Bukan Jakarta kalau…

traffic-jam

…nggak macet!

———-

Demikian seloroh klasik hampir semua orang yang mengomentari betapa macetnya lalu lintas di Jakarta. Seolah ingin menggambarkan bahwa macet dan Jakarta adalah dua buah kata identik yang sudah lumrah dan jamak. Kalau Jakarta sepi, lengang, seperti halnya suasana beberapa hari menjelang Lebaran malah aneh, karena Jakarta itu terlanjur identik dengan macet.

Sudah hampir sepekan ini Jakarta dilanda kemacetan yang luar biasa parahnya. Bukan hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan pribadi saja, tapi juga dirasakan oleh seluruh pengguna jasa layanan angkutan umum. Tingginya volume kendaraan yang melintas makin memperburuk kondisi lalu lintas, belum lagi cuaca hujan hingga menyebabkan banyaknya genangan di beberapa ruas jalan, makin memperparah kondisi lalu lintas di ibu kota tercinta ini.

‘Penderitaan’ yang dirasakan bukan hanya kaki yang pegal-pegal karena terlalu lama berdiri, dan waktu yang terbuang di jalanan lebih lama, tapi juga bahan bakar yang terhambur jadi lebih banyak, ditambah dengan ke-BT-an tingkat tinggi yang menyergap hampir semua yang terjebak di kemacetan. Sepertinya orang yang hidup di Jakarta itu harus punya stok kesabaran, ketabahan, dan daya tahan tubuh yang luar biasa untuk berjuang menghadapi kemacetan setiap harinya.

Bayangkan, dengan kondisi fisik dan psikis yang lelah karena sudah seharian beraktivitas di kantor masih harus ditambah dengan lamanya waktu tempuh menuju rumah yang lebih lama. Sesampai di rumah pun cuma sempat istirahat ala kadarnya, karena besok paginya harus bangun lebih awal, dan kembali berkejaran dengan waktu supaya tidak terlambat di kantor.

Beruntung hari Jumat kemarin saya memutuskan untuk pulang tepat waktu, sehingga antrean di halte Transjakarta belum terlalu padat, masih dapat tempat duduk, begitu pula level kemacetan jalan raya masih dalam batas ‘wajar’. Level wajar di sini maksudnya kendaraan masih bisa jalan di tengah kemacetan, tidak sampai stuck dan berhenti dalam waktu yang lama. Di saat saya sudah leyeh-leyeh di rumah, di twitter dan status bbm teman-teman saya bermunculan keluhan terjebak kemacetan di mana-mana,  ada yang keluar kantor pukul 16.15 tapi sampai di rumah hampir pukul 22.00 WIB, bahkan ada yang menjelang pukul 24.00 WIB! Epic, ya? 😐

Banyak orang yang ‘menyalahkan’ makin macetnya Jakarta akhir-akhir ini salah satunya disebabkan karena adanya sterilisasi jalur busway. But, hey… bukankah macetnya Jakarta bukan baru terjadi sehari dua hari ini? Toh, meski sudah ada peraturan tentang sterilisasi jalur busway nyatanya masih banyak juga kendaraan yang masuk ke jalur busway, apalagi ketika jalur jalanan normal sudah sangat padat, satu-satunya ‘alternatif’ untuk bisa tetap jalan ya masuk ke jalur busway. Oh ya, satu lagi. Trotoar. Pffft!

Kondisi seperti itu sih masih ‘mending’. Bagaimana kalau misalnya Transjakarta mengalami trouble di tengah jalur karena mesinnya tergenang air/mati, sementara itu di belakang bus berderet antrean kendaraan yang bermaksud mengambil kesempatan jalur bebas hambatan. Mau tidak mau mereka ikut berhenti total karena beberapa separator busway yang sengaja dibuat tinggi itu tidak memungkinkan mereka untuk memotong jalur seperti dulu. Tidak ada jalan lain selain ikut pasrah menanti hingga Transjakarta selesai diperbaiki. Nah, makin PR lagi, kan?

Tapi beruntung kemarin saya tidak coba naik angkutan alternatif yaitu shuttle bus. Memang sedikit agak lama menunggu shuttle bus itu lewat di Sudirman, tapi daripada saya terjebak di halte Harmoni selama berjam-jam karena ternyata Transjakartanya tidak beroperasi untuk sementara waktu lantaran banjir di sekitar Kampung Melayu, yah well… saya diam-diam bersyukur, walaupun sampai rumah hampir pukul sembilan malam 😐

Jadi ingat beberapa baris kalimat dari Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu tulisannya yang bertajuk Menjadi Tua di Jakarta,

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa”

Soal bertahan hidup di Jakarta, menjadi Homo Jakartensis, menjadi sosok-sosok yang mengembara dalam pencarian, sebenarnya cuma masalah pilihan. Kalau ternyata masih kuat bertahan hidup di sini ya silakan dilanjut dengan segala konsekuensinya. Tapi kalau sudah tidak kuat ya silakan lambaikan tangan ke kamera… :mrgreen:

Btw, kapan ya jalanan di Jakarta suasananya mirip seperti car free day setiap harinya?
*tidur lelap*

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

“Ibu kota yang ideal itu…”

Jakarta dikepung banjir. Selama beberapa hari topik itu menghiasi headline berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Kalau banjir ‘biasa’ sih saya sudah pernah mengalami (walau tidak separah hujan di tahun ini), seperti di tulisan yang ini. Apalagi lalu lintas Jakarta yang hanya sepi kalau ada car free day itu membuat semakin parahnya kondisi lalu lintas ketika hujan turun.

Banjir kemarin benar-benar membuat saya melongo parah, inilah pertama kalinya saya mengalami langsung momentum banjir 5 tahunan. Beruntung tempat tinggal saya bukan daerah yang terkena banjir, tapi akses menuju kantor dan rumahlah yang banjir parah. Ya, pintar-pintarnya kita mencari jalur alternatif.

Di hari Kamis yang lalu, sepanjang jalan menuju ke kantor diguyur hujan lebat. Di sekitaran Tugu Tani dan Gambir bahkan sudah ada genangan, padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.15 pagi. Tak heran, karena hujan memang sudah turun sejak dini hari. Sedikit panik juga sih, mengingat kendaraan saya berjenis sedan, kalau ada genangan agak tinggi sedikit khawatir kendaraan akan mogok :|. Kalau pun pulangnya saya harus naik angkutan umum juga sama ribetnya karena banyak alat transportasi massal yang tidak beroperasi akibat kesulitan menembus banjir.

Hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya hampir semalaman itu ternyata menyebabnya naiknya debit air di beberapa pintu air. Alhasil terjadi banjir dan (tentu saja) macet di mana-man. Banjir bukan hanya terjadi di jalan-jalan tertentu saja; hampir merata, bahkan istana pun tak luput dari banjir. Padahal di hari yang sama Presiden SBY ada jadwal menerima kunjungan kenegaraan Presiden Republik Argentina, Christina Elisabeth Fernandez de Kirchner. Pasti terbayang, betapa ribetnya suasana di istana ketika istana dikepung banjir menjelang penerimaan tamu negara, kan? Akhirnya demi kelancaran proses penerimaan tamu negara, pertemuan yang sedianya berlangsung pukul 10.30 itu pun diundur menjadi pukul 12.00. Nguras banjir dulu kali, Kak… 😐

Nah, beberapa hari yang lalu saya menyimak obrolan di salah satu radio swasta di Jakarta. Mereka mengusung topik obrolan, “Masih idealkah Jakarta sebagai ibu kota negara? Kalau sudah tidak ideal, sebaiknya ibu kota kita dipindah ke mana?” Jakarta adalah kota megapolitan yang semakin hari bukannya semakin hijau dan lengang tapi justru semakin macet, padat, rawan demo dan kriminalitas, juga merupakan flood plain (tampungan banjir). Banyak yang berpendapat kalau Jakarta sudah jauh dari kata ideal lagi untuk menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis. Di tahun 1957 sebenarnya Presiden Soekarno sudah pernah melemparkan wacana akan memindahkan ibukota RI ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Secara jauh ke depan Soekarno berpikir bahwa seiring dengan perkembangan zaman, Jakarta tidak akan mampu menjalankan dua fungsi sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan niaga; dan sepertinya pemikiran beliau itu mulai ada benarnya. Kenapa dipilih Palangkaraya? Selain berada di pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan juga kebetulan berada di tengah gugus kepulauan di Indonesia. Hmm, kalau beneran jadi, berarti saya juga bakal pindah ke Palangkaraya dong, ya? 😕

Atau, sebagai opsi kedua, biarkan Jakarta tetap sebagai pusat pemerintahan deh, tapi pusat bisnis atau kawasan bisnisnya saja yang dipindah ke luar Jawa, tapi tentu dibangun dengan infrastruktur yang jauh lebih baik. Kalau memang alasan utama kenapa selama ini Jakarta menjadi pusat bisnis adalah karena Jakarta punya sarana dan prasana yang lengkap, yang  bisa mendukung jalannya bisnis, misalnya jalan tol, pelabuhan, pusat listrik, dan perbankan. So, kalau memang fasilitas-fasilitas itu yang menjadi alasan, seharusnya bisa dong dibangun sarana dan prasarana yang sama lengkap dan canggihnya di luar Jawa?

Namun, tentu saja wacana (lawas) pemindahan pusat pemerintahan dan pusat bisnis ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kajian mendalam dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Kalau kita mau, mungkin sudah saatnya kita belajar dari negara-negara lain yang sudah memisahkan antara pusat pemerintahan dan pusat bisnisnya. Sebut saja Malaysia yang sudah membedakan pusat bisnis dan pusat pemerintahan, dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Belanda, ibu kotanya adalah Amsterdam, tapi pusat pemerintahannya (termasuk perwakilan-perwakilan negara asingnya) ada di Den Haag. Australia juga memindahkan pusat pemerintahan dari Melbourne ke Canberra (Canberra dianggap ideal karena berada di antara Melbourne dan Sydney). Turki juga memindahkan pusat pemerintahannya dari Istambul ke Ankara. Pun halnya Amerika yang memindahkan pusat pemerintahannya dari New York ke Philadelphia, dan sekarang di Washington DC. Dan masih banyak lagi negara lain yang sudah melakukan pemisahan pusat pemerintahan dan pusat niaga.

Bagaimanapun penerapan terminologi ibu kota di setiap negara memang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya makna ibu kota lebih merujuk pada suatu lokasi tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan. Kalau di Indonesia, mengapa dulu Jakarta dipilih sebagai ibu kota karena merupakan kota yang dianggap paling memiliki kesiapan infrastruktur terutama dari peninggalan-peninggalan Belanda.

Nah, kalau memang wacana pemindahan ibu kota (pusat pemerintahan) itu jadi dilakukan, menurut kalian idealnya ibu kota kita itu dipindahkan ke kota mana? 😀

 

[devieriana]

 

 

foto dokumentasi pribadi

Continue Reading

Siapa suruh datang Jakarta?

Semalam adalah malam yang sangat spektakuler buat hampir semua penduduk Jakarta yang hingga tengah malam masih terkatung-katung di tengah jalan lantaran banjir dan macet yang sangat parah. Berbagai live tweet tentang banjir beserta foto yang di-upload seolah menceritakan betapa lumpuhnya arus lalu lintas di Jakarta tadi malam. Ya, saya adalah salah satu manusia yang terjebak dalam kemacetan yang parah itu pemirsa..

Niat awalnya adalah mengantarkan adik saya ke Bandara Soekarno Hatta. Janjian maksimal jam 17.00 wib sudah di Gambir terpaksa dibatalkan karena hujan dan prediksi macet yang akan terjadi sehingga tidak mungkin kalau dia harus menunggu saya sementara dia harus sudah check in di bandara. Akhirnya tinggallah saya di dalam taksi dengan mencoba tenang “menikmati” macet, banjir, dan komplain-komplain via berbagai social media. Sempat stress juga ketika taksi yang saya naiki tidak bisa bergerak samasekali. Miris, ketika saya memutuskan untuk berjalan kaki tapi ketika melongok keluar jendela taksi, wow.. SUNGAI!! :((

Kemacetan dan banjir rupanya merata hampir di seluruh Jakarta. Suami saya yang naik motor terpaksa harus berputar-putar mencari jalan alternatif (jalan tikus). Tapi ternyata jalan tikus pun macet. Karena pikiran orang mungkin sama dengan pikiran suami saya, “ah kalau lewat jalan utama pasti macet, lewat jalan alternatif sajalah..”. Eh ternyata bertemulah mereka di jalanan yang sama. Jadi ya tidak ada bedanya antara lewat jalan utama atau jalan alternatif ;)) . Saya sendiri mulai berasa stressnya ketika mulai melihat jam sudah menunjukkan pukul 21.30 wib dan saya masih terkatung-katung di Jalan Gatot Subroto. Saya lihat juga si bapak supir taksi saya sudah stress juga sepertinya. Untunglah suami saya akhirnya menjemput dan membawa saya keluar dari kemacetan di sekitaran Giant – Mampang… untuk menghadapi kemacetan berikutnya tentu saja ;))

Saya toh juga sempat ngetwit begini :

Macet itu membuat org banyak bersyukur. Maju semeter aja sudah alhamdulillah : “alhamdulillah, akhirnya maju juga”
about 17 hours ago  via Twitter for BlackBerry®

dan begini :

Kalo Jakarta macetnya kaya begini, bayangkan ada berapa ibu hamil yg akan melahirkan dijalan ya..
about 17 hours ago  via Twitter for BlackBerry®

;))

Pagi ini di kantor hampir semua orang mempunyai cerita yang sama dengan versi masing-masing tentang kemacetan. Mereka rata-rata tiba dirumah antara pukul 22.00-23.00 bahkan ada juga yang lebih malam daripada itu. Semuanya mengeluh dan ngomel tentang betapa parahnya kemacetan Jakarta kemarin malam, saya juga cerita sih, tapi nggak pakai ngomel. Tepatnya adalah PASRAH! ~X(

Tapi saya justru berpikir iseng begini :

Sebenarnya kita semuanya sudah tahu kalau Jakarta itu kota banjir & macet, kan? Jadi ya sudah, kalau sudah memutuskan untuk tinggal disini ambil itu sebagai bentuk resiko dan konsekuensi logis. Jakarta itu ibarat sebuah produk yang dijual dengan sistem bundling. Kita tidak bisa hanya membeli salah satu fasilitas yang ditawarkan. Kalau kita sudah setuju membelinya ya kita tinggal menikmati fitur paket yang dijual terlepas dari mau tidak mau, berguna atau tidak. Jakarta disajikan lengkap dengan segala mimpi tentang kesuksesan hidup, dilengkapi dengan segala ketersediaan fasilitas, diberi essence manis pahit asamnya hidup kota besar, dan tak lupa semua itu disajikan lengkap dengan hiasan pita banjir dan macetnya.

Mengomel dan saling menyalahkan/menghujat satu sama lain pun tidak akan menyelesaikan masalah. Kalau memang iya solusinya adalah dengan mengganti pejabat yang kita salahkan itu lalu apakah pejabat berikutnya atau bahkan kita sendiri dijamin pasti  mampu menyelesaikan masalah klasiknya Jakarta ini? Nah, belum tentu juga tho? Bukan berarti kita harus nerimo dengan keadaan seperti ini terus-terusan, tapi ya kenapa kita tidak mencoba untuk mengakrabkan diri dengan kondisi yang bukan untuk pertama kalinya terjadi ini? Nikmati sajalah Jakarta dengan segala pernak-perniknya, toh nanti juga akan kebal & terbiasa. Soal terlambat, kebasahan, kedinginan, tampang jadi kucrut ya sudahlah terima nasib saja. Toh kita tidak sendirian mengalaminya kan? ;))

Jadi sewaktu-waktu kalau nanti kita eksodus ke negara yang kemacetannya tidak separah Jakarta kita sudah terbiasa. Misalnya pun ternyata ada macet-macetnya sedikit kita bisa komentar : “Ah, dulu saya pernah mengalami yang lebih macet dari ini kok?” | “Oh ya, dimana?” | “di Jakarta..” 😀

Baiklah, seperti lemparan sandal, aqua galon, dan keplakan mesra sudah mampir ke jidat saya ;)). Ya namanya juga mencoba menghibur diri dengan mencoba berpikir positif biar hati dan pikiran lebih rileks kan tidak ada salahnya tho? 😀

Jadi gimana, masih minat tinggal di Jakarta?  :-”
Pindah aja yuk.. :>

[devieriana]

Continue Reading