbeda? Seringkali kami berbeda kata menyikapi hal-hal yang terjadi di dunia kami. Ah ya, baiklah… mungkin karena aku belum sempat mengasah sudut-sudut duniaku hingga nantinya tampak bulat seperti duniamu ya?
Aku pun mulai sibuk mengikir sudut-sudut duniaku. Kau diam terpaku sembari sesekali mengernyitkan dahimu. Kenapa? Heran? Aku melakukan ini untukmu. Ya, lihatlah, setidaknya aku mencoba membulatkan duniaku hingga mirip duniamu supaya kita punya dunia yang sama, dan aku tak salah lagi mengartikan cerita tentang duniamu.
Kupinta kau untuk melihat sejenak dunia yang ada di tanganku menggunakan kacamataku. Bagaimana? Sudah cukup bulatkah? Kau mengerinyitkan dahi dan berseru, “ini belum bulat!” Aku menghela nafas.
Aku lelah, aku tidak punya ribuan pangkat kesabaran seperti yang kau mau. Tak tahukah kau, sebenarnya yang kupinta hanya satu…
Sebuah pengertian…
* sebuah refleksi perenungan dari curhat seorang teman *
[devieriana]
gambar pinjam dari sini
4 Comments
ini curhat temenku ya.. untuk menghindari konflik berkepanjangan kadang salah satu diantaranya terpaksa harus ngalah. Bukan untuk kalah-menang, tapi berusaha mengalahkan egoisme masing-masing & saling mengoreksi satu sama lain.. Dia belajar sabar dalam menghadapi pasangan..
Itu kata diaaaa… 😀
siyaapp.. 😀
kenapa harus memaksakan bulat,jika duniamu memang kubus?
mau dunianya segitiga, atau bahkan gepeng juga, yang namanya “pengertian” mah harus..