Welcome, My Short Hair!

Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan rambut pendek. Selain itu Mama dan adik saya yang perempuan juga berambut pendek. Jadilah kami sekeluarga kompak berambut pendek. Rambut terpanjang yang saya punyai saat itu sepanjang sebahu, habis itu potong pendek lagi. Sejak bekerja rambut saya makin pendek lagi. Potong shaggy super pendek menjadi “trademark” saya (halah, trademark). Selain kepala terasa lebih enteng dan irit shampo, setiap harinya saya juga jadi nggak perlu repot-repot ngeblow atau menata rambut. Karena kadang hanya dengan menggunakan jemari tangan saja rambut pendek saya sudah tertata sendirinya secara alami.

Nah, sejak menikah rasanya tahun 2007 adalah tahun terakhir kali saya berambut cepak. Alasannya karena suami lebih suka melihat saya berambut panjang, katanya biar saya terkesan lebih perempuan. Katanya lagi, biar saya nggak tertukar sama sekuriti di mall-mall. Dih, masa iya segitunya saya bisa sampai ketuker sama srikiti! :|. Walaupun harus melawan ego saya yang lebih suka dengan rambut cepak, akhirnya demi memenuhi permintaan suami ya sudahlah saya relakan rambut saya gondrong.

Nah ternyata ada plus minusnya juga berambut panjang. Plusnya, kita bisa mengkreasikan rambut dalam berbagai gaya. Bisa dibuat gaya rambut ikal, atau lurus. Bisa di gerai, atau diikat. Karakter saya yang periang menjadi terlihat lebih dewasa dan kalem dengan rambut panjang ;;). Iya, nipu-nipu dikit gitulah. Minusnya, berhubung rambut saya cenderung kering namun berminyak maka mau tak mau harus keramas tiap hari, dan itu membutuhkan waktu untuk menatanya menjadi apa yang saya mau, karena kalau nggak ditata rambut saya jadi kaya kepala singa :|. Selain itu butuh budget tersendiri juga untuk membuat rambut tumbuh panjang dan sehat. Nah, padahal saya orangnya kurang telaten jika harus ribet. Alhasil rambut saya pelan-pelan mulai mengalami kerontokan :-s.

Dalam minggu ini jumlah rambut yang rontok ternyata semakin banyak. Mungkin karena rambut saya stress dan kurang nutrisi ya, jadi akarnya kurang kuat :((. Untuk langsung potong rambut begitu saja tentu bukan suatu proses yang mudah. Harus “berantem” dulu sama suami. Bukan berantem beneran kok, tepatnya diskusi panjang karena ini menyangkut keridhoan suami terhadap masa depan rambut saya. Halah :)).

Setelah berdiskusi panjang dan manyun-manyunan semaleman, akhirnya keesokan harinya si Hubby memperbolehkan saya untuk potong rambut dengan syarat : hanya 5-10 senti, dan tidak boleh lebih pendek dari bahu. Pilihan yang sulit sebenarnya, karena saya memang nawaitunya potong pendek beneran :p. Tapi ya sudahlah, setelah adegan tawar menawar yang alot, diakhiri dengan sesi mengalahnya suami terhadap keinginan saya untuk potong rambut pendek,. Hahay, akhirnya saya pun berangkat ke salon dengan hati riang dan berbunga-bunga. Dramatis banget ya? :))

Seumur-umur, baru kali ini lho berangkat ke salon aja deg-degan. Apalagi setelah dikeramasin dan duduk di kursi salon, berasa akan menghadapi tukang jagal beneran deh.

“Potong apa nih, Kak?”
“Mmmh, potong pendek aja, aku udah bosen model rambut panjang nih. Yang bagus kaya gimana yah? Maunya sih sebahu aja..”
“Ih, tanggung amat sih, Kak. Dibawah kuping sekalian yah?”
“Hah? Jangan dong, itu sih kependekan namanya.. Bisa dikarungin sama suami nih.. :|”
“Eh, biar segeran tau, Kak. Serius deh. Tar aku bikin rambutnya oke deh. Mau yah?”
“Errr, tapi jangan pendek-pendek!”
“Iyaa, tenang aja, akan kubikin Kakak keliatan lebih imut..”
” 😐 “

Dan..

KRES! KRES! KRES! Si Mas Kapster itu pun mulai membabat habis rambut panjang saya yang sepunggung itu hingga benar-benar menyisakan rambut sepanjang… dibawah telinga seperti yang dia bilang tadi :|. Haduh, saya langsung panik beneran, karena janji saya ke Si Hubby kan hanya potong sampai sepanjang bahu, bukan sependek ini :-s. Jujur kacang ijo, agak takut diomel-omelin Si Hubby yang waktu itu lagi di Hypermart nih, yang sejak saya masuk salon sudah warning di BBM : “Jangan pendek-pendek!”. Tapi nyatanya rambut saya pendek juga. Apalagi setelah di hair dryer, makin terlihat pendeklah.. 😐

Walaupun saya memang terlihat jauh lebih segar dibandingkan ketika berambut panjang, dan sebenarnya dalam hati pun saya merasa lega karena akhirnya boleh potong (ke)pendek(an), tapi diam-diam ketar-ketir juga membayangkan apa reaksi Si Hubby melihat penampakan saya nantinya :-?. Saya pun akhirnya menyusul Si Hubby ke Hypermart. Reaksinya adalah :

“Bwahahaha, ini sih Polwan banget. Kamu Briptu Devi yah? Kamu dari Sekretariat Militer yah? Hormaaat, graakk!” =)), tukasnya seraya tertawa geli.

Duh, ini reaksi positif apa negatif yah? :-w. Tapi sepertinya dilihat dari “kepasrahannya” sih positif, karena ternyata dia nggak ngomel-ngomel sama saya tuh. Malah ketawa-ketawa geli. Ya sudahlah, apapun reaksinya, sekalian menghibur diri biar kata aslinya responnya negatif saya bilang positif ajalah ya, karena toh nggak mungkin mengembalikan rambut saya menjadi panjang kan? Ibaratnya nasi sudah menjadi bubur, biar enak ya ditambahin ayam, cakue, seledri, dan bawang goreng, kan? ;)). Bubur ayam dong..

Untuk mengembalikan ke rambut panjang tentu butuh waktu. Tapi biar saya rawat dulu deh, saya kembalikan dulu kesehatannya. Supaya nanti kalau sudah siap dia akan tumbuh dengan lebih sehat. Oh ya, katanya “No picture = hoax“? Tak apalah, nanti saja kalau sudah mood foto saya upload fotonya deh :p.

Jadi, selamat datang rambut baruku.. Semoga nanti kamu tumbuh jauh lebih sehat ya.. >:D<

[devieriana]

Continue Reading

Haruskah Berkebaya?

 

“Dear All, dalam rangka memperingati hari Kartini, maka seluruh karyawati pada tanggal 21 April nanti wajib menggunakan busana nasional (kebaya). Akan ada penilaian karyawan dengan busana terbaik.”

*****

 

Demikian bunyi salah satu pengumuman di salah satu web intranet sebuah perusahaan beberapa tahun lalu. Seperti peringatan hari Kartini di tahun-tahun sebelumnya, perayaan hari Kartini tahun itu pun tak jauh dari kegiatan karyawan berbusana nasional, mungkin yang membedakan hanyalah tema peringatannya saja.

Maka tak pelak, hari itu hawa centil dan taburan wajah-wajah cantik memenuhi seluruh kantor. Yang biasanya hanya tampil kasual atau berbusana kantor mendadak terlihat lebih feminin dengan balutan busana kebaya dalam berbagai model dan gaya. Gelak tawa cekikikan dan ajang foto-foto hampir dipastikan ada di setiap kubikel. Ya, khusus di hari itu kantor sementara berubah menjadi studio foto dadakan.

“Lo, dandan mulai jam berapa?”
“Mulai subuh gue udah nyalon, Cyin..”
“Untung deh rambut gue cepak gini, jadi nggak seberapa ribet..”
“Ya, sekali-kali dandan rempong kaya begini gapapalah ya, toh nggak tiap hari ini. Eh, lo belum foto sama gueee..”

CEKREK! Dan mereka pun berfoto dalam berbagai pose.

“Bah, malas kali aku dandan beginian. Bikin ribet aja. Tadi pagi aja, baru mau pake bustier eh anakku udah kejer minta disuapinlah, digendong. Gimana dong aku mau mulai dandan? Untung kagak tiap hari mesti dandan begini…”

Peringatan Hari Kartini setiap 21 April, nyaris selalu diidentikkan dengan penggunaan kebaya. Itu lantaran banyak sekolah, instansi/kantor yang masih memperingatinya dengan berkebaya. Tentu saja banyak respon beragam mengenai hari Kartini dengan segala aktivitas “kekartiniannya” itu. Namun ternyata tidak semua perempuan yang diminta untuk menggunakan busana kebaya rela begitu saja :D. Karena tak sedikit yang komplain karena menganggap kegiatan semacam ini kurang efektif dan kurang ada manfaatnya. Tapi bagi sebagian yang lain, kegiatan semacam ini merupakan hal yang fun, toh nggak setiap hari dilakukan jadi sekali-kali bolehlah, itung-itung rekreasi, biar nggak stress. Kapan lagi tampil lain daripada biasanya, kan? :p

Entah bagaimana awalnya hingga tradisi menggunakan kebaya di setiap peringatan Hari Kartini ini dimulai. Apakah karena R.A. Kartini adalah perempuan keturunan bangsawan Jawa yang (pada jaman itu) memang identik dengan busana kebaya? Sehingga seolah-olah, kesan yang tertangkap Hari Kartini memang patut “dirayakan” dengan acara-acara yang berbau perempuan. Nah, pertanyaannya adalah : “Apa iya harus seperti itu? Apakah kegiatan semacam ini tidak sedikit melenceng dari pikiran-pikiran asli tokoh emansipasi perempuan itu? Apakah tidak terlalu dangkal untuk menerjemahkan arti emansipasi itu sendiri dengan cara menggunakan baju nasional, lomba kecantikan, lomba memasak, dan atau yang bersangkutan dengan domestic issue?”. Ah, namanya saja “merayakan”, “memperingati”, caranya boleh apa aja dong. Begitukah?

Yuk kita baca lagi penggalan surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 berikut ini :

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami  yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban  yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Atau potongan surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon, tertanggal 10 Juni 1902 berikut ini :

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan.”

Sama halnya seperti peringatan Hari Ibu yang salah kaprah, sepertinya selama ini pun kita juga sudah salah mengartikan perjuangan Kartini. Kesalahannya adalah dengan menjadikan Kartini sebagai icon bagi perjuangan kesetaraan gender antara perempuan dengan laki-laki, hanya lantaran dia adalah sosok seorang perempuan yang berani menentang adat turun temurun, dan ingin memodernisasi kaum perempuan. Nah, lalu salahnya dimana?

Selama ini kita sudah keblinger/salah menerjemahkan arti emansipasi. Emansipasi jaman sekarang diartikan sebagai era dimana perempuan ingin memasuki hampir semua bidang kehidupan yang sebelumnya hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Kalau laki-laki bisa, kenapa perempuan tidak? Perempuan ingin terlihat “lebih” daripada laki-laki dalam segala hal, atau minimal samalah. Bahkan ada yang menafsirkan bahwa kalau ada perempuan yang “hanya” berprofesi sebagai ibu rumah tangga justru dianggap sebagai pengekangan terhadap kebebasan dan potensi sebagai perempuan. Duh, kok saya yang miris ya? :|. Sekarang logikanya, kalau semua jadi wanita karir, semua ingin punya hak, pekerjaan yang sama dengan pria lalu yang murni jadi ibu rumah tangga siapa? Yang nanti akan mendidik dan mengasuh anak-anak di rumah siapa? Yang akan setia mendampingi peran suami dalam rumah tangga lalu siapa?

Coba deh kita baca ulang surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya diatas, sebenarnya yang diinginkan Kartini sejak awal itu bukan kesetaraan dimana perempuan mampu “mengalahkan” laki-laki atau ketika perempuan dengan bangga masuk dalam dunia laki-laki. Namun justru memperjuangkan bagaimana caranya supaya perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang maksimal sehingga nantinya bisa mengoptimalkan perannya sebagai ibu dalam mengawal generasi (putra-putrinya).

Sebenarnya ada banyak cara yang lebih esensial untuk memperingati Hari Kartini tanpa harus melupakan kodratnya sebagai seorang ibu dan isteri. Ada banyak kegiatan yang jauh lebih emansipatif ketimbang sekedar ikut serta dalam lomba kecantikan atau tampil dalam balutan kebaya. Salah satu contoh emansipasi wanita adalah seperti yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu disini . Itu baru salah satu contoh yang menurut saya adalah sosok Kartini jaman sekarang. Atau coba baca cerita ini , kisah sosok seorang Ibu yang berjuang untuk mendidik putra-putrinya supaya sukses.

Jadi siapa bilang kalau menjadi seorang ibu rumah tangga bukan tugas mulia dan kurang emansipatif? Emansipasi wanita itu tidak hanya melulu menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki saja, atau bahkan ekstrimnya adalah untuk “mengalahkan” laki-laki, bukan? Karena oleh Tuhan secara kodrati kita memang diciptakan berbeda dan itu bertujuan untuk menjalankan fungsi kodrati masing-masing.

Seperti potongan surat Kartini kepada Ny. Abendanon yang ditulis pada bulan Agustus 1900 :

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya.”

 

Selamat Hari Kartini! 🙂

[devieriana]

 

sumber gambar dari inioke.com

 

Continue Reading

Cantik Itu Tidak Harus Putih..

Katanya kalau bayi waktu lahir kulitnya kemerahan, nanti gedenya pasti berkulit putih/kuning langsat. Tapi kalau baru lahir kulitnya putih, nanti besarnya akan berkulit coklat/sawo matang. Entah benar atau tidak. Saya nggak tahu kulit saya waktu bayi dulu warna putih atau merah. Tapi kalau lihat foto-foto masa kecil saya sepertinya saya keling (hitam) banget deh waktu balita dan TK. Makanya sering dibilang seperti Dakocan , padahal dulu saya paling takut sama Dakocan sekalipun itu hanya berbentuk boneka balon :-s.

Nah ngomong-ngomong tentang kulit, sepertinya standar (orang Indonesia) tentang definisi kulit yang indah dan cantik itu sudah bergeser dari sawo matang ke kulit putih bersih ya, karena faktanya memang sebagian besar orang berpandangan bahwa perempuan yang cantik itu adalah perempuan yang berkulit putih. Jadi jangan heran kalau produk pemutih kulit jadi laku keras, salon-salon kecantikan yang menawarkan program pemutihan badan juga ramai pengunjung.

Jujur, dulu jaman masih kuliah, sekali saya pernah tergoda menggunakan obat pemutih kulit. Sekali coba ternyata kulit saya nggak cocok, iritasi, karena ternyata kulit saya sensitif. Bukannya kulit putih yang saya dapat tapi justru kulit yang kemerahan seperti habis digampar penggilesan :-s. Endingnya justru saya tekor keluar biaya buat ke dokter, dan yah.. diomelin dengan sukses sama dokternya, “kamu habis pakai produk pemutih apa ini? kulit kamu jadi..bla..bla..bla..”. Ya pemutih kulitlah dok, masa iya pemutih pakaian.. :|. Sejak saat itulah saya nggak berani coba-coba lagi pakai produk selain pelembab. Saya juga tidak lagi terlalu ngoyo untuk memutihkan kulit karena lama-lama sadar kalau untuk jadi menarik itu bukan karena berkulit putih. Terlihat menarik itu akan terlihat dengan sendirinya kalau kulit kita terlihat terawat, bersih, dan sehat.. *insap*

Nah, iklan yang selalu bikin saya gemas itu adalah iklan-iklan yang menggambarkan sebelum dan sesudah menggunakan produk pemutih kulit. Kalau sebelum pakai pemutih dia nggak percaya diri kalau mau ketemu sama cowok idamannya. Si cowok jangankan naksir, noleh aja enggak :|. Tapi setelah si cewek pakai produk pemutih, cowok  itulah yang ganti mengejar dia, dan endingnya terus mereka jadian deh.. So, kalau kulitnya nggak putih susah dapat cowok gitu ya? Edukasi yang aneh.. 😕 Belum lagi iklan produk pemutih kulit pun kebanyakan menggunakan model wanita (yang sudah) berkulit putih, tinggi, seksi, dengan bentuk wajah menarik sehingga kulit putih makin terkesan bagus. Padahal logikanya, model seperti mereka tanpa memakai produk pemutih pun mereka sudah putih, karena ya memang sudah putih dari sononya. Iklan-iklan seperti inilah makin menunjang anggapan bahwa kulit coklat/hitam itu kurang cantik, terlihat dekil, dan dianggap kurang menarik sehingga perlu pakai pemutih kulit.

Dengan fenomena maraknya produk whitening ini sepertinya sedikit melupakan kenyataan bahwa kita hidup di daerah tropis, di negara dengan banyak sinar matahari dan memang mayoritas penduduknya berkulit coklat/sawo matang. Bule saja banyak yang jatuh cinta sama warna kulit kita. Mereka bahkan rela berlibur ke tempat tropis dengan biaya mahal agar bisa berjemur lama-lama untuk mendapatkan warna kulit yang mereka idamkan, yaitu cokelat. Sekarang juga sudah ada salon yang menyediakan jasa pencokelat kulit. Karena dalam pandangan mereka warna kulit yang kecoklatan itu akan terlihat jauh lebih indah dan seksi. Fakta yang lain adalah kulit orang Asia yang kecoklatan lebih sehat ketimbang kulit pucat ras Kaukasia. Fakta lainnya adalah kulit coklat juga lebih tahan terhadap paparan sinar ultraviolet, jadi resiko terkena kanker kulit juga jauh lebih kecil.

Tidak ada yang salah dengan warna kulit apapun. Mau kulit coklat sekali pun kalau sehat dan juga akan terlihat indah kan? Kalau memang kulit coklat/gelap itu kurang cantik lalu kenapa Tuhan menciptakan ras Negroid yang berkulit legam dan berambut keriting? Kalau katanya orang yang berkulit coklat itu terlihat kurang cantik coba kita lihat Tyra Banks, Iman Abdulmajid, Jennifer Lopez, Beyonce Knowles, Halle Berry yang tetap percaya diri dengan kulit coklat mereka, dan tetap terlihat cantik elegan tanpa harus memaksakan diri untuk berkulit putih.

Dulu teman saya saking pengen putihnya ada yang sampai rela mengeluarkan bugdet ratusan ribu rupiah untuk sekali suntik vitamin C, supaya kulit terlihat lebih putih. Berhasil sih, tapi hanya bersifat sementara. Jadi kalau ingin terlihat putih terus ya harus rajin suntik. Bikin kecanduan sih, karena kalau nggak rutin ya lama kelamaan akan kembali ke warna kulit awal. Saya pernah dikasih tips begini, “kamu kalau mau tahu dia putih alami atau putih hasil pakai krim pemutih, coba kamu bandingkan warna kulit wajah, tangan, sama kaki. Sama nggak tone warna kulitnya?”. Saya manggut-manggut aja sih :-?. Tapi ya masa saya mau iseng buka-buka celana/rok mbaknya cuma untuk membuktikan warna kulitnya sama apa enggak sama kulit wajah. “Mbak, Mbak.. ini kulitnya kok belang-belang begini? Mbak pakai pemutih ya?” *PLAK!!*

Banyak orang dari negara 4 musim -yang kebanyakan berkulit putih pucat- iri dengan kulit kita yang keren, seksi, and eksotis ini :-“. Jadi kita yang sudah dianugerahi warna kulit yang wokeh sangat ini lebih baik rajin-rajin merawat diri aja deh. Karena kalau kulit kita terjaga kelembabannya, bersih, dan sehat, secara otomatis akan terlihat lebih cerah. Soal tingkat kecerahannya tentu masing-masing orang tidak sama karena tergantung pigmen kulit masing-masing. Kalau dulu waktu kecil saya keling banget, sekarang entah kenapa jadi berubah sendiri jadi nggak seberapa keling, padahal saya sudah pasrah lho.. ;))

Jadi gimana? Masih berminat pakai pemutih pakaian wajah? 😉

 

 

[devieriana]

 

sumber gambar : http://www.beboldnbrazen.com

 

 

Continue Reading

“Saya Bersumpah..”

Teman-teman, maafkan kalau saya jarang-jarang posting akhir-akhir ini. Mungkin inilah hasil kombinasi antara load kerjaan yang mulai tinggi, mood yang naik turun, dan fakir ide 😐 :-?? . Iya, itu cuma alasan saya sih, tapi ya sudahlah, semoga sindrom ini tak berlangsung lama yah 🙂

Oh ya, nanya dong, kalau kalian mendadak disumpahin sama orang kira-kira reaksinya gimana? Ngamuk? Balik nyumpahin? Atau tergantung disumpahinnya gimana dulu? Kalau disumpahin jadi cakep dan kaya sih kayanya mau ya? ;)). Kalau saya disumpahin malah seneng. Karena “disumpahin” yang ini beda dengan sumpah serapah seperti orang yang sedang marah. Walaupun disumpahinnya berat, tapi dengan disumpahin itulah yang akhirnya mengubah status saya menjadi jelas.. Ini sebenernya mau ngomongin tentang apa sih?

Iya, berdasarkan Keputusan Menteri Sekretaris Negara Nomor 40 Tahun 2011 tanggal 28 Februari 2011 telah ditetapkan pengangkatan 51 Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Sekretariat Negara , yang salah satunya adalah saya \:D/. Tanggal 6 April 2011 kemarin adalah hari bersejarah bagi kami ber-51 karena saat itulah kami mengangkat sumpah Pegawai Negeri Sipil menurut agama/kepercayaan kami masing-masing. Dengan demikian berarti hilang sudah huruf “C” di depan status kepegawaian kami menjadi menjadi PNS \m/. Tentu saja dengan telah penuhnya status kami sebagai PNS, penuh pulalah hak (dan kewajiban) kami sebagai Pegawai Negeri Sipil \:D/.

Sekedar cerita, saya masuk sebagai PNS termasuk yang kurang dini, karena angkatan yang sekarang termasuk yang masih “piyik-piyik” (muda-muda). Tapi ya, ketertarikan saya untuk masuk sebagai PNS juga baru muncul di tahun 2009 sih. Itu pun hasil coba-coba dan alhamdulillah masuk [-0<

Oh ya, ada satu moment yang pasti ada di setiap pelantikan pegawai yaitu pengangkatan sumpah diatas kitab suci sesuai dengan agama yang dianut oleh masing-masing pejabat/pegawai yang akan dilantik. Entah kenapa moment pengambilan sumpah dengan mengucapkan “Saya bersumpah..”, bulu kuduk saya langsung meremang, dan kulit saya mendadak merinding. Apalagi ketika (para) rohaniwan mengambil sumpah diatas kitab suci sesuai dengan agama pegawai yang dilantik. Hiiy.. kayanya nggak tahu ya, serem aja gitu buat saya, kenapa ya? :-s. Mungkin karena bersumpah itu berat, apalagi berkaitan langsung dengan Yang Diatas. Walau ironisnya kalau sedang pacaran atau ngobrol dalam kehidupan sehari-hari, untuk meyakinkan orang lain, kayanya gampang bener ya bilang sumpah.

Pernah punya pengalaman bersumpah, diangkat sumpahnya, menyumpahi atau disumpahin, barangkali? ;))

[devieriana]

Continue Reading

Hari Memakai Sepatu Indonesia

Sebenarnya Hari Sepatu Indonesia itu sudah dicanangkan sejak tanggal 9 Maret 2011 kemarin oleh Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu. Hah, hari apa? Hari Sepatu Indonesia? Iya, jujur nih ya, waktu pertama kali membaca tulisan ini di spanduk yang dibentangkan di depan kantor Kementerian Perdagangan ketika akan menuju kantor, saya sempat bengong sendiri. Aduh, peringatan hari apa lagi sih ini, pikir saya :-o.

Tapi ingatan saya kembali segar lagi ketika kemarin siang saya membaca surat edaran dengan subjek “Pencanangan Hari Jumat sebagai Hari Memakai Sepatu Indonesia” yang ditujukan untuk kementerian tempat saya bekerja. Ternyata Hari Sepatu Indonesia dan pemakaian sepatu produksi dalam negeri ini menjadi bagian dari kampanye Aku Cinta Indonesia yang dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan citra positif produk-produk Indonesia di mata masyarakat. Jadi, supaya kita makin cinta dengan buatan dalam negeri, gitu.

Berkaca dari keberhasilan batik menjadi busana semi wajib hari Jumat hampir di berbagai instansi menjadikan pamor batik pun ikut terangkat. Batik, kini bukan lagi hanya selembar kain yang hanya bisa dikombinasikan dengan kebaya atau busana khusus kondangan saja, namun lebih dari itu batik kini sudah menjadi busana yang bisa dikenakan kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja dalam range usia yang sangat luas, bahkan busana anak balita pun banyak yang juga menggunakan bahan batik sebagai bagian kreasinya. Nah, belajar dari situ jugalah pemerintah ingin menjadikan hari Jumat sebagai Hari Memakai Sepatu Indonesia. Hari dimana kita khusus  menggunakan sepatu made in Indonesia.

Nah, ngomong-ngomong tentang sepatu, saya kebetulan termasuk pecinta sepatu. Hampir semua sepatu saya nggak ada yang interlokal..eh, berasa lagi nelepon. Maksudnya, sepatu saya memang nggak ada yang merk luar. Mulai flat shoes, sandal, wedges, pantofel, sampai stiletto dengan tinggi hak antara 10 sampai dengan 12 cm-pun produksi lokal. Saya juga bukan yang brand minded, sepatu-sepatu itu kebanyakan saya beli ketika di Bandung, produksi Cibaduyut :D.  Modelnya pun lucu-lucu, kualitasnya juga sudah bagus kok. Saya suka yang model high heels karena untuk menunjang tinggi badan saya yang minimalis ini. Nah, kalau sudah suka dengan modelnya (dan tentu saja harganya cocok sama dompet saya) pasti saya akan beli, sekalipun itu tak bermerk :D. Tapi biasanya saya akan sangat teliti memeriksa sol, bahan, dan kenyamanan saat dipakai.

Oh ya, ada cerita nih, pertama kali saya mengantor disini saya selalu menggunakan high heels, karena memang sudah kebiasaan sejak di tempat kerja yang lama. Kalau sekarang-sekarang saya jadi lebih sering menggunakan sepatu yang haknya (cuma) 5 cm itu juga karena tahun lalu saya jadi petugas upacara. Hubungannya apa? Iya, gara-gara habis latihan upacaranya sama bapak-bapak dari Sekretariat Militer, bapak-bapak itu ngeri lihat hak sepatu saya, padahal cuma 7 cm. Katanya akan membahayakan jika digunakan untuk kegiatan semi baris berbaris, seperti misalnya ketika harus maju ke arah mikropon untuk membacakan UUD ’45 kan nggak mungkin saya melangkah gontai seperti seorang model sedang fashion show kan? Berarti badan harus tegak dan bersikap layaknya seorang petugas upacara.. ala kapiten-kapiten gitu deh ;)). Nah, sementara itu pavingnya ada celah disana-sini. Bapak-bapak itu takut saya terpeleset, jatuh, atau hak sepatu saya terselip diantara aspal atau paving itu. Karena itulah saya beli yang haknya 5 cm saja (dan setelahnya saya jadi merasa mini sekali :|). Eh, tapi lama-lama nyaman juga sih, terutama kalau buat ngejar bus, lari-lari, atau ketika harus berdiri di dalam bus (iya kalau berdiri di luar bus itu namanya berdiri di halte).

Malah sebenarnya yang agak brand minded itu suami saya. Kalau sudah mematut diri di area sepatu bisa lama banget deh. Sekarang saja dia sedang mengincar sepatu dengan merk tertentu yang pernah waktu iseng window shopping membuat adik ipar saya berseloroh, “Hoalah, Mas.. buat nginjek tanah aja kok ya sejuta sekian..” ;)). Suami saya pun berkelit bahwa sepatu pilihannya itu kalau dipakai enak, empuk, awet, dll. Saya sih pura-pura nggak denger, sambil menjauh :-“. Kalau mau lebih awet sih mendingan jangan dipakai ;)).

Eh tapi, ngomong-ngomong nih, kembali lagi ke topik awal tentang Hari Memakai Sepatu Indonesia ya, kalau batik kan ketahuan tuh produksi lokal karena dipakai di badan dan eye catching-lah ketahuan kalau itu motifnya batik. Lha kalau sepatu bagaimana kita membuktikan kalau itu sepatu lokal ya? Masa iya sepatunya bakal dilepas dan ditenteng-tenteng biar kelihatan merknya? Atau wajib punya dan sepatu lokal yang dijual di koperasi karyawan yang bekerja sama dengan para pengusaha sepatu lokal (sosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo)? Kenapa harus hari Jumat? Apakah biar pas hari Jumat kita jadi kelihatan “lebih Indonesia” karena hanya menggunakan top to bottom yang made in Indonesia? Jadi, kalau hari Jumat sepatu Christian Louboutin , Jimmy Choo, dan Manolo Blahnik-nya disimpan dulu ya.. :). Kaya bisa beli aja  :-”

Jadi ya kembali lagi ke kebutuhan kita terhadap sepatu dan fungsinya, kejelian kita memilih bahan serta apakah sepatu itu cukup nyaman di kaki/tidak. Soal harga, model, dan produksi mana sepertinya kembali lagi ke selera. Karena toh belum tentu yang harganya mahal itu nyaman di kaki, dan bukan berarti yang nyaman di kaki itu juga nyaman di dompet, kan? *eh* ;)).

Oh ya btw, ada berapa banyak sih koleksi sepatu Anda?  *mulai menghitung*

[devieriana]

 

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading