Selepas upacara kemarin seperti biasa saya kembali disibukkan dengan pekerjaan rutin menangani berkas-berkas dan hal persuratan lainnya. Seperti biasa pula si bapak suka mampir ke kubikel saya untuk sekedar ngobrol, atau iseng melihat-lihat surat masuk.
Sampai akhirnya beliau membaca sebuah surat tentang permohonan izin tugas belajar keluar negeri.
Bapak : “oh, mau sekolah lagi tho? Bapak ini pinter orangnya.. “
Saya : “oh ya? beliau mau ambil S3 ya, Pak?”
Bapak : “iya, walaupun pinter tapi ada satu hal yang disayangkan. Dia kurang bisa membangun hubungan dengan orang lain. Hubungan interpersonalnya kurang bagus..”
Saya : “maksudnya gimana tuh, Pak? :-B”
Bapak :“jadi pegawai negeri itu jangan cuma pinter. Istilahnya, pinter saja nggak cukup..”
Saya : “maksudnya gimana sih pak? bingung sayanya..8-|”
Bapak : “iya, kamu kalau jadi pegawai negeri jangan cuma pintar secara akademis, hubungan interpersonal dengan orang lain juga bagus, mampu bekerjasama dengan orang lain.. “
Saya : “oh gitu. Lah, kalau soal itu ya bukannya tidak hanya berlaku buat PNS aja, Pak. Menurut saya sih itu berlaku buat semua. Intinya kehidupan yang berimbang gitu kan, Pak? Tapi aku pernah ketemu sih pak sama tipikal orang-orang yang kaya bapak maksud itu..”
Bapak : “iya, jadi, kalau kamu nggak bisa bekerja sama dengan orang lain di lingkungan kerja, ya pantesnya kerja jadi Staf Ahli aja..”
Saya : “emangnya kalau Staf Ahli itu gimana kerjanya?”
Bapak : “ya dia akan kerja sendiri. Itulah kenapa tadi saya bilang pintar saja nggak cukup..”
Si bapak lalu meninggalkan saya untuk menjawab telepon di ruangannya dengan sejuta tanda tanya, tsaahh ;)). Jujur percakapan singkat yang menggantung itu membuat saya jadi mikir panjang dan bertanya-tanya sendiri. Apa sih sebenarnya yang ingin disampaikan oleh si Bapak? Pintar itu ukurannya apa? IPK yang tinggi? Lulusan perguruan tinggi ternama atau universitas luar negeri? Lalu maksud dari kalimat “pintar saja nggak cukup” itu apa? Berkenaan dengan attitude? Salah penempatan posisi/jabatan pekerjaan dengan kepribadian? Hmm.. ๐
Memang cara yang paling mudah untuk bisa mengukur tingkat kepandaian seseorang secara hitam diatas putih adalah dengan melihat paparan nilai A, B, C, D , E yang tertera diatas selembar kertas transkrip. Tapi setelah diaplikasikan dalam pekerjaan apakah iya nilai-nilai itu mampu berbicara banyak? Sepertinya kok belum tentu ya../:)
Terkadang para pemimpin dan orang-orang yang berhasil di bidangnya itu bukan berasal dari orang-orang yang nilai akademisnya tinggi, namun justru mereka-mereka yang memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi, empati dan loyalitas persahabatan yang kuat, serta perasaan cinta kasih yang luar biasa. Tapi sayangnya banyak perusahaan/instansi yang belum sepenuhnya menyadari hal ini sehingga mereka hanya berpatokan pada nilai akademik yang tinggi dan kemudian menempatkan orang-orang yang mereka anggap “pintar” itu di sebuah posisi yang belum tentu sesuai dengan kepribadiannya. Karena nyatanya belum tentu orang yang pintar itu memiliki kecenderungan mental/attitude yang sesuai dengan tempat kerja dan jenis pekerjaan tertentu. Sehingga rasanya perlu ada upaya cerdas yang mampu mengubah cara pandang nilai akademik sebagai satu-satunya tolok ukur kepandaian seseorang.
Oh iya, dulu saya pernah baca tentang sosok orang yang opsional dan prosedural. Orang opsional akan menganggap orang prosedural itu terlalu birokratis, terlalu terpaku pada teori, bertele-tele dan kurang luwes ketika mengambil kebijakan. Sedangkan orang prosedural akan menganggap orang opsional itu tidak punya pendirian, plintat-plintut, kurang bisa mempertahankan ide dan gagasan yang sudah disampaikan, terlalu excuse, karena pada dasarnya tipikal seperti mereka-mereka ini biasanya mahir dalam hal menerjemahkan ide dan gagasan dalam skema yang berurutan. Namun uniknya orang-orang tipikal opsional yang cenderung kreatif dan banyak ide ini tidak semuanya bisa menjalankan gagasan atau ide yang sudah dibuatnya, sehingga mereka membutuhkan bantuan orang-orang dengan tipe prosedural yang lebih sistematis. Jadi sebenarnya keduanya sama baiknya, sama-sama saling menunjang. Karena sesungguhnya manusia itu mahkluk yang unik, punya kelebihan, kekurangan, dan kecenderungan masing-masing. Jadi, bagian HRD sepertinya juga harus jeli melihat hal-hal yang seperti ini ya, jangan asal menempatkan orang yang dianggap pintar tapi ternyata kurang sesuai dengan kepribadiannya. ๐
Tapi bukan berarti berorientasi dapat IPK tinggi itu sudah nggak penting ya. Kita tetap harus berusaha secara maksimal dong, do the best lets God do the rest. Namun jangan sampai lupa juga, bahwa hidup kita bukan hanya tergantung dari besaran nilai akademis saja, lebih dari itu perkayalah dengan skill dan kreatifitas yang bisa menunjang bidang pekerjaan yang kita minati nantinya. Oh ya satu lagi, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bidang pekerjaan kita.
Jadi kesimpulan global untuk percakapan singkat kemarin pagi :
“Menjadi orang yang pintar secara akademis itu bagus, tapi akan lebih bagus lagi jika juga ditunjang dengan pribadi dan attitude yang menyenangkan dalam pergaulan.. :-bd”
[devieriana]