Remember, if you ever need a helping hand, you’ll find one at the end of your arm….
As you grow older you will discover that you have two hands. One for helping yourself, the other for helping others.
– Audrey Hepburn –
Pernahkah kalian berada dalam sebuah keadaan panik, “sibuk” menyelamatkan nyawa seseorang yang tidak pernah kalian kenal sebelumnya? Jangankan kenal, bertemu face to face pun juga belum pernah. Kalian ikut panik, ikut deg-degan, seolah-olah ikut berada dalam sebuah ruangan ICU bersama orang yang akan kalian tolong itu, menunggu detik demi detik terlewati, menyaksikan seseorang yang barangkali saja saat itu tengah berjuang melawan maut.
Saya pernah, dan mungkin itu juga yang dirasakan oleh sebagian besar anggota milis Blood For Life. Kepanikan itu terjadi terutama ketika mencarikan pendonor yang memiliki golongan darah langka, misalnya yang memiliki rhesus negatif (golongan darah yang banyak dimiliki oleh ekspatriat). Merasakan betapa sulitnya mencari pendonor yang darahnya sesuai dengan kebutuhan pasien. Ikut panik karena ternyata calon pendonor yang sudah stand by dan dijagakan bisa memenuhi kebutuhan darah si pasien ternyata kualitas darahnya kurang memenuhi syarat. Panik ketika pasien mengalami masa kritis karena belum mendapatkan donor darah. Ikut menangis ketika orang yang akan kami bantu ternyata harus diambil oleh-Nya dan kami belum sempat membantu secara maksimal.
Namun ada kalanya ikut bahagia ketika stok darah yang dibutuhkan terpenuhi, atau pasien bisa pulang kembali ke rumah dalam kondisi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ikut terharu ketika ada keajaiban-keajaiban yang terjadi secara misterius di saat-saat kritis dan itu berujung dengan terselamatkannya si pasien.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan itu inti yang ingin saya bagikan hari ini. Saya akan berbagi tentang sebuah kisah mengharukan yang datang dari seorang penyandang tuna netra bernama Pak Iwa.
Pak Iwa adalah seorang tuna netra. Dia sudah rutin mendonor sejak masih berusia masih 18 tahun. Namun sayang pada tahun 2001, tepat dua minggu menjelang pernikahan dilangsungkan, Pak Iwa terkena glaukoma (tekanan pada bola mata). Setelah mereka menikah, ternyata sang isteri lebih memilih untuk tidak melanjutkan pernikahan, salah satu penyebabnya karenaglaukoma yang diderita oleh Pak Iwa itu. Sang isteri kemudian memilih untuk menikah lagi dengan pria yang memiliki kondisi fisik lebih normal.
Pak Iwa sebenarnya sudah tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia sudah pasrah akan kondisi dirinya. Hanya satu yang dia rasakan, yaitu kesedihan yang mendalam karena tidak ada lagi yang akan mengantarnya ke PMI untuk mendonor.
Beruntung ada seorang tukang ojeg yang bersedia mengantarkan Pak Iwa ke PMI, dan akhirnya menjadi tukang ojeg langganan. Namun lagi-lagi malang bagi Pak Iwa, tukang ojeg ini harus pindah sehingga tidak bisa lagi mengantarkan Pak Iwa ke PMI.
Saat ini Pak Iwa sudah menikah lagi. “Alhamdulillah, sekarang saya sudah bertemu isteri yang baik.” Namun ketika ditanya mengapa sang isteri tidak ikut mengantarkan ke PMI untuk mendonor? Dia menjawab :
“Isteri saya juga buta, Mbak. Kami sama-sama tuna netra. Biasanya kami mendonor berdua, sekarang isteri saya sedang hamil muda, saya takut dia keguguran kalau kecapekan. Lagipula orang hamil kan tidak boleh mendonor… “
Airmata saya langsung menggenang. Subhanallah, ternyata ada ya orang yang punya hati semulia Pak Iwa? Bayangkan, disela-sela kekurangan fisiknya ternyata Pak Iwa masih memikirkan nasib sesamanya yang membutuhkan. Dia masih meluangkan waktu untuk menyumbangkan darahnya secara rutin ke PMI.
Ketika ditanya apa motivasinya rutin melakukan donor darah, dia hanya menjawab dengan kalimat sederhana namun luar biasa artinya. “Saya hanya ingin menikmati hidup, dan salah satu kenikmatan yang saya rasakan adalah ketika saya diizinkan berbagi dalam keterbatasan saya.”
Teman-teman, hal paling berharga yang bisa Pak Iwa sumbangkan untuk orang lain itu tak lain adalah darahnya.
Pak Iwa saat ini bekerja di Metro TV sebagai seorang operator. Namun demikian dia mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Selain berkomunikasi dalam bahasa lisan, Pak Iwa juga mampu berkomunikasi via tulisan.
“HP saya menggunakan software pembaca layar (untuk HP namanya Talks untuk PC/laptop namanya JAWS dan itu yang paling umum). Tapi untuk HP syaratnya harus HP dengan operating system Symbian sehingga tidak terlalu banyak pilihan. Karena hanya Nokia yang menyediakan handset dengan OS Symbian, saya menggunakan Nokia 5320.”
Tuhan menciptakan makhluknya dengan segenap kelebihan dan kekurangan. Namun tidak semua yang diciptakan kurang sempurna itu lantas sama sekali tidak bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya, contohnya adalah Pak Iwa (dan mungkin masih banyak Pak Iwa-Pak Iwa lainnya yang tidak kita ketahui profilnya). Sejatinya, bagaimanapun kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh seseorang, mereka masih ingin merasakan bahwa hidup mereka bisa bermanfaat untuk orang lain.
Jika kita terlahir sebagai manusia yang dikaruniai kesehatan dan kelengkapan fisik, apakah tidak sewajarnya kita lebih mampu membantu sesama secara lebih maksimal? Kita tidak pernah tahu kapan kita akan membutuhkan bantuan orang lain. Jika Pak Iwa saja sanggup menolong sesama, mengapa kita tidak? 🙂
When you are working not for reward but only for love, then everything will go very smoothly..
Mari lebih peduli. Mari berbagi.. 🙂
[devieriana]
sumber gambar : tighenthoughtstogether