“It’s a lie to think you’re not good enough. It’s a lie to think you’re not worth anything...”
– Nick Vujicic –
Saya adalah salah satu pengguna alat transportasi umum Transjakarta. Selain Transjakarta, saya juga menggunakan Kopaja 57 atau Metromini 75 untuk mengantar saya pulang ke Mampang. Sebagaimana pemandangan yang lazim dijumpai di setiap terminal, selain pedagang asongan yang pasti ada yaitu yaitu pengemis. Selama ini saya hampir tidak pernah ada masalah dengan mereka, tapi jika kelakuan mereka sudah mengganggu tentu lama-lama akan menimbulkan rasa kurang nyaman.
Seperti contohnya sore itu, saya naik Kopaja 57. Belum jauh laju bus dari terminal, sudah ada seorang pria yang sengaja mengedrop seorang anak kecil dari gendongan punggungnya, dan memasukkannya ke dalam bus yang saya tumpangi. Bocah perempuan itu berambut pendek, berusia sekitar 6-7 tahun, dan tampak sangat dekil. Penampilannya selalu menggunakan celana panjang dengan salah satu kaki yang buntung, entah sengaja disembunyikan —seperti berbagai trik pengemis yang pernah dipertontonkan di televisi— atau memang tidak punya kaki beneran.
Dia menyeret badannya mengarah ke tempat duduk saya. Bukan hanya berkata, “Bu, minta uang, Bu, buat makan Buuu…” tapi juga sambil menarik celana dan lengan baju saya, setengah memaksa. Dulu sih selalu saya kasih uang lantaran iba, tapi makin kesini kok sepertinya saya juga ikut memberi setoran pada si penggendongnya tadi ya. Sesekali saya memang tega tidak kasih mereka uang. Ketika saya bilang maaf sambil menggelengkan kepala, dia makin keras menarik ujung celana saya, menunggu hingga saya memberi. Andai memang uang itu buat makan, mungkin lain kali lebih baik saya memberikan dalam bentuk makanan.
Itu baru kasus pertama. Kasus berikutnya, naiknya 2-3 remaja pria bertato dengan beberapa tindik di telinga yang berkata dengan keras, berteriak, dan silih berganti di dalam bus, layaknya sedang berorasi.
“Ya, Pak, Bu.. jaman sekarang banyak anak muda yang melakukan tindakan kriminal, Pak! Bukan apa-apa semuanya karena butuh uang, Bu! Mereka menjambret! Mencopet! Bahkan tak segan-segan membunuh! Masuk penjara! Semua tindakan kriminal itu dilakukan demi sesuap nasi, Pak! Buat makan, Bu! Uang seribu dua ribu yang Bapak Ibu kasih ke kami tidak akan langsung menjadikan Bapak dan Ibu miskin. Jadi tolonglah, Pak, Bu! Beri kami uang!”
Andai saja itu diucapkan dengan kalimat yang sopan, dan tidak bernada mengintimidasi, mungkin akan ada banyak orang yang bersimpati pada mereka. Tapi, berhubung cara penyampaiannya menyeramkan, jadinya malah banyak orang yang tidak memberi uang samasekali. Belum lagi jika ternyata dalam satu bus ternyata hanya ada 1-2 orang saja yang memberi uang, jangan harap mereka akan keluar dari bus dengan diam saja. Sambil mengomel, iya. Lah, minta kok maksa 😐
Untuk anak-anak muda macam mereka yang masih dikaruniai kesehatan dan kelengkapan anggota tubuh, kenapa tidak mencoba mencari pekerjaan yang jauh lebih baik? Setidaknya tidak menjadi seorang peminta-minta, apalagi yang memaksa seperti itu.
Andai saja mereka mengenal sosok Nick Vujicic (baca : Voy-a-chic) seorang pria asal Australia yang terlahir tanpa lengan dan tungkai, hanya kepala, leher, dan badan saja, serta “kaki” kecil yang kurang layak disebut kaki (dia menyebut “kakinya”itu dengan sebutan paha ayam). Seharusnya mereka malu jika harus menjadi seorang peminta-minta, karena seorang Nick yang seorang difabel saja bisa menjadi seorang motivator bagi manusia normal lainnya, dan hebatnya lagi dia menjadi Direktur Life Without Limbs, mengapa yang dikaruniai kelengkapan fisik justru merengek meminta belas kasihan dan bahkan berpura-pura mengalami cacat tubuh?
Atau, jika kita ingat dengan kisah Helen Keller yang kehilangan penglihatan dan pendengaran sebelum genap berusia dua tahun karena penyakitnya. Namun siapa sangka jika dia justru menjadi seorang pengarang, pembicara, dan aktivis sosial.
Bayangkan, seseorang yang tidak dikaruniai fisik selengkap kita saja mampu melakukan hal-hal besar, memotivasi orang lain, dan bahkan berhasil merengkuh dunia, tapi mengapa ada anak-anak muda yang secara fisik jauh lebih normal tapi hanya sanggup menjadi seorang peminta-minta?
“When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us”
– Helen Keller –
[devieriana]
picture source taken here