Just a cup of idea

“The principal goal of education is to create (people) who are capable of doing new things, not simply of repeating what other generations have done.”

– Jean Piaget –

—–

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan datang ke acara ON|OFF yang penyelenggaraannya masih sama dengan tahun sebelumnya, Pesta Blogger 2010, di Epicentrum Walk – Rasuna Said. Walaupun penyelenggaraan event kali ini terbilang lebih sepi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun demikian sama sekali tidak menyurutkan langkah saya untuk tetap hadir disana, karena kebetulan saya ada janji untuk melihat penampilan Peduli Musik Anak, dan hadir dalam breakout session-nya Bincang Edukasi.

Dalam diskusi sepanjang satu jam itu ternyata ada banyak ide dan mimpi seru yang bisa diwujudkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kami diminta untuk menuliskan ide di selembar kertas, dan lalu mendiskusikan ide-ide tersebut dalam kelompok yang terdiri dari 5-7 orang. Diskusi tentang apa sih mimpi kita untuk dunia pendidikan di Indonesia. Berat ya bahasannya? Kita hanya diberikan clue untuk mengaitkan dengan apa yang menjadi ketertarikan kita. Nah, gimana tuh? Eh iya, iseng saya lihat sebelah, jadi ketawa sendiri. Dia menulis begini :

“Yah, saya nggak punya ide, Kak. Saya bingung. Kan saya bukan guru..” ;))

Dulu, saya pernah menulis tentang salah satu bahasan Bincang Edukasi Meet Up #2 di sini. Disana ada kisah Mas Agus Sampurno, seorang guru sebuah sekolah internasional dan seorang edublogger yang memanfaatkan kekuatan social media sebagai salah satu alat pengajaran dan berbagi. Nah, salah satu ide yang coba kita share dalam diskusi kemarin adalah bagaimana mengoptimalkan fungsi social media menjadi salah satu bagian dari proses belajar belajar. Menurut kami ini akan menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dan bisa menginspirasi para pengajar yang lain. Mengingat perkembangan dunia social media sekarang semakin pesat, dan pelajar jaman sekarang juga sudah sangat maju pergaulannya, karena hampir semua punya akun social media. Nah, mengapa kita tidak mencoba untuk mengoptimalkan penggunaan social media sebagai salah satu penunjang pendidikan? Emang bisa? Emang bakal efektif? Emang bakal menyenangkan? Nggak ribet?

Ada seorang teman yang cerita kalau salah satu adiknya yang masih SMA pernah diminta untuk mengumpulkan tugas via email dan atau facebook oleh gurunya. Tugas sekolah pun diberikan via facebook (terkadang juga via email), dan pengumpulannya pun via kedua media tersebut. Tentu saja jika guru menggunakan cara seperti ini otomatis semua murid wajib punya akun facebook dan punya email, dong. Disinilah proses belajar mengajar menjadi lebih fun 😀

Saya sempat tanya, kok bisa muncul ide kasih tugas via facebook atau media digital lainnya itu gimana ceritanya? Dia bilang alasannya karena mayoritas murid lebih tertarik membuka akun social media daripada situs intranet sekolah, akhirnya guru melihat adanya celah untuk melibatkan socmed sebagai sarana belajar mengajar. Saya tertawa, sambil mengiyakan dalam hati ;)). Iya juga sih, jangankan mereka, saya saja yang kerja kantoran, lebih sering buka akun socmed ketimbang intranet kantor kok… *eh* #pengakuan.

Menurut saya ini ide yang cukup unik. Namun tentu saja jenis pengajaran yang seperti ini hanya bisa diterapkan di sekolah-sekolah yang mayoritas pengajar dan siswanya sudah banyak yang melek teknologi. Intinya, pelibatan akun socmed dalam dunia pendidikan harus sudah ditunjang  dengan SDM yang sama-sama siap, dan jika diterapkan dalam porsi yang wajar dan ditangani oleh orang yang tepat diharapkan akan memberikan hasil yang maksimal. IMHO.

Nah, ide kedua yang kami khayalkan bisa diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang fun bagi guru dan murid. Bagaimana guru mampu menggali potensi dan kesukaan anak didiknya, bagaimana cara mengembangkan pengajaran yang menggunakan “out of the box methods”, dan bagaimana mengembangkan positive rewards yang mengasyikkan bagi anak didik.

Di sekolah, biasanya murid berprestasi paling reward-nya kalau nggak beasiswa, ya piagam. Tapi mengapa tidak dicoba dengan sesekali memberikan reward yang memang diinginkan oleh si murid? Jadi selain murid akan lebih terpacu semangat belajarnya, juga reward yang akan diterima sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka.

Kita mungkin bisa mulai melakukan survey tentang apa sih yang disukai murid? Misalnya, ternyata si A suka musik, ya kenapa tidak sesekali bisa menjanjikan nonton konser musik bareng. Atau ketika kita tahu kalau ternyata si B punya hobby travelling, ya mengapa tidak sesekali diberikan hadiah berupa tiket jalan-jalan atau travelling, misalnya. Atau murid ternyata punya hobby membaca, bisa kita berikan hadiah buku yang benar-benar mereka inginkan. Begitu pula untuk jika ada potensi-potensi lain yang dimiliki si murid, ya reward-nya akan disesuaikan dengan potensi dan hobby mereka.

Ya, namanya juga berkhayal, dan kebetulan ini adalah hasil saripati khayalan berjamaah setelah didiskusikan di kelas kemarin 😀

Nah, kalau kalian punya ide/khayalan seru apa buat dunia pendidikan di Indonesia? 🙂

[devieriana]

 

Continue Reading

Tulisanku, pikiranku, emosiku..

Kemarin siang saya ngobrol dengan seorang mantan seorang pekerja televisi yang sekarang jadi PNS seperti saya ;)). Kami ngobrol tentang banyak hal, termasuk hal yang kemarin sempat jadi “hot issue”, insiden dibalik taping Kick Andy tanggal 19 Januari 2011.

Sepintas kalau membaca cerita insiden dibalik taping acara Kick Andy itu reaksi saya sebagai orang awam pasti ikut terpancing emosi, dan turut berempati dengan apa yang sudah terjadi dengan ibu itu. Sempat sedikit terpengaruh juga untuk menyebarluaskan link itu di twitter atau akun jejaring sosial lainnya yang saya punya, biasalah emosi ;)). Tapi entah kenapa saya mendadak urungkan niat karena saya ingat bahwa tulisan ini baru mewakili salah satu pihak saja, belum ada klarifikasi balik dari pihak Kick Andy selaku pihak yang diprotes.

Akhirnya ya sudahlah, saya endapkan masalah itu sampai akhirnya saya baca klarifikasi dari Andy F. Noya dan akhirnya nggak sengaja mengobrol dengan si teman yang tadi. Mumpung ketemu sama mantan orang yang pernah kerja di balik layar nih (walaupun bukan dari stasiun televisi yang sama dengan Kick Andy) saya tanya-tanya tentang apa yang membuat saya penasaran, dan alhamdulillah dia dengan senang hati mau menjelaskannya. Itung-itung nambah ilmu, ya kan? 😉 \:D/

Saya : eh, kamu kan pernah lama kerja di dunia penyiaran nih, sekarang kamu juga kerja di bidang yang masih ada hubungannya dengan pers dan media, gimana kamu menyikapi “insiden” itu?

Teman : masalah ini sebenernya agak complicated sih, Mbak. Banyak poin yang bisa dibahas disini.. :-B

Saya : hehe, iya mereka sepertinya berbicara dari 2 persepsi dan perspektif yang berbeda.. 😀 . Kalau menurutmu gimana?

Teman : gini, sebelumnya kita harus tahu kenapa sebuah program itu dibuat LIVE atau TAPING. Biasanya kalo TAPING ada beberapa alasan, misalnya : biar hemat, biar bisa diulang, biar bisa diedit, dsb

Saya : Oh, ok, terus?

Teman : nah yang aku baca dari klarifikasinya Andy F. Noya kenapa Kick Andy pakai sistem taping salah satunya adalah bertujuan untuk “menutupi” statement-statement yang tidak perlu diuraikan ke ranah publik. Biasanya sebelum acara taping, penonton yang ikut acara itu perlu di-briefing terlebih dahulu. Kalau sudah di briefing tapi sewaktu acara berlangsung ternyata ada pihak yang komplain begini-begitu bisa jadi ada poin yang missed entah itu di pihak penontonnya atau di pihak Kick Andy-nya. Nah, penjelasan Andy F. Noya di poin 6, 10, dan 14 sebenarnya itu adalah fungsi editing. Jadi ketika acara itu sifatnya adalah taping, jangan pernah berpikir kalau apa yang kita saksikan di studio semuanya akan ditayangkan.

Saya : ok, jadi pasti ada pemangkasan disana-sini ya. Trus, yang dikatakan disitu Andy F. Noya mengeluarkan jokes yang sangat tidak pantas, itu gimana?

Teman : mmh, nggak semua orang yang diwawancara akan dengan mudahnya merasa nyaman dengan situasi yang asing, Mbak. Bayangkan ya, kamu sebagai orang yang awam harus memberikan statement tentang sesuatu, di dalam studio, didepan kamera dan sorotan lampu, ditonton penonton sekian ratus orang, apalagi bicaranya di depan praktisi. Pastilah ada “jipernya” . Menurut aku, jokes yang dilontarkan Andy F. Noya itu bermaksud untuk membuat si narasumber merasa nyaman. Karena gini Mbak, nggak mudah membuat orang nyaman menceritakan pengalamannya, kecuali pengalaman yang menyenangkan. Jadi ada kalanya untuk mendapatkan jawaban yang dinginkan seorang host harus muter-muter dulu.. 😉

Saya : jadi menurut kamu semua itu sudah sesuai prosedur? Masih dalam koridor, gitu?

Teman : iya, jangankan untuk acara talkshow seserius Kick Andy ya, aku aja yang dulu menangani program musik, misalnya aku pengen jawaban A dari si artis, host-ku bisa muter-muter dulu Jakarta-Bandung-Surabaya-Klaten untuk mendapatkan jawaban yang aku mau..

Saya : hahahaha, serius? 😮 :))

Teman : iya, jadi sebenernya sih jawaban itu kita sudah tahu, karena sebelum acara pasti kan kita sudah melakukan survey, ada wawancara juga..

Saya : tapi kalian ingin statement itu meluncur langsung dari mulut si narsum ya?

Teman : betul, karena gini, Mbak.. nggak mungkin seorang narasumber itu kita naikkan tanpa kita tahu siapa dia. Jadi pastinya kita sudah melakukan wawancara dan riset sebelumnya. Nah, apa yang sudah kita dapatkan sewaktu riset itu yang harus kita keluarkan saat on air. Caranya gimana? Ya pastinya nggak mungkin kita langsung dapet statement seperti yang kita mau khan? Jadi ya pasti muter-muter dulu.

Saya : oh gitu, terus menurut kamu Kick Andy-nya salah atau nggak sih dalam hal ini?

Teman : aku ngomong ini bukan karena aku membela salah satu pihak ya, Mbak. Tapi menurutku core-nya Kick Andy sudah benar, menjaga rahasia narasumber ya salah satunya dengan TAPING. Ingat, jangan menelan bulat-bulat apa yang direkam pada saat taping. Apa yang “hot” atau kontroversial waktu itu bisa jadi justru yang diturunkan (tidak disiarkan) on air. Gitu, Mbak.. Nah, Bu Tatty sepertinya belum memahami konsep ini, inti acaranya seperti apa, proses dan alurnya  bagaimana, jadinya akan seperti apa, dll. Beliau berpikir bahwa Bu Elly Risman akan tampil full-program, padahal enggak, beliau hanya sebagai narasumber yang akan mengomentari aja. Kita sih sudah hafal kok sama tipikal yang begitu-begitu. Kru TV sih biasanya nelen ludah doang bisanya ;))

Saya : halah, kasian banget sih ;))

Teman : apalagi kalo misalnya di poin 13 disebutkan bahwa Bu Elly dan tim Kick Andy sudah ketemuan, berarti Bu Elly bukan hanya datang pada saat acara, dan bisa jadi Bu Elly juga ikut bikin rundown, jadi penasehat, dll. Waktu aku jadi creative dulu, kalo ada profesional yang ikut dari awal pasti kita ajak untuk membahas tiap-tiap  segmennya, isinya bakal gimana, dll. Gitu , Mbaaak.. 🙂

Saya : ya ya ya..

Teman : ada satu yang patut disayangkan di tulisan Bu Tatty. Beliau menyebutkan bahwa “si remaja  pernah “dipakai” oleh anggota DPR dan BIN”. Hati-hati dengan statement seperti itu, karena yang mengeluarkan isu itu kan beliau duluan, programnya sendiri bahkan belum tayang. Disini aku melihat, beliau belum memahami fungsi editing. Seperti yang aku bilang tadi, tidak semua apa yang terjadi selama siaran taping layak dan pasti akan ditayangkan juga secara on air.. 😉

Saya : mungkin ibu itu terlanjur emosi kali ya? 😕

Teman : ngerti sih, kalau aku sih gini Mbak, pada saat aku marah memang aku akan tuliskan itu ya, kayanya puas banget tuh ya kalau sudah berhasil nulis uneg-uneg ya, tapi aku memilih untuk menuliskannya di draft, bukan lalu aku tulis di blog aku klik publish. Karena ya namanya nulis di media yang bisa dengan mudah diakses umum kita juga harus hati-hati sih Mbak.. Takutnya apa yang kita tulis secara emosional itu justru kitanya yang salah paham 😀

Saya : iya sih, takutnya udah salah paham, nyebar kemana-mana pula.. Mmmh, sama sih aku juga gitu, kalau pas emosi nulisnya cukup di notepad. Kalau pas lagi normal dan aku baca lagi pasti nyengir aja ;))

Teman : pendekatan ke remaja sekarang sama jaman dulu itu beda. Jaman sekarang nggak bisa kita langsung teriak “SAY NO TO FREE SEX!”. Mana ada remaja yang mau denger, yang ada pada kabur kali. Makanya acara penyuluhan-penyuluhan kaya gitu kita selipkan lewat acara musik, lomba, dll. Pendekatan ke anak sekarang nggak bisa pakai tombak dan tembak. Gitu sih menurut aku, Mbak 🙂

Jadi begitulah, obrolan saya dengan si teman itu. Diluar apa yang terjadi antara Bu Tatty Elmir dengan Andy F. Noya saya merasa ada ilmu yang sudah saya peroleh dari obrolan santai siang itu. Bukan hanya dari teman saya, tapi juga dari beliau berdua.

Tidak mudah memang mengolah emosi. Ada banyak cara untuk menyalurkannya, termasuk salah satunya dengan jalan menulis sebagai terapi untuk penyaluran emosi. Soal media yang akan digunakan untuk curhat pun bisa macam-macam. Mau curhat secara tertutup di diary, atau curhat terbuka di media online, semuanya boleh dan sah-sah saja. Bedanya dengan curhat di diary, curhat di media online efeknya akan bisa dirasakan secara langsung oleh yang membuat curhat, karena yang bersangkutan akan langsung mendapat respon dan reaksi yang beragam dari yang mengakses catatannya. Apalagi ketika curhatan itu berhubungan dengan nama yang sudah dikenal banyak orang. Tapi yang jelas pasti ada sisi positif dan negatif dengan kita menuliskan “curhat” atau keluhan di media online.

Catatan ini dibuat untuk introspeksi pribadi dan berbagi sedikit pengetahuan yang mungkin bagi sebagian besar kita belum banyak yang tahu.

Note to self :
1. Jangan reaktif ketika membaca sebuah berita atau statement yang mengandung sifat kontroversial.
2. Jangan mudah terpancing emosi ketika mendengar berita yang baru didengar dari satu sisi saja, usahakan mendengar dari dua sisi agar jika sewaktu-waktu pendapat kita dibutuhkan, kita bisa memberikan opini yang objektif.
3. Jangan mengikuti/mendengarkan suatu berita secara sepotong-sepotong, karena akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Dengarkanlah secara utuh.

Begitulah.. 😀

[devieriana]

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading