Lebih dari Sekadar Menahan Diri

“Habis nikah badan kamu kok jadi lebaran sih?”
“Kamu pas hamil kok jadi jelek gini?”
“Itu pipi atau bakpao, kok bulet amat?”

atau

“Buset, itu badan apa lidi? Kurus banget! Makan gih, sana!”
“Sekali-kali makan hamburger, atau apalah yang enak, sana lho, biar badan nggak kaya orang cacingan…”
“Itu siapa sih, item banget? Gede banget pula badannya…”

 

Pasti komentar-komentar seperti itu sudah kerap kita dengar dari orang-orang di sekitar kita, ya. Atau bahkan mungkin kita adalah salah satu orang yang pernah tanpa sadar telah/masih melakukan body shaming kepada orang lain.

Body shaming/bullying, merupakan tindakan perundungan, mengasingkan, membedakan, atau mengolok-olok orang yang memiliki badan/penampilan yang dianggap kurang memenuhi standar ideal. Semacam bias individu terhadap orang- orang yang dianggap tidak menarik, bodoh, malas, atau kurang kontrol diri.

Meskipun laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama besar dalam hal menerima perundungan tentang body shaming, namun survey mengatakan frekuensi perempuan yang terkena dampak jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Tak heran, karena selama bertahun-tahun ada objektifikasi perempuan, di mana idealnya penampilan seorang perempuan harus terlihat sempurna bak model. Jadi siapapun yang tidak sesuai dengan harapan tersebut berarti ada di bawah pengawasan dan kritik masyarakat.

Banyak orang beranggapan bahwa body shaming cuma bagian dari lelucon ringan atau obrolan iseng semata. Padahal sebenarnya tanpa kita sadari, komentar dan lelucon itu memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi yang menerima. Lebih jauh, pernyataan-pernyataan ini sesungguhnya bisa memberi dampak pada kesehatan mental seseorang. Lebih serius lagi bisa mengarahkan mereka kepada depresi, kecemasan, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah tahu latar belakang hidup seseorang. Jadi sebelum berkomentar ini itu, meminta seseorang menambah/mengurangi makan, coba tahan diri dulu, pikirkan baik-baik. Siapa tahu di balik penampilannya yang mungkin baik-baik saja bisa jadi dia tengah berjuang melawan bulimia, anoreksia, atau body dimorphic disorder.

Ada seorang teman yang dulu sering kali mendapat komentar kurang menyenangkan tentang bentuk tubuhnya. Hampir setiap hari ada saja komentar yang mengatakan kalau dia itu gemuk, lebar, besaran, dan istilah lain yang sejenis. Hingga lama kelamaan tertanamlah afirmasi dalam pikirannya bahwa badannya memang gemuk, terlalu lebar untuk ukuran manusia normal, dan bahkan obesitas. Parahnya, dia mulai terserang self-loath (membenci diri sendiri), bahkan menyamakan bentuk tubuhnya dengan babi.

Seringkali dia coba cuek dengan berbagai komentar itu. Bahkan tak jarang dia mencoba menanggapi balik becandaan tentang tubuhnya itu dengan becandaan balik atau komen santai lainnya.

Namun toh pada akhirnya dia pun menyerah. Dia cuma manusia biasa yang punya batas rasa sabar. Kalau komentar tentang bentuk tubuhnya itu hanya terdengar sekali dua kali, mungkin belum jadi masalah yang serius. Tapi kalau komentar itu hampir setiap hari didengar, baik yang diucapkan secara personal maupun ketika bercanda di depan banyak orang, tentu dampaknya jadi lebih serius.

Akhirnya, si teman ini pun bertekad, “fine, gue harus kurus! Biar gue nggak dikata-katain sama orang lagi!” Ya, motivasinya adalah ingin kurus, bukan lagi semata-mata ingin menjalani pola hidup sehat.

Tanpa buang waktu, dia pun mulai mendaftarkan diri menjadi member di salah satu pusat kebugaran. Bukan itu saja, diet ketat pun mulai dia jalani. Beberapa jenis minuman/obat herbal pelangsing pun coba dikonsumsinya, walaupun seringkali berakhir lemas di toilet karena diare parah.

Walaupun kondisi badannya sudah mengajukan protes, dia tak peduli. Sekilo saja angka di timbangan terlihat berkurang, dia sudah sangat bahagia. Angka timbangan jadi parameter diet dan olahraga sukses, Bentuk tubuh ideal pasti akan terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Andai ada opsi tubuh impian itu bisa didapat dalam tempo sehari semalam mungkin dia akan menggunakan opsi itu tanpa pikir panjang.

Nyatanya, antara harapan dan kenyataan kadang tidaklah selalu berbanding lurus. Imbas segala aktivitas olahraga superkeras dan diet superketat itu justru mengantarkannya ke rumah sakit. Dia ditemukan tergeletak pingsan di lantai pusat kebugaran lantaran kecapekan dan pola makan yang berantakan. Dia pun dirawat di rumah sakit seminggu lamanya karena thypus.

Sepulang dari rumah sakit ternyata kondisi kesehatannya jadi jauh lebih rapuh ketimbang sebelumnya. Jadwal menstruasi yang awalnya teratur menjadi berantakan, dia juga kerap dilanda sesak nafas, sering mengalami gangguan pencernaaan, rentan terserang demam, flu, mood swing, emosional, dan parahnya dia mulai mengalami insomnia.

Sekalipun dia berusaha tampil normal, namun ketika dia tanpa sengaja melontarkan kalimat, “kenapa ya, kok kayanya hidup aku nggak pernah happy?” seolah menjadi indikator bahwa dia sedang mengalami stress berat.

Sebenarnya faktor pemicu body shaming sendiri bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar. Media pun turut andil dalam membangun dan menyosialisasikan tentang citra standar kecantikan yang ideal. Pun halnya internet dan media sosial yang dipenuhi dengan unggahan bertema ‘thinspiration‘.

Bukan itu saja, dalam industri fashion juga ada promosi ukuran nol. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Phoebe R. Apaegyei menyebutkan bagaimana media menghubungkan antara kelangsingan dan kebahagiaan, ditunjang dengan berbagai penelitian yang mendukung hal tersebut.

Banyak di antara kita lupa, bahwa kesehatan dan kecantikan tidak ditakdirkan hadir dalam satu paket. Tanpa sadar, kita merusak kesehatan hanya untuk mencoba mencapai standar kecantikan populer.

Manusia dianugerahi keunikan masing-masing yang tidak mungkin sama antara yang satu dengan yang lain, baik dari bentuk fisik, sifat, karakter dasar, hingga perbedaan perasaan, keinginan, harapan, dan kepentingan.

Sudah saatnya kita belajar menahan diri untuk tidak lagi melakukan body shaming apapun bentuknya. Perlu diciptakan kesadaran bahwa hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mental itu salah satu penyebabnya karena adanya perundungan terhadap penampilan fisik.

Penting bagi kita memiliki perspektif yang luas dalam hal penerimaan segala jenis bentuk dan warna tubuh tanpa harus saling mengomentari perbedaan fisik satu sama lain. Apapun bentuk dan jenis perbedaan itu sesungguhnya kita tetap makhluk Tuhan yang diciptakan paling sempurna.

 

 

[devieriana]

 

gambar dipinjam darisini

Continue Reading

Rape is not a joke!

Bagi yang sudah sering bermain di ranah social media pasti familiar dengan yang namanya twitter, kan? Tempat dimana kita bisa berceloteh dan menceracau tentang apa saja. Tempat berbagi hal positif sekaligus negatifnya.

Pasti kita juga sudah tidak asing dengan hashtag memetwit atau twit memedi, atau twit horor, atau twit menyeramkan yang kerap ‘disajikan’ tiap malam Jumat, kan? Kisahnya sendiri ada yang berdasarkan pengalaman nyata, atau hanya cerita rekaan belaka. Tapi yang jelas pasti bertema horor. Namun dalam perkembangannya, #memetwit mengalami penyimpangan ide, mungkin maksudnya untuk mengubah timeline malam Jumat menjadi tidak melulu berisi cerita horor ya, sehingga ada yang memodifikasinya dengan memberikan tweet-tweet lucu walaupun dengan tetap menggunakan tema dan tokoh seram.

Tapi, ketika menyimak timeline twitter dengan hashtag #hororgagal beberapa minggu yang lalu kok rasanya itu adalah timeline dengan tema horor komedi yang paling nggak lucu. Apa lucunya kalau yang dijadikan bahan lelucon adalah perkosaan?

“Bang.. Ingatkah kau yang telah memperkosaku? | Perkosa apaan sih Neng, masuk aja enggak! #eaaaa”

“Bang, ingatkah kau telah memperkosaku? | Se-se-setan! | Apa? Jadi gue dulu diperkosa sampai mati??? #hororgagal #barunyadar

“Bang , kau telah memperkosaku | m4caa ce3hhh | iya bang | 0u9hT c3muN9udht eaaa | (?_?’!l) #diperkosa ababil #hororgagal”

Itu adalah sebagian kecil contoh tweet yang dibuat untuk lucu-lucuan, yang awalnya di-tweet oleh seseorang dan lalu menyebar dalam bentuk retweet oleh banyak orang, termasuk oleh para selebtwit yang memiliki ribuan follower pun ikut ‘khilaf’ menge-tweet dengan tema yang sama.

Ok, katakanlah saat itu saya yang sedang tidak berada dalam frekuensi kelucuan yang sama dengan mereka. Atau, mungkin saya yang waktu itu lagi sensi sehingga merasa sangat kurang nyaman menyimak timeline malam itu. Kalau memang perkosaan adalah hal yang lucu dan pantas dijadikan bahan becandaan, kok sampai sekarang saya belum bisa menemukan di mana letak kelucuannya, ya? Bukankah perkosaan itu adalah musibah yang seharusnya disikapi dengan empati, tapi mengapa malah dijadikan bahan lelucon, ya? 😕

Bersyukurlah, karena keluarga dan orang-orang terdekat kita masih dijaga keselamatannya oleh Tuhan sehingga terhindar dari berbagai tindak kriminal, termasuk salah satunya perkosaan. Tapi coba deh sejenak kita lihat di luar sana, ada berapa banyak perempuan korban perkosaan; rape survivors & sexual abuse yang bukan hanya terluka secara fisik, namun juga psikis, dan bahkan ada yang harus menanggung hasil perkosaan yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki. Bagaimana perjuangan mereka untuk tetap survive, dan berusaha melupakan kejadian pahit yang pernah dialaminya? Ibaratnya, mereka  sedang menyimpan sebuah kotak pandora di dalam sebuah ruang rahasia yang tidak ingin mereka buka, tidak ingin mengeluarkan isinya, apalagi memamerkannya sebagai benda istimewa pelengkap mebel. Kebanyakan mereka tidak punya teman untuk bertukar cerita; kalau ada teman pun belum tentu mereka sanggup untuk bercerita; cenderung menjadi sosok yang introvert, dan memilih untuk menyimpan lukanya sendiri. The silent cry!

Seringkali terjadi, walaupun mereka sudah diberikan layanan medis, psikologis, dan pendampingan hukum, namun tetap saja luka dan ingatan tentang kejadian buruk itu tidak bisa serta merta hilang begitu saja bersama waktu. Tak jarang kelebatan kejadian masa lalu yang buruk itu mendadak berlompatan muncul silih berganti. Belum lagi jika ada trigger yang mengingatkan kembali pada kejadian itu. Coba bayangkan, apa yang akan kita lakukan jika yang menjadi korban perkosaan itu adalah orang terdekat kita? Naudzubillah mindzalik, ya. Kalau sampai seperti itu, apa iya kita masih sanggup menggunakan kata perkosaan sebagai bahan becandaan?

Pernah baca tentang kisah nyata siswi SMA di Jepang berusia 17 tahun yang bernama Junko Furuta yang meninggal di tahun 1988 setelah diperkosa beramai-ramai selama 44 hari, disiksa secara biadab, dan akhirnya dimutilasi oleh teman-temannya sendiri? Kalau belum, silakan search di google, baca sendiri kisahnya hingga selesai, dan rasakan feel penderitaan Junko Furuta hingga menjelang ajal. Fakta lain yang juga tak kalah menyakitkan adalah para pembunuh Furuta sekarang adalah manusia-manusia yang bebas dari jeratan hukum dengan alasan kurang adanya bukti kuat yang mendukung bahwa mereka adalah pelakunya. Lagi, setelah membaca kisah sedih itu, masih layakkah perkosaan menjadi bahan lelucon/becandaan?

Jika dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah “tweet-mu, harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, atau “statusmu, harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status/tweet dan lalu menekan tombol publish/enter, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya sampai dengan batas yang tidak mampu kita tentukan. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh tetap saja bisa diterima secara berbeda oleh orang lain. Itulah saat dimana kita sudah kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian. Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca statement kita itu juga manusia, yang punya punya perasaan, martabat, dan harga diri. Bukan berarti tidak boleh mengeluarkan pendapat, akan tetapi lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan statement, apalagi yang sifatnya pribadi.

Think before you post!

Jika Anda peduli dengan para korban perkosaan dan sexual abuse, silakan support dan follow @lenteraID. Atau jika berkenan untuk menjadi relawan atau sekedar ingin berbagi cerita silakan mengirim email ke lenteraid[at]gmail[dot]com. Semoga kita bisa saling menguatkan.. 🙂

 

[devieriana]

 

ilustrasi dari sini

Continue Reading

Think Before You Speak

Dalam keseharian pasti kita pernah mengeluarkan kata-kata yang menurut kita lucu, tapi belum tentu buat orang lain juga sama maknanya dengan kita. Maksudnya menghibur tapi malah jatuhnya ngajak berantem. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita harus lebih hati-hati dengan pernyataan atau bahkan jokes kita sendiri.

 

Masih ingat kan dengan “stop using words autis for your daily jokes”? Sudah lama saya meninggalkan kata-kata itu sebagai bahan becandaan. Bukan hanya kata-kata autis, tapi juga kata-kata lain yang berisi tentang ejekan untuk menunjukkan kekurangan orang lain. Baik itu fisik, mental, maupun status seseorang. Apa untungnya juga kita menggunakan bahasa-bahsa macam itu? Akankah kita akan jauh merasa lebih baik & sempurna setelah mengucapkannya? Apakah lantas derajat kita akan jadi lebih tinggi setelah menggunakan kata-kata itu sebagai guyonan sehari-hari? Bagaimana jika ternyata kita sendirilah yang menyandang segala keterbatasan & ketidakberuntungan itu? Apa yang akan kita rasakan ketika ada orang lain yang menggunakan bentuk kekurangan fisik/psikis kita sebagai lelucon? Perih, pedih, sedih, marah, tersinggung, atau justru legowo menerima dengan  pasrah? Selegowo-legowonya orang pasti masih akan tersembul rasa pedih ketika ada kekurangannya yang disinggung orang lain, apalagi digunakan sebagai lelucon atau cela-celaan.

 

Sebelum saya menuliskan inti tulisan ini, saya ingin bertanya, apa sih yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata-kata “JANDA”? Apakah mata Anda langsung membulat, imajinasi Anda berputar pada sosok wanita tanpa suami, yang masih muda, cantik, seksi, yang image-nya sering dilekatkan dengan perusak rumah tangga orang? Atau seorang sosok wanita tanpa suami yang tegar, berjuang sendiri membesarkan buah hatinya, pontang-panting mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, berperan menjadi ayah & ibu sekaligus?

 

Beberapa hari lalu saya mendapati status facebook seorang teman yang merasa dilecehkan karena orang lain menggunakan status pernikahan (baca : janda) sebagai guyonan. Dia adalah seorang single mother sekaligus wanita karir yang cerdas dengan dua buah hati yang menjelang remaja. Sebut saja dia Mbak Cantik. Sebagai seorang ibu yang sangat tough menjaga keluarganya dia memang berjuang sendirian, tanpa didampingi oleh seorang suami. Kehidupan pernikahannya hancur ditengah jalan karena adanya prinsip yang sudah tak bisa lagi sejalan. Perannya sekaligus menjadi ibu & ayah membentuknya sebagai a half mother & a half father. Sosok ibu yang hangat & penyayang, sekaligus sebagai ayah yang melindungi & mencari nafkah.

 

Saya pribadi mengenalnya sebagai sosok yang keras & tegar. Jauh dari gambaran seorang “janda” yang image-nya di masyarakat selalu saja dikonotasikan negatif. Padahal siapa yang ingin hidup sendiri? Siapa yang dulunya menjawab ketika ditanya “apa cita-citamu?” dengan lantang menjawab “menjadi janda!”. Siapa yang sengaja memilih kehidupan perkawinannya tidak utuh, membesarkan buah hatinya sendiri tanpa didampingi seorang suami? Rasanya tidak ada. Semua pasti bercita-cita hidup secara complete, utuh, dengan didampingi seorang pasangan.

 

Lantas apa yang membuat beliau sedemikian marah? Lagi sensitifkah dia? Saya kurang tahu pasti, tapi yang jelas semua itu berawal dari celoteh salah satu presenter acara talkshow di TV yang sempat membuat jokes dengan kata-kata “janda”. Tentu saja lengkap dengan konotasi negatif yang sudah melekat didalamnya. Membuat seisi studio tertawa terpingkal-pingkal mungkin merupakan sebuah prestasi besar buat dia sebagai seorang presenter, komedian, entertainer. Tapi tak sadarkah dia bahwa leluconnya itu telah melukai hati seorang perempuan yang terpaksa harus hidup tanpa suami seperti Mbak Cantik tadi? Bersyukurlah dia yang keluarganya masih utuh. Tapi apa lantas sang presenter itu berhak mengeluarkan jokes semena-mena dengan kata-kata “janda” tadi? Well, katakanlah teman saya ini sedang sensitif, not in the good mood. Tapi saya juga tidak berhak untuk menyuruhnya diam, jangan protes. Itu hak dia untuk suka atau tidak suka dengan lelucon yang sebenarnya tidak lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.

 

Tidak ingin menggurui siapapun, hanya sekedar ingin mengajak Anda semua berbagi, berpikir, merenungkan. Sudah sempurnakah kita sebagai manusia? Kepuasan macam apakah yang sebenarnya kita cari ketika berhasil mentertawakan kekurangan & ketidaksempurnaan orang lain? Apakah setelah kita berhasil mengajak orang lain tertawa dengan apa yang kita pikir lucu padahal bodoh itu lantas akan membuat derajat kita jadi lebih tinggi daripada orang yang kita hinakan? Apakah kita tahu bagaimana sulitnya menjadi seorang single mother yang berjuang menghidupi buah hatinya? Hidup ditengah terpaan & cibir miring akan stereotype yang sudah terbentuk dalam masyarakat kita tentang status seorang “janda”. Belum lagi media yang juga ikut menambah kuat image “janda” sebagai sosok penggoda rumah tangga orang. Memang, kalau mau cuek, nggak usah mikirin, sebodo teuing juga bisa. Tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai sosok diluar beliau? Apakah kalau beliau cuek-cuek saja berarti hatinya ikhlas menerima? Apakah kalau dia juga ikut tertawa hatinya juga demikian adanya? Belum tentu, teman. Dalamnya laut memang bisa kita ukur, tapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu?

 

Semoga ada hal baik yang bisa kita ambil & renungkan bersama. Sehingga kedepannya kita bisa lebih bijaksana dalam berbuat & berkata-kata. Terutama sebelum kita melontarkan pernyataan atau lelucon untuk orang disekitar kita…

 

Think your thoughts & choose your words carefully

 

 

[devieriana]

 

Continue Reading