Selamat Ulang Tahun, Jakarta!

Dulu saya nggak pernah bermimpi akan hidup di kota sebesar Jakarta. Jangankan Jakarta, lha wong di Surabaya, yang kotanya nggak seluas Jakarta aja saya keder walaupun saya lahir di sana ;)).  Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain dalam hidup saya. Saya justru terdampar bahkan domisili plus jadi penduduk Jakarta sekarang.

Ya, dalam bayangan masa kecil/remaja saya dulu, Jakarta itu kota yang terlalu metropolis (lha ya jelas, wong namanya juga ibukota). Kota yang menjadi magnet bagi mayoritas penduduk daerah untuk mengadu nasib. Kota yang sama sekali bukan menjadi pilihan bagi saya untuk hidup di dalamnya. Belum lagi orangtua yang awalnya keberatan kalau sampai saya hidup sendiri di Jakarta, maklum. Belum apa-apa saya juga sudah BT lihat macetnya, sumpeknya, polusinya, kerasnya hidup disana. Pokoknya paranoid berat :D. Tapi uniknya, di satu sisi, ketika saya lebih sering melakukan perjalanan ke Jakarta, entah dalam rangka training, job interview atau perjalanan pribadi kok saya justru seringkali merasa Jakarta itu nggak seburuk yang saya paranoidkan ya. Saya justru merasa fun. Sindrom penduduk dari kota kecil kali ya? ;)). Ya, “udik to the max” ;)).

Tapi Tuhan rupanya berkata lain. Saya dipertemukan dengan jodoh saya yang notabene penduduk Jakarta, sehingga mau tak mau saya harus meninggalkan kota kelahiran saya, Surabaya. Alhamdulillah, kebetulan saya bukan orang yang tipenya terlalu lama untuk menyesuaikan diri. Mungkin juga karena saya langsung melanjutkan kerja lagi di perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu, jadi saya nggak merasa kesepian atau kesulitan beradaptasi, mengingat di perusahaan ini jugalah saya sebelumnya berkarir di Surabaya.

Kekhawatiran akan mengalami kesulitan hidup di Jakarta beserta segala pernak-perniknya itu akhirnya menguap jauh-jauh. Karena justru di Jakartalah saya bisa mengekspresikan & mengembangkan diri secara maksimal. Alhamdulillah, mungkin saya termasuk salah satu orang yang beruntung karena tidak terlalu mengalami kesulitan yang berarti saat mengalami masa transisi hidup di Jakarta ya. Karena saya justru menikmati masa-masa transisi itu. Saya menjalani seluruh hidup saya yang walaupun pas-pasan dengan enjoy. Kalau soal suka duka ya pasti ada. Tapi terlalu panjanglah kalau diceritakan detail satu-persatu, emangnya saya lagi bikin biografi? ;))

Di Jakarta pulalah saya mulai banyak mengenal teman-teman baru dari berbagai kalangan & bidang pekerjaan. Memperluas jaring pertemananlah istilahnya. Uhuk! Gaya ;)). Bekerja sebagai Quality Assurance leader di callcentre Telkomsel sekaligus mencoba kemampuan sebagai penulis walaupun masih abal-abal :D. Siapa sangka juga kalau akhirnya di Jakarta pulalah saya menyandarkan karir terakhir saya sebagai pegawai negeri sipil di Sekretariat Negara. Iya, karir yang dulunya sempat tidak pernah terpikir sama sekali :).

Ada pepatah yang mengatakan “sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibukota”. Buat sebagian orang memang benar begitu adanya. Tapi sebenarnya ibukota itu nggak kejam-kejam amat kok kalau kita punya “tameng” berupa skill, kemauan, kemampuan beradaptasi, tekad yang kuat, kehati-hatian (karena tingkat kejahatan disini tinggi banget) & pengendalian diri (terhadap berbagai godaan). Hidup di Jakarta godaannya banyak banget, kalau kita nggak bisa mengendalikan diri ya udah deh, bablas jaya. Terutama belanja! Eh, kalau ini khusus buat saya denk.. ;))

Sebenarnya bukan hanya di Jakarta, mau dimanapun kita tinggal kalau kitanya nggak siap & nggak bisa menyesuaikan diri ya selamanya akan merasa terbebani. Karena semua kota pasti punya kelebihan & kekurangan. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri saja. Karena nggak mungkin lingkungan yang akan menyesuaikan diri untuk kita, tapi justru kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bukan hal yang mudah ya? Memang..

Tepat di tanggal 22 Juni 2010 ini kau berulang tahun yang ke 483. Selamat ulang tahun, Jakarta!  Tak ada kado khusus untukmu selain baris puisi dari WS Rendra – Doa di Jakarta..

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan –
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

[devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading