Happy Holiday!

Museum Angkut 2

Hai, apa kabar kalian? Bagaimana suasana pergantian tahun di tempat kalian? Saya, seperti biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya menghabiskan suasana pergantian tahun di tempat tidur. Apa lagi kalau bukan tidur 😆 . Mau belum ada bayi atau sudah ada bayi pun sama saja. Bedanya, tahun ini saya melewatkan pergantian tahun di Jawa Timur, di rumah orang tua saya, sambil ngeloni bayi yang tidurnya kurang begitu tenang ketika pergantian hari karena di luar sana bunyi mercon dan kembang api sahut menyahut sampai kurang lebih pukul 01.00 wib.

Oh ya, ini adalah pertama kalinya saya beserta keluarga mudik ke Jawa Timur, bersama Alea tentu saja. Sebelum berangkat kami sempatkan untuk memenuhi jadwal kontrol Alea ke dokter sekalian konsultasi tentang semua hal yang harus dilakukan ketika terbang bersama bayi. Karena membawa bayi saat bepergian menggunakan pesawat terbang itu sedikit lebih ribet dibanding mengajak anak yang usianya di atas satu tahun. Kata dokternya Alea saat memberikan penjelasan pada kami, pada saat mengangkasa, biasanya udara di dalam kabin cenderung tidak stabil. Udara panas atau dingin dapat berubah cukup cepat. Itulah sebabnya bayi harus mendapat perhatian lebih, karena tidak semua bayi mampu beradaptasi dengan berbagai keadaan di angkasa. Kalau dilihat dari usia dan kondisi kesehatan Alea insyaallah Alea aman diajak bepergian naik pesawat.

AleaSebenarnya mau pergi naik pesawat yang jam berapapun sih aman-aman saja untuk bayi. Oleh dokter kami disarankan untuk mudahnya dan biar nggak ribet, pilih saja jam penerbangan yang merupakan jam tidurnya bayi. Tapi mau terbang di jam berapapun sih sebenarnya nggak ada masalah kok. Intinya bayi harus dalam keadaan sehat, tidak sedang flu, dan ketika take off dan landing bayi harus disusuin (dalam keadaan mengunyah).

Awalnya sih agak mikir juga, kalau jam tidur yang panjang ya malam hari atau pagi-pagi buta. Agak kasihan juga kalau harus membangunkan Alea di pagi buta untuk berangkat ke bandara. Tapi bismillah sajalah, semoga segalanya dimudahkan. Eh, ndilalahnya kami dapat penerbangan paling pagi, jam 05.00 dengan menggunakan Lion Air. Kami mulai bersiap pukul 02.30 dini hari, dan mulai membangunkan Alea pukul 03.00. Untungnya dia nggak rewel, bahkan jam segitu dia langsung bangun, ngoceh-ngoceh, ketawa, gegulingan, ceria sekali, seolah tahu kalau mau diajak pergi. Dia juga tidak rewel selama perjalanan menuju bandara, walaupun cenderung diam. Entah diam melihat pemandangan yang masih gelap gulita, atau sebenarnya dia masih ngantuk 😀

Sesampainya di bandara suami langsung mengurus segala sesuatunya termasuk konfirmasi ke petugas bandara/maskapai bahwa kami membawa bayi, karena ada formulir khusus yang harus diisi. Entahlah missed-nya di mana/siapa, hingga kami di atas pesawat pun tidak ada formulir yang kami isi, padahal hampir di setiap gate kami lapor ke petugas, bahkan sampai di ruang tunggu pun kami konfirmasi kalau kami bawa bayi. Agak heran juga. Apakah memang cukup dengan lapor secara lisan aja atau seharusnya ada formulir yang harus kami isi?

Ketika kami sudah duduk di seat kami, barulah ada pramugari dan petugas yang ‘ngeh’ kalau kami membawa bayi. Duh! Lha tadi ke mana saja? Tidak adakah koordinasi dari petugas maskapai di bandara dengan yang on board? Pramugari yang sama menanyakan pada saya berapa usia bayi sebanyak 2x. Kalau mbak itu jadi petugas callcentre bisa saya kasih nilai nol di poin “mendengarkan dengan sungguh-sungguh” lho :-p. Barulah setelah itu ada petugas yang meminta saya untuk mengisi form. Owalah, Mas, Mas. Tadi ke mana saja?

Alhamdulillah Alea tidak rewel sama sekali, selama penerbangan dia tidur dengan pulas dan baru bangun ketika sudah landing di Juanda. Kok ngerti ya kalau sudah sampai tempat tujuan, ya? :mrgreen: . Pun ketika dalam perjalanan dari Juanda menuju ke rumah, dia juga tidur dan langsung bangun ketika sudah masuk komplek rumah 😆 . Padahal dia kan baru pertama kali ke rumah eyangnya, kok bisa bangun pas sudah dekat rumah ya? 😆

Museum Angkut 1Selama liburan kami menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama seluruh keluarga, sekalian jalan-jalan ke Malang. Ah, ya… kami juga menyempatkan ke Museum Angkut. Iya, itu satu-satunya tempat yang sempat kami kunjungi selama di Malang. Itu juga sampai di sana sudah sore karena kami harus mengantarkan adik yang pulang duluan ke Jakarta lantaran dia sebenarnya belum dapat cuti. Maklum pegawai baru 😀

Ah ya, secara keseluruhan Museum Angkut itu keren, karena menyajikan banyak sekali objek foto yang instagramable, dan spot foto yang lucu buat ajang narsis-narsisan. Tapi sayang, jiwa narsis saya sudah mulai punah. Sudah nggak pede lagi berfoto dengan badan yang menggendut dan pipi chubby seperti sekarang 😆 .

Oh ya, hampir saja saya lupa. Akhirnya saya bisa merasakan makan Bebek Sinjay yang tersohor asal Bangkalan itu! Awalnya sih beneran mau ke Bangkalan Madura sana Tapi pas kita lihat di Jln. Jemursari , Surabaya (depan taman Pelangi) kok ternyata juga ada cabang, tanpa pikir panjang kita pun langsung capcus nongkrong di depot yang pengunjungnya ramai, sampai antre-antre. Soal rasa, jangan ditanya. Enaknya pakai banget! Apalagi dimakan pas nasinya anget, bebeknya juga empuk, kremesannya juga gurih, plus ditambah pakai sambal pencit (mangga muda). Beuh… *lap iler*

bebek sinjaySo far liburan kali ini alhamdulillah lancar, dan menyenangkan. Sengaja kami pilih pulang di hari Sabtu, 3 Januari 2015, supaya hari Minggunya kami bisa istirahat. Kebetulan kali ini kami naik Garuda, penerbangan pukul 06.15 wib. Isi kabin pesawat kebanyakan anak-anak yang sepertinya akan pulang selepas libur panjang. Sengaja kami pilih penerbangan pagi biar Alea bisa bobo selama di perjalanan. Dan ternyata kami tidak salah pilih jadwal, karena Alea tidur pulas dalam gendongan sejak di ruang tunggu bandara sampai dengan di Soekarno-Hatta. Anak pintar! :-*

Hmm, sepertinya mulai siap untuk merencanakan liburan berikutnya. Hei, Bromo apa kabar, ya? Masih belum sempat ke sana padahal sudah direncanakan berkali-kali. Entahlah, mungkin kami memang belum berjodoh.

Bagaimana dengan liburan kalian di akhir tahun kemarin? Semoga juga sama menyenangkannya ya 🙂

 

[devieriana]

Continue Reading

Solusi dalam Genggaman

*lap-lap blog biar bebas dari sarang laba-laba*

 

Maklum, berhubung sekarang ada kesibukan baru; mengurus Alea yang lagi lucu-lucunya itu ternyata membuat blog ini bukan lagi menjadi satu-satunya hiburan buat saya, hihihihi. Kalau dulu sih iya. Bahkan kalau sedang banyak ide saya bisa posting sehari 2x. iya, mirip seperti minum obat. Jadi harap maklum kalau postingan blog ini tidak sesering dulu karena tenaga, pikiran dan prioritasnya sudah mulai bergeser ke Si Kecil.

Saya lagi punya hobby baru, mendandani Si Kecil itu dengan berbagai baju dan pernak-pernik bayi perempuan yang lucu-lucu. Nggak semuanya saya beli secara langsung di toko sih, kebanyakan justru saya beli via online shop. Sekarang kan zaman serba-online, tinggal search di Instagram atau buka situs di internet saja belanja bisa dengan mudah kita lakukan. Nah, saya itu kalau sudah ketemu pernak-pernik lucu buat bayi suka agak kalap gitu. Baru beli topi, eh besok ketemu jaket bayi, saya beli jaket bayi. Besoknya ketemu lagi rok/jumper lucu, saya beli juga. Tahu-tahu, lho… saldo tabungan kok jadi segini? Maklum, ibu baru. Baru on the job training, jadi apa-apa masih suka kalap ;))

Eh tapi iya lho, sekarang saya lagi suka banget belanja online, padahal dulunya saya anti belanja online karena ya menurut saya meragukan aja sih. Kan kita nggak lihat dan pegang langsung barangnya, cuma bermodal foto dan deskripsi produk saja; kalau tertarik ya silakan pesan, kalau nggak ya tinggal skip. Kalau saya, dengan modal bismillah saja sih sekarang.

Alhamdulillah selama ini sih nggak pernah ada masalah soal jual beli via online. Pilihan cara pembayarannya pun fleksibel, bisa bayar langsung ketika barang diterima atau yang lebih sering disebut Cash On Delivery (COD), atau bisa juga secara transfer. Nah, kalau saya lebih sering menggunakan fasilitas transfer via ATM atau mobile banking daripada COD, karena menurut saya sih lebih praktis.

Pernah juga sih pakai fasilitas COD tapi waktu itu saya lebih sering menggunakan alamat kantor sebagai alamat penerimaan barang karena di rumah tidak ada orang, alhasil delivatornya suka telisipan sama saya. Dianya sampai di kantor tapi sayanya pas keluar kantor atau bahkan pernah saya sudah pulang.

Ngomong-ngomong soal mobile banking, eh beneran lho, mobile banking atau sms banking atau aplikasi perbankan yang bisa diakses dengan mudah melalui HP itu memang ‘racun’ buat saya. Karena saking mudahnya bertransaksi, saya tinggal masuk ke aplikasi, tekan permintaan yang dibutuhkan… TARAAAAA! Transaksi pun berjalan dalam hitungan detik, dan dalam sehari dua hari barang sudah saya terima. Dan setelah itu… tinggal cek saldo. Hppffft! 😐

transfer via BCA mobile

Jadi ingat, dulu saya pernah bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi. Di rentang tahun 2004-2006 layanan m-banking masih belum se-booming sekarang. Mengapa bank bekerja sama dengan operator telekomunikasi?

Ya karena operator telekomunikasi memiliki basis pelanggan yang besar dengan jangkauan luas sehingga mampu menjangkau kalangan yang belum bankable supaya ikut mulai menggunakan layanan perbankan via mobile. Waktu itu bank yang sudah bekerja sama dengan operator telekomunikasi tempat saya bekerja yaitu Bank BCA.

Masih saya ingat m-banking BCA saat itu masih merupakan layanan single banking, di mana kartunya pun dibuat secara khusus yaitu kartu yang dilengkapi dengan fitur layanan Bank BCA. Jadi untuk nasabah Bank BCA yang ingin menggunakan layanan ini bisa langsung menukarkan kartu selulernya di pusat layanan pelanggan operator telekomunikasi. Di call center pun setiap harinya, sejak layanan m-banking BCA diluncurkan, ratusan call dari pengguna layanan Bank BCA antre untuk meminta penjelasan cara penukaran kartu, fitur kartu, hingga tarif per transaksi.

Kalau sekarang BCA sudah jauh lebih fleksibel. Tinggal klik saja https://m.klikbca.com atau tinggal masuk ke Application Store smartphone kita di Google Play Store untuk Android, App Store untuk iPhone/iPad, BlackBerry World untuk BlackBerry , terus pilih/search Info BCA, dan… TARAAAA! Aplikasi itu tinggal diinstal. Atau mau cara lain? Tinggal ketik saja https://downloadmbank.klikbca.com/infobca , install dan seluruh layanan transaksi keuangan bisa kita akses dari handphone.

Dari semua itu yang paling penting buat saya yaitu semua sistemnya sudah pasti secure karena semuanya sudah terproteksi. Hmm, jadi ingat lagi pelajaran di pelatihan yang kemarin, bahwa atribut keamanan informasi itu ada 3, yaitu Confidentiality (menjaga informasi dari orang yang tidak berhak mengakses), Integrity (informasi tidak boleh diubah tanpa seizin pemilik informasi, keaslian pesan yang dikirim melalui sebuah jaringan dan dapat dipastikan bahwa informasi yang dikirim tidak dimodifikasi oleh orang yang tidak berhak dalam perjalanan informasi tersebut), dan Availability (ketersediaan informasi). Bukan hanya instansi pemerintah, militer, dan rumah sakit saja yang sudah menerapkan tiga hal itu, semua institusi perbankan juga sudah pasti mengutamakan tiga atribut tersebut.

Kalau soal teknologi perbankan sepertinya kita sudah tidak perlu heranlah ya, karena memang kita sudah masuk ke era less cash society, di mana preferensi penggunaan uang kertas (uang tunai) mulai tergantikan ke sistem pembayaran non-tunai. Masyarakat pun sekarang sepertinya lebih suka memanfatkan fasilitas e-money (uang elektronik) sebagai alat transaksi yang praktis. Bank BCA sebagai salah satu institusi penyedia layanan perbankan sudah lama menyediakan layanan perbankan bertajuk m-BCA yang mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Saya sering melakukan transaksi keuangan tanpa saya harus beranjak dari tempat duduk saya, hihihik. Dasar pemalas! :mrgreen:

Ya misalnya kita sedang sibuk atau sedang tidak memungkinkan untuk bertransaksi di ATM/bank, kita tinggal masuk saja ke aplikasi m-BCA, di sana bisa kok melakukan pembayaran tagihan telepon seluler/listrik, isi pulsa, melakukan transfer antarbank, cek saldo tabungan, dan lain-lain tanpa kita perlu pergi ke ATM atau ke bank. Bahkan di saat kita butuh informasi lokasi ATM terdekat pun bisa dengan mudah kita dapatkan. Ibarat memiliki ATM dalam genggaman gitu.

tampilan mobile banking BCA

Waktunya belanja bulanan juga gitu, saya lebih suka membawa uang tunai secukupnya, selebihnya saya bertransaksi menggunakan kartu debet sebagai alat pembayaran di kasir. Pernah dengar kartu Flazz-nya BCA? Ya, itu saya juga pakai sebagai alat pembayaran. Sampai halnya untuk pembelian tiket bioskop pun saya juga lebih sering menggunakan e-money ketimbang tunai.

Bawa uang tunai itu sudah pasti, ya karena belum semua merchant menerima pembayaran dengan menggunakan e-money (misalnya di warung-warung, toko/merchant yang belum ada kerja sama dengan bank), tapi kalau untuk di merchant-merchant yang sudah ada kerja sama dengan bank, saya cenderung menggunakan alat bayar elektronik untuk praktisnya.

Jujur, saya bukan orang yang gampang tergiur promo, tapi suami sayalah yang paling ‘aware’ dengan promo-promo. Misalnya ada promo diskon pemasangan tv kabel, promo di tempat-tempat makan, atau merchant-merchant tertentu, biasanya itu yang selalu dia infokan. Tapi yang paling sering diperhatikan sih biasanya promo tempat makan… Ngomong-ngomong tempat makan, hiks… apa kabar diet? Kabar baik… *ngelap timbangan badan*

Harapan saya sih dengan adanya segala kemudahan yang disediakan oleh berbagai institusi layanan perbankan ini tidak malah menjadikan kita sebagai generasi yang konsumtif, tapi justru menjadikan kita sebagai generasi yang smart dan bijak dalam mengelola keuangan dengan memaksimalkan penggunaan fitur-fitur yang telah disediakan oleh penyedia layanan perbankan itu ya 😉

Aamiiinn…. 😀

Eh iya, kalau mau bagi-bagi ilmu nggak dosa kan, ya? Untuk info lebih lengkap tentang BCA bisa lihat-lihat di sini ya :mrgreen:

 

Memanfaatkan teknologi perbankan itu ternyata seru, ya?

Selamat hari Kamis, Temans! 😉

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Astral

ghost

Saya bukan orang yang suka membahas masalah dunia yang berhubungan dengan makhluk poltergeist. Bukan apa-apa, karena saya sendiri tipikal penakut. Ah, jangankan sama makhluk halus atau nonton film horor, sama kucing saja saya takut kok. Ngg, mungkin bukan takut, tapi geli 😐

Sebenarnya postingan ini ada hubungannya dengan adik ipar baru saya. Ya, sekarang saya punya tambahan satu anggota keluarga karena adik bungsu saya baru saja melangsungkan pernikahannya beberapa minggu yang lalu. Uniknya, ternyata ipar saya ini punya indera keenam, jadi dia bisa merasakan keberadaan makhluk astral di mana pun dia berada.

Tak jarang dia terpaksa harus ‘bertemu’ dengan penampakan makhluk dari dunia lain, baik itu yang bisa dilihat penampakannya maupun yang cuma suara. Jangan ditanya seberapa sering dia harus ‘bertemu’ dengan ‘mereka’. Yang jelas di kantor, di kost, bahkan terakhir katanya di rumah saya yang di Surabaya pun dia sudah mendapatkan ‘salam perkenalan’ dari para makhluk itu. Padahal selama kami tinggal di sana tidak ada penampakan apapun baik secara fisik maupun suara lho, tapi ketika ipar saya mulai tinggal di sana kenapa mereka tiba-tiba ‘show off’, ya? 😕

Awalnya ketika sekitar pukul 02.00 dini hari, dia mendadak sakit perut dan ingin ke toilet. Dengan mata yang terkantuk-kantuk dia membangunkan adik saya untuk menemaninya ke belakang, atau setidaknya menemani di ruang makanlah. Tapi berhubung adik saya juga mengantuk dia pun bilang, “kamu ke toilet aja, pintu kamar aku buka, kok. Berani, kan? Halah, wong nggak ada apa-apa kok…” Akhirnya si adik ipar pun ke toilet sendirian (iyalah, masa barengan). Dari balik pintu toilet itulah godaan-godaan itu berawal. Mendadak dia mendengar kegaduhan di ruang makan; ada suara kursi yang di seret-seret, suara-suara gaduh di rak piring, suara pintu yang dibuka-tutup, dan suara-suara lainnya. Awalnya dia mengira itu cuma suara tikus. Tapi masa iya tikus bisa menyeret-nyeret kursi? Atau, mungkin adik saya yang berubah pikiran menemaninya di ruang makan. Tapi ketika dia coba memanggil adik saya dan seketika tidak ada respon jawaban, diam-diam dia mulai merasa takut. Tapi untunglah rasa mulesnya justru bisa mengalahkan ketakutannya sendiri. Dengan santai dia bergumam, “halah, udah…, biasa aja, nggak usah caper!  Aku nggak butuh salam perkenalan dari kalian!”  Dan, voila! Uniknya suara-suara itu pun lenyap.

Sesampainya di kamar dia buru-buru membangunkan adik saya untuk konfirmasi.

Ipar: “eh, tadi kamu ke ruang makan?”
Adik: “enggak… kan aku tidur…”
Ipar: “lah, yang berisik di ruang makan tadi siapa? :-o”
Adik: “mana ada suara berisik, sih? wong aku nggak denger suara apa-apa, kok…”
Ipar: “ah, beneran kamu nggak ke ruang makan tadi? :|”
Adik: “hambok sumpah, enggak :|”
Ipar: “trus yang tadi itu… suara apa? :-?”

Untungnya adik ipar saya ini tipe pemberani. Tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dia adalah saya; hadeeh… sudah lari tunggang langgang mungkin 😐

Pernah suatu hari saya membaca status bbm-nya: “Jiah, ternyata kantorku berhantu :))”. Lah, kenapa smiley-nya tertawa sih? Ketika saya tanya, dia pun bertutur santai, mungkin karena sudah sangat seringnya mengalami kejadian semacam itu, ya?

“Penunggu kantorku itu suka iseng, Mbak. Kadang dia suka ngunciin aku di kamar mandi, suka manggil-manggil namaku. Di kostanku kemarin juga aku dilihatin penampakan. Ya, biasalah… caper, Mbak…”

Bukan itu saja, siang hari ketika kebetulan saya dan Mama harus pergi dan terpaksa harus meninggalkan dia sendiri di rumah pun begitu. Sebenarnya bukan bermaksud tega meninggalkan dia di rumah sendirian, tapi berhubung dia mengeluh karena kurang enak badan, jadi ya terpaksa dia kami tinggal di rumah sendiri supaya beristirahat. Antara tega dan nggak tega sih sebenarnya. Saya dan Mama baru tiba di rumah menjelang maghrib. Persis seperti dugaan saya, dia seharian ‘ditemani’ para makhluk  poltergeist di rumah saya. Tidak ada yang menampakkan diri sih, semuanya berupa suara. Ada suara kaki yang berlarian di sekitar dia, suara rel gorden yang dibuka-tutup di ruang tamu, suara derit pintu, dan suara-suara gaduh tanpa penampakan lainnya. Tapi anehnya ketika dia cek ternyata semua dalam posisi diam seolah tidak ada apa-apa, dia pun melanjutkan acara memasak tanpa merasa terganggu. Ah, koreksi, mungkin dia sebenarnya juga merasa terganggu, tapi karena dia tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di rumah ya, apa boleh buat. Mungkin begitu pikirnya…

Konon ada aura-aura tubuh dengan warna tertentu yang sangat mudah menarik perhatian makhluk halus; sehingga orang tersebut akan dengan sangat mudah melihat penampakan, dan bahkan sampai diikuti. Bersyukur saya tidak memiliki kepekaan berlebihan terhadap kehadiran makhluk-makhluk astral seperti itu (lebih tepatnya tidak memilih dan tidak ingin). Hanya saja, kadang ketika saya sedang berada di sebuah lokasi tertentu, entah kenapa saya memilih menghindari spot lokasi tertentu; entah itu cuma feeling saya saja atau memang di sana ada makhluk astralnya.

Beberapa tahun yang lalu saya memang pernah merasakan kehadiran mereka di rumah Bu Dhe saya di Malang. Tapi uniknya saya baru ‘ngeh’ kalau di sana memang ada penunggunya setelah saya tidak tinggal di sana lagi. Dulu saya dan adik perempuan saya sempat diminta tinggal menemani Bu Dhe karena kebetulan beliau cuma tinggal berdua bersama seorang asisten rumah tangga. Saya dan adik diberi sebuah kamar dekat dengan garasi; sebuah kamar yang tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk beristirahat. Di sana sudah disediakan sepasang meja kursi, lemari pakaian, dan tempat tidur dua susun.

Awal-awal kami tinggal di sana suasana relatif aman terkendali, tidak ada kejadian yang aneh. Sampai suatu ketika di setiap tengah malam saya mendadak terbangun, kebetulan saya bukan orang yang terlalu lelap tidur. Di antara pukul 00.00-03.00 dini hari saya selalu mendengar ada orang yang berlari terengah-engah di jalanan depan rumah. Bukan itu saja, saya juga mendengar suara-suara aneh mirip lenguhan, atau suara-suara lain yang tidak bisa dideskripsikan oleh telinga saya, dan selalu disertai dengan gonggongan anjing di rumah tetangga. Waktu itu saya memilih berkhusnudzon saja, tidak ada makhluk halus yang akan mengganggu, toh rumah Bu Dhe sangat bersih, terawat, dan rapi (walaupun dari dalam rumah pencahayaannya lebih gelap karena kaca ruang tamu berwarna hitam, dan halaman rumahnya pun teduh karena banyaknya tanaman di depan rumah). Sama sekali tidak pernah berpikir apakah suara-suara yang saya dengar itu adalah suara makhluk-makhluk astral atau bukan, saya cuma berdoa semoga tidak ada pencuri/orang jahat yang sedang mengincar rumah Bu Dhe, karena kami berempat semuanya perempuan :s.

Saya baru berani cerita kejadian-kejadian aneh di rumah Bu Dhe ketika kami sudah tidak tinggal di sana lagi. Dan ternyata adik saya pun merasakan hal yang sama; sering mendengar suara-suara aneh seperti yang saya dengar; nafas terengah-engah seperti orang yang habis berlari jauh tapi terdengar begitu dekat di telinga, dan suara-suara aneh lainnya 😐

Papa saya dulu pernah bilang, “Di setiap rumah, setiap tempat, di mana pun itu, pasti ada yang menunggu. Ada yang baik tapi ada juga yang jahat/jahil/iseng. Pokoknya kalian jangan sampai lupa ibadah; shalat, ngaji, insyaallah mereka nggak akan ganggu kok…” 

Semoga sih begitu ya…

Eh, kalau bilang, “Pahit! Pahit! Pahit!” gitu, boleh nggak sih, Pa? *ditoyor*

😐

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Obrolan Absurd (4)

Entah siapa “pencetus” keluarnya dialog-dialog absurd untuk yang pertama kali di keluarga saya. Tapi sepertinya Papa saya adalah “tersangka utama”-nya, karena biasanya kalau pas kumpul-kumpul di komunitas beliau, si Papa seringkali mengeluarkan jokes yang membuat anak didik maupun rekan sejawatnya ikut terpingkal-pingkal (walaupun Mama saya nggak pernah ikut tertawa dengan alasan : “bosen ah, jokes itu udah pernah denger!” :p).

Nah sepertinya virus ke-absurd-an itu menurun pada kami bertiga, kini tak terkecuali si hubby yang diam-diam juga ikutan tertulari.

1. BALADA MUG

Saya : kamu mau mug nggak, Ndung? Mug dari kantor aku. Terbuat dari dari stainless steel, ukuran imut, ada grafir tulisan tempatku bekerja. Bisa dipakai buat minum kopi atau teh gitu..

Adik : asiiik, mau mauuu.. kirim yah \:D/

Saya : tapi jangan sampai ilang ya. Ini mug limited edition, barang langka itu, nggak dijual di toko! :p

Adik : woogh, berat ya.. 😮

Saya : jaga dengan nyawamu yah..

Adik : siyap, akan kujaga mugmu dengan nyawamu, Mbak! \m/

Lah, gimana ceritanya bisa diganti jadi nyawa saya sih? :-?? 😐

—–

2. BALADA JAKET KULIT

Saya : kamu jadinya mau nitip beli apa?

Adik : mmh.., aku pengen jaket kulit dong, Mbak..

Saya : ya, ntar aku tanyain dulu harganya berapa ya, soalnya kan kulit asli., jadi kayanya sih agak mehel gitu..

Adik : yaah, kalau mahal ya nggak usah deh, Mbak. Tapi kalau kamu mau beliin sih gapapa ;;). Kan kalo kemahalan bisa bayar dengan nyawamu, Mbak.. ;))

Saya :😐

Mahal banget ya harga jaket kulitnya :((

—–

3. KADONYA MANA?

Percakapan menjelang ulang tahun saya :

Saya : Bibo, kamu nggak ada rencana buat ngado aku? Kan besok aku mau ulang tahun ;;)

Hubby : ada.. tapi nanti pas ulang tahun aku yaa.. ;;)

Saya : bah, lama amat, berarti nunggu Desember dong.. 😐

Hubby : ya emang gitu.. seru kan? 😉

Saya : emang nanti kadonya apa?

Hubby : kamu beliin mobil buat akuuu.. \:D/

Lah, ini siapa yang ulang tahun dan siapa yang ngado sih? 😕

—–

4. PEMADAM KEBAKARAN

Di sebuah perhentian lampu merah di sekitaran Mampang ketika akan berangkat ke kantor, saya melihat ada 2 orang pria sedang berboncengan dengan mengenakan seragam seperti seorang petugas pemadam kebakaran. Hanya saja ini berwarna biru dengan garis silver di lengannya.

Saya : Bibo, itu bapak-bapak yang dua orang itu petugas pemadam kebakaran ya?

Hubby : *menoleh ke arah yang saya maksud* Oh, itu.. Bukan.. Kalo pemadam kebakaran kan warna uniform-nya merah, itu kan biru..

Saya : ya kali aja ada dua seragam buat gantian gitu, Bibo. Kan biar lemarinya isinya nggak baju merah doang gitu..

Hubby : bisa juga sih, atau mungkin pemakaian seragamnya tergantung kasus kebakaran yang akan ditangani..

Saya : maksudnya gimana?

Hubby : ya kalo seragam merah itu dipakai untuk penanganan kebakaran besar..

Saya : kalo yang biru?

Hubby : buat kebakaran-kebakaran kecil. Misalnya kebakaran jenggot gitu..

Saya : 😮

—–

5. PARFUM

Hubby : kamu katanya mau mbeliin aku parfum.. Parfumku udah tinggal dikit nih.. *sambil semprit-semprot parfum yang tinggal seiprit*

Saya : iya, ntar.. nunggu..

Hubby : nunggu apa lagi?

Saya : nunggu kamu gajian.. :p

Hubby : lah kan aku bilang tadi “kamu beliin aku parfum”, semacam kado gitu.. Kadooo.. :((

Saya : ya kan sama aja, gaji kamu kalo udah ke aku kan jadi uang aku juga.. Nanti deh, kalo kamu udah gajian kamu boleh pilih parfum mana yang kamu suka yah.. :-” *ngikir kuku*

Hubby : 😐

—–

6. MINUMNYA..

Saya : ih tumben yah aku mau minum susu putih begini *sambil meneguk susu gambar beruang*

Hubby : emang biasanya nggak mau?

Saya : enggak.. eneg aja gitu. Mungkin karena sejak kecil dicekokin susu putih terus kemana-mana, jadi sekarang ngeliatnya aja males. Dulu yah, ke sekolah dibekalin susu putih, pas pergi-pergi bekal minumnya juga susu putih. Padahal kan bisa yang seger-seger aja yah.. sirup, soft drink.. atau apalah selain susu..

Hubby : misalnya rawon, soto gitu, yah..

Saya : Hladalaaah.. MINUMNYAA.. MINUMNYA!! Mosok aku disuruh minum kuah rawon sama soto, sih? 😐 *memandang prihatin*

Hubby : ooh.. :p *ngunyah kue*

—–

 

Demikian ..

 

[devieriana]

 

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading

Antara gadget dan keluarga

Pernah dihadapkan dalam di situasi sebuah acara kumpul-kumpul dengan beberapa orang, tapi justru kita sibuk dengan gadget masing-masing? Atau ketika meet up alias kopdar dengan teman-teman dari social media tapi justru masih sibuk mention-mention-an di twitter? Atau, ketika ngobrol dengan seseorang tapi pandangan matanya nggak jauh-jauh dari gadget-nya? Gimana, sering? ;)). Sama, terakhir waktu saya dengan beberapa blogger ngumpul untuk ketemuan di salah satu kedai franchise yang identik dengan kaum ABG di daerah Mampang. Secara fisik sih kita ngumpul, duduk satu meja, tapi tangan sibuk dengan gadget masing-masing, malah masih saling mention di twitter. Sampai kita niat pindah tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik biar gampang nge-charge handphone kalau baterainya habis. :))

Kemarin siang sempat ngobrol dengan seorang kawan yang bilang kalau saya itu kelihatannya addicted banget dengan social media. Mungkin karena saya keseringan bercerita tentang ini itunya social media ya :D. Tapi kalau ketergantungan dengan social media sepertinya sudah menurun sejak BB saya hang tempo hari :)). Wah, si Hubby sampai sujud syukur lho lihat saya bisa “bebas” dari gadget bernama Blackberry itu.

Gara-gara diskusi tentang adiksi dunia maya, si kawan mulai mengeluhkan sang isteri yang sekarang jadi sibuk dengan akun-akun socmed dan teman-teman di BB-nya. Mulai dari melayani konsultasi masalah perkawinan, ladies chat, dan sibuk update status di twitter, fb dan BBM. Saya diam-diam geli sendiri, sepertinya keluhan dia terhadap sang isteri kok sama persis seperti keluhan si hubby beberapa waktu yang lalu ya? Atau jangan-jangan tipikal perempuan yang ber-gadget itu identik seperti saya dan sang isteri ya? Jadi berasa dejavu nih, karena saya dulu juga idem dengan sang isteri. Hubby bukan hanya gemas melihat saya yang lebih punya banyak waktu dengan teman-teman didalam layar berukuran 2.46 inch itu ketimbang meluangkan waktu bersama dia. Iya, tapi itu dulu. Sekarang sudah nggak separah itu kok.. 😀

Teman : “kapan hari trackball BB punya isteriku sempat rusak. Kapok! Tapi pas sudah dibenerin, ya balik lagi dianya..”

Saya : “hahaha, ngehang gara-gara overused yah? :)) Sama kaya aku dulu sih. Kalau aku dulu “terapi penyembuhannya” dengan BB “dirumahsakitkan” selama 2 minggu karena keypad mendadak hang semua. Sekarang sih BB justru lebih sering aku tinggal kemana-mana kalau di kantor. Malah si Hubby sering protes karena aku kalau ditelepon susah. Gimana mau ngangkat telepon kalau handphone aku tinggal di meja dalam keadaan silent sementara akunya ngider distribusi kerjaan.. :D”

Teman : “awalnya aku heran dengan orang-orang yang lebih asyik dengan virtual world kaya begitu. Eh, lha kok kejadian sama isteriku sendiri. Kayanya mesti ngobrol tentang hal ini sama dia deh.. 😐 “

Saya : “keluhan para suami ternyata sama yah? :))”

Teman : “itulah salah satu alasan kenapa aku nggak ingin jadi avatar di dunia maya, biar aja aku seperti yang sekarang..”

Saya : “iya, jangan, nggak usah.. biar aku aja ;))”

Sekarang ini hampir semua produsen gadget dan penyedia layanan telekomunikasi seragam menawarkan fitur handphone yang memungkinkan penggunanya bisa bersosialisasi di dunia maya secara nonstop dengan opsi biaya paket yang cukup terjangkau. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan eksistensi penggunanya di dunia maya, berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Adanya perubahan fungsi gadget dari yang awalnya hanya untuk berkomunikasi dan berubah jadi bagian dari gaya hidup itu seolah-olah jadi mendekatkan yang jauh, namun ironisnya justru menjauhkan yang dekat. Bagaimana tidak, kita bisa “dekat” dengan teman/kerabat yang lokasinya jauh, namun hubungan dengan orang-orang yang terdekat justru berasa jauh.

Teknologi itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi akan membantu memudahkan kita tanpa harus ribet begini, begitu. Tapi di sisi lain teknologi juga seolah menghilangkan setengah dari sisi kemanusiawian kita. Dalam tingkat adiksi yang parah, pelan tapi pasti akan menjadikan kita sangat tergantung dengan teknologi. Sekedar cerita nih, salah satu teman saya pernah ngomel-ngomel hanya gara-gara nggak bisa login ke YM. Begitu uring-uringan ketika Macbook-nya mendadak hang (bukan untuk kerja lho). Stress gara-gara BB-nya kecemplung di ember berisi air dan mati total, nggak pakai tunggu besok, malamnya dia langsung beli yang baru (serius). Saya juga heran, gimana ceritanya BB bisa masuk ember sih :-?. Mulai merasa canggung ketika harus menulis secara manual menggunakan bolpoin (karena biasanya mungkin pakai kapur tulis ;))). Panik ketika baterai handphone-nya habis tapi dia nggak bawa charger atau nggak sempat nge-charge. Merasa “lumpuh” tak berdaya ketika salah satu gadget-nya tidak berfungsi sempurna atau listrik mendadak mati. Jika kita menggolongkan kebutuhan manusia dalam 2 kategori, primer dan komplementer, dalam kasus ini sepertinya teknologi sudah masuk dalam kategori primer.

Berhubung saya sudah sering ditegur oleh si Hubby untuk mengurangi adiksi saya terhadap teknologi mau tidak mau memang saya harus mulai berkompromi. Butuh waktu dan niat kuat memang untuk mengurangi kebiasaan yang satu ini. Ngeblog kalau sedang ada ide. Ngetwit sudah jarang-jarang (terbukti jumlah tweet saya awet di kisaran angka 8000 sekian sejak tahun lalu), tapi kalau pas lagi nggak ada kerjaan masih suka main juga bahkan “menggila”. Lha iya, katanya jarang ngetweet kok jumlah tweetnya bisa 8000 sekian :|. Buka facebook atau update status juga sudah jarang. YM juga seringnya offline. G-talk hanya online ketika sedang di depan PC/laptop (yang di gadget saya offline-kan). Kalau BBM sih jelas aktif terus karena itu kan fitur handphone, tapi lebih sering untuk komunikasi dengan keluarga di Surabaya dan hubby. Memulai hidup sebagai manusia lagilah. Berasa kemarin-kemarin jadi cyborg 😐

Penggunaan teknologi dalam porsi yang terkontrol dan wajar itu perlu. Ada baiknya juga tetap mengingat bahwa di sekitar kita ada orang-orang dan keluarga yang juga membutuhkan “kehadiran” kita secara nyata. Yang bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga konsentrasi dan perhatian yang utuh. Seharusnya ada banyak hal menarik yang lebih “manusiawi” untuk dilakukan dalam kehidupan nyata ketimbang harus terus-terusan berhadapan dengan layar yang menyala, bukan? Ah, ya.. Saya sepertinya butuh rekreasi nih.. 🙁

Di akhir obrolan si teman meninggalkan pesan lagi, “better start manage our valuable life with more valuable thing”.

Okay! *manggut-manggut sambil nyimpen BB*
😉

[devieriana]

 

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading