Ngumpul tanpa gadget?

Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman yang memosting gambar ini di grup bbm teman-teman SMA. Teman-teman di grup langsung membahas ‘tantangan’ itu dan akan menerapkannya kalau nanti kami reuni.

kumpul tanpa gadget

Sepertinya lumayan seru ya kalau ada tantangan no gadget selama berkumpul bersama teman/keluarga, karena melihat kebiasaan selama ini yang terlihat adalah secara fisik kita ada dalam sebuah ruangan, situasi, dan acara yang sama, tapi mata, jari, dan konsentrasi kita terfokus di layar gadget masing-masing.

Bahkan saya pernah ada dalam sebuah meet up di salah satu kedai kopi bersama dengan beberapa teman, secara fisik kami memang ada di satu ruangan, tapi kami justru sibuk saling mention di twitter dan cekikikan sendiri membaca respon demi respon yang muncul di layar handphone masing-masing. Nah, lho. Lalu esensi kumpul-kumpulnya di mana?

Sekarang saya sudah sangat jauh lebih rileks dengan gadget saya. Dulu, suami saya sempat jengkel banget dengan kebiasaan saya yang terlalu sibuk dengan gadget. Tangan saya hampir tidak pernah lepas dari smartphone. Di kantor sudah internetan, di rumah pun masih bersambung. Alhasil ancaman pembuangan gadget pun pernah terjadi, hiks :(. Kebiasaan saya sibuk dengan gadget itu baru jeda ketika gadget itu rusak dan harus diservis di dealer resminya selama hampir satu bulan lamanya. Tapi toh ketika gadget saya sudah sembuh, saya kembali disibukkan dengan komunikasi di social media. Hadeuh, Devi! *self keplak!*

Tapi untungnya semakin ke sini akhirnya saya insyaf bahwa ada hal-hal yang lebih precious dibandingkan dengan hanya sibuk menekuri layar gadget saja. Saya sekarang sudah bisa merasa jengah ketika di tengah kumpul-kumpul bersama keluarga/teman ternyata mereka sibuk dengan gadget-nya; seolah-olah saya tidak ada di situ. Obrolan yang nyangkut sekenanya, tanggapan yang ada pun cuma ala kadarnya. Bete? Banget! :p

Adanya perubahan fungsi gadget dari yang awalnya hanya untuk berkomunikasi dan berubah jadi bagian dari gaya hidup itu jadi mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Bagaimana tidak, kita bisa ‘dekat’ dengan teman/kerabat yang jauh, namun hubungan dengan orang-orang yang terdekat justru berasa jauh.

Sekitar tahun 2010-2012 saya pernah punya pengalaman dengan seorang teman yang tingkat adiksinya terhadap gadget dan teknologi begitu parah. Kalau untuk kerja sih bisa saya maklumi, tapi ini cuma untuk bergaul di social media. Dia sempat ngomel-ngomel cuma gara-gara tidak bisa login ke YM. Sangat uring-uringan ketika Macbook-nya mendadak hang. Stress lantaran salah satu gadget-nya kecemplung di ember berisi air sehingga mati total. Sampai-sampai, tanpa harus menunggu besok/lusa, malam itu juga dia langsung beli gadget baru. Panik ketika baterai handphone-nya habis tapi dia tidak membawa charger atau tidak sempat nge-charge… *usap peluh*

Penggunaan teknologi dalam porsi yang terkontrol dan wajar itu perlu. Tapi ada baiknya tetap mengingat bahwa di sekitar kita ada orang-orang dan keluarga yang juga butuh kehadiran kita secara nyata; bukan cuma hadir secara fisik, tapi juga konsentrasi dan perhatian yang utuh. Ada banyak hal menarik dan lebih manusiawi untuk dilakukan dalam kehidupan nyata daripada terus menerus berhadapan dengan pendar layar gadget yang menyala, bukan? 😀

Ah ya, saya juga sedang belajar ke arah sana, kok… :mrgreen:

“Better start manage our valuable life with more valuable thing”.

[devieriana]

Continue Reading

Antara gadget dan keluarga

Pernah dihadapkan dalam di situasi sebuah acara kumpul-kumpul dengan beberapa orang, tapi justru kita sibuk dengan gadget masing-masing? Atau ketika meet up alias kopdar dengan teman-teman dari social media tapi justru masih sibuk mention-mention-an di twitter? Atau, ketika ngobrol dengan seseorang tapi pandangan matanya nggak jauh-jauh dari gadget-nya? Gimana, sering? ;)). Sama, terakhir waktu saya dengan beberapa blogger ngumpul untuk ketemuan di salah satu kedai franchise yang identik dengan kaum ABG di daerah Mampang. Secara fisik sih kita ngumpul, duduk satu meja, tapi tangan sibuk dengan gadget masing-masing, malah masih saling mention di twitter. Sampai kita niat pindah tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik biar gampang nge-charge handphone kalau baterainya habis. :))

Kemarin siang sempat ngobrol dengan seorang kawan yang bilang kalau saya itu kelihatannya addicted banget dengan social media. Mungkin karena saya keseringan bercerita tentang ini itunya social media ya :D. Tapi kalau ketergantungan dengan social media sepertinya sudah menurun sejak BB saya hang tempo hari :)). Wah, si Hubby sampai sujud syukur lho lihat saya bisa “bebas” dari gadget bernama Blackberry itu.

Gara-gara diskusi tentang adiksi dunia maya, si kawan mulai mengeluhkan sang isteri yang sekarang jadi sibuk dengan akun-akun socmed dan teman-teman di BB-nya. Mulai dari melayani konsultasi masalah perkawinan, ladies chat, dan sibuk update status di twitter, fb dan BBM. Saya diam-diam geli sendiri, sepertinya keluhan dia terhadap sang isteri kok sama persis seperti keluhan si hubby beberapa waktu yang lalu ya? Atau jangan-jangan tipikal perempuan yang ber-gadget itu identik seperti saya dan sang isteri ya? Jadi berasa dejavu nih, karena saya dulu juga idem dengan sang isteri. Hubby bukan hanya gemas melihat saya yang lebih punya banyak waktu dengan teman-teman didalam layar berukuran 2.46 inch itu ketimbang meluangkan waktu bersama dia. Iya, tapi itu dulu. Sekarang sudah nggak separah itu kok.. 😀

Teman : “kapan hari trackball BB punya isteriku sempat rusak. Kapok! Tapi pas sudah dibenerin, ya balik lagi dianya..”

Saya : “hahaha, ngehang gara-gara overused yah? :)) Sama kaya aku dulu sih. Kalau aku dulu “terapi penyembuhannya” dengan BB “dirumahsakitkan” selama 2 minggu karena keypad mendadak hang semua. Sekarang sih BB justru lebih sering aku tinggal kemana-mana kalau di kantor. Malah si Hubby sering protes karena aku kalau ditelepon susah. Gimana mau ngangkat telepon kalau handphone aku tinggal di meja dalam keadaan silent sementara akunya ngider distribusi kerjaan.. :D”

Teman : “awalnya aku heran dengan orang-orang yang lebih asyik dengan virtual world kaya begitu. Eh, lha kok kejadian sama isteriku sendiri. Kayanya mesti ngobrol tentang hal ini sama dia deh.. 😐 “

Saya : “keluhan para suami ternyata sama yah? :))”

Teman : “itulah salah satu alasan kenapa aku nggak ingin jadi avatar di dunia maya, biar aja aku seperti yang sekarang..”

Saya : “iya, jangan, nggak usah.. biar aku aja ;))”

Sekarang ini hampir semua produsen gadget dan penyedia layanan telekomunikasi seragam menawarkan fitur handphone yang memungkinkan penggunanya bisa bersosialisasi di dunia maya secara nonstop dengan opsi biaya paket yang cukup terjangkau. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi penggunanya di dunia maya, berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Adanya perubahan fungsi gadget dari yang awalnya hanya untuk berkomunikasi dan berubah jadi bagian dari gaya hidup itu seolah-olah jadi mendekatkan yang jauh, namun ironisnya justru menjauhkan yang dekat. Bagaimana tidak, kita bisa “dekat” dengan teman/kerabat yang lokasinya jauh, namun hubungan dengan orang-orang yang terdekat justru berasa jauh.

Teknologi itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi akan membantu memudahkan kita tanpa harus ribet begini, begitu. Tapi di sisi lain teknologi juga seolah menghilangkan setengah dari sisi kemanusiawian kita. Dalam tingkat adiksi yang parah, pelan tapi pasti akan menjadikan kita sangat tergantung dengan teknologi. Sekedar cerita nih, salah satu teman saya pernah ngomel-ngomel hanya gara-gara nggak bisa login ke YM. Begitu uring-uringan ketika Macbook-nya mendadak hang (bukan untuk kerja lho). Stress gara-gara BB-nya kecemplung di ember berisi air dan mati total, nggak pakai tunggu besok, malamnya dia langsung beli yang baru (serius). Saya juga heran, gimana ceritanya BB bisa masuk ember sih :-?. Mulai merasa canggung ketika harus menulis secara manual menggunakan bolpoin (karena biasanya mungkin pakai kapur tulis ;))). Panik ketika baterai handphone-nya habis tapi dia nggak bawa charger atau nggak sempat nge-charge. Merasa “lumpuh” tak berdaya ketika salah satu gadget-nya tidak berfungsi sempurna atau listrik mendadak mati. Jika kita menggolongkan kebutuhan manusia dalam 2 kategori, primer dan komplementer, dalam kasus ini sepertinya teknologi sudah masuk dalam kategori primer.

Berhubung saya sudah sering ditegur oleh si Hubby untuk mengurangi adiksi saya terhadap teknologi mau tidak mau memang saya harus mulai berkompromi. Butuh waktu dan niat kuat memang untuk mengurangi kebiasaan yang satu ini. Ngeblog kalau sedang ada ide. Ngetwit sudah jarang-jarang (terbukti jumlah tweet saya awet di kisaran angka 8000 sekian sejak tahun lalu), tapi kalau pas lagi nggak ada kerjaan masih suka main juga bahkan “menggila”. Lha iya, katanya jarang ngetweet kok jumlah tweetnya bisa 8000 sekian :|. Buka facebook atau update status juga sudah jarang. YM juga seringnya offline. G-talk hanya online ketika sedang di depan PC/laptop (yang di gadget saya offline-kan). Kalau BBM sih jelas aktif terus karena itu kan fitur handphone, tapi lebih sering untuk komunikasi dengan keluarga di Surabaya dan hubby. Memulai hidup sebagai manusia lagilah. Berasa kemarin-kemarin jadi cyborg 😐

Penggunaan teknologi dalam porsi yang terkontrol dan wajar itu perlu. Ada baiknya juga tetap mengingat bahwa di sekitar kita ada orang-orang dan keluarga yang juga membutuhkan “kehadiran” kita secara nyata. Yang bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga konsentrasi dan perhatian yang utuh. Seharusnya ada banyak hal menarik yang lebih “manusiawi” untuk dilakukan dalam kehidupan nyata ketimbang harus terus-terusan berhadapan dengan layar yang menyala, bukan? Ah, ya.. Saya sepertinya butuh rekreasi nih.. 🙁

Di akhir obrolan si teman meninggalkan pesan lagi, “better start manage our valuable life with more valuable thing”.

Okay! *manggut-manggut sambil nyimpen BB*
😉

[devieriana]

 

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading