Ngidam : Keinginan Bayi atau Ibunya?

pregnant ladyKita sering mendengar kata ‘ngidam‘, kan? Buat para wanita yang sudah pernah merasakan hamil dan ngidam pasti tahu bagaimana rasanya ngidam. Ngidam adalah suatu rasa yang “kepengen banget” terhadap sesuatu yang kebanyakan dirasakan oleh para ibu hamil, dan kadang suka jadi alasan, “eh, ini keinginan bayinya, lho”, walaupun sekarang mengalami menjadi kata-kata umum untuk menggambarkan sesuatu yang benar-benar kita inginkan.

Kita coba spesifikkan ke ngidamnya para ibu saja, ya. Yang namanya ngidam datangnya suka sekonyong-konyong, mendadak, dan tidak bisa diprediksi. Tidak pandang waktu, cuaca, situasi, dan kondisi. Bisa saja pagi-pagi buta, tengah malam, atau tengah hari bolong. Jenis keinginannya pun tidak tanggung-tanggung, dan terkadang juga aneh. Permintaannya mulai ‘kelas standar’ sampai ‘kelas mahal’. Yang standar sih cuma minta mangga muda (yang setelah dibelikan sekilo cuma diiris ujungnya aja habis itu udahan), ada juga yang tengah malam minta sepaket nasi kuning lengkap. Nah yang kaya gini nih yang mulai aneh…, tengah malam buta mana ada yang jual nasi kuning, coba? Kalau teman saya lebih lucu lagi, pengen makan bakso tapi minta ditaruh dalam mangkok gambar ayam jago, dan yang jualan harus berkepala gundul. Yaelah, mau makan bakso aja ribet bener, ya? ;)) Kalau yang kelas berat contohnya tiba-tiba pengen mobil, rumah mewah, sampai dengan perhiasan emas dan berlian, dan berbagai macam keajaiban ngidam lainnya. Kalau yang emas berlian itu isterinya teman saya, hihihi… Kadang masih suka takjub aja kalau dengar ceritanya, “Pah, tadi pas abis bangun tidur mendadak aku pengen gelang emas yang ada mata berliannya… Beliin ya, Pah. Ini yang minta bayinya lho. Kalo nggak diturutin nanti bayimu ngileran!”  Nah, kalau ini sudah mulai nggak jelas, nih. Beneran itu keinginan bayinya? 😕

Sebenarnya ngidam itu harus atau enggak sih selama hamil? Apakah benar mitos yang menyebutkan kalau ngidam tidak keturutan nanti anaknya suka ngiler? Ngidam itu keinginan ibu atau bayinya? Apakah ngidam itu sebagai ‘sarana’ mencari perhatian suami/keluarga? 😕

Pas saya hamil untungnya tidak sampai ngidam kelas berat, paling unik cuma mendadak makan mie instant yang dibikin di warung tegal depan gang, sama pengen foto-foto di taman bunga ;)). Kalau makan mie instan itu harus berantem dulu sama suami, alasannya kan kurang higienis dan nggak sehatlah. Bahkan dibikinkan suami yang bentuknya sama persis pun sama bikinan mas-mas di warung depan, lengkap dengan telur dan sayuran, nggak saya makan dan akhirnya  dimakan sendiri sama suami saya ;)). Kalau keinginan foto-foto itu munculnya jam 12 malam. Hahaha, serem ya? ;)). Nah, kalau ini saya masih bisa compromise sama suami, kita foto-fotonya besok paginya saja di TMII, kebetulan besok hari Minggu.

Nah, sekarang coba bandingkan dengan ngidamnya beberapa teman yang pengen dibelikan mobil, handphone baru, sampai gelang emas berukir ini itu & bermata berlian. Ini bukan saya iri lho, cuma ‘kagum’. “Ya namanya juga bawaan bayi say, nanti kalau nggak dituruti bayinya bisa ngiler-ngiler lho..,” begitu pembelaan sang bunda kalau saya komentari, “ngidammu kok mahal banget, ya ;))” Beruntung suami-suami mereka pas orang mampu, jadi soal permintaan-permintaan yang sesuatu itu nggak masalah. Lain lagi kalau suami pas budget-nya pas-pasan terus isterinya minta dibeliin barang-barang kaya tadi, apa ya cuma bisa mengelus dada? ;))

Kalau dilogikakan, mana mungkin bayi sekecil itu sudah mengerti perhiasan, pakai milih pula harus yang modelnya begini-begitu. Lha wong, melihat keadaan di luar perut ibunya saja dia belum mengerti, apalagi masalah mobil, rumah, handphone dan aneka jenis dan bentuk perhiasan itu tadi.  Jadi kasihan sama bayinya, demi alasan ngidam, bayi kok seolah jadi dibuat ‘tameng’ untuk meluluskan keinginan sang ibu, ya? “Oh, jadi kamu mau ngomong ‘ngidam’ itu aslinya  keinginan ibunya, gitu?” Mmmh, kayanya sih begitu ;))*dijambak*. Agak terkesan ‘aji mumpung’ gitu. Mumpung hamil, kan perhatian suami tercurah ke bunda dan calon buah hati nih. Belum tentu kalau pas lagi nggak hamil semua keinginan bisa dituruti ;)) *digerus pake ulegan*

Jadi bagaimana menurut kalian, sebenarnya ngidam itu keinginan bayi atau ibunya? :-?. Ah ya, biar kali ini saya nulis  postingan dengan ending menggantung :))

[devieriana]

gambar diambil dari sini

Continue Reading

Physical beauty or inner beauty?

beautyBeberapa waktu lalu saya di tag oleh seorang penulis dalam notes-nya di Facebook, “Ladies, let yourself be beautiful”. Tulisan yang membahas tentang bahwa “semua wanita sebenarnya cantik”.

Kecantikan itu relatif. Saya katakan relatif karena jika dilihat dari point of view orang lain, bisa jadi beda. Tapi kecantikan itu menjadi jelas terlihat ketika pikiranlah yang menjadikan seseorang itu cantik. Setidaknya jika itu yang ada di pikiran kita. Bingung? Maksud saya, ketika kita merasa cantik, secara otomatis that will boost our confidence. Benar begitu bukan? 😉

Tergelitik dengan pembicaraan dengan seorang sahabat pagi tadi ketika saya iseng tanya, “pernah nggak kamu ngerasa bosen ngobrol sama saya? ya nggak tahu, kali aja sayanya yang kurang pinter milih topik gitu, atau sayanya yang moody kadang suka ngomong seenak udel. Kamunya bosen tapi gak mau bilang. Kalau iya, maap yee, kan bentar lagi puasa..;)) “. Lha kok jawabannya sangat fisikal, “enggak, you’re beautiful, never get bored of you, it’s an easy question I have to answer it anyway” . Hwee? But, thanks for the compliments anyway ;;) *nyisir poni* .

Lah, tapi kok saya jadi mikir ya, berarti dia hanya melihat saya secara fisik dong (ya walaupun fisik saya juga pas-pasan sih ;)) ), bukan melihat saya in a whole package, menilai saya sebagai sosok utuh sebuah pribadi. Dia tidak bosan karena saya (katanya) cantik? Hwee..mosok seeeh? ;;) mendadak jadi pengen ngaca & ngerasa jadi Luna Maya nih :)). Maaf soalnya baru kali ini ada yang bilang kaya gitu. Semoga pas ngomong itu dia nggak sedang dibawah pengaruh hipnotis atau obat tidur ya ..
* dijambak *
Tapi jujur kacang ijo nih ya, saya menangkap kesan “it’s too shallow to say, dear.. Sorry 🙁 “

Benarkah kebanyakan ketertarikan seorang pria kepada wanita, dilanjut dengan obrolan selanjutnya salah satunya dikarenakan dari segi fisik? Ok, saya tahu, nanti pasti kalian pada koor bilang “ENGGAK!!” semua kan ;)) *dikemplang*. Memang sih, tidak dipungkiri bahwa pertama kali yang dilihat adalah penampilan, baru yang lain-lain. Nggak mungkin begitu ketemu langsung bilang, “ah dia orang yang rajin menabung ya, suka berkebun, latihan semaphore & tali temali”. Nggak mungkin kan? Semua itu adalah hasil kesimpulan setelah kita mengenal dia lebih jauh.

Kebetulan mama saya adalah orang yang mengajarkan betul masalah penampilan. Bukan apa-apa, memang itu adalah salah satu bentuk/cara menghargai diri sendiri. Ketika kita berpenampilan rapi, menarik, sesuai dengan acara/kesempatan selain akan lebih enak dipandang, kita juga akan lebih percaya diri. Tentunya yang lebih bagus kalau ditunjang dengan inner yang bagus juga ya :).

Kecantikan fisik akan menurun seiring dengan usia manusia (kecuali kita melakukan operasi bedah plastik, suntik botox, face lifting dan lain sebagainya) , berbeda dengan kecantikan inner yang tidak hilang sampai setua apapun kita. Kecantikan fisik tanpa diimbangi dengan kecantikan diri pribadi ibarat sayur tanpa garam. Kecantikan pribadi jauh lebih menarik karena akan terbawa keluar & bukan kecantikan yang sifatnya fatamorgana.

Then if you have to choose, physical beauty or inner beauty ? ;;)

[devieriana]

Continue Reading

Bomb Blast (again) Here ..

jw marrot bombingKemarin, Jumat tanggal 17 Juli 2009 Jakarta kembali diguncang bom di Ritz Carlton & (again) JW Marriot. Kebetulan saya waktu itu sudah di kantor siap dengan aktivitas kerja saya. Jelas kagetlah. SMS dari rumah langsung sampai, menanyakan kabar & kondisi saya, apakah baik-baik saja. Tak heran karena lokasi kantor saya hampir berdekatan dengan 2 lokasi itu (terutama JW marriot). Kantor saya di Rasuna Said – Kuningan, sementara JW Marriot ada di lingkar Mega Kuningan , lumayan dekatlah. Kalau beberapa tahun lalu saya belum menjadi warga Jakarta & hanya tahu lokasinya lewat gambar di televisi & internet/surat kabar. Tapi sekarang, saya hampir  tiap hari melewati depan JW Marriot kalau pulang kantor (via belakang Ambassador Mall) & beberapa kali lewat depan Ritz Carlton kalau menghindari rute banjir di belakang kedubes daerah Jl. Denpasar.

Kalau ditanya apa perasaan saya sekarang, jujur saya ngeri, takut & paranoid. Ini adalah 2 tahun saya di Jakarta. Kalau soal musibah, terror, dll memang bisa terjadi dimana saja & kapan saja & bisa menimpa siapa saja. Justru itulah ngerinya. Bayangkan, setelah kondisi yang sudah lumayan kondusif setelah aksi terror bom di tahun 2003, lha kok ya sekarang ada bom lagi. Apakah masa kurang lebih 6 tahun tanpa kegiatan pengeboman itu sudah dianggap sebagai suatu kondisi aman? Jadi tingkat pengamanan mengendur? Entahlah..

Kalau mau jujur nih (semoga bisa jadi koreksi juga), saya sering mengalami & melihat dengan mata kepala sendiri adanya beberapa kelonggaran sistem pengawasan di beberapa gedung & mall,  seems they just did it cursory,  terkesan hanya sebagai formalitas memeriksa pengunjung beserta their luggage. Kalau pagi saya datang ke kantor  atau misal sore saya ke mall, sebelum masuk gedung seperti biasa pasti ada formalitas pengecekan tas dengan metal detector, tapi kadang juga banyak enggaknya tuh. Malah justru saya doang yang masuk via pintu metal detector  tas saya cuma di oper dari satu security ke security lainnya tidak dibuka, tidak di cek. Pernah saya justru yang memberikan tas saya buat diperiksa malah securitynya yang mempersilahkan saya masuk tanpa diperiksa.

Security : “masuk aja mbak gapapa..”
Saya : “emang udah ga diperiksa pakai di metal detector lagi ya pak?”
Security : “kadang masih pakai sih mbak.. cuma kalau pagi gini suka saya matikan, hemat baterei..”

Alamak.. hemat baterai katanya.. :O .Wah, longgar sekali ya pengawasan gedung-gedung di Jakarta kalau kaya gini caranya ya. Ok, saya tidak menggeneralisir  security treatment untuk para pengunjung tiap gedung/mall seperti itu. Yang saya khawatirkan justru ditengah lengahnya mereka inilah justru kondisi yang akan dimanfaatkan para bomber. Kita tidak menyangka kan kalau siapapun bisa “nyaru” jadi bomber? Buktinya saja mereka bisa nyaru jadi tamu di hotel, atau nyaru jadi pengunjung restoran.. nah apa bedanya dengan nyaru jadi karyawan gedung tertentu? Who knows? 😕

Di luar sana (entah), mungkin sang mastermind pengeboman ini sedang tertawa menepuk dada. Merasa rencananya telah berhasil. Kira-kira apa ya yang ada di otak mereka atau hatinya terbuat dari apa? Batu, semen, besi, atau apa? Dimana ya letak sisi manusianya? Gimana ya kalau salah satu diantara korban itu justru adalah keluarganya sendiri.. Nyawa kok dibuat mainan.. 🙁

Terlepas dari apapun motif & siapapun mastermind dibalik pengeboman itu (mau Al Qaeda & Jamaah Islamiyah network atau bahkan suspect lain diluar itu) , no more I can say.. Mengucapkan turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Mr. Tim MacKay beserta korban-korban lainnya, semoga arwah para korban diterima disisi Allah SWT & semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.. Semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini lagi ya Tuhan.. Amien ya rabbal alamien..

[devieriana]

gambar dari sini

Continue Reading

Coffee Giants ..

Kopi, siapa sih yang tidak kenal dengan minuman satu ini? Saya yang dulunya samasekali ga ngefans-ngefans amat sama minuman ini hanya karena efek yaang ditimbulkan bisa bikin saya melek u/mengerjakan hal-hal yang butuh konsentrasi akhirnya ya ngefans juga lama-lama.. tapi alhamdulillah sih ga sampe nyandu, cuma 1-2 cangkir sehari (kalaupun gak ada ya ga sampai nyandu).
*sambil nyeruput kopi anget-anget*

But anyway, saya bukan mau membahas tentang kesukaan saya minum kopi ya, tapi lebih ke pengamatan tentang Coffee Giants alias kedai kopi..

Starbucks, Cofee Bean, Cosi, AMT , siapa sih yang nggak kenal sama coffee giants lokal & internasional tadi? Tanpa bermaksud promosi, tanpa perlu membahas asal usul & kepemilikannya siapa kedai-kedai kopi tersebut, tapi.. pernah ga sih kita memperhatikan kenapa sih lokasi mereka mostly di mall atau daerah perkantoran? Atau kenapa sih mereka bisa mencharge harga segitu mahal hanya untuk segelas kopi? Apa iya karena kualitas kopinya, kelezatan kopinya, segmentasi pasar yang dibidik, atau karena apanya?

Beberapa alasan utama kenapa coffee giants bisa menge-charge harga segitu mahal untuk segelas kopi sebenarnya bukan karena kualitas kopinya. Memang menurut sebagian besar orang mengatakan memang rasa kopi mereka itu enak. Tapi apa iya enaknya itu pantas dihargai Rp 50.000,-/gelas?

Kalau kita lihat lebih cermat, maka kita akan tahu bahwa terjadi perubahan value. Contohnya begini, biji kopi yang sudah diolah melalui proses manufaktur dan diberi kemasan dengan label tertentu akan menjadi lebih tinggi nilainya dibanding dengan ketika dia masih dalam kondisi biji kopi mentah. Namun ketika proses membuatnya menjadi secangkir kopi yang cepat saji tentu kita dibantu oleh layanan coffee giants (kedai kopi) yang mengedepankan layanan praktis serba instan atau cepat saji, jadi tentu ada harga tambahan yang harus kita bayarkan untuk itu bukan? Lalu bagaimana dengan Starbucks yang dapat menjual dengan harga berkali lipat? Jawabannya sederhana, pertimbangannya adalah faktor branding & experience. Kebanyakan para customer salah satu alasannya mencari Experience. Kita akan dihadapkan pada faktor kenyamanan, gaya hidup/lifestyle dan bagian dari kelompok masyarakat yang ngetrend. Kita diajak untuk merasakan bahwa minum kopi bersama coffee giants macam mereka adalah sebuah pengalaman (experience). Intinya kita dibuat merasa berbeda. It’s not just coffee. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan.

Trus, kenapa lokasi coffee bar itu mostly ada di mall atau daerah perkantoran? kenapa ga dipinggir sawah atau empang misalnya? Nah itu karena ada pertimbangan pemilihan lokasi tadi. Para coffee giants itu berhasil me-repackage kopi menjadi kultur yang hip dengan penempatan lokasi yang tepat. Ya karena disini, orang-orang sibuk kaya kita (eh, kita orang sibuk ya? *bletak*) mayoritas tidak peduli masalah harga karena yang terpenting adalah fast served coffee to feed our caffeine addiction..

Hmm, kalau menurut saya sih ngupi di mall bukan hanya sebagai kebutuhan tapi sudah menjadi gaya hidup kaum urban.. Nah kalau saya sendiri malah lebih seneng ngupi-ngupi bikinan sendiri (beli product-product kemasan instant), nggak perlu keluar duit mahal-mahal hanya untuk secangkir kopi. Bisa bikin kapanpun saya mau & berapa cangkir yang saya pengen minum..  😀

Continue Reading

Panggil aku, "Nduk" ..

Sebagai orang Jawa tulen logat bicara saya ada kecenderungan masih medok  walau sudah tinggal di Jakarta (apalagi kalo ketemu sesama orang Jawa atau Suroboyo disini, wah bisa lupa kalau sudah tinggal di Jakarta, hahaha..) . Apalagi kalau sudah cerita atau ngobrol saya tuh orangnya cenderung ekspresif, jadi suka ga ngerasa kalau sudah ngomong pakai bahasa jargon Misal : mak pecungul, mak bedunduk, ndilalah, & bahasa-bahasa hiperbola lainnya seperti : wih buesaar, guedhe, luebar, juauuh.. Padahal kalau diucapkan biasa aja sudah mewakili sifat kata yang dimaksud kok, hahahaha. Eh, emang kenapa sih kalau tinggal di Jakarta? Ga boleh ngomong medok gitu? Bukan, suka disepak suami aja kalau saya ngomongnya Jawa banget (lah gimana sih, lagi pingsan apa? kok ga nyadar kalau istrinya Jawa tulen?) *nguleg gado-gado*.

Sambil becanda pernah suami bilang :

Suami : ” Idih, jangan medok-medok gitu napa kalau lagi di Grand Indonesia atau Sency gini..”

Saya : “oh, bolehnya kapan & dimana? mallnya beda ya kalo mau ngomong Jawa? aku tak ke Suriname aja ya..”

suami sih ketawa aja, kebetulan saya orangnya suka becanda  *sambil nyisir poni*

Nah salah satu kebiasan yang masih belum hilang adalah kebiasaan manggil temen/anak buah yang lebih muda dengan sebutan “Nduk” (dari bahasa Jawa, sebutan untuk anak perempuan). Padahal kalau di rumah saya malah gak pernah dipanggil dengan sebutan itu lho. Bukan sok tua atau mau sok “njawani”, tapi itu kata-kata itu selalu spontan terucap ketika menyapa/bertanya/ngajak ngobrol temen/anak buah yang usianya di bawah saya. Gak peduli dari suku apa, asalnya dari mana. Toh malah mereka seneng banget di panggil dengan sebutan “Nduk”. Ini khusus perempuan lho ya.. gak menggeneralisir semua lantas saya panggil Nduk-lah

*ditimpuk rantang*.

Lagian saya juga sering dipanggil “mami” sama mereka karena ya saya leadernya mereka. Hmm, jadi pengen “ngejual” nih kalau dipanggil mami, hahaha.. 😀   *tersenyum culas*

Uniknya tiap kali saya panggil “Nduk” bukannya protes malah seneng. Katanya, “aku suka deh kalo mami panggil aku”nduk”, kaya panggilan sayang ibu ke anaknya gitu..”, atau “aku udah lama ga dipanggil ibuku dengan sebutan itu, selalu panggil nama. Padahal aku seneng banget kalau ibu panggil aku “nduk” lagi kaya dulu..”.

Yang mengharukan itu kemarin sore, pas saya lagi ngobrol dengan salah satu anak baru under saya  :

Saya : “kamu di jemput suami jam berapa Nduk?”
Anak Baru : ” (lepas headset) .. Jam 6 mbak. Mmmh, mbak Devi.. makasih ya, aku suka deh mbak panggil aku Nduk.. aku udah lama ga dipanggil itu mbak.. Jadi kangen sama ibuku..”
Saya : “oh ya? emang ibu dimana tho nduk?”
Anak Baru : “mmh.. ibu udah meninggal mbak beberapa bulan yang lalu.. hanya ibu yang panggil aku dengan sebutan Nduk. jadi kangen sama ibu nih mbak.. 🙁 “

DEGH.. mendadak mata saya agak burem. Lha kok dia juga menyusut airmatanya.. Speechless..  :((

Kata-kata yang buat saya hanya sekedar sapaan belaka ternyata buat sebagian anak saya malah jadi sapaan favorit karena dianggap sebagai sapaan yang meneduhkan.. *mendadak jadi pohon*

Panggilan yang bagus kepada orang lain (apapun itu) kalau kita ucapkan dengan tulus pasti juga bisa keliatan kok..  😉

gambar dari sini

Continue Reading