Think Before You Speak

Dalam keseharian pasti kita pernah mengeluarkan kata-kata yang menurut kita lucu, tapi belum tentu buat orang lain juga sama maknanya dengan kita. Maksudnya menghibur tapi malah jatuhnya ngajak berantem. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita harus lebih hati-hati dengan pernyataan atau bahkan jokes kita sendiri.

 

Masih ingat kan dengan “stop using words autis for your daily jokes”? Sudah lama saya meninggalkan kata-kata itu sebagai bahan becandaan. Bukan hanya kata-kata autis, tapi juga kata-kata lain yang berisi tentang ejekan untuk menunjukkan kekurangan orang lain. Baik itu fisik, mental, maupun status seseorang. Apa untungnya juga kita menggunakan bahasa-bahsa macam itu? Akankah kita akan jauh merasa lebih baik & sempurna setelah mengucapkannya? Apakah lantas derajat kita akan jadi lebih tinggi setelah menggunakan kata-kata itu sebagai guyonan sehari-hari? Bagaimana jika ternyata kita sendirilah yang menyandang segala keterbatasan & ketidakberuntungan itu? Apa yang akan kita rasakan ketika ada orang lain yang menggunakan bentuk kekurangan fisik/psikis kita sebagai lelucon? Perih, pedih, sedih, marah, tersinggung, atau justru legowo menerima dengan  pasrah? Selegowo-legowonya orang pasti masih akan tersembul rasa pedih ketika ada kekurangannya yang disinggung orang lain, apalagi digunakan sebagai lelucon atau cela-celaan.

 

Sebelum saya menuliskan inti tulisan ini, saya ingin bertanya, apa sih yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata-kata “JANDA”? Apakah mata Anda langsung membulat, imajinasi Anda berputar pada sosok wanita tanpa suami, yang masih muda, cantik, seksi, yang image-nya sering dilekatkan dengan perusak rumah tangga orang? Atau seorang sosok wanita tanpa suami yang tegar, berjuang sendiri membesarkan buah hatinya, pontang-panting mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, berperan menjadi ayah & ibu sekaligus?

 

Beberapa hari lalu saya mendapati status facebook seorang teman yang merasa dilecehkan karena orang lain menggunakan status pernikahan (baca : janda) sebagai guyonan. Dia adalah seorang single mother sekaligus wanita karir yang cerdas dengan dua buah hati yang menjelang remaja. Sebut saja dia Mbak Cantik. Sebagai seorang ibu yang sangat tough menjaga keluarganya dia memang berjuang sendirian, tanpa didampingi oleh seorang suami. Kehidupan pernikahannya hancur ditengah jalan karena adanya prinsip yang sudah tak bisa lagi sejalan. Perannya sekaligus menjadi ibu & ayah membentuknya sebagai a half mother & a half father. Sosok ibu yang hangat & penyayang, sekaligus sebagai ayah yang melindungi & mencari nafkah.

 

Saya pribadi mengenalnya sebagai sosok yang keras & tegar. Jauh dari gambaran seorang “janda” yang image-nya di masyarakat selalu saja dikonotasikan negatif. Padahal siapa yang ingin hidup sendiri? Siapa yang dulunya menjawab ketika ditanya “apa cita-citamu?” dengan lantang menjawab “menjadi janda!”. Siapa yang sengaja memilih kehidupan perkawinannya tidak utuh, membesarkan buah hatinya sendiri tanpa didampingi seorang suami? Rasanya tidak ada. Semua pasti bercita-cita hidup secara complete, utuh, dengan didampingi seorang pasangan.

 

Lantas apa yang membuat beliau sedemikian marah? Lagi sensitifkah dia? Saya kurang tahu pasti, tapi yang jelas semua itu berawal dari celoteh salah satu presenter acara talkshow di TV yang sempat membuat jokes dengan kata-kata “janda”. Tentu saja lengkap dengan konotasi negatif yang sudah melekat didalamnya. Membuat seisi studio tertawa terpingkal-pingkal mungkin merupakan sebuah prestasi besar buat dia sebagai seorang presenter, komedian, entertainer. Tapi tak sadarkah dia bahwa leluconnya itu telah melukai hati seorang perempuan yang terpaksa harus hidup tanpa suami seperti Mbak Cantik tadi? Bersyukurlah dia yang keluarganya masih utuh. Tapi apa lantas sang presenter itu berhak mengeluarkan jokes semena-mena dengan kata-kata “janda” tadi? Well, katakanlah teman saya ini sedang sensitif, not in the good mood. Tapi saya juga tidak berhak untuk menyuruhnya diam, jangan protes. Itu hak dia untuk suka atau tidak suka dengan lelucon yang sebenarnya tidak lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.

 

Tidak ingin menggurui siapapun, hanya sekedar ingin mengajak Anda semua berbagi, berpikir, merenungkan. Sudah sempurnakah kita sebagai manusia? Kepuasan macam apakah yang sebenarnya kita cari ketika berhasil mentertawakan kekurangan & ketidaksempurnaan orang lain? Apakah setelah kita berhasil mengajak orang lain tertawa dengan apa yang kita pikir lucu padahal bodoh itu lantas akan membuat derajat kita jadi lebih tinggi daripada orang yang kita hinakan? Apakah kita tahu bagaimana sulitnya menjadi seorang single mother yang berjuang menghidupi buah hatinya? Hidup ditengah terpaan & cibir miring akan stereotype yang sudah terbentuk dalam masyarakat kita tentang status seorang “janda”. Belum lagi media yang juga ikut menambah kuat image “janda” sebagai sosok penggoda rumah tangga orang. Memang, kalau mau cuek, nggak usah mikirin, sebodo teuing juga bisa. Tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai sosok diluar beliau? Apakah kalau beliau cuek-cuek saja berarti hatinya ikhlas menerima? Apakah kalau dia juga ikut tertawa hatinya juga demikian adanya? Belum tentu, teman. Dalamnya laut memang bisa kita ukur, tapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu?

 

Semoga ada hal baik yang bisa kita ambil & renungkan bersama. Sehingga kedepannya kita bisa lebih bijaksana dalam berbuat & berkata-kata. Terutama sebelum kita melontarkan pernyataan atau lelucon untuk orang disekitar kita…

 

Think your thoughts & choose your words carefully

 

 

[devieriana]

 

Continue Reading