Belilah Suara Saya ..

100_8987Fenomena yang “jamak & wajar” yang terjadi menjelang pemilu adalah jual beli suara. Sebenernya sih dibilang wajar ya gak wajarlah, tapi itulah saya sebut “wajar” karena hampir semua ngelakuin hal ini. Setiap partai beserta kader & tim pemenangan pemilu mulai mendekati calon pemilih dengan membawa janji-janji & tentu saja “sogokan” berupa materi , macam : sembako, uang, atau barang-barang lainnya. Mereka apa ya gak mikir ya, kalau rakyat itu sudah mulai pinter, sudah mulai bisa mengkritisi, sudah bisa menentukan mana yang akan jadi pilihan hatinya ketika pemilu..

Kasus menggelikan terjadi pada ibu salah satu teman saya. Seminggu sebelum pemilu sang kader sudah ngider keliling kampung membagikan sembako, jilbab, uang, atau barang-barang lainnya. Ya tentu saja semua diterima dengan suka cita oleh penduduk, wong gratisan, lagian juga belum tentu setahun sekali seperti ini kan? mungkin gitu pikir mereka ya.. Sudah barang tentu bingkisan-bingkisan itu pasti diselipi nama partai & caleg mana yang harus dipilih tgl 9 April 2009 nanti.

Nah ketika setelah mencontreng, lucunya sore harinya si ibu direview, ditanya ulang oleh si pemberi bingkisan  :

“Bu, tadi ibu kan ikut pemilu, tadi nyontreng partai apa? kan ibu udah kita kasih jilbab””ya partai X dong..”

“siiip, bagus deh, makasih ya bu..”

15 menit kemudian, si ibu didatangi lagi oleh kader partai Y :

“bu, tadi ibu ga lupa contreng partai A kan?””ya enggaklah, kan udah dikasih sembako..”


Sampai sore masih ada yang tanya-tanya begitu, padahal si ibu ngaku sama saya :

“Ibu tuh ya mo dikasih apa-apa mah terima aja, namanya juga dikasih ya. Soal di bilik mo nyontreng apaan kan terserah saya ya.. Ibu tadi nyontreng caleg partai Z, heheheh..”.

Partai yang samasekali diluar yang ngasih-ngasih itu.. hahahaha.. ngakak gueeeeee…..   😀

nah lho.. Mubadzir, mubadzir semua daah..   🙂

Continue Reading

Saatnya kita tebar pesona !!

 

 

Tragedi Situ Gintung 27 Maret 2009 selain menorehkan luka mendalam bagi para korbannya, sekaligus membuka celah sebagai ajang kampanye para politikus & calon anggota legislatif. Betapa tidak, membaca sebuah tulisan yang dilansir harian Kompas, Sabtu 28 Maret 2009 lali, seolah bantuan yang didirikan diosana penuh dengan muatan politiknya ketimbang kemanusiaannya.

 

Berikut petikan sebuah doalog caleg dengan kader partainya saat berbicara di ponselnya : “bagaimana, apa sudaah ada wartawan disana? Kalau sudah, sembakonya kita bagikan saja”.

 

WEEEKKKSS?! Mulia sekali ya caleg kita 1 ini? Ditengah kesulitan seperti ini masih saja berpikir untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan bantuan kemanusiaan untuk para korban Situ Gintung.. Genius!! Mereka datang bak pahlawan, bersama-sama merasakan kesedihan & kesulitan para korban & mendirikan posko-posko, tapi teteup ya.. bertuliskan : nama partai, lengkap dengan nama & nomor urut caleg..

 

Sebenarnya gejala ini sudah diperkirakan banyak pihak. Bukan hanya caaleg, tapi juga semua pihak yangs ekarang lagi hiruk-pikuk berkampanye, terjun langsung membagikan sembako, ambulance, posko-posko bantuan, alat-alat kesehatan, dll. Di 1 sisi bagus, karena sesama manusia harus saling membantu. Tapi jika niat mulia itu ditunggangi dengan kepentingan politik & pribadi.. Masih bisakah itu disebut perbuatan mulia?

 

.. Wallahualam ..

Continue Reading

Saya tidak punya harga diri ..

 

critic

 

 

Sekali lagi kita akan bicara tentang KRITIK. Semakin mendekati pemilu tgl 9 April 2009 rasanya suhu politik di negara kita makin memanas dari hari ke hari. Tak heran jika ada “perang” komentar tentang pengakuan kehebatan masing-masing calon presiden kian santer terdengar. Seperti halnya beberapa waktu yang lalu saat melihat tayangan di televisi plus membaca ulasan di forum detik tentang kritikan Megawati Soekarnoputri terhadap kepemimpinan SBY, utamanya tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hmm, kok saya rasakan beliau terlalu berlebihan ya. Disini saya tidak bermaksud membela atau menyudutkan siapapun, kebetulan saya juga bukan simpatisan 2 partai yang sedang saya bicarakan ini  🙂 .

 

Berikut cuplikan orasi beliau :

“Apa artinya 220 ribu kalau hanya untuk dempet-dempetan? Hei ibu-ibu, apa artinya 200 ribu yang ibu-ibu tunjukkan pada anak-anaknya bahwa ibunya tidak punya harga diri dan kepribadian.”

 

Kok miris ya saya dengernya. Perlu ya sampai beliau berkata seperti itu di depan rakyat yang notabene calon pemilihnya? Lagi-lagi yang disinggung adalah masalah BLT. Sekali lagi topik yang selalu mengandung pro-kontra.

 

Sebagian mengatakan program BLT sangat tidak efektif karena masih banyak rakyat yang tidak kebagian, proses pemberian BLT yang masih kisruh, masih adanya pungli oleh oknum RT/RW setempat, BLT adalah program yang kurang mendidik karena menjadikan warganya malas, kurang mau berusaha, bergantung kepada orang lain.

 

Versi yang lain, dengan melihat segala keterbatasan yang dimiliki masyarakat kita yang notabene tidak 100% orang mampu, wajar kiranya pemerintah memberikan bantuan tunai kepada rakyat miskin dengan contoh seorang nenek tua yang hidup bersama 2 cucunya, yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja dengan program padat karya. Ibu seperti inilah yang dikatakan butuh diberi ikan, bukan kail. Tapi bagi yang sudah memiliki kail, ya tinggal kembangkan saja usahanya dengan program usaha kecil mandiri. Bagi orang kaya & tidak pernah merasakan kemiskinan, uang 200 ribu memang kecil, tapi coba bandingkan dengan mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan akan sangat berarti.

 

Ukuran harga diri juga bukan hanya dilihat apakah dia menerima BLT atau tidak. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan ukuran. Dari apa yang pernah saya baca, sebenarnya yang ingin di highlight pemerintahan SBY dengan adanya BLT ini adalah membangun kembali kepekaan nurani sebagai sesama manusia yang sudah (bisa dikatakan) hilang dari budaya masyarakat Indonesia. Pemberian BLT hanya merupakan salah satu langkah awal dari serangkaian program yang sudah direncanakan dan tentunya memiliki kohesi alias keterkaitan dengan aspek lainnya. 

 

Sebelum kita melebar kemana-mana, yuk kita kembali lag ke masalah kritik tadi. Inti yang ingin saya angkat disini adalah, sebelum mengkritisi pihak lain, akan lebih bijaksana jika pihak Megawati juga mulai berbenah diri, memperbaiki kekurangan di sana-sini, daripada mengumbar kekurangan & aib pihak lain. Karena jika dirunut ke belakang, pada masa kepemimpinan beliau, track record beliau pun sebenarnya juga masih jauh untuk dikatakan excellent, masih banyak raport merah yang perlu diperbaiki. Berkaca akan kemampuan diri sendiri, itu yang saya rasa jauh lebih penting dilakukan Megawati daripada umbar kritik sana-sini. Jika saya boleh beranalogi, rakyat itu ibarat pasir, dan presiden adalah orang yang memindahkan pasir ke suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan tangan. Wajar jika masih ada yang tercecer disana-sini.

 

Terlepas dari siapakah yang akan menjadi presidennya nanti berpositif thinking saya rasa akan lebih memberikan aura positif bagi perkembangan dinamika politik di negara kita. Jadi ingat perbincangan dengan sahabat saya kemarin pagi.  Di Jepang system is working perfectly, karena system dan aturan main yang dikejar bukan figur. Mereka tidak pernah meributkan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Karena apa? sudah ada tatanan sistem kenegaraan yang pakem yang sudah dijalankan dari pemimpin ke pemimpin berikutnya. Jadi siapapun yang akan memimpin nantinya tinggal menjalankan sistem yang sudah ada. nah kalau kita? Ribuuut melulu, kritik-kritikan. Kapan jadinya si system itu tadi..  🙁

 

Seperti yang pernah saya katakan di tulisan saya sebelumnya,  “Kita memang selalu melihat lebih jelas kearah kesalahan orang lain, dibandingkan kesalahan kita sendiri. Lampu sorot untuk orang lain, sedangkan lilin redup untuk diri sendiri. Untuk orang lain, sedapat mungkin kita gunakan kata : “lah, harusnya kan dia…” . Sedangkan untuk diri sendiri : “ya gimana lagi aku kan…”.
Menjelek-jelekan pendahulu itu tidak menjadikan diri orang yang menjelekkan itu lebih baik.

 

Semoga bisa menjadikan koreksi untuk semua pihak. Memberikan kritikan, atau masukan buat orang lain itu perlu. Tapi lebih baik mengkoreksi diri sendiri sebelum melontarkan kritikan. Jangan sampai kita menjadi tuhan kecil yang menghakimi orang lain seenak perut.

 

Menjadi tua itu pasti, menjadi bijaksana itu pilihan..

 

 

 

 

 

 

Continue Reading

Caleg : Sebuah fenomena menuju Senayan

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membahas tentang pertanyaan menggelitik yang pernah dilontarkan kepada saya oleh sbeberapa orang  sahabat.. “kamu ga daftar jadi caleg?”. Woohhoooww.. pertanyaan yang sederhana tapi cukup menggelitik saya. Caleg? wah kepikiran aja enggak..  . Beneran..

Kenapa saya kurang tertarik ikut-ikutan daftar menjadi caleg :

1. Dana menjadi caleg itu sangan besar. Dari apa yang pernah saya baca : “Berbeda dengan tahun 2004, dimana untuk mendapatkan sebuah kursi seseorang lebih mengandalkan investasi ke partai (suara partai), sekarang dengan mekanisme suara terbanyak, otomatis para caleg harus mengeluarkan dana ekstra. Selain “dana pendaftaran” khusus ke partai, mereka harus menyiapkan sejumlah dana ekstra untuk mempopulerkan diri mereka masing-masing ke publik alias kampanye. Dari dialog-dialog di sejumlah media televisi (termasuk pengakuan), biaya rata-rata yang dikeluarkan seseorang untuk pemilu 2009 berkisar antara 200 juta hingga 1.5 miliar –> angka yang cukup fantastis bukan? . Namun, dengan dana besar belum tentu juga si caleg akan terpilih –> alasan utama  yang cukup kuat kbuat saya an? tidak ada dana.. hehehehehe…

2. Saya belum sanggup kalau sampai harus kalah sebelum pemilihan. Iya lho, masih ingat kan calon bupati Ponorogo 2005-2010 yang masuk rumah sakit jiwa setelah gagal merebut kursi bupati padahal telah mengeluarkan miliaran rupiah. Tragis banget kan? .Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dan peluang kemenangan kecil, tidak tertutup kemungkinan mereka yang kalah dalam pemilu akan stress, depresi, tekanan jiwa hingga sakit jiwa, serem ih —> makanya mending saya menikmati pekerjaan saya yang sekarang aja dululah 

3. Memang enak sih dapat gaji besar, api tanggung jawabnya juga besar, saya belum siap memikul beban tanggung jawab yang mengandung moral seperti itu. Lagipula politik bukan major of interest saya. Cukup sadar diri saya untuk tidak ikut latah berpoliitk sementara kemampuan saya pas-pasan

Semalam saat saya menonton acara Bukan 4 Mata-nya Tukul Arwana yang menghadirkan bintang tamu seorang caleg yang berasal dari Jawa Tengah yang kesehariannya berprofesi sebagai penjual sate. Waktu ditanya apa mostivasinya menjadi caleg, jawabannya pun cukup menggelitik, “katanya gaji anggota legislatif itu besar, makanya saya pengen ikut mencalonkan diri jadi caleg. Pengen membuktikan bener apa enggak”. Sontak sayapun jadi tercenung.. speechless, ga bisa ngomong . Jadi motivasi jadi anggota legislatif cuma pengen membuktikan apa benar gaji anggota legislatif itu besar/tidak? Alasan yang menurut saya “unik”. Tadi pagi sempat membaca sebuah blog yang lagi-lagi cukup menggelitik tentang blog yang dibuat oleh seorang penulis yang juga seorang TKI di Singapura yang melontarkan beberapa pertanyaan dalam blognya untuk disebarluaskan di milist, email, facebook untuk mengetahui sampai sejauh mana jawaban seorang caleg dalam membahas :

1. Isu TKW yang disiksa di luar negeri & Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Question: Apa langkah kongkrit yang akan anda lakukan untuk mengurangi tingkat penyiksaan terhadap TKW/TKI di luar negeri

2. Isu Kualitas TKW yang akan dikirim ke luar negeri
Question: Apa langkah kongkrit caleg untuk mendorong pemerintah meningkatkan kualitas TKI yang akan dikirim?

3. Isu Perlindungan TKW di Bandara
Question: Apa langkah kongkret dan langkah hukum yang anda akan tempuh sebagai caleg kita, untuk menghilangkan praktek ini? karena cukup menyedihkan.

4. Isu Penindasan/Diskriminasi TKI di Luar Negeri
Question: Apa langkah kongkrit yang akan anda lakukan untuk mengurangi tingkat penindasan terhadap TKW/TKI di luar negeri?
Singkatnya, banyak dari kami yang di luar negeri kerja dibayar murah, kerja disiksa dan pulang diperas. Sebagai caleg LN, apa program kerja anda untuk membantu kondisi ini?

Yang membuat saya melongo adalah ketika caleg-caleg tersebut dikonfirmasi, malah ada yang menjawab santai :

Setya Dharma Pelawi dengan facebook link :
http://www.new.facebook.com/profile.php?id=1558223713

Jawaban yang diberikan si caleg cukup bikin si penulis naik darah..

“Terima kasih nanti kt berFB ria ya. Skrg lagi sibuk Kampanye….

ahuahahahahaha.. ngakak saya bacanya . OMG, caleg kok shallow banget sih menjawabnya? Wakil rakyat kalau kerjaannya main facebook, apa iya masalah rakyat bisa terselesaikan? Please deh pak..

Dan di counter dengan lugas oleh si pemilik blog, Adhitya Mulya :

“Pak, ini juga bagian dari kampanye. karena bapak gak mungkin kampanye ke luar negeri maka bapak jawab pertanyaan ini melalui email. Masak iya bapak tidak menganggap kami yang TKI luar negeri ini sebagai orang yang penting? Kami kan yang akan nyoblos bapak. Bukan hanya orang-orang di Indonesia.

Adhitya Mulya : dari sini tidak banyak yang bisa kita simpulkan. Kecuali kejelasan bahwa pertanyaan sepanjang itu masih caleg ini anggap sebagai “berfacebook ria” dan bahwa dia gak punya cukup waktu untuk jawab 4 pertanyaan hidup matinya TKI, karena dia lagi kampanye. Di Indonesia. Genius!

Balasan dari beliau:

Saya kemarin bicara tentang TKI Liat Kompas Rabu sebelum ini….

Balasan dari Adhitya Mulya :
Apakah bapak menyuruh kami untuk baca kompasnya? masalahnya kami-kami 6 juta orang yang tinggal di luar negeri tidak memiliki akses pada kompas kan pak.
rgds.

Balasan dari beliau:

Perlindungan kontrit pada TKI yang perlu. BNP2TKI tiadak serius mengerjakan perlindungan…..


Nenek-nenek juga tau Pak. ”

hyahahahaha.. Sumpah, saya ngakak sampai guling-guling bacanya.. . Ya memang, tidak semua caleg se-shallow itu, saya yakin di luar sana juga banyak caleg-caleg berkualitas. Masa iya diantara total 12.000 total caleg se Indonesia shallow semua kaya caleg 1 itu?

Masih dari blog yang sama menyimpulkan :

” Semua caleg bisa dan sudah bilang hal hal seperti:

‘menurut saya sebaiknya pemerintah….’
‘harus dibentuk sebuah badan….’
‘polisi harus….’

Sebaik apa pun itu, itu baru sebatas pendapat. Baru sebatas mengharuskan pihak lain bekerja lebih baik. Belum ke tahap:

“Saya akan golkan skema dan strategi A B C dan saya akan paksakan pemerintah mengeksekusinya,…”

Indonesia gak pernah maju karena pola pikir badan legislatif salah. Anggota DPR sering hanya menjadi penonton di pinggir lapangan dan mengritik pemerintah atas setiap eksekusi yang pemerintah lakukan. Ini yang saya dapatkan dari banyak caleg, termasuk sedikit dari bapak.

Padahal pemerintah hanya badan eksekutif. Hanya tangan. DPR sebagai otak seharusnya aktif merancang hukum, strategi dan skema yang menguntungkan rakyat dan memaksa pemerintah mengeksekusi hal-hal itu.

Ingat bahwa rakyat adalah hati,

DPR adalah otak yang mendengarkan hati

Pemerintah adalah tangan yang menggerakkan apa yang otak perintah.. “

It means tugas berat menanti para caleg, bisakah mereka bekerja seoptimal mungkin menyuarakan pihak-pihak yang sudah memberikan suaranya kepada mereka? Mmmh, memang faktor penarik terbesar bagi sebagian orang yang mendaftar menjadi caleg adalah besarnya gaji dan tunjangan yang diperoleh oleh tiap anggota dewan (meskipun sering bolos) . Andaikan gaji dan tunjangan anggota dewan dipotong jadi 75%, apa iya animo caleg sampai sebesar saat ini. Saya masih berkeyakinan bahwa masih banyak orang yang berkualitas yang memiliki motivasi mengabdi untuk negeri ini tanpa harus dibayar (gaji) mahal.

Uuukh, posting serius seperti ini ternyata mumet ya.. hehehehehehe..

Continue Reading