Viral

go-viral

Beberapa waktu ini banyak sekali penggunaan kata ‘viral’ baik itu di media online maupun di kehidupan sehari-hari. Definisi viral kurang lebihnya adalah ‘sesuatu’ yang bisa jadi sangat cepat menjadi populer, seperti sebuah ‘virus’ yang menyebar salinan dirinya atau bermutasi.

‘Sesuatu’ di sini bisa berarti orang, tempat, foto, pikiran, trend, atau bahkan sebuah informasi. Kalau kita bicara tentang social media, viral lebih lekat kepada video, foto, atau cerita yang dimulai dari mereka sendiri, yang kemudian menyebar di semua lini platform social media. Bisa jadi yang awal mulanya cuma berupa status yang ditulis di social media, berhubung banyak yang menyebarluaskan, jadilah dia sebuah status viral. Kalau masih ingat, kita bisa ambil contoh kasus status Dinda yang awalnya cuma bermaksud curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk, tapi berhubung status itu dia tuangkan di social media, dan ‘ndilalah’ ada yang me-repath statusnya, maka dengan cepat status itu tersebar, seketika menjadi berita viral, dan Dinda pun menjadi bahan bully-an massal di social media. Dinda dianggap kurang memiliki rasa empati.

Bagaimana dengan trend yang menjadi viral? Apakah kalian pernah menjadi bagian dari trend mannequin challenge, Harlem Shake, atau mungkin bagian dari trend pengunggah video parodi Pen Pinneaple Apple Pen-nya Piko Taro? Kalau iya, kalian adalah bagian dari trend viral itu. Mannequin challenge misalnya, dengan begitu banyaknya orang yang mengikuti trend ini, seolah seluruh dunia menjadi diorama hidup. Walaupun bagi sebagian orang itu konyol, tapi banyak juga yang melakukan itu, karena selain dianggap keren juga bagian dari hal yang kekinian. Padahal, kalau kalian menyadari, mannequin challenge itu sudah pernah dilakukan oleh salah satu artis Indonesia jauh sebelum trend ini mengemuka lho. Tidak percaya? Klik saja videonya Deasy Ratnasari yang berjudul Tenda Biru , hihihik.

Di dalam kehidupan sehari-hari pun kata viral sudah mulai banyak dipergunakan. Bahkan di tempat kerja saya, beberapa pejabat sering menggunakan kata “viralkan!” sebagai kata ganti sebar luaskan informasi kepada pejabat/pegawai lainnya di lingkungan kantor kami.

Di social media, banyak orang yang ingin dikenal banyak orang. Mereka melakukan segala cara untuk bisa terkenal, alias menjadi selebriti online. Wajar, karena menjadi lebih dikenal oleh orang lain adalah salah satu tujuan diciptakannya social media.

Tapi, benarkah semua orang berkeinginan untuk menjadi viral baik di dunia nyata maupun maya? Selama viral itu dalam konteks yang positif mungkin masih masuk akal. Tapi kalau konteksnya sudah negatif, rasanya tidak mungkin ada yang bercita-cita menjadi viral, ya.

Seseorang yang sedang menjadi ‘viral’ negatif di sebuah lingkungan tertentu ada kalanya dia sendiri tidak sadar kalau sedang jadi trending topic di lingkungannya. Mungkin ini lebih didasari karena kekurangpekaan orang tersebut terhadap lingkungan. Sekalipun ada pihak-pihak yang memberikan klarifikasi bahwa tidak sepenuhnya si objek yang menjadi viral itu senegatif yang disangkakan orang lain, tapi tetap akan kalah dengan asumsi yang sudah terlanjur beredar di lingkungan tersebut. Ya, namanya saja viral, virus, penyebarannya bisa sangat cepat, tanpa tahu dari mana asal muasalnya.

Belajar dari pengalaman orang lain (yang sempat jadi viral), kunci supaya kita tidak menjadi viral negatif adalah dengan menjadi lebih peka dengan lingkungan di mana kita berada; more overmenjaga lisan, pikiran, dan perbuatan, itu jauh lebih penting, karena tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Begitu, bukan? Bukaaaan….

Sebagai manusia toh nyatanya kita tidak selalu tahu apa yang ada di diri kita, sekalipun kita kerap mengklaim demikian. Sebagaimana tertera dalam teori 4 kuadran Johari Window yang mencerminkan tingkat keterbukaan seseorang yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu open area, blind area, hidden area, dan unknown area. Johari Window ini dikenal sebagai jendela komunikasi melalui mana kita memberi dan menerima informasi tentang diri kita dan orang lain.

Dalam hal berita viral (negatif) singkat saja, area/kuadran ‘blind‘ adalah area paling rapuh dalam diri kita, karena di kuadran ini berisikan apa yang orang lain ketahui tentang kita, tapi tidak kita ketahui. Dengan mengurangi blind area, selain akan meningkatkan kesadaran diri, juga akan meningkatkan hubungan interpersonal kita dengan orang lain.

Lumrah, kalau manusia seringkali tanpa sadar lupa/khilaf, tanpa sengaja telah melakukan hal-hal yang kurang bisa diterima oleh lingkungan tempatnya berada. Beruntung kalau kita cepat sadar, dan segera mengubah perilaku kita, tapi bagaimana kalau ternyata kita terlalu lama ‘pingsannya’, nggak sadar-sadar kalau ternyata selama ini sudah jadi bahan pembicaraan? Harus ada orang yang memberi tahu, karena kita sedang berada di blind area. Tapi bagaimana kalau ternyata walaupun orang lain tahu, tapi mereka segan menegur kita karena (di mata orang lain) kita adalah tipe manusia dengan ‘daya ledak tinggi’, emosian. Jadi dari pada cari masalah mending diamsajalah; malas ribut.

Jadi, tidak ada salahnya mulai berintrospeksi, lebih peka, coba mengubah cara pandang (point of view), dan mulai lebih luwes dalam menerima kritik selama itu membangun. Namanya manusia kan gudangnya luput dan salah ya. Bersyukur jika masih ada hati dan pikiran sehat yang menjadi filter pencari kebenaran yang sesungguhnya. Bersyukur kalau masih ada orang lain yang mau peduli, mengingatkan, bahkan rela menjadi bumper untuk kita, semata-mata karena mereka masih menganggap kita sebagai teman.

Last but not least, mencoba untuk melawan atau mengendalikan materi viral sama saja seperti berperang melawan flu. Kita bisa saja mengambil langkah-langkah untuk mencegah jangan sampai kita terkena flu, tapi sekali saja virus itu telah memasuki aliran darah kita, tidak akan ada yang bisa kita lakukan selain menunggu virus itu keluar dengan sendirinya.

Duh, sore-sore kok serius amat postingannya, ya? Ngopi dulu bisa kali, Kak!
*beberes meja sambil menunggu ojek online*

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading

Egosystem itu Bernama Social Media

vintage-social-networking

“When little people are overwhelmed by big emotions, it’s our job to share our calm, not to join their chaos”
– L.R. Knost –

Sekian minggu lalu ranah sosial media diramaikan dengan bahasan selebgram bernama Karin Novilda alias Awkarin. Ketika bahasan tentang Pokemon sedang menjadi topik hangat, mendadak linimasa twitter saya ramai membahas Awkarin. Saya yang bukan pemerhati seleb sosial media langsung clueless, apakah Awkarin ini juga sejenis Pokemon?

Telusur punya telusur, ternyata sosok perempuan fotogenic ini sudah lama dikenal sebagai selebritas sosial media yang punya pengaruh kuat bagi para followers-nya. Awkarin juga representasi anak gaul instagram yang selalu memaksimalkan foto-foto di instagramnya sehingga terlihat keren. I have to admit she does it well. Awkarin juga merupakan fenomena generasi swag yang tengah banyak merebak sekarang. Swag? Iya, kalau menurut ‘kamus’-nya Justin Bieber, swag itu “its just about being yourself, you dont have to do anything special, just be yourself.” Jadi intinya menjadi diri sendiri.

Nah, kalau ada istilah ‘swag‘, ada pula istilah ‘swagger‘. Awkarin ini adalah swagger. Swagger artinya sosok yang dominan atau elite karena kelebihan yang dimilikinya. Seseorang menjadi swagger karena dia keren, punya rasa percaya diri yang tinggi, punya selera fashion yang bagus, serta punya karisma bagi para pengikutnya.

Bagi para followers-nya, Awkarin dianggap sebagai sosok anak muda idola, lengkap dengan gaya hidup yang free spirited, rebellious, gaya busana yang selalu up date, dan gayanya yang edgy (forefront of a trend; experimental or avant-garde), dan seterusnya, dan seterusnya (ngomong-ngomong soal gaya yang edgy, saya lebih setuju dengan gaya edgy-nya Evita Nuh). Oh ya, bukan itu saja, gaya pacaran Awkarin yang sedikit bablas pun dimasukkan sebagai bentuk relationship goals oleh para followers-nya. Intinya, segala yang dilakukan Awkarin di kanal sosial media adalah goals-nya anak muda. Jujur, saya merasa trenyuh, semudah itukah anak muda zaman sekarang mengidolakan seseorang hanya karena dia itu gaul, seksi, dan edgy (walaupun akhirnya arti kata edgy ala Awkarin itu akhirnya kabur dengan arti kata cabul)?

Anyway, sosok semacam Awkarin ini cuma ‘puncak gunung es’; di luar sana ada banyak sosok sejenis yang punya gaya hidup kurang lebih sama, hanya saja belum/tidak terekspos jadi viral di dunia maya. Apa yang terjadi dengan Awkarin juga bukan hal yang sama sekali baru. Di zaman saya remaja dulu, orang-orang semacam Awkarin ini sudah ada. Anak-anak gaul di masanya, dengan gaya pacaran yang bablas, penggunaan bahasa yang kasar dan ‘kurang beradab’, drama patah hati sampai ingin bunuh diri, dan seterusnya. Bedanya, zaman dulu belum ada sosial media sehingga tidak ada ajang untuk eksis dan pamer (termasuk memamerkan kebodohan sebagai anak muda). Bayangkan, kalau dari dulu sudah ada sosial media seperti sekarang, dan misalnya kita juga sama hebohnya dengan Awkarin, mengunggah segala macam aktivitas di sosial media, ada berapa banyak jejak-jejak kebodohan kehebohan dan aib yang sudah saya, kalian, atau kita umbar dengan ‘bangga’ di sosial media tanpa memikirkan efek yang akan timbul di masa depan. Karena perlu diingat bahwa sekali saja kita mengunggah sesuatu di ranah maya, dia akan selamanya ada. A cloud is not a thing of the sky anymore, its a place where we store data. Apa pun yang ada di online, akan permanen berada di situ, selamanya tidak akan hilang.

social-media1

Sosial media, lagi-lagi seperti pernah saya tulis di beberapa postingan sebelum ini, adalah pisau bermata dua; dia dapat menjadi sahabat penuh manfaat tapi juga bisa jadi musuh terjahat. Karena social media, selain sebagai media untuk mengekspresikan diri, juga berfungsi sebagai sneak peek atau penggalan hidup sang pengguna, di mana hal itu dapat menjadi indikator kepribadian, juga status sosial ekonominya.

Bagi anak muda zaman sekarang menjadi kaya dan terkenal secara instan menjadi salah satu tujuan membuat akun sosial media. Maka tak heran kalau anak-anak muda seusia Awkarin memiliki banyak akun sosial media. Beruntung bagi yang mampu mengelola akun sosial medianya dengan baik, menjadi selebriti di dunia maya bisa jadi panggung yang menguntungkan, karena tanpa harus bersusah payah mempopulerkan diri, mengikuti audisi, atau job interview, panggung mereka bisa ditonton oleh banyak orang dan dihadiahi dengan uang, barang, atau paket liburan, kurang lebih seperti Awkarin ini. Tapi bagi yang kurang bijak, ya sama seperti Awkarin juga efeknya, bukan hanya jadi viral, tapi juga jadi bulan-bulanan, dan hujatan oleh para netizen.

Segala label, pujian, embel-embel edgy, keren, gaul, itu punya masa kedaluwarsa. Akan ada saatnya kita menjalani hidup yang jauh lebih serius ketimbang mengejar popularitas, karena sesungguhnya label sosial media yang tersemat itu tidak pernah nyata. Seiring waktu, yang kita butuhkan akan jauh lebih complicated dari sekadar pelabelan, karena masa depan membutuhkan eksistensi kita secara lebih real. Time will fly so fast and those will be all gone.

Sesungguhnya dunia digital dan pernak-perniknya adalah hamparan luas bagi pembelajaran dan hiburan, pun halnya dengan sosial media yang bisa kita ibaratkan seperti mall yang tak terbatas. Di mall yang tak terbatas inilah anak-anak (muda) rentan terkena berbagai risiko, seperti cyber bullying, kecanduan teknologi, konten pornografi, kekerasan, radikalisasi, penipuan, dan pencurian data, yang semua itu akibat dari minimnya awareness.

Tapi kalau kita semena-mena menyalahkan sosial media kok rasanya kurang fair ya. Seperti ketika kasus Awkarin ini mengemuka, satu hal yang berputar dalam pikiran saya adalah ke mana ya orang tuanya? Atau, sebenarnya seberapa dekatkah hubungan Awkarin dengan keluarganya? Karena tidak semua orang salah gaul hanya karena kebanyakan bermain sosial media. Saya percaya bahwa pilar utama dan sumber pendidikan moral adalah keluarga. Jadi, sudah benar-benar hadirkah sosok orang tua dan keluarga Awkarin dalam kehidupan sehari-hari gadis belia ini? Tapi sebelum menghakimi, marilah pertanyaan itu juga kita hadirkan dalam perenungan kita sebagai orang tua atau orang yang sudah lebih dewasa secara usia, sikap, dan pemikiran.

Ada banyak orang tua yang masih memberlakukan pola pengasuhan yang sama persis, plek-ketiplek dengan masanya dulu. “Ah, dulu zaman Mama masih muda nggak ada tuh yang begini-begini”. “Harusnya kamu bisa kaya Mama waktu masih muda dulu, begini, begini, begini…”. Tanpa sadar, orang tua juga membandingkan masa muda mereka dengan anak-anaknya sekarang. Padahal jelas-jelas mereka hidup di zaman dan lingkungan generasi yang berbeda; yang secara otomatis pasti berbeda pula perlakuannya. Sebagai orang tua, kita wajib menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Ada skill, kecerdasan, dan ilmu baru yang mau tidak mau harus kita kuasai sebagai orang tua anak zaman sekarang.

Sebagai orang tua yang tumbuh bersama para generasi Z dan generasi Alpha, yang konon adalah para generasi digital, ada baiknya perlu kita tekankan sejak dini kepada anak-anak, bahwa sekalipun teknologi dan sosial media itu bermanfaat, tetap harus ada kontrol diri untuk tetap menjaga privasi di ranah maya. Sejak dini mulai belajar memilah mana saja konten yang perlu/boleh diunggah, dan mana saja yang tidak perlu. Jangan biarkan anak kita menggali kuburnya sendiri di sosial media.

Most of all, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil dari setiap kejadian. Selama ini kita mungkin sudah dianggap level mahir dalam bermain sosial media, tapi apakah kita sudah bijak menggunakannya? Mahir saja kalau tidak bijak juga percuma. Kalau saja kasus Awkarin ini tidak mengemuka, mungkin saja mata kita belum terbuka tentang pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan sosial media, mungkin saja kita menganggap pergaulan anak-anak kita aman-aman saja, atau menganggap bahwa anak-anak kita sudah tercukupi kebutuhannya secara material tanpa tahu apakah secara afeksi dan perhatian mereka sudah merasa tercukupi, dan berbagai pertanyaan koreksi diri lainnya.

Semoga kita dan anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang bukan hanya melek secara teknologi dan mahir menggunakan sosial media, tapi juga bijak dalam memanfaatkan dunia digital dan berbagai afiliasinya.

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi: wronghands1

Continue Reading