Entah sejak kapan pastinya saya mulai peduli dengan kekerasan pada anak (child abuse). Apakah sejak saya mulai membaca trilogi kisah nyata David Pelzer True Story (A Child Called It, The Lost Boy, A Man Named Dave) & buku-buku karya Torey Haydens & perjuangannya melawan child abuse via autumn campaign “Talk Till It Stops”.
Di satu sisi saya merasa sangat bersyukur terlahir di tengah keluarga yang harmonis & hangat. Kalaupun saya pernah dijewer atau dicubit masih dalam skala yang wajar, tidak sampai yang sampai saya mengalami trauma akibat child abuse-lah. Masih ingat dalam memory saya, ketika masih kecil melihat betapa Papa sangat menyesal telah memarahi & membuat saya menangis. Masih saya ingat juga ketika malamnya setelah kejadian itu Papa mendekati tempat tidur saya & menyangka saya sudah lelap (padahal pura-pura tidur), Papa mengucap maaf sambil mengecup kening saya sambil berbisik, “Wuk, maafin Papa karena udah bentak kamu tadi ya..” (tiwuk itu panggilan sayangnya Papa/Mama ke saya & adik perempuan saya). Saya hanya bisa pura-pura tidur dengan posisi diam padahal sudah mau nangis dari tadi. Begitu Papa keluar kamar.. langsung deh nangis bombay :((
Anak-anak hanya makhluk lugu tak berdosa yang tak berhak mendapatkan penyiksaan dalam bentuk apapun dari orang dewasa di sekitarnya. Baik itu berupa kata-kata (pelecehan secara verbal), maupun siksaan secara fisik. Apalagi jika ditinjau dari data di Media Indonesia menyebutkan tingkat kasus kekerasan pada anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun sebagaimana anomali sosial yang muncul di masyarakat, daari sedemikian banyaknya data diatas itu hanyalah “tip of an iceberg”, artinya dari data tersebut sebenarnya ada ribuan (atau bahkan lebih) kekerasan yang tak terungkap atau sengaja ditutupi oleh pelaku maupun korban child abuse. Dengan banyaknya kasus kekerasan pada anak yang tidak terungkap ini seolah-olah kotak pandora kekerasan tertutup rapat. Sebab pelaku tindak kekerasan tersebut seringkali justru adalah orang-orang terdekat dari para korban. Seperti misalnya, orang tua (ayah dan ibu), dan kerabat dekat (paman, bibi, kakek, nenek dan kakak), atau bahkan orang yang tidak dikenal.
Beberapa hari yang lalu malah sempat lihat tayangan di televisi yang mengabarkan ada seorang balita yang meninggal akibat dihajar oleh ayah tirinya. Masyaallah.. sudah separah itukah kenakalan yang dilakukan si anak sampai tega-teganya si ayah menghakimi anak tirinya yang masih balita? Ada juga berita tentang seroang anak yang hanya gara-gara tidak mendengar ketika ayahnya memanggil langsung disiram kopi panas & dihajar hingga babak belur.
Kok mereka gak sadar ya, bahwa sesungguhnya anak yang tinggal bersama mereka hanya titipan? Seharusnya meereka banyak bersyukur telah dikaruniai keturunan, seharusnya mereka melihat begitu banyak orangtua di luar sana yang belum dikaruniai keturunan. Mengapa yang sudah diberikan keturunan kok malah menyiksa titipan-Nya? Analoginya, kita ke supermarket, kita titip helm & jaket ke petugas penitipan barang. Apa iya petugasnya berhak untuk merusak barang yang kita titipkan? Enggak kan?
Sebagaimana salah satu puisi Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu bukan anakmu” :
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu, curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya,
karena jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
Karena kita juga tidak ingin mengalami kondisi seperti apa yang dikatakan oleh Freud (ahli psikologi analis) : pengalaman traumatis yang dialami seseorang akan tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang, dan dalam kondisi tertekan akan menciptakan perilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya.
Hargailah nyawa & hidup mereka sebagaimana para orangtua kita menghargai nyawa & merawat kita dengan segenap jiwa. Kita tidak pernah tahu nasib apa yang akan kita lalui kedepannya, siapa tahu mungkin justru kita akan bergantung padanya ketika usia kita mulai senja.
gambar ngambil dari sini