Disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia

Sebelummya saya ingin bilang kalau saya suka sekali dengan kutipan kata-kata dalam ilustrasi diatas :

“we are poor in the rich country”

“Ask what you can do for your country?”

Indonesia, “unity in diversity”

“What we have to do is to have these differences blend us together in perfect harmony like the beautiful spectrum of the rainbow”

Sebuah tema yang menarik untuk diulas. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali berita miris yang merujuk pada kerusuhan-kerusuhan berbau SARA dan kasus-kasus yang memicu konflik kekerasan lainnya. Kebetulan tulisan ini saya buat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Diklat Prajabatan bulan Mei-Juni 2010 kemarin. Sesuai janji saya waktu itu, akhirnya tulisan ini saya posting disini 😀 .

Dalam materi Wawasan Kebangsaan itu si bapak widyaiswara (nama lain untuk jabatan trainer) memberikan tugas tertulis dengan tema global : “Disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia”, selanjutnya kami diminta untuk membuat sebuah tulisan singkat yang mendeskripsikan tentang tema terkait. Terserah bagaimana kita akan mengembangkan tulisan itu, apakah nantinya ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Saya memilih untuk menjadikannya dalam bentuk prosa (cerpen, fiksi).

—–

Di suatu sore yang gerimis, di sebuah kamar apartemen mewah di pusat kota New York, seorang ibu muda terlihat berbincang akrab dengan seorang bocah lelaki kecil berusia sekitar 10 tahun. Mereka tampak akrab, sambil sesekali diselingi canda ringan keduanya. Sebagaimana karakter seorang anak kecil seusianya si bocah tampak begitu antusias mengeksplorasi apapun yang ada di sekelilingnya.

Sang ibu dengan sangat sabar menjawab semua pertanyaan putra semata wayangnya itu. Sambil sesekali mengusap kepala sang buah hati yang sibuk bertanya ini itu seraya menjelaskan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna untuk ukuran anak seusianya.

Ah ya, tampaknya sekarang mereka tengah membahas tentang negara-negara di dunia. Sebuah buku peta tua bersampul kulit warna coklat tua terbuka di karpet tempat mereka menghabiskan waktu petang itu. Mirko, demikian nama bocah lelaki kecil itu kerap disapa, tampak kagum dengan segala yang diceritakan sang ibu. Namun mendadak sang ibu tertegun tatkala membuka selembar halaman yang bergambar sebuah negara kepulauan. Mirko menatap ibunya sungguh-sungguh, sambil bertanya :

“ Ibu, kenapa ibu terlihat sedih? Ada apa, Bu?”

Sang ibu tampak tak segera menjawab. Diam-diam sebulir airmata mengalir di pipinya. Dia terisak lirih sambil berusaha tersenyum. Dia tak ingin terlihat sedih di depan anak semata wayangnya itu. Tapi mungkin inilah saat yang tepat untuk mulai menceritakan kepada Mirko apa yang menjadi sumber rasa sedihnya itu.


“Ibu hanya sedang teringat sesuatu. Sesuatu yang membuat Ibu sangat sedih. Teringat akan mendiang kakek & nenek ibu. Mereka eyang buyutmu..”

“Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka? Dimana mereka sekarang?”

“Mereka memang sudah meninggal, sayang. Mereka tinggal sangat jauh dari sini. Mereka dulu tinggal di sebuah negara yang bernama Indonesia..”

“Indonesia? Dimanakah itu? Apakah Indonesia itu berada di Amerika? Los Angeles? New York? Nebraska?”, tanya Mirko bertubi-tubi.

Wanita itu tersenyum. Dielusnya kepala sang buah hati, dan dipeluknya penuh rasa sayang. Matanya menerawang jauh, ke puluhan tahun silam. Peta itu seolah membangkitkan kembali kenangan suram masa kecilnya yang telah terkubur dalam-dalam bersama cerita tentang negara nenek moyang yang sangat dicintainya itu.

“Dahulu, waktu Ibu masih kecil, Ibu pernah tinggal sebentar di Indonesia bersama kedua orangtua ibu, iya kakek & nenek kamu. Kami sering melewatkan waktu liburan bersama-sama ke Yogyakarta tempat eyang buyutmu berasal. Tapi tak jarang kami juga melakukan traveling ke berbagai daerah lain di Indonesia. Indonesia itu sebuah negara kepulauan yang indah, sayang. Terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam & budaya, serta keramahan penduduk yang luar biasa. Ibu sangat menikmati masa-masa itu..”

“Ibu, bawa aku kesana. Aku juga ingin melihatnya. Kelihatannya menyenangkan..”, rajuk Mirko sambil menarik lengan ibunya.

Sang ibu menghela napas panjang, “sayang sekali, Nak. Kita sudah tidak akan pernah bisa lagi berkunjung ke Indonesia. Karena negara itu sudah lama tidak ada..”. Si kecil tampak begitu penasaran, “Hah, sudah tidak ada? Apa maksud ibu?”.

Kembali dengan sabar sang ibu menjelaskan :

“Ya, Indonesia sudah runtuh bersama kenangan terakhir masa kecil ibu disana, Nak. Tak lama setelah eyang buyutmu meninggal, terjadilah kerusuhan yang luar biasa di Indonesia. Negara kepulauan itu sibuk dengan berbagai program dan usaha untuk memerdekakan diri masing-masing, sibuk membentuk negara-negara kecil. Kami sekeluarga yang waktu itu masih ingin menjalankan usaha warisan eyang buyutmu tak mampu berbuat apa-apa. Hampir setiap hari terjadi kerusuhan dan penjarahan dimana-mana, seluruh tempat usaha kami habis dibakar massa. Orang-orang yang tidak mendukung pembubaran negara Indonesia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia secepatnya, kecuali mereka memilih untuk menjadi warga negara pulau tertentu. Kami terlalu cinta Indonesia yang seutuhnya, kami tidak ingin memilih salah satu negara bentukan dari negara kepulauan itu. Tapi apa daya, kami tak mampu berbuat apa-apa. Terjadilah eksodus besar-besaran. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk tidak memilih negara manapun dan tinggal disini..”

Batinnya terasa perih ketika menceritakan kembali cerita itu. Hanya mampu bergumam lirih sembari menerawang jauh. Ya, anakku.. disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia yang kini telah tercerai berai. Ibu merindukan suasana masa kecil ibu waktu itu. Rindu saat-saat ketika Ibu masih bisa merasakan hangatnya matahari tropis Indonesia, merasakan uniknya cita rasa masakan Indonesia, menikmati keberagaman budayanya, menikmati hamparan cantiknya alam Indonesia. Negeri indah dimana ibu pernah memimpikan akan membangun keluarga & menghabiskan hayat ibu disana.

Wanita itu menyusut airmatanya dengan secarik tissue. Inilah saat kembali dia begitu merindukan bekas tanah airnya yang kini bernasib entah seperti apa.

Ah, andai saja dulu semuanya tak pernah terjadi, mungkin Indonesia sudah menjadi negara besar sekarang ini..

—–

Btw, tugas ini ditulis malam hari menjelang besoknya dikumpulkan, ngantri komputer di ruang komputer sama temen-temen, gara-gara nggak bawa laptop. Jadi penasaran saya bikin tugas ini dikasih nilai berapa ya sama si Bapak? ;))

[devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Angel or Demon?

Discalimer : cerita ini nggak jelas apakah mengandung kebaikan atau keburukan. Perannya pun abu-abu, malaikat kagak, tapi setan banget juga nggak.. Nah, bagi yang belum cukup umur dilarang membaca, takut dipraktekkan di rumah ;))

Di suatu siang yang menyengat, di sebuah ruangan salah satu kantor elit di Jakarta Pusat, terlihat seorang pemuda berwajah kusut sedang menekan-nekan tombol blackberry-nya dengan gemas. Kalau diliat dari baunya sih kayanya dia lagi kesel. Lha ya jelas, kalau lagi gembira masa iya wajahnya kaya sarung belum disetrika begitu. Baiklah, sebut saja namanya Unyil. Nama lengkapnya George Unyil!

Di tengah suasana hatinya yang panas, ditengah gerutu yang mengalir dari bibirnya tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari blackberry-nya. Wajahnya yang kusut berubah datar. BBM dari si kakak yang lucu itu, sebut saja namanya Ucrit..  Ya, Michelle Ucrit Handayani! *eh* ;))

Ucrit  : “hei, kenapa status kamu marah-marah gitu? Ada apa?”

Unyil : “Iya nih ada temen yang ngeselin.. ~X( “

Ucrit  : “ya udah yang sabar ya 🙂 *puk-puk*. Di belakang ada sumur kan?”

Unyil  : “buat apaan emang?”

Ucrit  : “kita jeburin ke sumur aja yuk!”

Unyil :
“:)) .. Aduh, pengen dibantuin apa ya ma kamu?”

Ucrit : “Apa? Ayo bilang..  Disini udah tersedia tali rafia, tali tambang, paku, bambu, sama.. bendera semaphore! \m/ “

Unyil : “emang kita mau latihan pramuka?”

Ucrit : “Lho, emang bukan yah? :-?”

Unyil :
“Eh, jadi butuh mobil nih :-w”

Ucrit  : “buat apaan emang?”

Unyil  : “buat nabrak dia! >:)”

Ucrit  : “sabar.. jadi orang nggak boleh kaya gitu. Dosa! ” *bijaksana, ngelus jenggot*

Unyil : “abisnya kesel banget sama dia! X( “

Ucrit : “ya sekesel-keselnya nggak boleh ditabrak-tabrakin gitu. Kan kasian.. Mending kita ke stasiun aja..”

Unyil  : “mau ngapain emang?”

Ucrit  : “kita iket dia di rel kereta, yuk!”

Unyil : “bwahahaha, lebih brutalan kamu kali!! Ampun nyonyaaa.. =)) “

Ucrit  : “nanti kalau udah kita iket kita tinggalin dia di rel kereta..”

Unyil : “iya trus nggak taunya setelah terikat & kita tungguin sambil sembunyi di semak-semak ternyata keretanya nggak ada yang lewat situ. Pindah jalur.. “

Ucrit : “Ciih, tahu gitu kan nggak aku bawa ke rel kereta yang disitu. Udah naliin dianya susah, dianya gerak-gerak melulu..”

Unyil : “Gak jadi mati dong dia gara-gara kita salah naruh dia di rel yang kagak ada keretanya. Tar abis itu dia bilang gini.. :

“Alhamdulillah Ya Allah, mulai sekarang aku akan tobat nggak akan bikin orang lain kesel lagi. Mulai hari ini aku akan pakai jilbab! [-o<

Ucrit : “waaah, ending yang bagus.. :-bd “

Unyil : “tapi sayangnya dia laki!”

Ucrit : “monyeeeet! :))”

Ya begitulah, akhirnya si Unyil nggak jadi marah-marah, malah cekikikan sama blackberry-nya. Si Ucrit ikut senang karena berhasil membuat si Unyil nggak jadi stress atau pengen bunuh diri *tegakkan krah*

Cerita ini setengah fiksi, setengah nyata. Sengaja ada pengeditan di sana-sini biar lebih enak dibacanya :). Kalau ide-ide “sadisnya” jelas fiksi, tapi percakapannya semua nyata & salah satunya diperankan sama..

..
..
..

..

sayaaaaa!! \m/
*bangga*

Terimakasih ya, sudah menceriakan siang yang sangat ceria ini. Halah! ;)). Oh ya, jadi kesimpulannya cerita ini : angel or demon?  :-?? *gak penting*

[devieriana]

gambar boleh pinjem dari sini

Continue Reading

Merindu Bulan Warna Pelangi

Rembulan muda tersembul dari balik awan abu-abu. Tersenyum tipis memandangku malu-malu dari kejauhan. Aku membalas senyumnya seraya mengangguk pelan. Sang jelaga malam mulai sibuk menata prajuritnya menggantikan senja yang beranjak menua. Angin mendadak bersahabat, menyibakkan pelan awan-awan kelabu yang menutupi wajah rembulanku..

Bulan menatapku dari balik pendar mata sendunya, melihatku sendiri di padang savana yang sunyi. “Temani aku Bulan”, pintaku dalam bisik, berharap dia mendengarku. Kulihat Bulan tersenyum, mengangguk pelan seraya melambaikan tangannya padaku. Batinku bergejolak menahan suka tiada tara. Tak henti kupandang wajahnya nan indah berseri, pipinya yang ranum, jemari lentiknya yang memainkan ujung selendang warna pelangi. Ah, dia begitu sempurna…  Apakah aku jatuh cinta?

Bercumbu dalam khayalan, lalu tenggelam dalam impian indah musim semi. Tatapan mata sayu beradu dalam balutan rindu, meranggas dalam malam yang lengas, diiringi bunyi jangkerik & sekerlip dua kerlip bintang yang menerangi percintaan kami. Hanya ada rasa & bahasa yang sulit untuk diterjemah. Biar sajalah kami yang tahu. Biar sajalah kami yang rasa… Hingga ingin ku hentikan waktu, jangan beranjak pagi…

Namun apa daya, setinggi apapun aku berharap, takkan mungkin ‘ku mampu meraih Bulan warna pelangiku. Terlalu tinggi tuk mengepak sayap ringkihku padanya. Pun jika nanti kepak sayapku tergantikan dengan gumpalan-gumpalan kapas ringan.

Adakah angin akan membawaku pada Bulan warna pelangiku? Atau hanya sekeranjang salam berhias pita rindu yang akan sampai padanya? Entahlah..

Nyata bahwa…

 

aku hanyalah seekor pungguk yang merindumu…

 

 

[devieriana]

gambar dari sini

Continue Reading

Frase Yang Tak Terucap

Di pinggir jalanan yang basah, dalam ruang kubus transparan & berembun itu aku kembali menekan sejumlah angka bernada yang kuhafal diluar kepala dengan gugup. Detik jarum jam merangkak, lambat bagai keong. Seiring dengan cemasku menanti seseorang menjawab teleponku diujung sana. Semilir angin menerobos dari sela pintu yang tak tertutup rapat, meniup riap-riap anak rambut di tengkukku, membuatku semakin gugup.

Tepat disaat terakhir nada sambung itu, kudengar teleponku dijawab seseorang, “Halo..”. Aah, akhirnya…  Aku menghela nafas lega. Namun, aku kembali dilanda perasaan cemas bukan kepalang. Didera dilema luar biasa. Bibirku mendadak kelu, hanya mampu megap-megap tak bersuara, sibuk menyinkronkan dengan otak untuk merangkai kata.

Badanku menegang & mendadak berkeringat dingin sebulir-bulir biji jagung. Kakiku gemetar menahan bobot tubuh yang tak seberapa. Gigiku gemeletuk saling beradu. Angin dingin di sekitarku masih tak berhenti bertiup. Aku semakin  merapatkan leher jaketku hingga menutup dagu. Untuk cuaca sebeku ini seharusnya aku tidak berkeringat, bukan? Ya, sewajarnya memang seperti itu. Alisku bertaut, urat leherku kembali menegang. Arrgh.., aku mendadak gagu. Diujung sana kau menyapaku dalam “halo” yang bernada gusar sama seperti minggu lalu, nyari tanpa sahutan dariku. Dan sejurus kemudian..

K L I K !

Kau kembali menutup teleponku. Ya, semuanya masih sama seperti beberapa minggu yang lalu. Berasa dejavu. Aku gagal lagi memulai percakapan denganmu. Nyata-nyata temanya “hanyalah” sebuah pengakuan. Tentang sesuatu yang tak pernah kamu tahu. Tentang rahasia besar yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Tersiksa dalam pergulatan batin dalam rasa salah yang tak berujung. Tentang pengakuan yang tak pernah berani kuucap di depanmu.

Tentang semua kamuflase & bualan-bualan sampah itu. Kisah tentang seorang pecundang & pengecut itu. Tentang mulutku yang selalu terkunci setiap kali memandang senyum di wajah teduhmu…

Tentang kisah cinta rahasia antara aku —lelaki yang kau anggap baik ini— dengan.. sahabatmu. Ya, tentang pengkhianatan itu..

Maafkan aku sayang, yang tak bisa menjadi lelaki terbaikmu…

Aku mencintaimu…

 

 

[devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Setelah Kepergianmu..

Rumah mungil di sudut sebuah kota kecil yang pernah kau singgahi itu sekarang sunyi, nyaris tampak tak berpenghuni. Hanya ada aku yang menyibukkan diri mengurus rumah yang nyaris mati suri itu. Tak ada lagi obrolan ringan & canda tawa lucu seperti dulu. Tak ada lagi obrolan ringan sembari menghirup secangkir earl grey tea atau kopi instan kegemaran kita, di sela gerimis hujan di sore hari. Tak ada lagi denting dawai gitar yang kerap kau mainkan sambil kubernyanyi.

Hanya ada aku, menghabiskan waktu bersama buku-buku, ipod berisi lagu-lagu kesukaan kita, ditemani kepul uap secangkir earl grey di pagi & sore hari. Menanti kepulanganmu di sebuah sudut rumah mungil yang pernah kau singgahi. Membawa separuh hati yang kau bawa pergi.

Meski aku tahu kau nyata-nyata tak akan pernah kembali ke bumi..

Meski seribu tahun lagi…

[devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading