I'm Never Wrong

“Apaan sih, sok tau lo ah, gini salah, gitu salah..?”
“yee emang elunya yang salah, lo itu seharusnya begini, begini, begini..”
“lah, gue kan..bla,bla,bla..” *membela diri*
– dialog di salah satu pojokan ruangan –

*ngedumel*
“kenapa sih dia itu kalo diingetin ga pernah mau terima? ngerasa dirinya paling bener aja..”

“Halah, ngapain sih ada kritik-kritikan segala? Selama kita ngejalaninnya bener ya sudah tho? Repot amat?!”. Being defensive ketika menghadapi kritik itu reaksi yang wajar , karena pada dasarnya tidak semua orang mau & siap dikritik. Yang bisa melihat kesalahan kita kan orang lain. Ketika kita sudah dihadapkan pada sebuah kritik ya itu berarti memang ada yang salah di diri kita. Kalau kitanya yang belum-belum sudah defensif & merasa kitalah yang paling benar ya percumalah semua kritik itu, tidak akan pernah dapat feedback. Banyak diantara kita yang lebih suka mendengarkan saran dari orang yang dianggap lebih senior, lebih capable dibanding dengan omongan teman sendiri padahal arah omongannya sama. Kalau teman yang notabene kita sudah tahu karakternya terus tiba-tiba kasih masukan, pasti kitanya yang nyolot : “halah, jangan sok tau lo ah !!”. Tapi beda ketika yang ngomong itu seorang yang lebih tua, lebih pakar, jawabannya : “Wah, bener banget deh kata-kata ibu.. bagus banget ya sarannya. Terimakasih untuk pencerahannya ya bu..” *sambil kasih standing applauses*
Padahal omongan yang keluar intinya sama lho.. 🙁

Sikap open terhadap kritik. Itu yang masih belum bisa di terima semua orang. Saya pernah membaca uraian Dale Carnegie, mengenai Al Capone– pemimpin mafia di Chicago sana – dan para penjahat kelas wahid ternyata tidak pernah sekalipun memandang diri mereka sebagai penjahat. Hmm, masa sih sampai begitu? Mereka yang jelas-jelas berbuat kriminal, memperkosa, membantai manusia dengan tanpa alasan, melindungi peredaran obat bius, ternyata tidak pernah memandang diri mereka bersalah. OMG.. Masih dalam buku yang sama, Dale juga menceritakan bahwa hampir 100% dari mereka yang berada dipenjara Sing-Sing – penjara kriminal nomer satu di New York- juga sama sekali tidak melihat diri mereka sebagai para kriminal, melainkan sebagai korban. Sungguh-sungguh kenyataan yang hampir tidak dapat dipercaya. Yang lebih mengherankan lagi, jika sifat yang satu itu, juga terjadi dikalangan atas. Contohnya Presiden Taft – masih menurut buku itu – ketika berbuat sebuah kesalahan, dan diberitahu tentang itu, juga tidak pernah mengaku salah. Wow, lengkap sudah. Jika demikian berarti sifat “tidak mau disalahkan” itu melekat secara merata di mahluk yang bernama manusia. Dari penjahat hingga level presiden. Dari orang miskin sampai konglomerat..

Kita memang selalu pointing finger kearah kesalahan orang lain dibandingkan kesalahan kita sendiri. Lampu sorot untuk orang lain, sedangkan lilin redup untuk diri sendiri. Untuk orang lain, sedapat mungkin kita gunakan kata : “lah, harusnya kan dia…” . Sedangkan untuk diri sendiri : “ya gimana lagi aku kan…”.

Tidak perlu jauh-jauh deh, saya sendiri masih sering melakukan hal itu, suka mengkritisi orang lain, padahal saya sendiri juga belum tentu benar. Kalau saya menemukan ketidaksesuaian ya saya langsung nyolot, mengkritik habis-habisan. Tapi ketika saya yang disalahkan pasti akan dengan sigap saya memberikan pembelaan 😀 . Sepertinya saya juga mulai menggenapi analisa Dale Carnegie tentang sifat dasar manusia, yaitu begitu mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi buta atau membutakan diri dengan kesalahannya sendiri… :(. Saya juga lebih suka membicarakan kesalahan orang disekitar saya, daripada konsentrasi membenahi kekurangan-kekurangan saya sendiri. Padahal jelas-jelas lebih menguntungkan untuk memperbaiki diri sendiri dibanding, bertindak sebagai “tuhan kecil” yang menghakimi, mengkritik bahkan menelanjangi kesalahan orang lain. Sedangkan TUHAN “yang beneran” saja tidak menghakimi kita, sebelum waktunya..

Saya kagum terhadap media cetak besar seperti KOMPAS. Sebagai market leader, selalu menerima koreksi dan kritik dari pembacanya dengan menjawab secara santun. Bayangkan kalau kalau redaksinya menjawab kritikan/koreksi dari pembacanya dengan menjawab , “TERSERAH deh. Kalau emang situ nggak suka, ya udah, jangan baca koran KOMPAS, masih banyak koran lain, kan?”
*nggeblak*
Apa ya gak langsung Kompas gulung tikar kalau sampai redaksinya arogan kaya begitu?

Memang masih sulit bagi sebagian orang Indonesia untuk menerima kritik. Seolah olah kritik atau koreksi yang dilontarkan itu membuka aib bahwa dia memang “bodoh”, “salah”. Padahal ya bukan begitu maksudnya. Kritik itu yang penting adalah cara penyampaian yang pas, sehingga mampu diterima oleh si objek yang di kritik Ada yang berupa sindiran (tulisan atau omongan), ada yang ngomong straight to the point, ada yang muter-muter dulu baru ke inti masalah. Tinggal cari media & gaya bahasa mana yang tepat buat disampaikan kepada si objek. Bukankah salah satu tujuan kita mengkritik adalah supaya dia memperbaiki kesalahannya? Mau mengakui kesalahan & menyikapi kritik secara bijak tidak akan membuat kita jadi krisis confidence kok.Tapi justru akan membuat kita berjiwa besar.

gambar ngambil dari sini

Continue Reading