Know Your Limit

Semalam, salah satu teman kantor me-whatsap saya. Dia melampirkan sebuah capture kalimat yang berbunyi:

path

Ketika membaca kalimat itu entah mengapa saya jadi sedih, meski saya tidak mengenal orang yang dimaksud dalam capture tersebut (Mita Diran a.k.a @mitdoq), tapi tiba-tiba teringat beberapa sahabat saya yang bekerja tak kenal waktu. Karena tuntutan pekerjaan tak jarang mereka hanya sempat istirahat selama beberapa jam dan harus segera siap/stand by untuk kembali bertugas atau menyelesaikan deadline.

Dulu, sewaktu saya masih belum berkeluarga, masih euforia-euforianya dengan pekerjaan, hampir sebagian besar waktu saya berikan untuk pekerjaan. Bahkan di waktu-waktu yang seharusnya saya luangkan bersama keluarga pun harus rela saya lepas demi menyelesaikan deadline. Kadang saya berpikir, kok saya seperti nggak punya kehidupan selain pekerjaan dan kantor, ya? Tapi seolah tidak punya pilihan lain, saya kembali tenggelam dengan kesibukan saya di kantor. Sempat juga saya mengeles, “ya nanti kalau sudah berkeluarga kan konsentrasinya bakal beda, nggak ke pekerjaan lagi. Sekarang mumpung masih single, gapapa kali…”

Nah, apakah setelah menikah saya terlepas begitu saja dengan tugas dan deadline? Tidak juga. Bahkan ketika saya cuti pun, cuma fisik saya saja yang (sepertinya) cuti; secara fisik saya di Surabaya, tapi pikiran saya ada di Jakarta. Bagaimana mau merasakan cuti kalau saya masih terima telpon, masih kirim dan terima email, masih mengecek pekerjaan anak buah (walau telpon/sms hanya untuk sekadar mengecek kondisi di lapangan, ada kesulitan/nggak). Bisa saja sih saya matikan HP dan email selama cuti. Tapi nyatanya tidak bisa semudah itu karena ada tuntutan tanggung jawab disana. Di saat itulah saya mulai merasa seperti diperbudak oleh pekerjaan dan deadline.

Bahkan ketika saya sudah beralih status menjadi PNS pun kesibukan itu masih ada. Bedanya, kesibukan saya waktu itu lebih ke kegiatan komunitas. Hampir setiap akhir pekan ada saja jadwal kegiatan di sana-sini. Bahkan di sela-sela jam kerja atau pulang kerja pun saya ada jadwal meeting. Akibatnya, tubuh saya jadi mudah drop. Apalagi saya bukan orang yang sering berolah raga untuk menjaga kebugaran tubuh. Badan saya pun menjadi rentan sakit, sering kena flu, radang, demam, dan sebangsanya.

Sama seperti kasus Mita Diran, salah satu rekan kerja suami di tempat kerjanya yang dulu juga bernasib sama. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor membuatnya tidak lagi kenal waktu. Demi terselesaikannya target pekerjan sesuai dengan jadwal dia relakan fisiknya bekerja ekstra keras. Rasa capek luar biasa yang mendera tubuhnya tidak lagi dirasakannya, kurangnya waktu istirahat, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi kopi, rokok, dan suplemen penambah stamina yang berlebihan demi ‘menjaga’ agar fisiknya tetap fit dan terjaga, membuatnya harus dirawat di RS sebelum menghembuskan nafas yang terakhir di sana.

Kita itu manusia, bukan robot atau mesin. Bahkan robot/mesin saja punya waktu/jadwal untuk maintenance, kenapa tubuh enggak? Tubuh juga punya alarm yang akan memperingatkan kita ketika dia butuh istirahat. Tapi yang ada seringkali justru manusianya yang bandel, mengabaikan peringatan itu dengan alasan, “kalau nggak diselesaikan sekarang keburu kerjaan yang lain datang dan numpuk-numpuk”, atau iya, bentar lagi, nanggung nih…. Capek yang seharusnya dibawa istirahat justru menjadi pemicu untuk menggunakan obat/suplemen penambah stamina. Baru sadar kalau ternyata tubuh punya batas ketika sudah ambruk, terbaring di rumah sakit :(.

Kalau kata Nick Deligiannis :

“Remember, a professional is a person who never allowed himself to dissolve in the job and no longer have time for personal life”

Buat yang masih suka bekerja tak kenal waktu, know your limit. Love and listen to your body.

 

[devieriana]

Continue Reading