“Ibu kota yang ideal itu…”

Jakarta dikepung banjir. Selama beberapa hari topik itu menghiasi headline berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Kalau banjir ‘biasa’ sih saya sudah pernah mengalami (walau tidak separah hujan di tahun ini), seperti di tulisan yang ini. Apalagi lalu lintas Jakarta yang hanya sepi kalau ada car free day itu membuat semakin parahnya kondisi lalu lintas ketika hujan turun.

Banjir kemarin benar-benar membuat saya melongo parah, inilah pertama kalinya saya mengalami langsung momentum banjir 5 tahunan. Beruntung tempat tinggal saya bukan daerah yang terkena banjir, tapi akses menuju kantor dan rumahlah yang banjir parah. Ya, pintar-pintarnya kita mencari jalur alternatif.

Di hari Kamis yang lalu, sepanjang jalan menuju ke kantor diguyur hujan lebat. Di sekitaran Tugu Tani dan Gambir bahkan sudah ada genangan, padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.15 pagi. Tak heran, karena hujan memang sudah turun sejak dini hari. Sedikit panik juga sih, mengingat kendaraan saya berjenis sedan, kalau ada genangan agak tinggi sedikit khawatir kendaraan akan mogok :|. Kalau pun pulangnya saya harus naik angkutan umum juga sama ribetnya karena banyak alat transportasi massal yang tidak beroperasi akibat kesulitan menembus banjir.

Hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya hampir semalaman itu ternyata menyebabnya naiknya debit air di beberapa pintu air. Alhasil terjadi banjir dan (tentu saja) macet di mana-man. Banjir bukan hanya terjadi di jalan-jalan tertentu saja; hampir merata, bahkan istana pun tak luput dari banjir. Padahal di hari yang sama Presiden SBY ada jadwal menerima kunjungan kenegaraan Presiden Republik Argentina, Christina Elisabeth Fernandez de Kirchner. Pasti terbayang, betapa ribetnya suasana di istana ketika istana dikepung banjir menjelang penerimaan tamu negara, kan? Akhirnya demi kelancaran proses penerimaan tamu negara, pertemuan yang sedianya berlangsung pukul 10.30 itu pun diundur menjadi pukul 12.00. Nguras banjir dulu kali, Kak… 😐

Nah, beberapa hari yang lalu saya menyimak obrolan di salah satu radio swasta di Jakarta. Mereka mengusung topik obrolan, “Masih idealkah Jakarta sebagai ibu kota negara? Kalau sudah tidak ideal, sebaiknya ibu kota kita dipindah ke mana?” Jakarta adalah kota megapolitan yang semakin hari bukannya semakin hijau dan lengang tapi justru semakin macet, padat, rawan demo dan kriminalitas, juga merupakan flood plain (tampungan banjir). Banyak yang berpendapat kalau Jakarta sudah jauh dari kata ideal lagi untuk menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis. Di tahun 1957 sebenarnya Presiden Soekarno sudah pernah melemparkan wacana akan memindahkan ibukota RI ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Secara jauh ke depan Soekarno berpikir bahwa seiring dengan perkembangan zaman, Jakarta tidak akan mampu menjalankan dua fungsi sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan niaga; dan sepertinya pemikiran beliau itu mulai ada benarnya. Kenapa dipilih Palangkaraya? Selain berada di pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan juga kebetulan berada di tengah gugus kepulauan di Indonesia. Hmm, kalau beneran jadi, berarti saya juga bakal pindah ke Palangkaraya dong, ya? 😕

Atau, sebagai opsi kedua, biarkan Jakarta tetap sebagai pusat pemerintahan deh, tapi pusat bisnis atau kawasan bisnisnya saja yang dipindah ke luar Jawa, tapi tentu dibangun dengan infrastruktur yang jauh lebih baik. Kalau memang alasan utama kenapa selama ini Jakarta menjadi pusat bisnis adalah karena Jakarta punya sarana dan prasana yang lengkap, yang  bisa mendukung jalannya bisnis, misalnya jalan tol, pelabuhan, pusat listrik, dan perbankan. So, kalau memang fasilitas-fasilitas itu yang menjadi alasan, seharusnya bisa dong dibangun sarana dan prasarana yang sama lengkap dan canggihnya di luar Jawa?

Namun, tentu saja wacana (lawas) pemindahan pusat pemerintahan dan pusat bisnis ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kajian mendalam dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Kalau kita mau, mungkin sudah saatnya kita belajar dari negara-negara lain yang sudah memisahkan antara pusat pemerintahan dan pusat bisnisnya. Sebut saja Malaysia yang sudah membedakan pusat bisnis dan pusat pemerintahan, dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Belanda, ibu kotanya adalah Amsterdam, tapi pusat pemerintahannya (termasuk perwakilan-perwakilan negara asingnya) ada di Den Haag. Australia juga memindahkan pusat pemerintahan dari Melbourne ke Canberra (Canberra dianggap ideal karena berada di antara Melbourne dan Sydney). Turki juga memindahkan pusat pemerintahannya dari Istambul ke Ankara. Pun halnya Amerika yang memindahkan pusat pemerintahannya dari New York ke Philadelphia, dan sekarang di Washington DC. Dan masih banyak lagi negara lain yang sudah melakukan pemisahan pusat pemerintahan dan pusat niaga.

Bagaimanapun penerapan terminologi ibu kota di setiap negara memang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya makna ibu kota lebih merujuk pada suatu lokasi tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan. Kalau di Indonesia, mengapa dulu Jakarta dipilih sebagai ibu kota karena merupakan kota yang dianggap paling memiliki kesiapan infrastruktur terutama dari peninggalan-peninggalan Belanda.

Nah, kalau memang wacana pemindahan ibu kota (pusat pemerintahan) itu jadi dilakukan, menurut kalian idealnya ibu kota kita itu dipindahkan ke kota mana? 😀

 

[devieriana]

 

 

foto dokumentasi pribadi

Continue Reading