(Ada Saat) Harus Menahan Diri

Dulu, ketika saya masih belum punya momongan, di sebuah perjalanan pulang bersama dengan seorang teman, dia sempat bercerita tentang sesuatu yang sampai sekarang masih saya ingat dan saya jadikan pelajaran.

Si teman pernah mengeluh betapa dia sangat menyesalkan sebuah kejadian di masa lalu bersama mantan pasangannya yang saat ini sudah berpisah; saat mereka masih berstatus suami istri dengan ego yang sama tingginya, dan sering tanpa sadar bertengkar di depan anak-anak mereka yang masih balita.

Kalau sudah bicara masalah anak, sama saja bicara tentang salah satu concern dalam kehidupan saya. Si teman bercerita, pernah suatu hari, dia dan suaminya sedang bertengkar hebat di dalam mobil dengan kondisi anak-anak sedang ada bersama mereka. Emosi yang tidak terbendung itu menghasilkan kalimat dan umpatan yang sangat tidak nyaman untuk didengar. Di tengah emosi yang tengah memuncak itu mereka sempat tidak sadar bahwa ada anak-anak mereka yang sedang duduk meringkuk berpelukan di jok belakang, menunduk ketakutan mendengar kedua orang tuanya beradu mulut. Di situlah baru muncul rasa penyesalan yang sangat besar di antara keduanya. Iya, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Demi ‘menghapus’ memori menakutkan itu, keduanya berusaha ‘membayar’ dengan memberi lebih banyak waktu untuk bersama; mulai menemani mereka bermain/belajar, mengantar mereka sekolah/les, membelikan mainan/makanan favorit, dan kegiatan lain yang bisa mempererat kebersamaan mereka sebagai keluarga. Dan itu masih terus mereka lakukan hingga saat ini, pun ketika mereka sudah tidak lagi terikat status sebagai suami istri.

Mendengar cerita itu, saya langsung sedih, membayangkan bagaimana anak-anak mereka ketakutan, saling memberikan perlindungan dengan cara memeluk satu sama lain.

Sejak mendengar cerita itu, saya punya komitmen bersama suami, kelak ketika kami sudah dikaruniai anak, sebisa mungkin tidak akan bertengkar, berkonflik, atau mengeluarkan kata-kata kasar di depan anak-anak kami, karena kami sadar bahwa trauma atau ingatan seorang anak itu akan terbawa hingga dia tumbuh kembang dewasa.

Begitu pula ketika ada teman lainnya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal pertama yang saya tanyakan adalah, “ada anak-anak nggak pas kamu mengalami KDRT? Mereka lihat, nggak?”. Jawabannya adalah, “kebetulan pas ada, Mbak. Karena posisinya aku pas lagi ada sama anak-anak…”. Makjleb! Langsung sedih. Membayangkan bagaimana rekaman kekerasan yang dialami/dilakukan oleh orang tuanya itu akan terbawa hingga mereka dewasa nanti.

Selain kekerasan fisik maupun verbal, ada hal lain yang juga saya berusaha hindari. Jangan pernah mengajak anak-anak untuk ikut membenci orang lain. Jangan membingkai mereka ke dalam situasi yang mereka sendiri tidak mengerti.

Secara natural, setiap anak memiliki kebaikan. Mereka terlahir dalam keadaan pikiran dan hati yang bersih/suci. Ketika seorang anak kita ajarkan untuk membenci/melukai orang lain, sama saja kita telah mengajarkan kekejaman, karena sesungguhnya sifat/perilaku itu bukanlah sifat dasar seorang anak. Setiap anak pasti pernah mengalami rasa tidak suka kepada seseorang, tetapi sejauh yang saya tahu, biasanya perasaan itu tidak berlangsung lama.

Mungkin akan lebih baik jika mengajarkan kepada mereka sejak dini tentang bagaimana berpikir secara kritis, menumbuhkan empati kepada orang lain, dan rasa saling menyayangi. Kelak dari situ mereka bisa melatih diri untuk memberi penilaian secara objektif/terbuka terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka, sekaligus mengurangi kebencian yang ditimbulkan oleh rasa takut. Dengan mencegah pola pikir yang ‘dehumanisasi’, anak-anak akan memiliki kesempatan untuk memahami hal yang lebih baik lagi di masa depan.

Alea, putri saya, baru berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini saya, suami, dan anggota keluarga yang lain berusaha untuk membangun citra yang positif di depan Alea, mengajarkan kebaikan, menumbuhkan rasa sayang kepada sesama. Sederhana saja harapan kami supaya kelak Alea terbiasa menyerap dan menerapkan hal yang sama positifnya dalam kehidupannya.

Biasanya, cara paling sederhana yang kami gunakan adalah dengan melalui obrolan sederhana tentang bagaimana kita berperilaku atau memperlakukan orang lain, mendongeng/cerita, atau yang paling efektif ya dengan mencontohkannya secara langsung. Anak-anak seusia Alea kan usia visual, di mana mereka lebih mudah mencontoh apa yang mereka lihat.

Alasan lain kenapa jangan pernah mengajarkan kebencian kepada anak adalah karena saya sadar bahwa saya tidak akan selalu ada buat putri saya. Kelak suatu saat nanti dia pasti akan butuh bantuan keluarga atau orang-orang terdekatnya. Jadi, selama kita masih membutuhkan orang lain, sebisa mungkin jangan membenci secara berlebihan. Karena kita tidak tahu kapan kita akan memerlukan bantuan orang lain, kan?

Anak-anak kita mungkin tidak selalu menyimak apa yang kita tuturkan, tapi sebagai makhluk visual, mereka diam-diam akan mencontoh apa yang kita lakukan. Kita adalah role model pertama bagi anak-anak kita; they are definitely watching. Jadi biarkan anak-anak memperhatikan kita bersikap baik, insyaallah mereka juga akan jadi anak yang baik hati. Maybe it is the oldest, but the goldest methode of all.

Perlakukan anak-anak sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Tunjukkan kebaikan kepada mereka dimulai dari hal-hal kecil, and just imagine how good they will feel when they step out into the world.

Just my two cents.

 

[devieriana]

 

Continue Reading

Pencari Amal

Pernahkah pertanyaan dan doa kalian dijawab Tuhan hanya dalam beberapa jam saja sejak kalian mengucapkannya? Saya, kemarin malam..

Malam itu, saya bersama suami akan makan malam di daerah Tebet. Baru saja kami memarkir kendaraan di seberang tempat makan yang kami tuju, persis di samping pintu mobil sudah berjajar 3 bocah lelaki usia tanggung yang salah satunya menyodorkan kotak mirip kotak semir sepatu. Saya yang saat itu hanya menggunakan sandal jepit terpaksa menolak halus karena memang tidak butuh semir.

“Ya sudah Tante, kami boleh minta tolong belikan nasi sebungkus aja? Biar nanti kami makan bertiga…”, tutur anak lelaki yang paling kecil.

Mereka nampak kurus, kumal dan lusuh, mungkin karena sudah seharian di jalanan. Masing-masing memegang kotak kayu seukuran kardus sepatu, dengan baju yang sudah tidak jelas warnanya. Diam-diam saya merasa iba. Sudah berapa banyak orang yang menyemirkan sepatunya pada mereka hari ini? Sudah berapa lembar rupiah yang mereka dapatkan untuk menyambung hidup mereka hari ini? Tanpa berpikir lama, saya pun mengiyakan permintaan mereka untuk membelikan makan.

Suami saya lalu mengajak mereka untuk duduk, menanti nasi goreng yang kami pesankan untuk mereka. Saya belajar dari suami untuk tidak selalu memberi anak-anak jalanan itu uang. Kalau memang alasannya adalah untuk beli makan dan mereka lapar, belikanlah mereka makan. Karena kalau uang kadang belum tentu dibelikan makanan beneran.

Sesekali saya melihat mereka dari tempat duduk saya. Kebetulan mereka duduk terpisah dari kami lantaran tempat duduk yang ada di dalam sudah penuh, sehingga hanya tersisa tempat duduk di luar saja. Tapi tak apa yang penting mereka bisa menikmati makan malam dengan layak.

Ketika pesanan datang, mereka langsung menyantapnya dengan lahap sambil sesekali bergurau. Ya Allah, ternyata mereka lapar beneran.

Seusai makan, saya menghampiri mereka. “Kalian sudah selesai makannya?” tanya saya. “Sudah, Tante, terima kasih. Makan malamnya, enak…” jawab salah satu dari mereka dengan wajah sumringah. Saya tersenyum, mengangguk, sambil melirik ke arah piring mereka yang bersih.

Sambil menunggu suami saya selesai makan, saya mengambil duduk di samping mereka.

Saya : “kalian sekolah, nggak?”
Mereka : “sekolah, Tante. Tapi lagi libur..”
Saya : “oh, iya, lagi libur sekolah, ya? Kalian kelas berapa aja?”
Anak 1 : “saya kelas 2 SMP, Tante..”
Anak 2 : “kalau saya kelas 3 SMP, Tante..”
Anak 3 : “saya baru lulus SMP, Tante..”
Saya : “kamu nerusin sekolah, nggak?”
Anak 3 : “nerusin, Tante.. :)”
Saya : “wah, kalian hebat deh, masih ada semangat buat sekolah… Jarang-jarang lho ada anak-anak yang hidupnya di jalanan kaya kalian tapi masih punya semangat buat menuntut ilmu. Eh, bentar ya, Tante bayar ke kasir dulu. Kalian tunggu disini..”

Selesai membayar di kasir saya pun kembali ke meja mereka. Mendadak yang paling kecil berkata:

Anak 1 : “Tante, kami boleh minta tolong lagi, nggak?”

Dua anak lainnya duduk menunduk mendekap kotak kayu masing-masing sambil menyenggol kaki anak yang yang paling muda itu. Mungkin maksudnya mencegah dia bilang sesuatu. Tapi yang dikode sepertinya tidak sadar atau mungkin tidak mengacuhkan kode kedua temannya itu.

Saya : “Ya, apa?”
Anak 1 : “Mmmh, Tante, boleh nggak kami minta tolong dibelikan buku tulis buat sekolah?”

Keharuan langsung menyeruak dalam hati saya. Ya Allah, baru saja tadi sore ketika saya menyusuri beberapa linimasa Twitter yang concern dengan masalah sosial, saya mengucapkan sebuah pertanyaan sekaligus doa:

“Ya Allah, kapan ya saya bisa ikut membantu anak-anak yang kurang mampu tapi masih punya semangat untuk sekolah?”

Ternyata dalam waktu yang tak berapa lama Tuhan langsung menghadirkan ke hadapan kami bukan hanya 1, tapi 3 anak yang masih punya semangat sekolah tapi kurang ada biaya. Tanpa menunda waktu lagi, saya langsung mengiyakan permintaan mereka. Kami pun langsung menuju ke salah satu supermarket terdekat dan membiarkan mereka memilih apa yang mereka perlukan.

Namun sesampainya kami di tempat tujuan, mereka justru saling berpandangan ragu.

Saya : “lho, kok malah bengong? Kalian pilih apa saja yang kalian butuhkan. Buku, alat tulis?”
Anak 3 : “ini aja, Tante. Satu pak buku tulis aja udah cukup, nanti kami bagi bertiga..”
Saya : “lah, satu pak kan cuma isi 10, kalau dibagi bertiga kalian masing-masing hanya akan dapat 3 buku tulis. Ya nggak cukup dong, Sayang. Ya udah ambil buat masing-masing, gih..”

Saya mengambilkan masing-masing 1 pak buku tulis, alat tulis, dan sebuah buku gambar ukuran A3 buat anak yang paling kecil, karena katanya dia sangat suka menggambar. Ketika saya menawarkan untuk membeli keperluan sekolah lainnya, jawaban mereka, “sudah Tante, terima kasih, ini saja sudah cukup kok. Kami sebenernya cuma butuh buku tulis saja..”

Seusai membayar semuanya di kasir, ketika akan menuju ke parkiran, sambil merangkul bahu anak yang paling kecil:

Saya : “nama kamu siapa?”
Anak 1 : “Dindin, Tante..”
Saya :“kalau yang 2 itu siapa aja namanya?”
Anak 1 :“itu Adis sama Firman..”
Saya :“kalian satu sekolah?”
Dindin :“iya, mereka kakak kelas saya..”
Saya :“oh.. kalian sekolah dimana?”
Dindin : “di Perguruan Rakyat 1, Tante..”
Saya :“masuk pagi atau siang?”
Dindin :“siang..”
Saya :“Kamu tiap hari nyemir sepatu?”
Dindin :“Kami bukan nyemir sepatu, Tante..”
Saya :“lha, kotak yang kalian bawa itu tadi apa?”
Dindin :“itu kotak amal buat musala, Tante. Kami mencari infaq dan sedekah untuk musala kami..”

Mak jleb! Ya Allah, ternyata kotak yang semula saya pikir itu adalah kotak semir sepatu adalah kotak amal untuk musala yang mereka edarkan untuk diisi oleh siapa saja yang mau bersedekah? Mata saya menghangat. Air mata saya langsung menggenang.

Tahu nggak sih bagaimana rasanya ketika di akhir-akhir peristiwa kalian baru tahu kalau yang kalian bantu itu ternyata anak-anak mulia yang bergerak di jalan agama, bukan meminta uang untuk mengemis?

Firman : “Oom, Tante, nanti kami turun di tempat yang tadi aja ya. Karena kami harus mencari 1 orang teman yang lain sebelum kami pulang, dia terpisah dari kami tadi…”
Suami: “rumah kalian di mana? biar sekalian kita anter..”
Mereka : “di daerah Kampung Pulo, Oom.. Terima kasih, Oom. Nggak usah. Nanti kami pulang naik ojek saja.”

Berhubung mereka masih harus mencari teman yang lain, terpaksa mereka kami turunkan persis di tempat kami bertemu tadi. Sebelum berpisah, satu persatu mereka berpamitan dan mencium tangan saya. Wajah mereka terlihat sumringah walaupun ada gurat lelah yang tak mampu mereka sembunyikan.

Saya menggenggamkan beberapa lembar rupiah ke tangan Dindin. Ini buat kalian pulang ya. Hati-hati di jalan. Salam buat teman kalian yang satu lagi ya…”, bisik saya sambil setengah mati menahan air mata supaya tidak jatuh.

Setelah sesi perpisahan yang mengharukan itu, tangis saya pun akhirnya tak terbendung lagi. Tak disangka bahwa Allah mendengar dan mengabulkan doa saya begitu cepat. Allah bekerja melalui jalan yang benar-benar misterius, karena awalnya kami sempat berniat akan makan di daerah Megaria, tapi entah kenapa justru mengarahkan tujuan kami menuju Tebet, sehingga mempertemukan kami dengan 3 pengedar kotak amal bernama Dindin, Adis, dan Firman tadi.

Sambil mengelus kepala saya, suami berkata, “bersyukur bahwa kita masih diberikan kesempatan berbagi. Kalau soal rezeki insyaallah masih bisa kita cari. Semoga apa yang sudah kamu berikan malam ini berkah buat mereka ya…”

Saya mengangguk pelan sambil menyeka air mata yang tak henti-henti mengalir. Kami pun menyusuri jalanan yang mulai lengang dalam keheningan masing-masing.

Dalam hati saya berdoa, “semoga Allah melindungi kalian bertiga hingga sampai dengan selamat di rumah dan bertemu kembali dengan keluarga, ya. Aamiin…”

 

[devieriana]

Continue Reading