A Whiter Shade of Pale vs Suite No.3 in D Major

Kemarin sore, ketika langit Jakarta masih cerah, jalanan masih lumayan lengang karena belum banyak yang pulang kantor, saya sedang dalam perjalanan menuju pulang ke rumah. Seperti biasa, saya pulang bersama dengan teman yang membawa kendaraan pribadi dan kebetulan rumah kita searah, hanya saja kami berpisah di Jl. Gatot Subroto karena saya harus berbelok ke arah Mampang.

Seperti biasa, saya melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal itu dengan naik Kopaja P-20. Namun kali ini tak seperti biasanya, bus yang hampir selalu penuh sesak penumpang itu kemarin hanya ada beberapa penumpang saja dengan sepasang pengamen didalamnya. Kalau biasanya kita akrab dengan tampilan pengamen yang tampil dengan gitar, kali ini sedikit berbeda. Yang satu (berambut cepak) memang masih menggunakan gitar sebagai alat musik andalan, sedangkan yang satu lagi (berambut gimbal rasta sepanjang pinggang dengan lengan penuh tato) memainkan biola dengan penuh penghayatan. Tampilan keduanya memang terkesan kumuh. Iyalah, mereka mungkin sudah seharian di jalanan, berpindah dari bus yang satu ke bus lainnya, jadi ya wajar kalau penampilannya sudah kusut dan kumal.

Ketika saya naik, mereka tengah memainkan sebuah lagu yang “tak biasa”, dan seketika membuat penilaian saya terhadap mereka langsung berubah. Seberubah apa, sih? Cuma duet pengamen yang memainkan gitar dan biola saja, kan? Entah ya, saya selalu memberikan poin plus setiap melihat orang yang mahir meminkan biola. Buat saya biola itu alat musik “ekslusif”, yang tidak semua orang mampu membawakannya. Mama saya pernah cerita kalau dulu, jaman Mama saya masih remaja, suka melantai/dansa dengan diiringi lagu dansa “wajib” yang berjudul “A Whiter Shade of Pale” (dipopulerkan oleh Procul Harun bukan Procol Harum). Nah, mereka berdua ini tengah memainkan lagu “A Whiter Shade of Pale” itu dengan versi mereka :-bd.

Biasanya, para pengamen kan koleksi lagunya ya dari itu ke itu, memainkan “chart Top 40-nya” Indonesia. Kalau nggak lagunya Ungu, ya Wali, Kangen Band, ST12, atau Armada, dan sejenisnya. Apalagi kalau naik Kopaja P-57 dari arah Cililitan, sepanjang jalan bisa gonta-ganti pengamen. Ada sih salah satunya favorit saya di Kopaja P-57. Seorang bocah perempuan yang usianya sekitar 5-6 tahunan, suaranya melengking tinggi (tapi dia sudah tahu nada lho), dan yang lebih menarik adalah ekspresi dan gayanya sewaktu perform di dalam bus. Total sekali. Di sebelah tempat duduk sopir bis biasanya ada space yang agak menonjol (tempat mesin), nah bagi dia itulah panggungnya. Bocah berperawakan kecil dan berkulit legam itu pun mulai bergaya dengan diiringi petikan gitar kakak pengamen seniornya. Kalau dia sudah mulai menyanyi dengan urat-urat yang bertonjolan di leher itu, tinggal kami yang senyum-senyum geli melihat aksinya. Oh ya, suaranya lumayan bagus lho.

Ketika saya masih di Surabaya dan selalu naik bus menuju kantor, hampir dipastikan sering bertemu dengan beberapa personil Klanthing yang waktu itu masih belum dikenal seperti sekarang. Kalau mereka menyanyi pasti menghibur, disela-sela permainan mereka pasti ada celetukan-celetukan khas Suroboyo yang sering mengundang tawa. Kalau kitanya juga terhibur pasti tidak akan sayang untuk memberikan tips lebih buat mereka, bukan? 🙂

Kembali lagi ke pengamen “A Whiter Shade of Pale” tadi ya. Buat saya penampilan mereka istimewa, karena mereka berani tampil beda daripada pengamen-pengamen lainnya. Pilihan lagunya pun bukan yang pasaran dan tidak banyak orang yang kenal. Lagu nostalgia jaman orangtua saya masih remaja gitu lho. Meskipun pernah dibuat versi remake-nya oleh Annie Lennox dan Sarah Brightman.

Yang tak kalah menakjubkan, adalah ketika mereka masuk lagu kedua, membawakan lagu klasiknya Johann Sebastian Bach yang intronya mirip dengan A Whiter Shade of Pale yang tadi, berjudul Suite No.3 in D Major . Saya sempat bengong. Apa?! Pengamen yang biasanya membawakan lagu-lagu Indonesia populer, mampu membawakan lagu klasik macam Suite No.3 in D Major dengan baik? Wow! Mungkin penumpang lain tidak mengenal itu lagu siapa, judulnya apa, masih dalam satu lagu atau sudah ganti lagu karena intro kedua lagu itu memang mirip dan kebetulan juga dibawakan secara medley oleh mereka. Saya yang berdiri persis dekat kedua pengamen itu sampai tak mampu berkata-kata. Mereka memang luar biasa!

Usai membawakan kedua lagu tersebut, mereka pun mengedarkan bekas kantong permen, yang tak perlu memakan waktu lama sudah terisi beberapa lembar ribuan. Ya, sepertinya semua penumpang merasa terhibur dengan penampilan mereka berdua.

Oh ya, seberapa istimewanya kedua pengamen itu, kok sampai saya buatkan postingan khusus di blog seperti ini? Mungkin bagi sebagian orang menilai, “Ah, biasa aja kali, gue juga sering ketemu pengamen yang bisa main biola. Ya emang sih dengan biola penampilan mereka terlihat jadi lebih istimewa karena terlihat nggak biasa, tapi berhubung sudah keseringan jadi ya biasa aja. Trus, kenapa?”

Ada hal istimewa yang lebih dari sekedar permainan mereka :

Mereka telah mengantarkan ingatan saya kepada kenangan orangtua saya, dan satu lagi.. jangan pernah menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Penampilan mereka boleh saja kumal, tapi taste dan bakat musikalitas mereka memang luar biasa! 🙂

Have a nice weekend, Guys!

[devieriana]

 

ilustrasi : I Wanna Be A Musician

Continue Reading

Nyanyian Hujan

Diantara padatnya lalulintas Jakarta menjelang akhir pekan, saya semobil bersama teman kantor saya menyelusuri sepanjang jalan raya dari Jl. Veteran, kant0r saya, menuju ke arah Cililitan. Sebelum akhirnya saya turun untuk ganti angkutan umum yang akan membawa saya ke Duren Tiga karena teman saya beda arah, belok ke Halim.

Ditengah hujan deras yang selama beberapa hari membasahi Jakarta, saya termangu-mangu dalam Kopaja 57 yang sore itu berjalan terseok-seok karena jalanan memang sedang macet total. Didepan Kalibata Mall mata saya tertuju pada dua sosok anak perempuan kecil yang berlari tergopoh-gopoh dengan tubuh basah kehujanan & tanpa alas kaki menaiki bus yang saya naiki sambil menenteng ukulele (gitar kecil) dan barang yang ketika saya perhatikan adalah beberapa pipa paralon yang diikat jadi satu dengan ujung-ujung pipanya ditutup dengan karet hingga menyerupai perkusi.

Si kakak (saya sebut saja begitu) memainkan ukulele dengan cukup mahir. Lumayan menghibur ditengah kemacetan lalulintas yang bikin bete ini. Permainannya pun cukup solid, hampir tidak ada nada fals, yang terdengar kecuali ada beberapa nada yang ketika dia menyanyi suaranya kurang sampai. Tapi kalau untuk ukuran anak-anak jelas kemampuan gadis yang saya perkirakan usianya sekitar 12 tahunan itu cukup bagus. Sedangkan si adik yang saya perkirakan usianya sekitar 5-6 tahunan memainkan perkusi dengan cukup.. wow.. saya sampai menoleh hanya untuk memperhatikan dia memainkan perkusi yang terbuat dari kumpulan pipa bekas itu. Perkusi itu terdiri dari 2 pipa besar, 1 pipa sedang, dan 1 pipa kecil. Semuanya berwarna putih gading, tiga diantaranya ditutup dengan selaput karet berwarna hitam. Sedangkan pipa yang paling kecil ujungnya ditutup dengan bahan entah apa namanya tapi ujungnya diberi semacam kawat yang jika ditekan ke lapisan penutupnya akan menimbulkan bunyi yang keren banget (menurut saya). Jadi kalau keempatnya ditabuh bersamaan akan menghasilkan sebuah harmonisasi macam musik keroncong. Bagus deh.. eh atau saya yang berlebihan ya? Ah, enggak ah.. untuk ukuran anak jalanan, anak perempuan, masih piyik baru netes begitu sih permainan mereka cukup baguslah..

Lagu pertama yang dibawakan dengan nuansa pop keroncong itu Mau Dibawa Kemana . Si adik yang berperawakan kecil dengan baju lusuh yang basah kuyup itu menabuh sambil sesekali berhenti. Dia duduk disamping saya, sehingga saya bisa memperhatikan dengan detail sosok si adik. Entahlah, mungkin karena dia sudah lelah atau bosan sudah seharian menemani kakaknya mengamen? Sementara si kakak relatif semangatnya lebih stabil. Ya mungkin karena dia lebih ada tanggung jawab untuk menyelesaikan lagu yang dibawakan supaya hasil mengamen di bis itu maksimal ya. Entahlah, saya hanya bisa menduga-duga.

Lagu kedua yang dibawakan sepasang bocah ini, masih dengan nuansa pop keroncong, adalah Pelan-Pelan Saja . Saya diam-diam menangkap kelelahan di wajah si adik. Saya yakin bukan hanya lelah secara fisik, tapi bahkan mungkin lelah juga secara batin. Untuk hasil yang tidak seberapa itu mereka harus rela berpanas-panas maupun berhujan-hujan. Belum lagi jika masih kena palak preman. Ah, tentu bukan hal yang ringan untuk kalian menjalani kehidupan jalanan macam ini ya, Nak? batin saya. Seharusnya kalian jam segini dirumah, istirahat sambil mengerjakan PR, menonton tivi, bermain boneka atau halma..

Ah, kehidupan ibukota memang tak seramah yang kita kira. Siapapun yang tidak bisa bertahan hidup didalamnya tentu akan mati kelaparan dengan sia-sia. Bahkan untuk anak-anak dibawah usia macam kalianpun harus berjuang sendiri untuk bisa bertahan di ibukota. Saya tahu orangtua kalian tentu bukan pula sengaja memberikan kehidupan keras macam ini untuk kalian. Namun keadaanlah yang memaksa kalian harus berjuang sendiri jika ingin bertahan hidup diantara gilasan roda kehidupan di Jakarta. Semoga akan ada masa depan indah yang menanti kehidupan kalian kelak ya. Gumam saya sambil mengiringi sodoran bekas kantong permen kearah saya dan penumpang lainnya.
” Terimakasih.”, ujarnya lirih termakan deru mesin bus kota..

Dan sayapun tersenyum manis kearah gadis kecil itu sambil mensyukuri kehidupan masa kecil saya yang berjalan indah & normal.. Alhamdulillah..

[devieriana]

gambar saya pinjam dari sini

Continue Reading