Nights In Rodanthe

nights_in_rodanthe

Niat awal mau nonton Journey to the Center of the Earth (3D Film) yang hanya diputar di EX Plaza XXI ma Plaza Senayan XXI dengan kacamata khusus 3D ini , tapi berhubung sudah terjual habis & harga tiketnya termasuk diatas rata-rata, jadilah saya & suami nonton film bergenre romance yang dibintangi oleh Richard Gere & Diane Lane yang berjudul Nights in Rodanthe.

Dari judul & poster filmnya saja sudah bisa ditebak kalau filmnya romantis banget (resensi berdasarkan poster ). Dasar sayanya yang cengeng, ada saja di bagian film ini yang bikin saya mendadak menangis bombay, terharu gitu.

Kurang lebih ceritanya seperti ini :

Adrienne Willis (Diane Lane) memutuskan untuk mengasingkan diri di sebuah kota kecil bernama Rodanthe setelah merasa bahwa rumah tangganya gagal total. Ia kemudian menerima tawaran salah seorang temannya untuk merawat penginapan kecil miliknya di sana.

Adrienne berharap dapat menemukan ketenangan jiwa agar bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya terhadap pernikahan yang telah ia jalani bertahun-tahun. Adrienne merasa tak mampu lagi menghadapi suami dan putrinya yang seolah-olah selalu berada di sisi yang berseberangan dengannya.

Tak lama kemudian, seorang pria bernama Dr. Paul Flanner (Richard Gere) datang untuk bermalam di penginapan yang dijaga Adrienne. Dr. Paul Flanner datang ke Rodanthe membawa misi untuk berbaikan degan putranya yang telah lama meninggalkannya.

Ketika terjebak di tengah badai yang datang tiba-tiba, keduanya lantas menemukan apa yang selama ini mereka idamkan. Kehidupan asmara yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka.

Film ini sebenarnya cukup menarik untuk sebuah film romantis. Suasana romantis yang dibangun dengan cara ‘mengisolasi’ kedua tokoh utama ini dari dunia luar memang berhasil. Apa lagi dengan kualitas akting dari aktor dan aktris papan atas seperti Diane Lane dan Richard Gere. Masih ditambah dengan pengalaman mereka berdua sebagai pasangan asmara dalam dua film sebelumnya, COTTON CLUB dan UNFAITHFUL.

Di samping suguhan kisah asmara yang romantis, film hasil arahan sutradara George C. Wolfe ini juga menawarkan pemandangan alam yang memanjakan mata. Hamparan pantai luas yang sunyi menambah kesan romantis yang memang ingin ditonjolkan sang sutradara. Sumpah, pemandangannya bagus banget :-bd

Namun ada beberapa hal yang kadang terlupakan saat sang sutradara sudah mulai fokus ke satu hal. Dalam film ini yang tertinggal adalah logika. Misalnya saja soal badai yang tak pernah disebutkan namanya, atau bagaimana badai yang kuat itu tak mampu merobohkan penginapan kecil yang sekilas terlihat tak begitu kokoh. Keputusan kedua tokoh ini untuk tetap bertahan di kota kecil Rodanthe meski sudah ada peringatan bahwa badai akan datang juga terasa sedikit dipaksakan. Hmm.. Tapi ya sudahlah.. 😀

Namun bila kita termasuk orang yang gampang terhanyut suasana romantis yang memang jadi suguhan utama film ini, kita pasti tak akan terlalu memperhatikan penyimpangan dari logika tadi. Terlepas dari logis atau tidak, film berdurasi kurang dari 100 menit ini memang layak ditonton..

Kalau bicara tentang pesan moral, ada 2 hal yang bisa saya ambil disini  :
1. Meminta maaf terkadang perlu dilakukantanpa peduli apakah kesalahan yang telah kita perbuat itu sengaja atau tidak. Tapi buat sebagian orang, meminta maaf sama halnya dengan mengesampingkan ego. Tidak semua orang sanggup melakukannya.

2. Terkadang kita ada saatnya menyerah kepada takdir. Manusia boleh berencana, namun Tuhanlah yang menentukan..

[devieriana]

gambar dari sini

Continue Reading