Saya tidak punya harga diri ..

 

critic

 

 

Sekali lagi kita akan bicara tentang KRITIK. Semakin mendekati pemilu tgl 9 April 2009 rasanya suhu politik di negara kita makin memanas dari hari ke hari. Tak heran jika ada “perang” komentar tentang pengakuan kehebatan masing-masing calon presiden kian santer terdengar. Seperti halnya beberapa waktu yang lalu saat melihat tayangan di televisi plus membaca ulasan di forum detik tentang kritikan Megawati Soekarnoputri terhadap kepemimpinan SBY, utamanya tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hmm, kok saya rasakan beliau terlalu berlebihan ya. Disini saya tidak bermaksud membela atau menyudutkan siapapun, kebetulan saya juga bukan simpatisan 2 partai yang sedang saya bicarakan ini  🙂 .

 

Berikut cuplikan orasi beliau :

“Apa artinya 220 ribu kalau hanya untuk dempet-dempetan? Hei ibu-ibu, apa artinya 200 ribu yang ibu-ibu tunjukkan pada anak-anaknya bahwa ibunya tidak punya harga diri dan kepribadian.”

 

Kok miris ya saya dengernya. Perlu ya sampai beliau berkata seperti itu di depan rakyat yang notabene calon pemilihnya? Lagi-lagi yang disinggung adalah masalah BLT. Sekali lagi topik yang selalu mengandung pro-kontra.

 

Sebagian mengatakan program BLT sangat tidak efektif karena masih banyak rakyat yang tidak kebagian, proses pemberian BLT yang masih kisruh, masih adanya pungli oleh oknum RT/RW setempat, BLT adalah program yang kurang mendidik karena menjadikan warganya malas, kurang mau berusaha, bergantung kepada orang lain.

 

Versi yang lain, dengan melihat segala keterbatasan yang dimiliki masyarakat kita yang notabene tidak 100% orang mampu, wajar kiranya pemerintah memberikan bantuan tunai kepada rakyat miskin dengan contoh seorang nenek tua yang hidup bersama 2 cucunya, yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja dengan program padat karya. Ibu seperti inilah yang dikatakan butuh diberi ikan, bukan kail. Tapi bagi yang sudah memiliki kail, ya tinggal kembangkan saja usahanya dengan program usaha kecil mandiri. Bagi orang kaya & tidak pernah merasakan kemiskinan, uang 200 ribu memang kecil, tapi coba bandingkan dengan mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan akan sangat berarti.

 

Ukuran harga diri juga bukan hanya dilihat apakah dia menerima BLT atau tidak. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan ukuran. Dari apa yang pernah saya baca, sebenarnya yang ingin di highlight pemerintahan SBY dengan adanya BLT ini adalah membangun kembali kepekaan nurani sebagai sesama manusia yang sudah (bisa dikatakan) hilang dari budaya masyarakat Indonesia. Pemberian BLT hanya merupakan salah satu langkah awal dari serangkaian program yang sudah direncanakan dan tentunya memiliki kohesi alias keterkaitan dengan aspek lainnya. 

 

Sebelum kita melebar kemana-mana, yuk kita kembali lag ke masalah kritik tadi. Inti yang ingin saya angkat disini adalah, sebelum mengkritisi pihak lain, akan lebih bijaksana jika pihak Megawati juga mulai berbenah diri, memperbaiki kekurangan di sana-sini, daripada mengumbar kekurangan & aib pihak lain. Karena jika dirunut ke belakang, pada masa kepemimpinan beliau, track record beliau pun sebenarnya juga masih jauh untuk dikatakan excellent, masih banyak raport merah yang perlu diperbaiki. Berkaca akan kemampuan diri sendiri, itu yang saya rasa jauh lebih penting dilakukan Megawati daripada umbar kritik sana-sini. Jika saya boleh beranalogi, rakyat itu ibarat pasir, dan presiden adalah orang yang memindahkan pasir ke suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan tangan. Wajar jika masih ada yang tercecer disana-sini.

 

Terlepas dari siapakah yang akan menjadi presidennya nanti berpositif thinking saya rasa akan lebih memberikan aura positif bagi perkembangan dinamika politik di negara kita. Jadi ingat perbincangan dengan sahabat saya kemarin pagi.  Di Jepang system is working perfectly, karena system dan aturan main yang dikejar bukan figur. Mereka tidak pernah meributkan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Karena apa? sudah ada tatanan sistem kenegaraan yang pakem yang sudah dijalankan dari pemimpin ke pemimpin berikutnya. Jadi siapapun yang akan memimpin nantinya tinggal menjalankan sistem yang sudah ada. nah kalau kita? Ribuuut melulu, kritik-kritikan. Kapan jadinya si system itu tadi..  🙁

 

Seperti yang pernah saya katakan di tulisan saya sebelumnya,  “Kita memang selalu melihat lebih jelas kearah kesalahan orang lain, dibandingkan kesalahan kita sendiri. Lampu sorot untuk orang lain, sedangkan lilin redup untuk diri sendiri. Untuk orang lain, sedapat mungkin kita gunakan kata : “lah, harusnya kan dia…” . Sedangkan untuk diri sendiri : “ya gimana lagi aku kan…”.
Menjelek-jelekan pendahulu itu tidak menjadikan diri orang yang menjelekkan itu lebih baik.

 

Semoga bisa menjadikan koreksi untuk semua pihak. Memberikan kritikan, atau masukan buat orang lain itu perlu. Tapi lebih baik mengkoreksi diri sendiri sebelum melontarkan kritikan. Jangan sampai kita menjadi tuhan kecil yang menghakimi orang lain seenak perut.

 

Menjadi tua itu pasti, menjadi bijaksana itu pilihan..

 

 

 

 

 

 

Continue Reading