Pernah dihadapkan dalam di situasi sebuah acara kumpul-kumpul dengan beberapa orang, tapi justru kita sibuk dengan gadget masing-masing? Atau ketika meet up alias kopdar dengan teman-teman dari social media tapi justru masih sibuk mention-mention-an di twitter? Atau, ketika ngobrol dengan seseorang tapi pandangan matanya nggak jauh-jauh dari gadget-nya? Gimana, sering? ;)). Sama, terakhir waktu saya dengan beberapa blogger ngumpul untuk ketemuan di salah satu kedai franchise yang identik dengan kaum ABG di daerah Mampang. Secara fisik sih kita ngumpul, duduk satu meja, tapi tangan sibuk dengan gadget masing-masing, malah masih saling mention di twitter. Sampai kita niat pindah tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik biar gampang nge-charge handphone kalau baterainya habis. :))
Kemarin siang sempat ngobrol dengan seorang kawan yang bilang kalau saya itu kelihatannya addicted banget dengan social media. Mungkin karena saya keseringan bercerita tentang ini itunya social media ya :D. Tapi kalau ketergantungan dengan social media sepertinya sudah menurun sejak BB saya hang tempo hari :)). Wah, si Hubby sampai sujud syukur lho lihat saya bisa “bebas” dari gadget bernama Blackberry itu.
Gara-gara diskusi tentang adiksi dunia maya, si kawan mulai mengeluhkan sang isteri yang sekarang jadi sibuk dengan akun-akun socmed dan teman-teman di BB-nya. Mulai dari melayani konsultasi masalah perkawinan, ladies chat, dan sibuk update status di twitter, fb dan BBM. Saya diam-diam geli sendiri, sepertinya keluhan dia terhadap sang isteri kok sama persis seperti keluhan si hubby beberapa waktu yang lalu ya? Atau jangan-jangan tipikal perempuan yang ber-gadget itu identik seperti saya dan sang isteri ya? Jadi berasa dejavu nih, karena saya dulu juga idem dengan sang isteri. Hubby bukan hanya gemas melihat saya yang lebih punya banyak waktu dengan teman-teman didalam layar berukuran 2.46 inch itu ketimbang meluangkan waktu bersama dia. Iya, tapi itu dulu. Sekarang sudah nggak separah itu kok.. 😀
Teman : “kapan hari trackball BB punya isteriku sempat rusak. Kapok! Tapi pas sudah dibenerin, ya balik lagi dianya..”
Saya : “hahaha, ngehang gara-gara overused yah? :)) Sama kaya aku dulu sih. Kalau aku dulu “terapi penyembuhannya” dengan BB “dirumahsakitkan” selama 2 minggu karena keypad mendadak hang semua. Sekarang sih BB justru lebih sering aku tinggal kemana-mana kalau di kantor. Malah si Hubby sering protes karena aku kalau ditelepon susah. Gimana mau ngangkat telepon kalau handphone aku tinggal di meja dalam keadaan silent sementara akunya ngider distribusi kerjaan.. :D”
Teman : “awalnya aku heran dengan orang-orang yang lebih asyik dengan virtual world kaya begitu. Eh, lha kok kejadian sama isteriku sendiri. Kayanya mesti ngobrol tentang hal ini sama dia deh.. 😐 “
Saya : “keluhan para suami ternyata sama yah? :))”
Teman : “itulah salah satu alasan kenapa aku nggak ingin jadi avatar di dunia maya, biar aja aku seperti yang sekarang..”
Saya : “iya, jangan, nggak usah.. biar aku aja ;))”
Sekarang ini hampir semua produsen gadget dan penyedia layanan telekomunikasi seragam menawarkan fitur handphone yang memungkinkan penggunanya bisa bersosialisasi di dunia maya secara nonstop dengan opsi biaya paket yang cukup terjangkau. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi penggunanya di dunia maya, berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Adanya perubahan fungsi gadget dari yang awalnya hanya untuk berkomunikasi dan berubah jadi bagian dari gaya hidup itu seolah-olah jadi mendekatkan yang jauh, namun ironisnya justru menjauhkan yang dekat. Bagaimana tidak, kita bisa “dekat” dengan teman/kerabat yang lokasinya jauh, namun hubungan dengan orang-orang yang terdekat justru berasa jauh.
Teknologi itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi akan membantu memudahkan kita tanpa harus ribet begini, begitu. Tapi di sisi lain teknologi juga seolah menghilangkan setengah dari sisi kemanusiawian kita. Dalam tingkat adiksi yang parah, pelan tapi pasti akan menjadikan kita sangat tergantung dengan teknologi. Sekedar cerita nih, salah satu teman saya pernah ngomel-ngomel hanya gara-gara nggak bisa login ke YM. Begitu uring-uringan ketika Macbook-nya mendadak hang (bukan untuk kerja lho). Stress gara-gara BB-nya kecemplung di ember berisi air dan mati total, nggak pakai tunggu besok, malamnya dia langsung beli yang baru (serius). Saya juga heran, gimana ceritanya BB bisa masuk ember sih :-?. Mulai merasa canggung ketika harus menulis secara manual menggunakan bolpoin (karena biasanya mungkin pakai kapur tulis ;))). Panik ketika baterai handphone-nya habis tapi dia nggak bawa charger atau nggak sempat nge-charge. Merasa “lumpuh” tak berdaya ketika salah satu gadget-nya tidak berfungsi sempurna atau listrik mendadak mati. Jika kita menggolongkan kebutuhan manusia dalam 2 kategori, primer dan komplementer, dalam kasus ini sepertinya teknologi sudah masuk dalam kategori primer.
Berhubung saya sudah sering ditegur oleh si Hubby untuk mengurangi adiksi saya terhadap teknologi mau tidak mau memang saya harus mulai berkompromi. Butuh waktu dan niat kuat memang untuk mengurangi kebiasaan yang satu ini. Ngeblog kalau sedang ada ide. Ngetwit sudah jarang-jarang (terbukti jumlah tweet saya awet di kisaran angka 8000 sekian sejak tahun lalu), tapi kalau pas lagi nggak ada kerjaan masih suka main juga bahkan “menggila”. Lha iya, katanya jarang ngetweet kok jumlah tweetnya bisa 8000 sekian :|. Buka facebook atau update status juga sudah jarang. YM juga seringnya offline. G-talk hanya online ketika sedang di depan PC/laptop (yang di gadget saya offline-kan). Kalau BBM sih jelas aktif terus karena itu kan fitur handphone, tapi lebih sering untuk komunikasi dengan keluarga di Surabaya dan hubby. Memulai hidup sebagai manusia lagilah. Berasa kemarin-kemarin jadi cyborg 😐
Penggunaan teknologi dalam porsi yang terkontrol dan wajar itu perlu. Ada baiknya juga tetap mengingat bahwa di sekitar kita ada orang-orang dan keluarga yang juga membutuhkan “kehadiran” kita secara nyata. Yang bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga konsentrasi dan perhatian yang utuh. Seharusnya ada banyak hal menarik yang lebih “manusiawi” untuk dilakukan dalam kehidupan nyata ketimbang harus terus-terusan berhadapan dengan layar yang menyala, bukan? Ah, ya.. Saya sepertinya butuh rekreasi nih.. 🙁
Di akhir obrolan si teman meninggalkan pesan lagi, “better start manage our valuable life with more valuable thing”.
Okay! *manggut-manggut sambil nyimpen BB*
😉
[devieriana]
ilustrasi pinjam dari sini
29 Comments
saya sudah pernah ngalami mbak, sampe pas saya lagi di kamar mandi disms sama istri saya (yang lagi nemenin anak saya ndak jauh dari kamar mandi), “emang sepeting apa sih sampe di kamar mandi pun hp harus dibawa?”
kecanduan itu membahayakan, dan sama sekali ndak lucu saat kecanduan socmed membahayakan rumah tangga. serem mbakyu
belom punya suami sih mba… jadi belom bisa menghayati isi tulisan diatas #ngeles 😆
dan sudah tagline dari gadget2 pinter: mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. sebenernya efek baiknya adalah kita bisa online 24 jam, tapi kalo keasyikan ya jadinya kita sendiri juga bisa kurang istirahat… soalnya terlena sama hal yang terus bergerak dan berputar tanpa jeda, disaat si A mulai tidur, teman kita si B bangun dan begitu seterusnya. harus kitanya yang pinter2 me manage diri…. iya kan mba 😀
itulah sisi positif dan negatis teknologi, tinggal bagaimana kita pintar menyikapi dan memilah mana yang harus lebih diutamakan, dan aku pun sempat mengalami hampir seperti itu, tapi aku keburu disindir misua dan ditegur anak kalo mereka butuh perhatian lebih dari satu satunya wanita yang ada di rumah ini….. 🙂
Penggunaan teknologi dalam posisi terkontrol itu perlu.. susah, kecuali pas bokek, pulsa tipis pasti terkontrol hehe
OOT dikit: hehe ada creative commonnya sekarang di sebelah kanan
OOT lagi: itu Sibair tolong doms penggunaan kata autis di luar konteks sedikit dikurangi doms 😀
hp ketinggalan di rumah saat pergi ngantor bagi gue anugerah…ga ada yang nyari..hihihihi
dan wiken kemaren gue matiin 2 hp sekaligus…damaaaiii…ga berisik…ga ada yang nyari…
segala sesuatu yg berlebihan memang ga baik.
abis baca postingan ini, akhirnya baru sadar .. waktu itu sempet kesel sama sahabat lama *yg stelah 8 tahun baru ketemuan lg* .. menurut ku dia susah jauh berubah. aku baru tau .. BB nya itu yg bikin dia berubah .. jd suka ga mudeng kalo diajak ngobrol!!! dia lebih konsen sama BBnya … dasar!!!
pengen seh punya gadget keren tapi terbentur uang 🙁
*buang bb di kantong*
ehmmm…sebenarnya kerusakan pada gadget itu ada bagusnya.
aku waktu pertama kali pindah hutan baru yg susah sinyal ini, jarang ber-socmed. habis itu ditambah trekbol eror, semakin males.
barusan cuti, trekbol ganti, penguat sinyal udah ditambahin, hmmm…kumat lg.
kesimpulannya postinggan NOHOK banget buatku, Mbak Sri 😀
belum ada keinginan untuk beli BB, punya laptop saja kadang sering membatasi komunikasi sama anak istri apalagi punya gadget canggih!
wehehehe, memang klo kondisi keuangan lagi fit dan memang sanggup update gadget ya gak dipungkiri klo perubahan kebiasaan juga begitu. 😀
Punya ponsel pintar memang membuat kita merasa gatal untuk menggunakannya, apalagi buat yang memang ingin eksis.
untung saya katrok….selain ga mampu beli gadget2 an :))
*lah…. bangga [-(
socmed hiburan aja seh, kadang juga buat nyari info2 yang berguna juga. 😀
ahaha..saya punya blackberry jadul seri 6710 yang layarnya masih hitam putih, entah karena saya agak bosan memakai alat itu, ato karena saya endak punya banyak “musuh” BBMan, saya lebih sering makek HP ericsson yang bisa benjut kalok buat mbalang kepala copet, buat halo2an ato texting textingan. Tanpa mengurangi rasa hormat saya sama teman2 yang techie dan gadgeter pemburu barang baru, saya pikir kok disamping terlihat lebih elegan, teknologi “neandertal” yang membatasi kita buat mengakses perkembangan termutakhir kayak alat2 saya itu kok ya sedikit banyak menghindarkan saya dari autisme yang dibilang bro aziz diatas.
Saya setuju sekali dengan, Blackberry Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat, sudah terbukti, saya juga mengalaminya, gadget satu ini memang memberikan kemudahan dalam berkomunikasi jarak jauh, namun ironisnya menjauhkan yang dekat..
semoga saja dengan ada sindiran seperti ini, BB user bisa mengurangi ke”autisan” hehe..
salam kenal, aziz hadi
namanya syndrome gadget 🙂 ,yupz seperlunya
Aku juga sudah insaf 🙂 Dulu rajin check status hampir semua social media, mulai Facebook, Twitter dan Plurk. Sekarang sudah jaraaang banget, seperlunya saja kalo memang lagi killing time pas macet 🙂
kalau kecanduan socmedia tapi bisa dgunakan untuk hal2 positif kenapa tidak 🙂
tapi selama masih ada real life.. sepatutnya juga kehidupan nyata kita prhatikan
win win solution 😀
Doh!! G punya BB, jadi aman deh.. hehehe
BBnya udah hidup lagi dev? hihi….
kayanya aku musti banting BB biar ga adiktet hehehe
saya ga punya BB, demikian 😀
tapi yg namanya kalo ada koneksi, kadang eh sering jg jd lupa waktu juga
benar itu, manage the time, eh manage our self sih hehe
Hihihi biasanya si yang autis itu 3 bulan pertama pas punya BB mbak.. IMHO si.. Tapi setelah itu si gak seberapa kecanduan seperti yang dulu-dulu. Tapi jelas gadget jaman sekarang banyak merubah kebiasaan seseorang… Klo saya si dirumah ngautis. klo di luar gak seperapa soalnya mikir-mikir batrai bb udah ngedrop 😆
itulah kenapa Hp saya cuman bisa buat fungsi standar telp dan sms aja. jadi inget waktu gila nge plurk sampe bela belain naik atap untuk bisa dapat sinyal serta rokoan karena dirumah kakak di ubud baru lahiran jadi no smoking di area rumah hihihi, *sungkem lagi*#ehiniaddictnggaseh
imo, intinya sih menurut saya menggunakan semua pada waktu, kapasitas dan tempatnya
apapun yang berlebihan itu ga pernah baik
bukan pada bb, android or apapun namanya
tapi kemampuan kita memanage waktunya
kalo lagi sendiri sih ga masalah ngabisin waktu senggang
nah kalo lagi kumpul itu rasanya miris dan ironis juga sih
kecuali emang ada keperluan yang sangat penting sehingga mengharuskan kita pegang (otak atik) bb/handphone 🙂
saya pernah, ditabok buku ensiklopedia sama ketua panitia gara2 pas rapat kegiatan malah asik sendiri cekikikan liat tweet orang lain. -____-
merasa bersalah, intinya ya gunakan teknologi itu seperlunya. ya to?
*tersummon sama komen di atas*
gmn2, kalo gadget yg konek internet itu punya kemampuan cukup besar untuk mengalihkan perhatian ke dunia maya. saya gak beli BB bukan karena mikir 1 juta kali (kurang kerjaan soalnya, haha), tapi saya pakai android karena pingin punya gadget yg bisa diutek2 sendiri dan gak tergantung sama satu saja fitur suatu brand. tapi tetep aja, setelah pergantian dari HP soner biasa yg cm pakai opera mini, sekarang pakai gadget yg inetnya unlimited + banyak aplikasi, kadang jadi ngautis waktu kumpul2, entah itu bales email atau sekedar reply mention. alhamdulillah sekarang udah gak terlalu parah amat, cuma ngecek gadget kalau lagi bener2 nganggur di keramaian atau kalau memang lagi urgent *sadar diri batere limited*.
itulah kenapa mau beli BB masi mikir 1 juta kali. karena tau saya juga penyuka socmed. tapi intinya sih pengen lebi mudah ngeblog :)) *teteup aja*
kalo android segitunya ga ya?
*berniat buka rumah sakit khusus ketergantungan gadget* :))
well, saya sih alhamdullilah ga sampe segitunya. Dulu jaman pertama kali dikasih Blackberry sama kantor sekitar tahun 2006 di mana orang-orang masih pake nokia, BB-nya malahan cuma saya simpan di kantor alias ga tak bawa pulang. Dulu sih kegunaannya cuma emang buat kerja 😀
trus jaman mainan twitter tahun 2007, belum ada twitter client buat hape.
Lah sekarang, BB lagi-lagi cuma buat kerja. Smp rumah jarang pegang, kalo lagi hang out-hang out paling diliat kalo ada yang mensyen doang… :))
Nah, sama. Socmed itu sebagai hiburan. Tapi emang pernah berada di masa terlalu banyak terhibur karena porsi penggunaan socmed-nya berlebihan sih :D.
Kalau aplikasi kerjaan nggak bisa kalau saya jelas paniklah, soalnya jelas kerjaan bakal jadi numpuk. Males dong kalo mesti lembur hanya gara-gara aplikasi error padahal bukan kesalahan kita :p
Aku jg bingung apa bener kehidupan di dunia maya ini adalah kebutuhan primer, atau jangan-jangan ini kebutuhan primer yang semu. Untuk saat ini internet buatku masih lebih berfungsi buat hiburan.
Paling males juga kalau di kantor ada pegawai yg komplain lantaran ndak bisa FB-an, sementara kalau aplikasi yang berhubungan dgn kerjaan yang lagi bermasalah, mereka malah seneng, ckckck…sebegitunya