Lelaki tua itu mendorong gerobaknya sambil tertatih. Tubuhnya bungkuk & terlihat begitu renta. Gerobak kecilnya berisi berbagai barang loakan. Ada beberapa bekas botol mineral, majalah usang, sepatu & sandal bekas, serta beberapa kalung warna-warni menjuntai di leher botol mineral.
Warna pakaiannya sudah tak bisa lagi dideskripsikan dengan jelas. Entah putih, abu, coklat, atau krem. Begitu pula celana yang digunakannya. Lubang-lubang kecil menghiasi di beberapa bagian celananya. Dia juga menggunakan sepatu. Sepatu keds usang warna putih (tentu sudah jauh dari warna aslinya), yang ujungnya berlubang, membuat jemari kakinya menyembul di balik sepatunya yang sudah tak layak pakai itu. Sol sepatunyapun sudah terlihat tak melekat. Menganga disana-sini.
Sesekali dia berhenti untuk sekedar menghela nafas, lalu berjalan kembali mendorong gerobak kecilnya sambil tertatih. Seorang pemuda penjual roti menghentikan sepedanya, mengulurkan sebungkus roti dagangannya kepada lelaki renta itu. Wajahnya yang letih terlihat sedikit sumringah menerima roti dari tangan pemuda itu sambil mengucap “terimakasih” yang terbaca dari bibirnya yang pucat. Diapun menghentikan gerobak & memarkirnya di depan gedung bertingkat yang pekerjanya terlihat sibuk lalu lalang mengejar waktu. Dinikmatinya sepotong demi sepotong roti itu. Lahap. Sambil sesekali dia mengulas senyum ditengah kunyahan di bibirnya.
Saya tersenyum padanya. Lelaki itu, masih lelaki tua yang sama yang kadang melintas di depan Atrium Mulia, kantor saya. Hanya segelintir orang yang mau peduli padanya. Kadang hanya melirik tanpa melakukan apa-apa. Pernah saya sengaja berhenti hanya untuk sekedar menyapa.
“Mari pak.. Saya duluan..”
Dia mengangguk sambil tersenyum. Mungkin heran lantaran masih ada yang mau bicara dengannya. Karena kebanyakan makhluk kantoran macam kami terlalu sibuk dengan hal remeh-temeh macam itu. Jangankan buat menegur, masuk kantor pas jam 08.00 saja sudah bagus. Jadi buat apa harus membuang waktu hanya untuk menyapa orang macam bapak tua itu?
Pagi ini saya mencarinya. Entah kenapa 2 hari ini bayangan bapak tua itu mondar-mandir di kepala saya. Benar-benar kepikiran. Sampai tadi pagi saya juga menggumam sendiri sambil siap-siap berangkat kantor,
“bapak tua yang suka ndorong gerobak itu kasian banget ya..”
“iya..”, jawab suami saya
Saya kaget sendiri. Ternyata matanya sama dengan mata saya. Yang saya pikir dia tidak pernah memperhatikan, ternyata memberi perhatian juga pada bapak itu.
Diam-diam saya berdoa dalam hati, “Ya Allah.. beri saya kesempatan untuk bertemu lagi dengan bapak itu ..”. Apakah Tuhan akan mengabulkan & kembali memberi kesempatan pada saya untuk mengulang moment emosional seperti kisah Suatu sore di belakang Setiabudi Building? Entahlah.. Saya hanya berdoa, semoga dia baik-baik saja.
Sebentar lagi Ramadhan tiba. Apakah dia juga ikut menjalankan ibadah puasa layaknya kami? Atau.. justru berpikir tak ada bedanya puasa Ramadhan tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya dengan hari-hari yang dilaluinya selama ini lantaran dia hampir setiap hari dia berpuasa karena tidak ada yang bisa dimakan?
“Semoga Tuhan memberi kita kesempatan untuk bertemu lagi ya Pak. Hanya sebuah doa yang bisa kukirimkan untukmu, jika Tuhan masih mengijinkanmu untuk bertemu Ramadhan tahun ini, selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga semua amal kebaikan & ibadahmu diterima Allah SWT..
Allah senantiasa menjagamu Pak Tua.. “
—————————
To all : Selamat menjalankan ibadah puasa.. Semoga amal ibadah & puasa kita tahun ini diterima Allah SWT, dan semoga kita menjadi insan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.. Amien..
[devieriana]