Resign: Emosi Sesaat atau Keputusan Matang?

resign

Beberapa waktu yang lalu, adik saya didera galau luar biasa lantaran dia harus membuat keputusan besar dalam karirnya, yaitu resign. Mungkin buat sebagian orang, soal resign itu sebuah hal yang lumrah. Namanya kerja pasti ada enak-nggak enak, cocok-nggak cocok. Alasan resign pun bermacam-macam; ingin punya karir yang lebih baik, ingin situasi kerja yang lebih nyaman, dan punya penghasilan yang lebih tinggi, dll. Tapi banyak juga yang memutuskan untuk resign karena alasan-alasan di luar itu, misalnya ingin melanjutkan sekolah, mengurus keluarga, ingin berwiraswasta, dll. Tapi kalau resign dari tempat yang telah menerimanya sejak awal, telah membuatnya banyak pengalaman dan pembelajaran sehingga menjadi seperti sekarang, plus lama bergabungnya sudah hampir satu dasawarsa mungkin lain lagi ceritanya.

Ceritanya Si Adik memang sudah lebih dari 9 tahun berkarir di salah satu bank swasta di bilangan Tendean, Jakarta Selatan. Sejak masih sekolah dia memang dikenal di keluarga sebagai anak yang rajin, anak yang total ketika mempelajari sesuatu, anak yang teliti, dan seorang fast learner. Dia juga tak segan mempelajari hal-hal baru yang sekiranya bermanfaat untuk menunjang pekerjaannya. Maka tak heran, baik ketika dia masih di kantor cabang Surabaya sampai sekarang di kantor pusat Jakarta dia selalu dijadikan andalan perusahaan karena keseriusan, ketelitian, dan kedisiplinannya dalam bekerja. Eh, saya menulis hal-hal baik ini bukan karena mentang-mentang dia adik saya lho, ya 😆 . Tapi juga sebagai sebagai sesama pegawai kantoran saya benar-benar merasa salut dan bangga karena belum tentu saya bisa se-qualified dia :mrgreen:

Sampai akhirnya dia curhat galau gara-gara salah satu pimpinan ternyata tidak mengizinkan dia untuk resign dengan alasan saat ini dia adalah andalan perusahaan. Berbagai ‘rayuan’ digunakan oleh Sang Pimpinan agar adik saya memikirkan ulang rencana pengunduran dirinya, syukur-syukur kalau sampai membatalkan niatnya untuk bergabung dengan perusahaan lainnya. Saya cuma bisa menasihati agar Si Adik tetap konsisten dengan pilihannya. Di mana-mana risiko mengajukan resign memang begitu, ada yang langsung disetujui, tapi ada juga yang ditahan supaya jangan sampai resign. Semua tergantung pimpinan dan kualitas apa yang dimiliki oleh karyawan tersebut sehingga menyebabkan perusahaan jadi sedemikian ketergantungannya dengan Si Karyawan. Si Adik cerita, kalau banyak teman yang resign dan langsung disetujui, tapi giliran dia, harus menghadap pimpinan sebanyak 2-3x untuk bernegosiasi masalah posisi, dan gaji. Pun ketika di hari terakhir dia berkantor di sana pun Pimpinan Divisinya pun masih penasaran apa sebenarnya alasan adik saya resign dari bank tempat dia berkarir selama 9 tahun terakhir ini, padahal sudah diiming-imingi nominal gaji yang sama persis dengan tempat kerjanya yang baru nanti. Tapi syukurlah Si Adik tidak tergoda, dan tetap berkeinginan untuk memulai karir yang baru di tempat yang baru.

“Jadi, sudah beneran mantep buat resign nih? Saya itu sebenarnya heran dan penasaran banget sama kamu. Apa sih sebenarnya yang mendasari keinginanmu untuk resign? Padahal gajimu sudah saya naikkan sama dengan tempat kamu bekerja nanti, tapi kenapa kok kamu tetap pengen resign? Teman-teman kamu yang lain ketika diberi kenaikan gaji dengan nominal yang sama dengan tempat kerja yang baru mereka langsung memilih tetap bergabung di sini lho. Cuma kamu aja yang beda…”

Padahal alasan seseorang mengundurkan diri dari perusahaan kan bukan melulu karena uang, ya? Dan adik saya berseloroh di bbm:

“Aku ingin juga membuktikan sama pimpinanku, kalau aku bukan pegawai ‘murahan’ yang cuma bisa dinilai dari besaran rupiah 😆 “

Seperti ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja sebelumnya dan terdampar menjadi PNS, alasan utamanya juga bukan karena gaji dan posisi. Saya sadar kok, ketika saya menjadi PNS, karir saya akan dimulai dari nol lagi, dengan jabatan staf, dengan gaji pokok yang jauh di bawah gaji di perusahaan sebelumnya. Tapi kenapa saya mau? Ya, selain karena sudah terlanjur diterima, ada pertimbangan lain yang mendasari itu semua (dan kalau di-list banyak sekali), salah satunya sih dari segi ketersediaan waktu untuk keluarga.

Setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing, ada sisi positif dan negatifnya. Tapi sebenarnya yang paling penting adalah jangan resign karena emosi sesaat, apalagi karena latah. Melihat teman-teman yang lain resign, eh jadi terpengaruh ikut-ikutan resign padahal alasannya juga belum tentu sama, cuma gara-gara alasan,

“Abisnya kalau nggak ada temenku yang itu, nggak enak. Suasana kerjanya jadi nggak asik lagi…”

Mungkin saja karena kalian kurang berteman jadi temannya cuma satu itu saja :mrgreen: .

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman yang juga menangani human resources di sebuah perusahaan, dia mengatakan kalau rasa tidak betah dalam bekerja dapat disebabkan karena ada harapan karyawan yang tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan, sehingga ketika mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain harapan mereka di tempat yang baru nanti mereka akan dapat mewujudkan impian mereka baik dari segi gaji, jenjang karir, reward, maupun fasilitas/kesejahteraan.

Selain semua itu, ada faktor lain yang menyebabkan mengapa seseorang memilih untuk resign, selain tekanan pekerjaan yang tinggi, dan adanya tawaran pekerjaan lain yang jauh lebih menarik, alasan lainnya adalah karena lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan adanya ketidaksesuaian nilai-nilai perusahaan dengan diri pribadi. Kalau ini sih saya sempat mengalami sendiri. Dulu, saya sempat bekerja di sebuah perusahaan keluarga, di mana kata-kata kasar dan makian terdengar hampir setiap hari antaranggota keluarga; seolah tak peduli bahwa karyawan di sekitar mereka adalah orang di luar keluarga yang tidak pantas untuk ikut mendengarkan kata-kata tersebut sebagai sebuah hal yang lumrah apalagi di lingkungan kerja. Jujur, terasa sangat intimidatif, sekalipun kata-kata itu bukan ditujukan pada kami.

Tapi syukurlah, semua sudah berhasil saya lalui dengan baik, setidaknya saya sudah berhasil melalui masa-masa galau pindah-pindah tempat kerjalah 😆 . IMHO, tidak ada ilmu dan pengalaman yang tidak berguna. Semua ilmu dan pengalaman yang pernah kita dapat di masa lalu tetap akan bisa diaplikasikan di pekerjaan kita yang sekarang, tergantung waktu dan kesempatan saja.

Ngomong-ngomong, kalian sudah pindah tempat kerja berapa kali sampai sekarang? 😀
*nyeruput secangkir earl grey tea hangat*

[devieriana]

sumber ilustrasi diambil dari sini

Continue Reading

What a day ?!! (part 2)


Bayangkan, hari Minggu begini yang seharusnya libur, justru ada di kantor?! Secara, tadi pagi kondangan dulu ke nikahnya teman di daerah Halim, kehujanan pula (nggak ada yang tanya kan? :p), lanjut ketemuan sama si Nanang mantan TL saya di kantor jam 15.00 buat apa coba? Tandem! Karena dia mendadak resign & akhirnya yang ketimpa abu hangatnya ya saya, menggantikan dia mengisi posisi Team Leader. Aturannya paling tidak 2 minggu sebelum resign harus mengajukan surat pengunduran diri, nah ini dia Rabu interview, Kamisnya resign :(( . Akhirnya Jumat pemilihan Team Leader untuk menggantikan dia kan. Jadi ceritanya saya belum sempat tandem, belum sempet handoverkerjaan juga. Parah nih.. :((

Alhasil, hari Minggu gini, yang lain pada weekend, saya bareng Nanang plus 4 temen Complaint Handling Officer ngantor. Moga-moga ini hanya pas awal karir jadi TL aja ya. Seterusnya kalau sampai hari Minggu juga harus ngantor, nggak banget deh :(( . Aslinya sih janjian pagi sama Nanang, tapi berhubung Nanang-nya pagi ada acara jadi diundur sore. Itupun sudah bikin saya parno banget, anget & panik duluan, konfirmasi berkali-kali via sms : “Nang, kamu jadi dateng kan? Ga cancel lagi kan?”. Ya takut aja kalau Nanang batalin lagi kan nggak lucu besok aku terbengong-bengong dengan sempurna karena nggak tahu apa yang mesti dikerjain duluan. Mmhhh.. karena kadang saya suka panik berlebihan, suka merasa insecure kalau semuanya belum siap. Ada yang bilang sedikit perfeksionis kalau ada pekerjaan yang belum selesai, atau ada yang belum ngerti, atau pekerjaan kurang rapi.

Alhamdulillah dalam 2 jam penuh Nanang mendiklat saya secara kilat. Mulai cara bikin distribusi tapping, bikin itung-itungannya, bikin laporan ke spv, menilai pekerjaan anak-anak, monitoring, kompres download record tapping, bikin jadwal kalibrasi bareng partial & fully outsource, menjawab komplain TL, dan banyak lagi kerjaan yang pasti nggak akan sesantai pekerjaan kemarin-kemarin yang bisa disambi segala macem (jadi dejavu sama kerjaan saya 2 tahun yang lalu di Surabaya).

Hmm..menghitung jam nih

Ya sudahlah, Nanang aja bisa, masa saya nggak bisa sih?Toh ilmunya juga sama.. 😉

Continue Reading