Meniti Kembali Perguruan Tinggi pada Usia Matang

Terinspirasi dari buku karya Rebecca Klein-Collins yang bertajuk “Never Too Late” The Adult Student’s Guide To College” sengaja saya memilih frasa “usia matang” untuk judul tulisan ini, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kuliah di usia yang tidak lagi muda membawa serta tantangan dan peluang yang unik. Frasa ini lebih menekankan pada kematangan, pengalaman, dan perspektif yang dibawa oleh individu yang kembali ke bangku kuliah setelah beberapa waktu, serta untuk menggambarkan bahwa pendidikan di tahap ini adalah keputusan yang diambil dengan penuh kesadaran dan tujuan. Ya selain alasan sebenarnya adalah supaya tidak terlalu terlihat usia uzur, sih.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi mereka yang berusia 20-an. Namun, sebenarnya tidak ada batasan usia yang tepat untuk memulai kuliah. Banyak orang memilih untuk melanjutkan pendidikan mereka di usia 30-an atau bahkan lebih. Alasan di balik keputusan ini pun beragam, mulai dari kebutuhan untuk memperluas keterampilan, mengubah arah karier, atau bahkan kuliah hanya untuk kepuasan pribadi atau mengisi waktu luang. 

Secara umum, tidak ada aturan yang mengikat mengenai batasan usia untuk pendidikan sarjana di Indonesia. Program S-1 didesain dengan sedemikian fleksibel sehingga memungkinkan mahasiswa memulai studi sesuai kemampuan masing-masing. Meskipun tidak diatur secara resmi, beberapa universitas menerapkan kebijakan usia. Universitas negeri biasanya membatasi usia maksimal hingga 21 tahun atau 3 tahun setelah lulus SMA/SMK/sederajat, sedangkan universitas swasta tidak menerapkan batasan usia.

Namun di Indonesia banyak sekali universitas yang membolehkan orang dengan usia berapapun untuk kuliah S1. Universitas Terbuka adalah salah satu yang tidak menerapkan batasan usia serupa. Dengan pendekatan yang inklusif terhadap usia, Universitas Terbuka memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pendidikan tinggi, tanpa terkekang oleh batasan usia yang mungkin diterapkan oleh universitas negeri maupun swasta di Indonesia, dengan syarat asalkan sanggup menjalaninya. 

Kuliah sambil bekerja atau berkeluarga memiliki tantangan tersendiri. Tantangan terbesar bagi mereka yang kuliah di usia matang adalah menyeimbangkan waktu antara kuliah, pekerjaan, dan tanggung jawab keluarga. Selain itu, perkembangan teknologi dan metode pembelajaran yang pesat bisa menjadi kendala bagi mereka yang sudah lama meninggalkan lingkungan akademik.

Jangan khawatir, kembali kuliah di usia matang justru menawarkan banyak peluang, lho. Dengan lebih banyak pengalaman hidup dan kerja, mereka cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa sih yang mereka inginkan dari pendidikan.ย Jadi, secara keseluruhan, kembali kuliah di usia matang dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga. Jadi meski ada tantangan yang harus dihadapi, namun manfaat dan peluang yang ditawarkan juga sangat signifikan.

Namun sebelum memutuskan untuk kuliah, ada baiknya menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut ini seperti โ€œapa sebenarnya tujuan saya kuliah? Apakah untuk pengembangan karier, memenuhi passion di bidang yang berbeda dari pekerjaan saya, atau sekadar mengisi waktu luang?โ€ Nah, kalau tujuan sudah jelas, baru deh kita pilih jurusan dan universitas yang sesuai dengan fleksibilitas kita; baik dari segi pendanaan, lokasi, maupun jenis perkuliahan (tatap muka langsung, hybrid, atau daring/online). Jika memilih kelas tatap muka, jangan lupa untuk memastikan tentang ada tidaknya kelas karyawan/ekstensi/non-reguler yang menawarkan perkuliahan malam atau akhir pekan agar tidak berbenturan dengan pekerjaan sehari-hari.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berkembang. Pesan saya, apapun bidang studi yang dipilih, semoga tidak memberikan tekanan berlebihan pada kesehatan, fokus, dan tanggung jawab sehari-hari kita baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di kantor, ya. 

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari collegetransfer.net

Continue Reading

Dongeng, kemewahan masa kecil

Surat untuk Takita @IDcerita ๐Ÿ™‚

Dear Takita,

Apa kabar, Sayang? Maafkan Kak Devi yang baru bisa menulis surat balasan buat kamu, ya. Tapi Kak Devi senang sekali mendapat undangan untuk menulis surat buat kamu.

Jauh sebelum Takita lahir, dongeng sudah menjadi salah satu hal yang akrab di masa kecil kakak dan kedua adik kakak. Bukan hanya dongeng yang diceritakan secara langsung oleh Papa, tapi juga melalui buku-buku dongeng untuk anak yang dibelikan oleh papa dan mama Kak Devi secara berkala. Ada buku dongeng cerita nusantara sampai dongeng anak sedunia. Mulai buku dongeng yang banyak tulisannya sampai yang banyak gambarnya. Bukan itu saja, papa/mama juga sering membelikan kaset Sanggar Cerita yang secara rutin akan diputar setiap hari Minggu pagi untuk membangunkan kami. Unik ya cara membangunkannya? ;))

Ada satu kebiasaan yang selalu papa lakukan sebelum kami berangkat tidur. Papa selalu menyempatkan diri untuk mendongeng. Padahal kakak tahu Papa juga pasti capek habis kerja seharian, bahkan kalau sudah capek banget kakak sering melihat papa ketiduran di kursi :(. Kasian sih, suka nggak tega kalau mau minta didongengi :(. Tapi ketika melihat semua usaha papa yang sedemikian rupa itu, akhirnya kakak sekarang mengerti bahwa mungkin itulah salah satu bentuk kasih sayang orang tua ke anaknya. Secapek apapun mereka, demi membahagiakan anaknya, mereka rela melakukan apapun :-s

Dongeng yang diceritakan pun bermacam-macam. Biasanya sih Papa baca dulu cerita yang mau diceritakan, tapi tak jarang juga mengarang indah ;)). Bahkan mengarangnya pun kadang terlalu kreatif. Uniknya, kalau sudah terlalu kreatif dan muncul pertanyaan-pertanyaan aneh dari kakak, pasti ending-nya menggantung. Dan kalau sudah menggantung itu artinya Papa kehabisan ide. Kalau sudah kehabisan ide biasanya muncul kata-kata begini, “ya udah kamu bobo dulu, lanjutannya besok, ya.” Lah, berasa nonton sinetron stripping, ya? ;))

Bukan hanya orangtua Kak Devi saja yang suka mendongeng, guru agama di SD kakak dulu juga sangat suka mendongeng. Sosok yang ramah, humoris, dan agamis itu menjadikan beliau sosok idola yang dekat dengan anak-anak namun juga disegani. Jam pelajaran beliau selalu menjadi jam pelajaran terfavorit, karena bukan hanya materi belajar mengajar saja yang akan kami dapatkan, tapi juga bonus dongeng mendidik sekaligus menghibur.

Entah ada hubungannya atau tidak, karena kesukaan kakak pada cerita/dongeng, membuat kakak berimajinasi ingin menulis cerita sendiri. Apalagi dulu papa/mama cuma membelikan buku dongeng sebulan sekali atau maksimal dua kali. Itu pun dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah habis kakak baca. Itulah kenapa Kakak akhirnya ingin membuat cerita sendiri, salah satunya supaya imajinasi kakak tersalurkan. Kakak tulis saja cerita di dalam buku tulis bergaris (biar tulisannya lurus, kalau nggak ada garisnya tulisan kakak suka naik-naik ke puncak gunung).

Cerita yang kakak tulis jenisnya bermacam-macam, ada yang cerita biasa, tapi ada juga yang jenisnya legenda. Kalau diingat-ingat aneh juga ya, masa legenda kok diciptakan sama anak usia 6 tahun? ;)). Masih ingat salah satu judul buku ciptaan kakak judulnya “Legenda Danau Semendung Rampang”, bhihihik ;)). Ceritanya tentang seorang anak yang dikutuk orangtuanya menjadi penghuni danau karena dia nggak nurut sama orangtuanya. Nggg… ya baiklah, nggak perlu dibahas ๐Ÿ˜

Biasanya kalau sudah jadi buku, kakak suka minta teman-teman kakak untuk membaca. Komentarnya ada yang bilang bagus, ada yang bilang aneh, ada juga yang nggak komentar aoa-apa. Mungkin karena saking ajaibnya cerita kakak, ya? ;)). Tapi justru dari situlah kakak belajar yang namanya apresiasi.

Makin kesini kakak merasakan ternyata ada banyak sekali manfaat dongeng. Apalagi setelah kakak ikut langsung dalam kegiatan @IDceritaJKT. Dongeng bukan hanya bertujuan untuk menghibur dan menjadi media pengantar tidur bagi anak semata. Tapi lebih dari itu, dongeng bermanfaat untuk mengasah imajinasi dan daya pikir anak, sentuhan paling manusiawi untuk menjalin komunikasi dan kedekatan emosional antara anak dan orang tua. Dan satu lagi dalam dongeng bisa diselipkan pesan moral dan etika tanpa anak merasa digurui.

Tapi terlepas dari itu semua, menurut kakak, peran serta orang tua dalam memilah materi dongeng juga sangat disarankan, lho. Karena tidak semua dongeng itu memiliki muatan cerita dan moral yang bagus.

Takita sayang, cukup sekian kisah kakak hari ini. Semoga nggak bosen bacanya, ya ;).

Teruntuk para ayah dan bunda, pertanyaan sederhana saja, sudahkah mendongeng untuk si kecil hari ini? ๐Ÿ˜‰

[devieriana]

ilustrasi Takita diambil dari

Continue Reading

#Bined03 : Bincang Santai Tapi Seru

“Mbak, jaga kesehatan ya, kan kamu hari Jumat ngemsi”, demikian bunyi BBM Kreshna siang hari seminggu sebelum acara Bincang Edukasi tanggal 30 September 2011. Sedikit menunjukkan perhatian, walaupun ada butuhnya disitu, dan saya pun mengiyakan. Toh saya juga tidak ingin mengecewakan sahabat saya itu dengan tampil buruk di muka audiens dia nanti. Uhuk! *batuk beneran*

Tapi apa daya, justru di hari Minggu, tepat beberapa hari sebelum acara Bincang Edukasi berlangsung saya justru mengalami radang tenggorokan dan dilanjutkan batuk hingga saya pun demam. Mungkin efek kecapekan juga, karena hampir tiap minggu nonstop sebelum acara saya tidak punya waktu untuk istirahat. Ada saja kegiatan yang membuat saya harus keluar rumah seharian. Efeknya saya pun ambruk. Sakit ini mungkin salah satu cara badan saya berkomunikasi dan minta waktu untuk istirahat.

Dengan segera saya menuju klinik di kantor (itu juga karena dipaksa sama sahabat saya yang satu lagi yang dengan setia hampir setiap jam mengontrol saya, sekadar bertanya apakah saya sudah ke klinik atau belum). Entahlah, kalau saya nggak segera ke klinik mungkin suara saya akan tetap seperti suara nenek sihir. Singkat cerita batuk saya pun mereda dan alhamdulillah tidak membatukkan diri selama saya memandu Bincang Edukasi malam itu hingga acara selesai. *sujud syukur*

Seperti Bincang Edukasi sebelumnya, acara kali ini masih diadakan di @atamerica – Pacific Place, dengan menghadirkan 5 pembicara yang merupakan praktisi pendidikan yang sangat berkompeten di bidangnya dan akan berbagi ilmu serta pengalaman-pengalaman mereka dalam durasi 17 menit. Dalam Bincang Edukasi Meetup #3 kali ini menghadirkan Novi Hardian, Lala Purwono, Petrus Briyanto Adi, Chandra Marsono, dan Najeela Shihab sebagai pembicara.

Acara dibuka oleh Mbak Adelaine dari @atamerica yang menjelaskan sedikit tentang @atamerica beserta program-program kegiatannya, baru setelah itu menyerahkan acara sepenuhnya pada saya.

It’s a show time!

*****

Sebagai pembicara pertama yaitu Mas Novi Hardian dari Sekolah Alam Indonesia. Mas Novi ini adalah Direktur Akademik di Sekolah Alam Indonesia. Malam itu beliau berbagi cerita tentang suka dukanya selama 10 tahun mengelola Sekolah Alam Indonesia.

“Kami memiliki mimpi kelak anak-anak yang bersekolah di Sekolah Alam Indonesia akan menjadi generasi yang memimpin,” demikian kata Mas Novi membuka paparannya malam itu.

Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah yg tidak hanya berbasis alam, tapi juga berbasis komunitas di mana yayasan, guru dan orang tua bertanggung jawab pada pelaksanaan pendidikan. Sekolah Alam Indonesia berdiri sejak tahun 1998 dan berlokasi di Ciganjur. Bisa dijumpai di situs http://sekolahalamindonesia.org.

Ada beberapa alasan mengapa dibentuk Sekolah Alam. Diantaranya adalah karena adanya keprihatinan akan kualitas hasil pendidikan nasional. Sekolah menjadi bisnis, sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal. Hubungan lembaga sekolah dengan orangtua siswa semakin tereduksi sebatas penjual jasa dan konsumen. Akibatnya, peran orangtua dalam pendidikan anak-anaknya pun semakin menyempit.

Beberapa alasan itulah yang menjadi landasan awal berdirinya Sekolah Alam. Sekolah Alam memberikan sebuah konsep pembelajaran yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar, sekaligus memanfaatkna kekuatan komunitas dalam menyelenggarakan pendidikan. Kenapa memilih alam? Karena alam menyediakan segala sesuatu yang bisa kita pelajari. Learning is fun, anytime, anywhere.

Dalam slide terebut Mas Novi menayangkan metamorfosa Sekolah Alam tahun 2001 hingga 2000. Sekolah Alam yang awalnya hanyalah sebuah bangunan sederhana diatas tanah rawa, pelan-pelan berubah menjadi sekolah dengan lingkungan yang hijau dan teduh. Para konseptor Sekolah Alam ini juga meyakini bahwa mutu pendidikan di Indonesia ditentukan oleh 3 faktor, yaitu guru yang berkualitas, metode pengajaran yang tepat, dan ketersediaan sumber-sumber ilmu.

Lalu, apa maksud sekolah yang berbasis komunitas? Tidak ada pemilik individual. Pemilik sekolah adalah semua pemangku berkepentingan. Siapa saja mereka? Mereka adalah guru, orangtua, karyawan, dan siswa. Penyelenggaraan pendidikan tidak berorientasi pada profit semata. Kalau boleh saya meminjam istilah Mas Novi, “pendidikan anak adalah fardhu ain yang dikerjakan secara berjamaah”. Tumbuh kembang sekolah adalah tanggung jawab bersama.

Di akhir paparan Mas Novi menyebutkan bahwa, pendidikan yang berkualitas bukan hanya untuk kalangan tertentu saja, tapi untuk semua. Setiap anak itu unik. Mereka punya potensi yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik sesuai dengan potensinya.

Ah, sudah selayaknya saya menjura dalam-dalam buat Mas Novi dan segenap pengajar di Sekolah Alam. Thumbs up! :-bd

 

*****

Malam itu praktisi homeschooling Mira Julia (bisa dijumpai di akun twitter @_lala_ ) menjadi pembicara yang kedua. Secara pribadi, ini adalah topik yang selalu mengulik rasa penasaran saya tentang bagaimana seorang anak bisa menjalani pendidikan yang maksimal di rumah. Mbak Mira Julia –yang akrab dipanggil Mbak Lala– membagikan tips dan pengalamannya tentang bagaimana beliau menggunakan konsep homeschooling sebagai cara untuk memberikan pendidikan bagi putranya sehingga mampu mengantarkan putra tercintanya lulus Ujian Nasional SD dengan hasil yang baik. Kuncinya adalah di konsep : belajar itu dilakukan karena membutuhkan dan menyukai.

Pendidikan itu identik dengan istilah belajar-mengajar. Menurut Mbak Lala ada dua perbedaan signifikan tentang cara pandang patut dicermati antara metode pengajaran sekolah dan homeschooling. Yang pertama, sekolah berpandangan bahwa anak itu ibarat kertas putih kosong yang harus diisi. Sementara cara pandang homeschooling adalah setiap anak terlahir jenius, tinggal kita sebagai pengajar dan orangtua yang menggali potensi anak. Jadi bukan hanya melulu menjejalkan materi, tapi juga mengeluarkan apa yang mereka miliki. Cara pandang berikutnya yang berbeda adalah di fokus pendidikan. Fokus sekolah adalah menjadikan anak pintar. Sedangkan homeschooling berfokus pada bagaimana menjadikan anak sebagai pembelajar mandiri. Oh ya, ternyata kebiasaan mengobrol dan bertukar pikiran (berdiskusi) dengan anak juga merupakan fondasi terbaik dalam pendidikan anak lho. Jadi, mulailah sering menjalin komunikasi dengan anak ๐Ÿ˜‰

Mbak Lala mengutip pernyataan Robert T. Kiyosaki, “arti kata Education dalam bahasa asalnya adalah Educare, yang artinya mengeluarkan”. Jadi, jika menilik arti kalimat yang dikemukakan oleh Robert T. Kiyosaki tersebut berarti konsep homeschooling ini sudah dalam konsep pengajaran yang sesuai.

Oh ya, ada hal menarik yang dikemukakan oleh Alvin Toffler, dalam slide yang dipaparkan oleh Mbak Lala itu menyebutkan bahwa yang dinamakan buta huruf abad ke-21 itu bukanlah orang yang tidak mampu membaca/menulis, tapi orang-orang yang tidak mampu melakukan learn, unlearn, dan relearn. Semoga kita bukan termasuk dalam golongan orang yang buta huruf itu ya :-s

Homeschooling membebaskan anak untuk mengeksplorasi dunianya. Namun lebih dari itu, homeschooling juga mengajak orangtua untuk ikut berperan aktif dalam kualitas pendidikan anak-anaknya. Karena seperti yang diutarakan oleh Naomi Aldort, seorang penulis buku parenting :

“Raising Our Children, raising ourselves..”

 

*****

Pembicara ketiga memberikan tema pembelajaran yang tak kalah menariknya dengan dua pembicara sebelumnya. Kali ini kita menghadirkan Mas Petrus Briyanto Adi yang bisa dijumpai di akun twitter @pbadi, lebih akrab dipanggil Adoy. Mas Adoy ini adalah produser, composer dan musisi band Cozy Street Corner. Dia juga composer, co-produser dan musisi di BONITA & the husBand. Kali ini Mas Adoy akan berbagi tentang Valuing Music Project. Penasaran kan apa itu Valuing Music Project? Sama, saya juga ๐Ÿ˜€

Mas Adoy membuka presentasinya dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul Rumah Temanku. Walaupun dibawakan secara sederhana tapi asli keren banget, suaranya itu lho meneduhkan (pohon kali’ teduh). Dia mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak musikal. Musikal artinya mampu menginderai dan merespon musik. Dia lalu meminta kita untuk memejamkan mata, membayangkan sebuah lagu yang paling berkesan dan paling kita ingat. Saya pun mulai memutar ingatan saya pada lagu Mama yang pernah dinyanyikan oleh Spice Girls. Lagu itu berkesan karena sangat “saya dan Mama” banget :D. Beberapa diantara kami ditanya apa lagu yang ada dalam benak kami dan sebutkan apa alasannya menyukai/mengingat lagu tersebut. Ternyata bisa ditarik kesimpulan bahwa musik itu bukanlah sebuah objek, melainkan experience. Setuju! ๐Ÿ˜‰

Tidaklah terlalu berlebihan jika ada yang mengatakan tanpa musik dunia akan hampa. Sama seperti hidup, peak experience atau tingkatan paling advance dalam musikal adalah fase ketika ketika kita bisa memberi makna dalam musik. Namun kenyataan yang ada di dunia pendidikan kita adalah ketika di sekolah murid diminta untuk hafal not, tahu hitungan, birama, dst. Yang intinya pendidikan musik itu tidak ada kaitannya dengan pengalaman. Hmm, atau mungkin maksudnya biar murid “melek” notasi dulu kali ya? CMIIW..

Mas Adoy mengatakan bahwa ada irisan antara musik dengan pendidikan. Ada hubungan antara musik dan pendidikan, karena sejatinya musik bisa menciptakan atmosfer yang memudahkan proses belajar. Selain itu musik juga berfungsi sebagai sarana survival, teman hidup, cara untuk mengekspresikan diri, dll. Keren ya? Padahal selama ini mungkin kita hanya menganggap musik sebagai salah satu sarana hiburan. Eh tapi kalau saya, musik itu juga bisa sebagai sarana untuk relaksasi diri dan pembangkit mood lho. Curhat dikit gapapa ya ๐Ÿ˜‰

Di akhir presentasi Mas Adoy mengajak kita untuk membayangkan satu kualitas baik yang membuat hidup lebih baik lagi. Pilih dua suku kata saja. Wiih, mau bikin lagu apa lagi nih Mas Adoy dengan kata-kata itu ya? ;;). Saya pun memilih kata “indah”.

“Aku indah, kamu indah, semuanya indah. Bersama semua, dunia semakin indah”.

JREEENG! ๐Ÿ˜‰

*****

Setelah kita sedikit dihibur sama Mas Adoy, kita kembali ke topik yang serius tapi masih tak kalah menariknya. Kita menghadirkan Mas Chandra Marsono yang membawakan topik Cross Culture Management. Mas Chandra Marsono ini adalah Dosen di STIE Trianandra, Business Development Manager di Oxford Course Indonesia Education, Founder & Board of Director di PT Sedna: Writers Academy, TOEFIS, dan Committee Member di FreSh [Freedom of Sharing]. Wiih, banyak ya jabatannya? ๐Ÿ˜€

Nah, sekarang apa itu Cross Culture Management? Cross Culture Management itu adalah cara bagaimana memahami kultur budaya seseorang, dan menggunakannya untuk mendapatkan sebuah hubungan yang kondusif dan saling menghormati.

Pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh Mas Chandra, “ketika bertemu dengan orang asing banyak orang Indonesia yang minder, kenapa?โ€. Budaya itu diwariskan, tidak terletak pada DNA manusia. Budaya juga akan membentuk asumsi dasar, norma, dan nilai. Budaya mencitra dalam diri seseorang hingga dia berusia 7 tahun melalui Mental Conditioning. Jadi kalau ada orang Indonesia yang minder ketika bertemu dengan orang asing berarti ada budaya Indonesia yang membentuk perilaku seperti itu. Dari mana saja pengaruh itu didapatkan? Bisa dari orangtua, lingkungan, sekolah, dan pribadi.

Nah, itulah jawabannya ๐Ÿ™‚

 

*****

Sebagai pembicara terakhir adalah Mbak Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal & Rumah Main Cikal. Malam ini Mbak Ela –demikian beliau kerap dipanggil– akan berbagi pengalaman dan kisah tentang konsep & mimpi-mimpi pendidikan yang coba diterapkan melalui Sekolah Cikal.

“Saya punya pengalaman sekolah ‘sukses’. Kuliah cepat & lulus cumlaude. Tapi saya merasa tidak bermakna,” demikian Mbak Ela membuka paparannya malam itu. Dari situlah bermula ide terbentuknya Sekolah Cikal dan Rumah Main Cikal.

Belajar itu sequential atau continuous? Sekolah Cikal percaya bahwa belajar itu continuous. Sekolah Cikal berdiri 13 tahun yang lalu, berawal dari preschool. Hingga saat ini sudah berdiri SD, SMP, dan tahun ini mulai berdiri SMA-nya. Sekolah Cikal juga sudah berada di Jakarta dan Surabaya, dalam waktu dekat segera menyusul berdiri di kota-kota lainnya.

Sekolah Cikal menerapkan sistem Five Stars Competencies:
1. Emmotionally, spiritually, and morally rich;
2. Skilfull and an effective thinker;
3. Breadminded and phisically sound;
4. Self-regulated learner;
5. Empowering member of just, sustainable, and peaceful global society

Mbak Ela menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan itu ada 2, intangible curriculum (tidak konkret, abstrak) & tangible curriculum (nyata). Alasan mengapa Sekolah Cikal didirikan adalah karena sesungguhnya pendidikan itu dibentuk oleh intangible curriculum, karena Sekolah Cikal percaya bahwa creativity comes from a diciplined mind.

Dalam slide-nya Mbak Ela juga menyebutkan bahwa konspirasi terbesar pendidikan adalah school then life dan school for life. Ada hal yang harus dipilih antara apakah kita sekolah dulu baru kerja untuk hidup (meskipun pekerjaan itu nantinya tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan yang pernah dijalani), ataukah sekolah itu harus mampu merepresentasikan dunia yang akan dihadapi sehingga anak siap utk terjun kesana? Sepertinya (idealnya) pilihan kedua ya, walaupun banyak yang “terjerumus” dalam pilihan pertama. Iya, termasuk saya ;))

 

*****

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 21.00, berakhir pulalah acara Bincang Edukasi Meetup #3. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan menyenangkan. Ada banyak pembelajaran yang saya dapatkan malam itu, dan utamanya bisa bertemu dengan beberapa teman baru yang sebelumnya hanya saya kenal di timeline.

Terima kasih juga buat Mas Adoy yang sudah memberikan pencerahan seusai acara Bincang Edukasi tentang apa itu suara Voice Over. Ternyata itu adalah istilah untuk suara yang sering digunakan untuk iklan, sulih suara, suara MC, dan suara yang biasa digunakan dalam acara-acara kenegaraan. Suara yang “utuh”.

Uhuk! I’m honored.. *menjura*

Terima kasih buat semuanya. Sampai bertemu dalam Bincang Edukasi Meetup #4 bulan November nanti ya ๐Ÿ™‚
:-h

 

 

[devieriana]

 

dokumentasi pribadi

Continue Reading

#Bined02 : Bukan (Sekadar) Bincang Biasa

Rabu (27/7) lalu, saya berkesempatan hadir, tepatnya diundang, dalam acara Bincang Edukasi diย @atamerica Pacific Place. Kreshna, salah satu inisiator Bincang Edukasi inilah yang mengundang saya untuk hadir malam itu. Kebetulan saya juga pernah menyumbangkan tulisan untukย #IndonesiaJujurย  beberapa waktu lalu, yang lagi-lagi gerakan iniย  juga dipelopori oleh Kreshna ๐Ÿ˜€

Jujur, awalnya saya masih belum “nyambung” dengan format acara ini. Akan seperti apakah bentuk acaranya? Apakah semacam talkshow, diskusi, sharing idea, forum tanya jawab, atau yang seperti apa? Tapi ketika acara mulai bergulir, akhirnya saya mulai paham dengan format acara ini, dan mulai menemukan keasyikan tersendiri menyimak acara yang mengulas tentang pendidikan dalam berbagai sisi namun disajikan secara ringan sesuai dengan keahlian si narasumber.

Saya sengaja mengambil posisi duduk yang nyaman dan strategis, yang sekiranya cukup nyaman untuk melaporkan dalam bentuk foto dan live tweet. Tidak ada yang meminta saya untuk membuat live tweet. Bahkan saya sengaja meminta izin terlebih dahulu kepada follower saya di twitter, barangkali malam itu saya dianggap “menyampah” di timeline (walaupun isinya sama sekali bukan sampah). Ya, rasanya sayang aja, kalau acara sekeren itu tidak ada reportase secara live-nya.

Kreshna membuka acara dengan mengemukakan secara singkat tentang latar belakang berdirinya Bincang Edukasi serta visi misi mereka. Ternyata ada 5 orang penyaji yang akan tampil malam itu.

Diawali oleh paparan Agus Sampurno, beliau adalah seorang Creative Teaching Evangelist, bisa ditemukan dalam akun twitter @gurukreatif, serta aktif mengelola blognya di http://gurukreatif.wordpress.com. Malam itu beliau menyampaikan sebuah bahasan yang sangat menarik tentang realita pendidikan di Indonesia. Betapa beliau merasakan kemonotonan dalam dunia pendidikan kita. Belajar, ibarat sebuah kegiatan yang harus dilakukan secara formal dan serius. Padahal hal-hal yang serius pun sebenarnya tetap bisa dilakukan secara fun, karena sebenarnya belajar itu menyenangkan.

Beliau lalu menunjukkan sebuah foto kegiatan training untuk para pendidik, yang masih diadakan dalam bentuk yang sangat konvensional. Layaknya sedang mengikuti penataran, para peserta duduk berjajar, mendengarkan, bertanya, dan mencatat. Padahal seorang pendidik yang menginginkan siswanya aktif seharusnya juga mendapatkan training yang bentuknya aktif pula, bukan duduk manis macam itu, kan? Tanpa sadar saya juga mengiyakan.

Guru sebagai sebuah sosok panutan bukan hanya memanggul sebuah tanggung jawab dalam hal pendidikan saja tapi juga dari sisi moral. “Menjadi seorang guru itu sangat berat. Selain dia harus selalu menjadi orang dewasa di dalam kelas, dia juga harus walk the talk. Bahkan, dalam kehidupan online pun kami masih dituntut harus menjadi dewasa”, ujarnya.

Pak Agus juga menunjukkan pada kami bagaimana cara bertepuk tangan ala “silent cheers”. Wah, tepuk tangan yang bagaimana itu? Cukup mengangkat kedua tangan menghadap ke depan, lalu goyangkan seperti lambaian tangan Miss Universe :D. Apa maksud gerakan ini? Ketika seorang siswa maju ke depan kelas, pasti dia sudah mencoba menampilkan semaksimal mungkin apa yang dia mampu. Namun kadang, jika kita mengapresiasi apa yang sudah dia lakukan di depan kelas dengan tepuk tangan, akan ada perbedaan perlakuan antara satu siswa dengan siswa yang lain ketika ternyata siswa yang satu penampilannya tidak sebagus siswa sebelumnya atau sebaliknya. Itulah mengapa Pak Agus menciptakan gerakan tepuk tangan tanpa suara ini. Siswa akan mendapatkan perlakuan yang sama, tidak mendapatkan tepukan tangan yang riuh, tapi dia tetap bisa merasakan apresiasi yang diberikan oleh teman-teman dan gurunya.

Pak Agus menutup paparannya dengan kalimat yang sangat bagus, “Seorang guru yang baik bukan hanya seseorang yang pintar di subjeknya, melainkan seseorang yang bisa menginspirasi bagi lainnya.”

—–

Pembicara kedua yang selanjutnya hadir adalah Nandha Julistya. Beliau adalah inisiator Reading Bugsย  and KKS Melati. Judul slidenya sangat mengundang rasa penasaran : Tahu Membaca atau Mau Membaca.

Komunitas Reading Bugs ini terbentuk dari mimpi dan keinginan besar untuk melihat anak-anak dan bangsa Indonesia gemar membaca. “Tahu/bisa membaca” dan “mau/gemar membaca” jelas dua hal yang berbeda. Disinilah dibutuhkan usaha orangtua (orang dewasa ) agar kebiasaan membaca menjadi hal yang mengasyikkan bagi anak, sehingga menumbuhkan rasa gemar membaca hingga dewasa nanti.

Dia lalu mencontohkan Dr. Ben Carson. Doktor jenius ini dibesarkan oleh seorang ibu yang hanya lulusan kelas 3 SD dan bekerja sebagai pramuwisma. Namun ternyata dari tangan ibu yang “hanya” mengenyam pendidikan hingga kelas 3 SD ini tumbuh seorang psikolog sekaligus dokter ahli bedah ternama di USA. Si ibu memilih mendidik sendiri anaknya dengan sering memberikan buku-buku bacaan, dan tak jarang pula dia membacakannya sendiri. Pada usia 33, Carson menjadi Direktur Bedah Saraf Anak termuda di USA. Bukan hanya itu, pada tahun 1987, dia juga mengukir sejarah dengan keberhasilannya memisahkan kembar siam di bagian kepala yang pada operasi-operasi sebelumnya selalu mengalami kegagalan.

Pak Nandha lalu menunjukkan slide yang berisi data perbandingan beberapa negara dalam kaitannya dengan skor melek baca. Negara kita, skor melek bacanya tinggi. Namun sayang, tingkat kemauan bacanya rendah. Se-Asia, Indonesia menduduki peringkat 57 dari 65 negara. Duh! ๐Ÿ™

Beliau juga menyampaikan fenomena membaca di Indonesia, antara lain:
1. anak Indonesia dipaksa sesegera mungkin untuk tahu membaca;
2. pelajaran membaca di Indonesia membuat anak stress;
3. sekolah dan ortu menjadi pembunuh minta baca anak;
4. terjadi manipulasi saat anak belajar membaca.

Di Indonesia ada sebuah fenomena unik, dimana para orangtua seakan berlomba-lomba untuk membuat anak-anaknya bisa membaca sejak dini. Bahkan di salah satu mall di Jakarta ada lho, kursus membaca untuk anak usia 7 bulan dengan biaya mulai dari 900 ribu per bulan hingga sekian juta. Sepertinya kita perlu mencontoh Finlandia. Finlandia adalah negara yang sangat konsisten dalam mendidik anak-anak di negaranya terutama untuk mulai mengenal aksara. Anak-anak Finlandia dikenal sebagai pembaca paling baik. Mereka rata-rata mulai diperkenalkan membaca di usia 7 tahun, tidak ada yang kurang dari usia 7 tahun.

Di akhir paparan Pak Nandha menyampaikan beberapa butir harapan untuk pelajaran membaca di Indonesia:
1. pelajaran membaca dibuat menyenangkan;
2. biarkan anak belajar membaca secara alami;
3. orangtua dan guru berperan aktif dengan membacakan buku (read aloud) secara rutin pada anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah;
4. bermain sambil belajar benar-benar diterapkan sesuai dengan maknanya;
5. membaca, menulis, berhitung, tidak dijadikan syarat penerimaan siswa TK menjadi siswa SD.

Sungguh ulasan yang sangat menarik dan membuat saya jadi lebih paham bahwa untuk menjadikan anak gemar membaca caranya bukan hanya dengan memberikan mereka buku bacaan yang bermutu saja, namun dengan juga dengan mendampingi dan membacakan buku untuk mereka. Yang paling penting bukan target anak bisa membaca, tapi bagaimana membuat waktu membaca menjadi menyenangkan.

—–

Tiga penyaji berikutnya semuanya perempuan. Diawali oleh Karina Adistiana. Dia adalah inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, bisa dijumpai di akun twitter @Anyi_Karina. Dalam acara ini Karina mengajak mendidik anak melalui lagu. Mengasyikkan sekali mengikuti paparan yang disajikan secara musikal oleh Karina dan teman-temannya ini. Bahkan di awal sajian, dia sudah mengajak ibunya menyanyi di panggung dengan diiringi petikan gitar. Dengan sedikit berseloroh dia mengatakan, “menjadi orangtua itu enak, kalau mau nyanyi nggak perlu suara bagus. Anak-anaknya pasti mau dengerin dan nggak akan protes” ;))

Dia bercerita, ketika menempuh S2 Psikologi, Karina membuat thesis yang berhubungan dengan anak tuna netra yg mengalami Specific Language Impairment (anak mengalami kesulitan berbahasa sedangkan kemampuanย  non verbal atau kepandaian adalah normal). Dia juga membawakan sebuah lagu hasil ciptaan guru dan murid SLB G Rawinala yang berjudul Tanganku. Yayasan pendidikan Dwituna Rawinala ini merupakan lembaga yang melayani kebutuhan pendidikan penyandang cacat ganda netra. Lagu itu dibawakan dengan iringan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari piring, gelas, dan peralatan makan lainnya yang dipukul-pukul dengan irama tertentu.

Dalam kesempatan yang sama Karina juga menyampaikan bahwa ada beberapa kenyataan tentang lagu anak di Indonesia :
1. anak menyanyi lagu yang belum tentu sesuai dengan tahap perkembangannya;
2. anak dilarang menonton film dewasa tapi boleh menyanyikan lagu (dengan topik) dewasa;
3. orangtua tidak menyadari manfaat musik anak;
4. di sekolah, guru TK mengeluhkan kurangnya lagu anak yang baru

Hmm, iya juga ya. Sekarang coba ingat deh, setelah eranya Tasya, Sherina, dan Joshua, adakah lagu anak-anak yang lain dan sepopuler mereka? Yang ada justru kontes penyanyi anak tapi membawakan dengan lagu-lagu dewasa.Nah, kebetulan nih, di akhir acara, Karina memberikan CD Musik Anak yang bertajuk “Yo Mari Berdendang”, for free lho \:D/

Jadi, bagi teman-teman yang berbakat menciptakan lagu, silakan menciptakan lagu anak, gih. Siapa tahu nantinya lagu kalian bisa lebih dikenal banyak orang dan utamanya mendidik anak ๐Ÿ™‚

—–

Pembicara selanjutnya yang tampil malam itu adalah Wiwiet Mardiati. Beliau adalah seorang Homeschooling Evangelist, bisa ditemui dalam akun twitternya @wietski dan blognya http://atalaprasetyo.com. Paparannya malam itu bertemakan “Gerakan Pemberdayaan Keluarga: Adaptasi Spirit dari Homeschooling”

Seringkali homeschooling disikapi secara salah dan berbeda. Dalam anggapan masyarakat awam, anak homeschooling kualitasnya kurang bagus jika dibandingkan dengan yang menjalani pendidikan formal di sekolah. Ada kecenderungan pendapat pula yang mengatakan jika anak-anak yang homeschooling cenderung tidak bisa bersosialisasi, dan eksklusif. Seluruh pendapat ini ditepis oleh Mbak Wiwiet yang memang adalah seorang penggiat homeschooling.

Jadi ingat, beberapa waktu lalu saya juga sempat berdiskusi ringan dengan seorang teman, dan ketika itu saya juga berpendapat sama dengan orang kebanyakan tentang homeschooling. Namun ternyata saya keliru. Jika kita perhatikan, ternyata anak yang bersekolah di sekolah umum itu sebenarnya tidak “sebebas” anak-anak yang homeschooling. Mereka harus tinggal dalam sebuah kelas yang kesempatan mengekspos tempat-tempat terbuka dan atau jalan-jalan tidak sebanyak anak-anak yang homeschooling. Mereka sengaja “dikelompokkan” dalam sebuah grup anak-anak yang seusia, dan terpaksa mengikuti aturan “mainstream” yang dibuat oleh sekolah. Sehingga mereka kurang memiliki kebebasan untuk berkreasi dan mempelajari apa yang mereka sukai karena terbentur oleh jam sekolah dan kurikulum sekolah.

Dalam acara ini, Mbak Wiwiet mengatakan bahwa keluarga sebenarnya adalah penanggung jawab utama pendidikan anak. Artinya, orangtua adalah penanggung jawab pendidikan anak, pihak-pihak di luar orangtua bisa disebut sebagai “asisten” orangtua. Sebenarnya manfaat lain dari homeschooling adalah adanya koneksi yang kuat antara orangtua dan anak. Oh ya, kenyataan yang terjadi di Indonesia, pemilihan sekolah di Indonesia masih didasarkan pada pemilihan budget dan lokasi. Ada orangtua-orangtua yang sengaja memilih sekolah yang bayar SPP-nya saja jutaan hanya untuk menunjukkan gengsi dan “kualitas pendidikan”. Padahal sekolah mahal belum tentu kualitasnya (selalu) bagus, kan?

Saya yakin, Mbak Wiwiet malam itu berhasil membuka mata banyak orang tentang homeschooling. Di akhir paparannya yang lebih banyak share tentang pengalaman itu, beliau memberikan sebuah kalimat yang sangat menginspirasi:

“Do something so you can be together not be together to do something”ย 

Mbak Wiwiet, you did a great job! Thanks for sharing ๐Ÿ™‚

—–

Pembicara terakhir acara Bincang Edukasi malam itu adalah Mbak Ainun Chomsum, atau yang lebih dikenal dengan Mbak Pasarsapi ย @pasarsapi , atau kepala sekolahnyaย Akademi Berbagi . Tema sesi kali ini adalah “Berbagi Bikin Happy”. Tagline social movement yang digaungkan oleh Mbak Ainun ini memang sesuai sekali dengan kegiatan di Akademi Berbagi.

Bermula dari niatan Mbak Ainun untuk belajar copywriting dengan Pak Subiyakto, ternyata Pak Subiyakto menyetujui untuk mengajar dan bahkan meminta beberapa orang untuk sekalian ikut dalam kelasnya. It’s for free! Ketika ditawarkan lewat twitter langsung disambut dengan sangat positif oleh banyak orang.

Akademi Berbagi terbentuk salah satunya juga karena kegelisahan Mbak Ainun (mungkin juga sebagian besar kita) karena mahalnya biaya pendidikan. Nah, Akademi Berbagi merupakan salah satu sarana belajar seumur hidup, sebagai wadah untuk berbagi ilmu, supaya kita lebih menghargai proses untuk sukses, dan supaya kita lebih menghargai ilmu walaupun gratis.

Ketika ditanya, “gampang nggak sih bikin social movement?”ย  Beliau menjawab bahwa sebenarnya tantangan utamanya bukan di masalah pendanaan, tapi mental siswa yang kurang menghargai “gratisan”. Maksudnya bagaimana? Ya, biasanya orang akan berduyun-duyun menghadiri sebuah pelatihan tertentu yang berbayar, karena sudah yakin kalau narasumbernya pasti qualified. Padahal belum tentu. Di Akademi Berbagi semua ilmu yang katanya narasumbernya mahal bisa dengan gratis dihadirkan disini. Tentu saja dalam kelas yang jumlah muridnya terbatas. Karena kalau terlalu banyak jadinya kurang fokus.

Sharing menarik ini pun akhirnya ditutup dengan kata-kata yang sangat inspiratif,

“Tidak ada yang tidak bisa, tinggal kita mau/tidak. Semua orang boleh bermimpi, tapi jangan lupa beri kaki pada mimpimu. Karena mimpi pun harus menjejak bumi… “

 

—–

Sungguh sebuah acara yang sangat menarik. Tidak rugi saya harus bermacet-macet ria menuju ke Pacific Place. Karena ternyata ada banyak ilmu yang bisa saya dapat dari acara Bincang Edukasi malam itu. Ternyata disinilah saya bertemu dengan orang-orang yang punya semangat luar biasa dan sangat peduli dengan dunia pendidikan. Orang-orang yang memiliki mimpi dan cita-cita yang sama untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia.

Life ends when you stop dreaming. Hope ends when you stop believing… “

Thanks to Kresna who let me join to this event ๐Ÿ™‚
Sampai jumpa di Bincang Edukasi sesi berikutnya ya ๐Ÿ™‚

 

[devieriana]

 

 

dokumentasi pribadi

Continue Reading