Tentang Terima Kasih

thank you
Dalam beberapa hal yang saya selalu tekankan kepada putri saya adalah jangan lupa untuk bilang salam, tolong, maaf, dan terima kasih ke orang lain, sama seperti ajaran kedua orangtua saya kepada saya dan kedua adik saya. Belajar untuk menekan gengsi sih tepatnya.

Putri saya memang baru berusia 3 tahun, tapi keempat kata tadi sudah saya usahakan untuk familiar sejak dini, karena saya sadar, bahwa semakin modern pergaulan manusia, empat kata itu bukan tidak mungkin akan tergerus oleh gaya hidup yang (mungkin) akan jauh dari adab dan sopan santun.

Utamanya pada kata terima kasih, yang intinya merupakan bentuk apresiasi kita kepada orang lain. Pada dasarnya orang suka merasa dihargai, begitu juga sebaliknya, dia juga berusaha agar orang lain pun merasa dihargai. Vice versa, ketika kita menghargai orang lain, maka hal yang sama akan mereka lakukan kepada kita, karena segala kebaikan sesungguhnya akan kembali kepada kita, sekecil apapun bentuk kebaikan itu. Some things work nicely that way.

Saya percaya bahwa dengan menciptakan siklus niat baik akan membuat orang lebih bersedia melakukan sesuatu untuk kita lagi di masa depan. Semacam karmic energy; what goes around comes around.

Seperti halnya ketika ucapan terima kasih itu saya terapkan kepada putri saya, sekali pun itu cuma karena dia sudah membantu saya mengambilkan tissue, membuang sampah ke tempatnya, membereskan mainannya sendiri, atau sekadar mencium dan memeluk saya sepulang kerja. Balasan yang saya terima kadang bisa jauh lebih indah daripada yang sudah saya ucapkan, “sama-sama, Mama. I love you…” Manis, bukan?

Terima kasih adalah salah satu hal yang paling sering saya ucapkan baik secara lisan maupun tulisan, kepada siapapun yang saya merasa telah membantu saya. Jangankan kepada yang benar-benar membantu, kepada teman yang telah meluangkan waktu untuk bertemu di sela kesibukannya saja, saya pasti bilang terima kasih, baik itu di menjelang waktu berpisah atau ketika sudah berpisah. Biasanya kalau sudah berpisah, saya akan mengirim pesan sekadar buat bilang, “terima kasih ya kumpul-kumpulnya…”, atau “terima kasih ya buat makan siangnya…”,atau “terima kasih ya sudah nyempetin ketemu, padahal aku tahu kamu/kalian pasti lagi sibuk banget..”, semacam itu. Bahkan kepada abang ojek online/taksi sekali pun, biasanya, setelah memberikan arahan ke mana atau lewat mana via sms/telepon, hal yang selalu saya ucapkan di akhir kalimat/pesan adalah, “terima kasih.”, begitu juga ketika mereka telah selesai mengantar saya.

MYXJ_20170826194141_save

Contoh kecil lainnya, ketika di kasir setelah menyelesaikan pembayaran/transaksi, atau kepada pramusaji di tempat makan, yang saya lakukan adalah bilang, “terima kasih ya, Mbak/Mas…”. Untuk apa? Ya untuk pelayanan, waktu, dan attitude saat mereka melayani saya, karena saya sadar bahwa begitulah sesungguhnya manusia ingin diperlakukan.

Melupakan atau mengabaikan ucapan terima kasih itu tidak hanya akan membuat kita terlihat buruk/kasar/tidak tahu diri di mata orang lain, tapi juga mengganggu perasaan dan pikiran orang lain. Jadi seberapa penting dan sibuknya kita, jangan pernah lupakan untuk bilang terima kasih kepada siapapun yang telah membantu, walaupun itu cuma hal kecil yang telah mereka lakukan untuk kita.

Mengapa ucapan terima kasih itu sangat penting? Mengapa kita jadi begitu terluka dan kecewa saat ada pihak yang tidak berterima kasih kepada kita? Bukankah itu cuma hal yang sepele, ya?

Saat kita mengucapkan “terima kasih”, itu artinya kita berterima kasih kepada individu karena telah ‘memilih’ untuk melakukan sebuah tugas atau aktivitas (yang kita minta) dengan mengorbankan waktu dan tenaga mereka. Sebaliknya, ketika kita abai, lupa tidak mengucapkan terima kasih kepada seseorang untuk menyelesaikan tugas/aktivitasnya tersebut, pasti ada rasa penyesalan di hati mereka. Pikirnya, “sudah dibantu, kok nggak ada bilang apa-apa, ya? Tahu gitu tadi aku ngerjain yang lain aja, ngapain ada di sini buat bantu-bantu mereka…”

Ucapan ‘terima kasih’ menunjukkan apresiasi dan penghormatan sekaligus indikasi bahwa kita peduli. Itulah sebabnya mengucapkan terima kasih itu penting buat orang lain. Dengan membuat orang lain merasa penting dan dihargai, sama saja kita telah mencerahkan hari seseorang dengan cara yang paling sederhana namun efektif.

Jadi, ucapan ‘terima kasih’ ternyata memiliki sebuah kekuatan yang ajaib. Sama halnya dengan kata ‘maaf’ dan ‘tolong’, yang walau terlihat seperti kata-kata ‘begitu doang’, tapi nyatanya mereka bekerja seperti sebuah shorthand yang bisa mengubah segalanya menjadi jauh lebih baik.

Terima kasih, juga bukan melulu berhubungan dengan materi. Seperti misalnya, ketika saya diminta untuk memandu sebuah acara, yang saya pikirkan pertama kali adalah, bagaimana acara itu berjalan dengan baik, lancar, dan sebisa mungkin minim kesalahan. Apalagi jika yang hadir adalah para pejabat tinggi, undangan dari instansi lain, atau pejabat lainnya setingkat menteri. Ketika acara berjalan dengan baik, lancar, dan sesuai dengan yang diharapkan, itu sudah memberikan kepuasan dan kelegaan tersendiri buat saya. Kalau misal ternyata pascatugas ada uang jasa/materi, buat saya itu adalah bonus. Kasarannya, kalau ada ya saya terima, kalau tidak ada pun tidak apa-apa.

Kadang saya suka iseng mikir, ada untungnya juga terbiasa bekerja secara probono, jadi yang ada dalam mindset saya adalah semua acara yang saya pandu sesungguhnya merupakan ajang latihan sekaligus penambah jam terbang/pengalaman. Intinya, selama bisa saya bantu, akan saya lakukan, dan sebisa mungkin saya maksimalkan. Tapi jika memang tidak bisa, atau kebetulan di luar kapasitas saya, saya pasti akan bilang, atau saya tangguhkan. Bagi saya saya profesionalisme itu bukan melulu diukur dari seberapa besar uang jasa yang saya terima, tapi
seberapa puas pihak yang menggunakan jasa saya, karena kepuasan user itu nilainya bisa lebih besar dari uang jasa yang saya terima.

Sejatinya kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan tidak bisa hidup sendiri. Ucapan terima kasih itu adalah bagian dari etiket dan sopan santun dalam hidup sehari-hari, yang bisa dilakukan kapan saja, tidak perlu usaha berlebihan, dan gratis.

Percayalah, ketika kita terbiasa mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang sudah dilakukan orang lain dalam hidup kita, akan ada hal-hal lebih besar lainnya yang akan mengikuti. Memang tidak akan terjadi dalam sehari semalam. Tapi dengan memperhatikan hal-hal kecil semacam itu, kita akan menjadi lebih peka terhadap langkah-langkah kecil yang mengarah pada hal-hal yang lebih besar.

Sebagai manusia kita dikaruniai kepekaan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang pantas diucapkan dan mana yang tidak. Dan, salah satu cara agar kita dihargai oleh orang lain ya dari bagaimana cara kita menghargai orang lain.

Jadi, jangan pernah lupa mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang telah meluangkan waktu untuk membantu kita. Soal ikhlas atau tidak mereka membantu kita, biarkan itu jadi urusan mereka. Tapi ucapan terima kasih punya kekuatan mengubah mindset seseorang, bantuan yang tadinya tidak ikhlas bisa berubah jadi ikhlas, dan bantuan yang sudah ikhlas bisa jauh lebih ikhlas lagi.

“We must find time to stop and thank the people who make a difference in our lives”
– John F. Kennedy –

Buat kalian, terima kasih ya sudah membaca endapan pikiran dan emosi semi kontemplasi ini. Selamat berakhir pekan bersama orang-orang tercinta, ya…
[devieriana]

 

picture source:Pinterest

Continue Reading

Business Etiquette

IMG-20130301-06376

Seperti janji saya di tulisan sebelumnya, saya akan melanjutkan cerita selama mengikuti Protocol Training Programme for Indonesia di Singapore beberapa waktu yang lalu. Postingan yang sedikit panjang, semoga tidak membosankan untuk dibaca, ya ;;)

———-

 

MISS SINGAPORE!

Di program diklat keprotokolan ini kami tidak hanya belajar tentang hal-hal teknis mengenai keprotokolan saja, tapi juga belajar tentang soft skills dan business etiquette. Materi ini sama pentingnya dengan materi teknis yang diajarkan di hari kedua sampai dengan hari keempat karena seorang protokol bukan harus menjadi seorang yang kaku; dia justru harus bisa menjadi seorang yang luwes dan bisa membawa diri; seorang yang menguasai konsep etika, baik etiket pergaulan di dalam dunia kerja maupun etiket pergaulan secara umum.

Training tentang Business Etiquette ini berlangsung selama 2 hari di Park Royal Hotel di daerah Kitchener Road, Singapore. Seperti yang sempat Uda Faizal ceritakan di saat menjemput kami dari Changi menuju hotel, materi Business Etiquette ini akan dibawakan oleh seorang mantan Miss Singapore!  Serentak kami berseru riuh! Padahal belum tahu yang akan mengajar kami nanti Miss Singapore tahun berapa ;)), yah… yang penting antusias saja dulu, karena ini bisa jadi pengalaman langka bisa bertemu dengan seorang mantan ratu kecantikan dari negara lain. Ah, jangankan mantan ratu kecantikan dari negara lain, lha wong sama mantan ratu kecantikan dari negara sendiri saja belum tentu bisa ketemu, kok :-j

Diklat hari itu dimulai tepat pukul 09.30 waktu Singapore dengan didahului acara foto formal bersama. Setelah acara sambutan dari perwakilan Ministry of Foreign Affair kami langsung masuk ke materi Business Etiquette yang ternyata beneran dibawakan oleh mantan Miss Singapore lho. Tapi tahun 1987, yaitu, Ms. Marion Nicole Teo! Yaaay! \:D/

marion teo
Marion Nicole Teo

Awalnya saya belum sadar kalau perempuan tinggi semampai yang tadi sempat bicara dengan liaison officer kami itu adalah calon trainer yang akan mengajar kami selama 2 hari ke depan; saya juga belum ngeh kalau dialah yang dimaksud oleh Uda Faizal sebagai Miss Singapore itu. Baru sadar kalau Marion —demikian kami memanggil— adalah mantan Miss Singapore setelah dia memperkenalkan diri, walaupun tanpa cerita dengan kalimat eksplisit, “saya adalah Miss Singapore tahun 1987”, tapi dari detail cerita yang sempat dia share di depan kelas sudah membuat kami tahu bahwa yang berdiri di depan kami ini adalah sosok yang diceritakan oleh Uda Faizal kemarin.

———-

FIRST IMPRESSION

Marion membuka slide-nya dengan kalimat ini:

“You never get a second chance to make a first impression ”
– Will Rogers –

Marion: “It is only 10 seconds for people to form an opinion of  you. This opinion stays in their mind, and you rarely get a second chance to change it; most of the time you haven’t even said a full sentence…”

Kesan pertama itulah adalah yang akan menjadi hal yang paling diingat pertama kali. Ketika kita bertemu dengan seseorang, kita memiliki kurang lebih 5 menit untuk membangun hubungan yang positif dengan orang tersebut. Tapi bagian yang memiliki pengaruh 4x lebih besar untuk memproyeksikan diri kita di depan orang lain adalah komunikasi yang berasal dari bahasa nonverbal (body language). Dalam hal ini eye contact, body movement, cara bersalaman yang baik, dan cara bertukar kartu nama yang benar, memegang kunci keberhasilan pembentukan first impression.

Lalu, bahasa nonverbal apa sajakah yang bisa mempengaruhi first impression itu? Ada yang dinamakan “The Rule of Ten”:

1. First 10 words, adalah 10 kata pertama yang menunjukkan penghargaan kita kepada orang lain;
2. Top 10 factors, lebih ke tampilan fisik, seperti misalnya tatanan rambut yang sesuai dengan bentuk wajah, kondisi kulit yang sehat dan terawat,penggunaan make up yang sesuai dengan situasi dan kondisi, senyum yang tulus dan tidak dibuat-buat, gigi yang terawat, confident shoulders (bahu yang tegak, tidak membungkuk), kerah baju yang bersih, dan penggunaan aksesoris yang sesuai;
3. Top bottom 10 factors, meliputi tampilan bagian bawah kita, contohnya sepatu yang bersih dan tersemir, pemilihan sepatu yang sesuai (sepatu berujung lancip membuat kesan tinggi), pemakaian kaos kaki dengan warna yang sesuai (terutama untuk pria), kerapian kuku kaki (terutama untuk perempuan yang menggunakan sepatu dengan model peep-toe shoes), stocking yang dipakai tidak sobek/bergaris/berlubang, celana dengan garis setrika yang rapi (iron fold), dll. Untuk perempuan, umumnya warna sepatu menyesuaikan dengan warna tas, sedangkan untuk laki-laki, warna sepatu bisa menyesuaikan dengan warna belt.
4. Last 10 minutes of  interactions, atau percakapan penutup; ini juga penting dalam membentuk image yang positif. Usahakan kesan terakhir inilah yang akan menjadi lasting impression 😉

———-

 

PERKENALAN

Dalam perkenalan, tentu kurang afdol kalau tidak bersalaman, kan? Nah, cara bersalaman yang ideal tentu bukan dengan cara meremas tangan lawan bicara terlalu keras, atau terlalu ‘lembek’ sehingga terkesan kurang antusias, atau durasi bersalaman yang terlalu lama (ceritanya lupa melepas tangan lawan bicara gitu ;))). Bersalamanlah secara wajar,  ayun tangan lawan bicara maksimal 2-3 kali. Di acara kenegaraan, sering kali kita melihat 2 orang kepala negara yang  bersalaman dengan mengayun tangan agak lama; hal ini sengaja dilakukan untuk kepentingan pemotretan/dokumentasi.

Saya juga baru tahu kalau ternyata ada jarak ideal dalam bersalaman. Jika bersalaman dengan sesama laki-laki, jaraknya adalah kurang lebih 1 lengan. Jika bersalaman antara lelaki dan perempuan jaraknya kurang lebih 1.5 lengan. Jika bersalaman antarperempuan jaraknya boleh lebih dekat.

Cara penyebutan nama pun diatur secara formal dan non formal. Untuk penyebutan nama secara formal kita bisa menyebut last name orang tersebut, misalnya Ms. Teo. Tapi kalau nonformal kita boleh menyebut nama depan orang tersebut, misalnya Ms. Marion. Kalau di Indonesia aturan ini tidak terlalu berlaku, kebanyakan kita menyebut seseorang dengan nama depannya karena kita tidak memberlakukan first name atau last name, kecuali dalam pergaulan internasional

DSCN0301
Business Etiquette training

Soal serah terima kartu nama pun ada etikanya. Name card holder sebaiknya dibawa di tangan (kiri), bukan di saku celana. Kalaupun memang harus ditaruh di saku, tempatkanlah di saku kemeja/jas, karena ada kultur di negara tertentu yang kurang suka jika kartu nama dikeluarkan dari dalam saku celana.

Setelah menerima kartu nama jangan lupa untuk mengulang nama si pemberi kartu nama. Serahkan kartu nama dengan menggunakan 2 tangan; wajah kartu nama menghadap si penerima (supaya memudahkan si penerima membaca kartu nama kita). Jangan menuliskan apapun di balik kartu nama yang diberikan oleh orang lain, jika memang harus menulis suatu info tentang orang tersebut tulislah di kertas lain, atau biarkan si pemberi kartu nama itu yang menuliskan additional info tentang dirinya.

Marion: “di setiap pertemuan formal/nonformal, biasanya saya selalu membawa sebuah kertas kecil seukuran kartu nama, to write down whatever I think is important; ini untuk mencegah saya menulis apapun di balik kartu nama orang lain, kecuali dengan seizin pemilik kartu nama.”

—–

TABLE MANNERS

DSCN0315
table manner

Di diklat Business Etiquette yang berlangsung selama 2 hari penuh ini kami banyak belajar tentang etika secara khusus dan umum. Ada yang unik, ternyata di Singapore jika ada yang bertanya, “have you eaten?” kita harus menjawab, “yes, thank you”, karena kalau kita menjawab dengan “no, not yet” pasti dipikir kita minta dibelikan makan ;))

Ada banyak up date informasi yang saya peroleh, salah satunya tentang  dining etiquette  yang ternyata sudah banyak berubah dengan dibandingkan dengan pelatihan table manner yang diadakan di Hotel Mulia Senayan 2 tahun yang lalu. Di Asia, kita tidak harus mengikuti tata cara makan yang sesaklek western style; kita boleh memodifikasi tata cara makan menyesuaikan dengan kultur orang Asia.

—–

COLOURS MANAGEMENT & FASHION SENSE

Hampir semua yang diajarkan oleh Marion semuanya menarik, tapi yang paling menarik yaitu Colours Management (padu padan warna) dan Fashion Sense (gaya berbusana). Di materi ini kami belajar tentang bagaimana cara memadu padan busana dengan warna yang sesuai, mengukur body profile (proporsi tubuh, panjang leher, mengenali  bentuk wajah, dan bentuk bahu). Di sini kami juga diajarkan tentang Illusion Dressing (bagaimana memilih busana sehingga terlihat badan terlihat lebih ideal, lebih tinggi, dan lebih langsing).

color management 1

color management
warm colours and cool colours

Soal pemilihan warna jas, semakin gelap warna setelan jas itu, semakin formal pulalah tampilannya. Setelan jas abu-abu lebih banyak digunakan sebagai setelan jas kerja. Sedangkan warna setelan jas biru tua biasanya dipakai untuk setelan pagi/siang hari, atau sebagai setelan jas nonformal di malam hari. Untuk pakaian resmi, setelan jas warna hitam masih merupakan pilihan terbaik :-bd.

single breasted suit
Single Breasted Suit (kancing paling bawah selalu dibiarkan terbuka)

Ada up date yang saya baru tahu seputar etika pemakaian jas. Sejauh yang saya ketahui,  jika jas itu berbentuk Single Breasted (seperti foto di atas, bagian depan jas jenis ini bertemu di bagian tengah, jumlah kancingnya bervariasi bisa dua atau tiga kancing) tutuplah kancing paling atas untuk jas berkancing dua, dan dua teratas bila memiliki tiga kancing. Posisi kancing jas paling bawah harus selalu dalam keadaan terbuka. Setahu saya itu merupakan etika umum penggunaan jas. Bila seseorang membuka kancing jasnya paling bawah pertanda dia paham cara memakai jas yang benar, karena dengan melepas kancing paling bawah tampilan jas akan tetap terlihat baik ketika tangan dimasukkan ke dalam saku  celana. Nah, kemarin ketika saya tanyakan itu kepada Marion, dia menjawab hal yang sebaliknya; mengancingkan seluruh kancing jas saat posisi berdiri itu tidak masalah, karena tidak ada aturan baku yang mengatur tentang itu.

Hmmm… jadi galau :-??

—–

“Fashion is a reflection of your taste. Wear to suit who you are, what you do, and your age.”
@};-

 

[devieriana]

foto: koleksi pribadi dan salah satunya dipinjam dari sini

Continue Reading

Service Excellent (2)

Disclaimer : tulisan ini dibuat bukan bermaksud untuk membandingkan brand taksi yang satu dengan lainnya. Hanya sekedar berbagi pengalaman yang berkesan dengan seorang sopir taksi yang attitude-nya lain daripada yang lain.

—–

Dulu, sejak saya masih di Surabaya dan masih sering mondar-mandir ke Jakarta, saya sering menggunakan jasa layanan taksi berlambang burung biru terutama guna mengantarkan saya ke bandara pagi-pagi buta untuk mengejar first flight. Di beberapa kota besar selain Jakarta sepertinya citra perusahaan transportasi tersebut masih terbilang positif dan bahkan menjadi favorit semua orang. Tak terkecuali saya pada waktu itu.

Namun sejak berdomisili di Jakarta, ternyata citra tentang perusahaan transportasi favorit saya itu justru sebaliknya. Di Jakarta, taksi-taksi dengan brand non burung birulah yang jadi favorit penumpang. Alasannya kebanyakan karena sopir taksi burung biru kurang paham dengan jalanan ibu kota. Sebenarnya sih cukup bisa dipahami. Tingkat kesulitan untuk menghafal hampir semua rute jalanan ibu kota lebih besar ketimbang menghafal jalanan di daerah yang relatif lebih kecil. Untuk ukuran kota sebesar Jakarta dengan segenap gang, ceruk, dan lekukan, serta banyaknya nama daerah/jalan yang harus dihafal kurang memungkinkan untuk driver-driver yang kebanyakan masih muda dan mungkin belum pernah berpengalaman menjadi sopir taksi untuk langsung berjibaku di jalan raya. Walaupun semua itu tidak bisa dianggap sebagai pemakluman ya. Karena resiko terjun “berkarir” sebagai seorang sopir taksi ya harus tahu jalan. Kan nggak lucu kalau driver dan penumpangnya sama-sama nggak tahu jalan dan akhirnya nyasar berjamaah.

Nah, beberapa waktu yang lalu kebetulan saya pulang kantor naik taksi. Berhubung sudah lama berdiri di pinggir jalan dan taksi yang saya tunggu selalu penuh, akhirnya ya sudahlah saya putuskan untuk naik taksi burung biru yang lewat di depan saya. Awalnya sih sama saja, seperti biasa, tidak ada yang istimewa dengan pelayanan driver-nya. Hingga beberapa meter lepas dari kantor driver itu menunjukkan pelayanan yang “lain daripada yang lain”.

Kalau soal menyapa penumpang dan menanyakan arah tujuan sih sudah biasalah ya. Tapi kalau sampai menanyakan apakah AC-nya sudah cukup/kurang dingin buat saya, apakah tempat duduknya sudah cukup nyaman, atau ada beberapa greeting yang tidak biasa saya dengar, sepertinya dia memang berbeda . Kalau naik taksi kan biasanya kalau kita sudah naik ya sudah naik saja, tinggal menyebutkan tujuan kita kemana, ingin lewat mana, sampai di tujuan kita tinggal bayar sesuai dengan argo. Selesai. Tapi ketika kita bukan hanya sekedar diantar tapi juga ditanyakan apakah kita sudah cukup nyaman berada di dalam  taksinya. Itu yang tidak biasa.

Diam-diam di sela kesibukan saya memelototi timeline twitter, saya memperhatikan lagi si Bapak yang saya perkirakan berusia sekitar 40-an itu. Kalau pelayanannya seperti ini jangan-jangan memang perusahaan sedang ingin memperbaiki citra yang kurang bagus di mata konsumen nih. Bagus juga ide perubahannya. Pikir saya. Ah, saya benar-benar seperti seorang mistery shopper deh kalau begini. Itu lho, pihak independen yang bertugas menilai kinerja badan usaha (pihak) tertentu yang salah satunya bertujuan untuk mengukur/mengetahui tingkat kepuasan konsumen. Oh ya, ketika masih aktif di dunia pelayanan dulu saya juga sering bertindak sebagai seorang mistery shopper/caller untuk mengukur seberapa jauh pengetahuan mereka tentang produk, bagaimana cara mereka melayani pelanggan dengan berbagai macam karakter, bagaimana cara penyelesaian mereka ketika menangani kasus tertentu, dll..  *pasang topeng* ;))

Beberapa saat kemudian, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, tiba-tiba handphone Si Bapak itu berbunyi nyaring. Lagi-lagi saya dibuat terkesima dengan attitude beliau. Sebelum menerima telepon ternyata dia meminta izin apakah saya berkenan jika dia menerima telepon saat itu. Kalau driver lain mah boro-boro minta izin, kadang nyetir juga ada yang disambi sms-an kok :|.

Driver : mohon maaf Ibu, saya mohon izin menerima telepon, boleh?
Saya : oh, silakan Pak.. *bengong*
Driver : terima kasih..

Tak lama, terdengarlah konversasi antara Bapak itu dengan seseorang di ujung sana :

Driver : selamat sore, Pak.. Iya, bisa dibantu? Saya sekarang sedang mengantar tamu, Pak. Benar sekali. Mohon maaf, bisa kita sambung lagi nanti, Pak? Atau nanti saya yang akan menghubungi Bapak kembali.. Baik, Pak. Terima kasih. Selamat sore..

Wow. Saya seperti mendengar seorang mantan petugas call centre atau customer service officer deh. Saya paham betul diksi dan gaya bahasa yang teratur rapi seperti itu. Kira-kira Si Bapak ini baru ikut training, sengaja berimprovisasi, atau memang pembawaannya seperti itu ya? Satu hal lagi yang membuat saya saya salut adalah beliau membahasakan saya dengan sebutan “tamu”, bukan “penumpang”. Itu yang selama ini jarang saya dengar.

Tidak hanya berhenti disitu saja ternyata. Di akhir perjalanan, mendekati tempat yang saya tuju Bapak itu menyampaikan sebuah greeting penutup :

“Sebentar lagi Ibu akan sampai di tempat, silakan diperiksa kembali barang bawaan Ibu, jangan sampai ada yang tertinggal. Jika selama perjalanan ada tingkah laku kami yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Terima kasih telah menggunakan layanan kami, selamat sore. “

Speechless sayanya. Berasa naik pesawat yah ;)). Sebagai orang yang pernah lama menjalani pekerjaan di bidang pelayanan konsumen menjadikan saya jauh lebih peka. Beginilah seharusnya pelayanan sebuah perusahaan transportasi besar, tidak hanya sekedar mempekerjakan driver yang memiliki skill menyetir dan mengantarkan tamu/penumpang dengan selamat sampai tujuan, tapi juga juga membekali mereka dengan soft skills, pengetahuan tentang etika, dan standar pelayanan. Hal yang remeh sih ya, cuma sapaan doang. Tapi itu membuat saya harus memberi acungan jempol untuk pelayanan Bapak itu. Beliau tahu bagaimana cara memberikan service excellent. Pelayanan prima, pelayanan yang melebihi ekspektasi konsumen. Terlepas dari apakah itu hasil training (pendidikan) sebelum mereka diterjunkan ke jalan raya, ataukah memang improvisasi beliau sendiri.

Setelah kejadian itu, saya jadi penasaran untuk naik lagi brand taksi yang sama dengan yang saya naiki waktu itu. Tujuannya hanya satu yaitu untuk membuktikan apakah saya akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan waktu saya naik taksi yang kapan hari. Iseng banget yah? :p

Hasilnya? Tidak ada satu pun yang memberikan hal yang sama dengan Bapak itu. Setelah menanyakan tujuan saya kemana, mereka kebanyakan ya lanjut saja. Tidak ada obrolan atau sapaan sekedar menanyakan AC, menanyakan kenyamanan saya, meminta izin ketika akan menerima telepon, atau menyampaikan salam ketika saya akan tiba di tempat tujuan.

Kalau iya itu adalah salah satu cara membentuk/memperbaiki citra perusahaan ya seharusnya semua attitude sopir taksinya sama dong? Lha wong dari satu label perusahaan, kenapa yang satu bisa bagus banget, sedangkan yang lainnya biasa banget? Tapi buktinya tidak begitu. Hanya satu saja yang seperti tadi.

Atau, ini misalnya ya, semua salam itu adalah bagian dari salah satu “aturan khusus” bagi driver senior dengan level tertentu tapi buktinya waktu saya di Bandung dan kebetulan menumpang brand taksi yang sama tapi pelayanannya kok nggak gitu ya? Saya sempat melihat identitas Si Bapak Driver (yang memang santun ini) levelnya sudah Ketua Group, tapi saya tidak melihat ada hal istimewa ketika membawa kami hingga ke tujuan tuh :-?. Saya dan Si Hubby bahkan sempat saling berpandangan ketika Si Bapak ini tetap menerima telepon ketika  Blackberry-nya berdering (tanpa izin-izinan pada kami) , menginformasikan tentang adanya interview calon driver kepada penelepon di ujung sana. Nah lho.. jadi sebenarnya tidak ada bedanya dong apakah dia seorang driver junior atau senior, apakah dia anggota group atau ketua group, kan?

Ah ya, sayang sekali saya tidak mencatat identitas Si Bapak Driver yang sudah memberikan pelayanan sempurna kapan hari. Kalau ada, sepertinya saya harus merekomendasikan Bapak itu agar bisa menjadi panutan bagi rekan kerja lainnya.

Anyway, you did a good job, Sir! :-bd


[devieriana]

 

Continue Reading

Tentang “Copy-Edit-Paste” Itu..

Akhirnya, setelah seminggu menjalani Diklat Keprotokolan di Pusdiklat, saya bisa menyentuh laptop juga. Kemarin memang selama diklat sengaja nggak bawa laptop karena bawaan sudah ribet, dan kebetulan materi yang diajarkan juga tidak ada yang berupa take home task.

Jadwal yang padat juga menyebabkan rutinitas setelah makan malam adalah ngobrol sebentar dan lalu masuk kamar masing-masing. Di kamar pun kadang saya bisa langsung terlelap. Maklum mata saya kan mata bayi, nggak bisa diajak begadang sedikit, kecuali diniatin dan minum kopi.

Baiklah, saya boleh langsung CCG alias Curhat-Curhat Gemes ya? Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu saya di-mention oleh seorang teman blogger di twitter yang bilang kalau ada salah satu tulisan di blog abal-abal saya ini yang di copy paste oleh seseorang di http://hanyanulis.wordpress.com/2011/02/20/pilih-mana-bekerja-atau-berkarir yang kebetulan isinya sama persis dengan tulisan saya yang berjudul Jangan Jadi PNS! cuma beda judul doang 🙂

Sempat heran, masa sih blog saya yang begini-begini saja tulisannya bisa memancing orang untuk melakukan copy paste? Atau mungkin karena saking abal-abalnya blog saya itulah yang mungkin membuat orang yang berniat copy paste berpikir, “halah, nggak akan ada yang bakal aware, deh… nggak ada yang kenal ini…”

Tapi ternyata walaupun tulisan di blog saya itu terdiri dari tulisan-tulisan nggak mutu dan remeh ini ternyata masih ada yang baca dan bahkan sampai mengenali  gaya penulisan saya, dan topik yang pernah saya tulis sebelumnya.

Memang konsekuensi orang yang punya blog salah satunya adalah harus melakukan update konten secara berkala. Tapi masalahnya terkadang inspirasi nggak bisa muncul seketika dan langsung bisa dituang dalam bentuk tulisan. Kadang ide berhubungan juga dengan mood. Sudah ada ide, tapi nggak ada mood nulis. Atau sebaliknya, ada mood nulis tapi nggak ada ide. Buat saya mood itu penting untuk menghasilkan tulisan yang “berjiwa”. Nah masalahnya (lagi), moodnya jarang ada yang pas, jadi ya nggak posting-posting :((. Terlalu banyak alasan saya ini! *keplak diri sendiri*

Nah trus, gimana kalau mengalami writers block, tulisan macet, nggak ada ide samasekali? Ini sih penyakit klasik, ya. Kalau saya sihmemilih nggak nulis aja selama beberapa waktu sambil melakukan penyegaran otak. Baca-baca lagi draft postingan, atau yang paling sering ya dengan cara blog walking secara berkala di waktu senggang. Biasanya sih setelah melakukan blogwalking langsung ada beberapa ide segar untuk diolah menjadi tulisan. Ingat, bukan copy paste ya. Mengolah inspirasi hasil blog walking itu menjadi tulisan dengan gaya bahasa kita sendiri.

Yang terpenting dari keseluruhan proses blogging adalah kalau kita memang butuh kutipan pernyataan tertentu untuk melengkapi tulisan, ya minta izin dari narasumbernya, atau menyertakan link tulisan yang mengarah ke pernyataan narasumber tersebut. Akan tidak etis rasanya kalau pernyataan seseorang dengan mentah-mentah kita copy paste dan kemudian kita akui sebagai pernyataan kita. Saya yakin kalau kita minta izinnya baik-baik si empunya tulisan nggak akan keberatan kok.

Ada komentar menarik ketika seorang teman bilang begini, “harusnya kamu seneng karena tulisan kamu di copy paste sama orang, karena itu berarti tulisan kamu menarik..”. Eh, tahu nggak sih, nulis blog itu juga pakai mikir lho. Kalau cuma sekedar copy paste aja sih semua orang pasti bisa. Tapi berusaha membuat karya yang original, tentu tidak mudah.

Sebenarnya sampai sekarang saya masih menunggu itikad baik dari pemilik blog untuk bersedia melakukan klarifikasi darimana dia dapatkan kalimat per kalimat yang ditulis di blognya tersebut. Karena setelah ditelusuri oleh seorang teman ternyata yang menjadi korban plagiarisme bukan hanya tulisan saya, tapi juga ada beberapa tulisan lainnya disana 🙁 *prihatin*

Saya nggak akan marah kok, justru akan senang kalau  si pemilik blog  berbesar hati mau mengakui kalau tulisan-tulisan yang diposting di blognya adalah hasil tulisan blogger yang lain. Kalau buat saya sih percuma blog saya rame, banyak yang komen, banyak yang berlangganan RSS feed, tapi kalau postingan saya nggak ada yang murni hasil tulisan saya ya buat apa? Itu kalau saya, ya.

Ya udahlah ya, saya cuma bisa ikut mendoakan, semoga pemilik blog tersebut dikembalikan ke jalan yang benar dan dibebaskan dari jiwa plagiarisme.. [-o<
Amien…

 

 

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari http://inioke.com dan http://tanyajawabannya.wordpress.com

 

 

Continue Reading