Beberapa kali saya melintasi daerah-daerah pinggiran kota Jakarta yang kumuh. Kadang hanya sekedar melintas, tapi kadang juga karena mencari jalan tikus untuk menghindari banjir atau kemacetan. Pemandangan yang membuat trenyuh kerap tersaji secara gamblang & apa adanya. Gambaran sebuah usaha untuk survive di ibukota terpampang jelas di depan mata.
Salah satunya adalah para penjaja makanan di sepanjang kolong kereta api. Jika ditilik dari keamanan & kenyamanan tentu jauh dari kata “aman & nyaman”, apalagi jika dibandingkan dengan restoran dengan pelayanan prima dan lingkungan yang cozy baik untuk sekedar hangout, ngobrol atau makan bersama keluarga/kerabat. Tapi apalah daya ketika perut mulai meronta minta diisi tentu tak banyak pilihan yang ada di otak mereka selain bagaimana cara menyumpal mulut dengan makanan yang “nampol” di perut. Higienitas? Ah itu urutan nomor sekian, yang penting kenyang aja dulu.
“Welcome to Jakarta, darling! Inilah Jakarta, lengkap dengan kehidupan keras yang menempa manusia-manusia di dalamnya. Jadi, jangan heran kalau lihat hal-hal begitu. Itu mah udah biasa. Kalau nggak kaya gitu mana bisa hidup di ibukota kaya begini. Bukankah ibukota lebih kejam dari ibu tiri,? “, begitu kata seorang sahabat ketika iseng saya bercerita tentang hal-hal yang saya lihat.
Kenapa jadinya ironis banget sama slogan pariwisatanya Jakarta, “Enjoy Jakarta”, ya. Buat yang kemampuan finansialnya diatas rata-rata ya jelas enjoy. Lha kalau buat yang kemampuan finansialnya cekak, nggak punya pekerjaan alias pengangguran, apanya yang mau di-enjoy? Paling-paling juga dijawab, “siapa suruh datang Jakarta?” 😀
Seperti pemandangan yang saya lihat, yaitu menjamurnya warung-warung di bawah rel kereta api. Hanya mencoba membayangkan, bagaimana ya rasanya makan di sela getaran kereta api yang setiap kali melintas tepat diatas mereka? Bagaimana rasanya berusaha menikmati makanan tapi dalam keadaan was-was (buat yang tak terbiasa makan disana)? Katakanlah saya sedang berkhayal ya.. apa mereka tidak khawatir kalau tiba-tiba kereta apinya anjlok lalu menimpa mereka yang tengah asyik makan disana? “ya jangan makan disanalah, kaya nggak ada pilihan tempat makan yang lain aja, kan banyak tuh yang nggak di bawah rel kereta api..”. Ok, ini hanya sebuah umpama. Pada kenyataannya mereka justru hidup dari hasil membuka kedai makanan disana selama bertahun-tahun. Toh buktinya mereka juga bisa eksis walaupun kondisi kedai makanan mereka sangat jauh dari kata “aman & nyaman”. Karena buat konsumen kelas mereka, “yang penting murah & kenyang”. Meski mungkin pernah terselip juga kekhawatiran di benak mereka seperti yang saya bayangkan tadi. Life must go on. tak ada pilihan lain selain bertahan dengan bisnis di lokasi berbahaya, karena mendirikan “usaha” dengan lahan & lokasi yang layak jelas jauh dari kemampuan finansial mereka. Jangankan buka usaha dengan lokasi yang layak, buat hidup aja mereka masih ngos-ngosan.
Ah, bisnis memang tak pernah kenal rasa takut. Setidaknya bagi para pemilik warung di bawah rel kereta api itu. Bagi mereka, dimana ada pasar & kesempatan, disitulah ada uang. Terlebih lagi jika menilik kondisi perekonomian negara kita yang sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ya, seperti kata sahabat saya : Inilah Jakarta, darling!
16 Comments
😆
Eh Pak Erwe aktip lagi tuh.. :D. Abis ini bisa-bisa mas Tugiman juga ngisi daftar hadir
ya udah diganti deh : POKOKNYE, ENJOY AJE DEH, BRUR *kok jadi teringat pak eRWe ya?*
slogan Enjoy Jakarta diganti : “wis dinikmati ae lah, ngedumel yo pancet koyo ngene” ?
Lho, lak jadi Enjoy Jawa Tengah kalo kaya gitu, Her 😆
bosone lho boso Jowo.. 😆
emang jakarta ini keras, tapi daripada kitanya uring-uringan terus dengan segala kesemerawutannya, ya slogan enjoy jakarta itu lebih baik, wis dinikmati ae lah, ngedumel yo pancet koyo ngene 😀
he-eh nanti tak ajak ke monas, foto-foto.. buktikan kalo kamu pernah ke Jakarta ya Luk..
tenang aja, sandalnya boleh di pake kok.. ndaak..ndak usah dilepas.. bukan sejenis masjid kok 😀
ahyahahahah.. logat jawanya.. iya ih, ndak ilang-ilang 😀
biar aja deh 😆
makasih udah mampir ya mas Pilar 🙂
kejadulan itu menunjukkan how old you are mbak 😆
*kidding*
mba, katanya di jakarta itu banyak gedung tinggi2 yah???
nanti kalau aku main ke jakarta, ajak jalan2 ke monas ya mba…
Inilah Jakarta, yang tetep sebagian besar orang mengais sesuap nasi ya disini ini.. 😀
Salam kenal bu, saya suka tulisan2nya..
apalagi logat jawanya 😀
kan ada pepatah, tuh-kejamnya ibu tiri, tak sekejam ibu kota **duh! jadul byangetts** 😀
Kata yg bikin slogan, gini mungkin – Ya, kalo hidupnya aja cekak, kemana2 juga gag bisa dibawa enjoy (LOL) – jadi ya, memang benar slogan itu hanya ditujukan ke mereka2 yg berlebih…:|
sedikit pesimis memang.. kayanya program-program bantuan untuk ekonomi lemah hanya “trend” untuk menarik simpati pada saat-saat tertentu 🙁
dibalik carut marutnya pemandangan dikolong-kolong rel kereta api tersebut, saya terkadang juga heran, kalo tidak mau mengatakan salut, orang2 itu ada saja idenya utk bertahan hidup.
tapi pada dasarnya mereka menggunakan prinsip ekonomi yg sangat sederhana, bahwa dimana ada permintaan maka disitu tempat yang tepat utk menyediakan apa yang mereka minta / butuhkan, termasuk urusan makan tadi.
miris memang melihat pemandangan spt itu, tapi ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa kalo pemerintah mau mengelola mereka, maka ada harapan mereka bisa berkembang 🙂
setuju, El..
yang dulunya dikampung anak baik-baik belum tentu pas udah “njebur” di Jakarta masih jadi anak baik-baik ya..
*miris* 🙁
makanya tingkat kriminalitas juga tinggi. kehidupan yg terlalu keras itu ga selalu menempa orang jd lbh kuat, kadang2 malah menghancurkan jg..
*nyiapin menu makan siang di warung bawah rel*
Lho?!
well, welcome to Jakarta 😆