Wisata Kemiskinan

tur-kemiskinanBeberapa waktu lalu saya melihat salah satu acara di tv yaitu Kupas Tuntas, yang membahas tentang wisata kemiskinan. Sebenarnya sih bukan saya yang baru dengar  tentang program wisata “unik” yang satu ini ya, tapi sayanya yang baru ngeh, baru sempat nulis, baru sempat mikir  tentang adanya “wisata kemiskinan” ini. Bukan skeptis ya, tapi kok kesannya wisata kemiskinan itu sekarang jadi sebuah komoditi &  tontonan baru buat publik ya & ironisnya kebanyakan yang menjadi wisatawannya kok ndilalah kebanyakan adalah turis asing. Nah ditambah lagi dengan acara menjelang pilpres , semua seolah serba peduli dengan rakyat kecil, pada ramai-ramai turun ke bawah untuk melihat kondisi langsung rakyat miskin ya biar kelihatannya memang mereka peduli..

 

Pernah enggak untuk menghabiskan masa liburan yang biasanya Anda ditawari untuk rekreasi ke tempat hiburan keluarga, sekarang Anda justru di ajak untuk menyusuri pinggiran rel sepanjang stasiun Senen, melihat tunawisma yang hidup di gubuk dari kardus dan gubuk darurat. Dilanjutkan menyusuri perkampungan kumuh pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu. Terus ke arah Galur, Luar Batang dan berakhir perjalanan turnya di kawasan Kota. Jadi intinya Anda akan diajak menyaksikan kemiskinan saudara Anda sendiri. Tega ga sih? Pertanyaannya disini adalah apakah kemiskinan memang layak untuk dipertontonkan & dijadikan komoditi?

 

Paket wisata ini ditawarkan seharga Rp 350.000,- dengan judul  paket  Jakarta Hidden Area Tour. Objek wisatanya ya menyusuri sungai yang penuh sampah yang melintasi kota Jakarta (Sungai Ciliwung)  yang ternyata sangat diminati oleh turis asing.  Meskipun kata pengelola wisata kemiskinan itu bertujuan baik, karena sebelum rakyat miskin itu dikunjungi mereka akan ditawarkan opsi apakah mereka bersedia/tidak untuk menjadi “objek wisata”. Kalau setuju mereka akan diberikan uang sebesar Rp 350 ribu untuk digunakan membuka usaha, dengan syarat jika mereka sudah berhasil dengan usaha tersebut mereka harus mengembalikan lagi uang Rp 350.000,-  itu untuk kembali disalurkan ke rakyat miskin lain yang membutuhkan. Begitu seterusnya.

 

Belum tuntas dengan wisata yang satu ini, kemiskinan kembali menjadi “komoditi” dalam bentuk aneka jenis acara reality show di televisi. Beberapa obyek tontonan televisi itu diantaranya :  Minta Tolong, Bedah Rumah, Uang Kaget,  Dibayar Lunas,  Tukar Nasib,  Jika Aku Menjadi dan mungkin masih ada yang lainnya. Dulu pertama kali menyaksikan acara Jika Aku Menjadi saya pasti menangis terharu, karena (seolah) benar-benar menampilkan sosok keseharian masyaraat miskin kita. Yang makan nasi aking, yang hanya makan daun ketela yang di rebus  bareng sama garam & dimakan dengan nasi. Tidur di kandang kambing, dll. Tapi kemudian lama-lama bertanya dalam hati, eksposing kaya gitu apa etis? opo yo pantes? Okelah katakanlah itu “program hati”, wisata itu namanya “wisata hati”, tapi kok ya nelangsa banget saya ngeliatnya ya..


Buat saya tontonan itu akhirnya ya tetap hanya sekedar menjadi tontonan. Karena tidak merubah nasib sebenarnya orang miskin tersebut, sementara yang mempunyai acara televisi “menikmati” iklan dari rating acara yang tinggi.  Dulu saya pernah menulis juga tentang kemiskinan. Mengatasi masalah kemiskinan tidak boleh memperlakukan orang miskin sekedar sebagai obyek, tetapi perlakukan mereka sebagai subyek. Hal ini bersumber  dari keyakinan bahwa betapapun miskin seseorang, mereka bukannya tidak punya apa-apa sama sekali, melainkan bahwa mereka mempunyai sesuatu, walaupun sedikit.

 

Mereka bukan “the have not”, melainkan “the have little”, kalau kemampuan & potensi  mereka yang serba sedikit itu di galang dan dihimpun dalam organisasi swadaya masyarakat yang mereka percaya dan kelompok-kelompok swadaya usaha bersama, mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah mereka dengan kekuatan mereka sendiri kok. Jadi, siapa bilang orang miskin itu gak mampu?

 

sumber gambar  :  di sini

 

 

Continue Reading

Ketika sebuah apresiasi begitu dihargai ..

Sekecil apapun perhatian yang kita berikan pada seseorang jika itu dihargai akan berbeda rasanya. Sebuah hal menarik saya dapatkan hari ini. Diawali dari sebuah hal kecil yang amat sangat sederhana. Kebetulan saya suka membaca. Beberapa teman saya di facebook adalah penulis/penerbit buku. Awalnya jelas saya ga kenal mereka secara personal lah ya.., karena saya mengenal mereka dari buku yang saya baca/beli. Sejak saya senang membaca & lantas di dukung dengan adanya facebook saya makin rajin mencari profil penulis buku yang saya baca & ingin berinteraksi secara langsung, menyampaikan pujian atau masukan (kalau ada). 

 

Mostly mereka menanggapi secara positif (alhamdulillah). Kalau memang bagus saya tidak ragu bilang bagus, perfect. Tapi ketika saya menemukan kejanggalan di buku mereka saya pasti tanya, yang paragraf ini maksudnya apa ya? atau kalau ada yang janggal atau kurang sesuai dengan pengertian salah satu jargon telekomunkasi  :  “eh bukannya roaming itu artinya begini ya mas?” (kebetulan saya kerja di telekomunikasi jadi saya sedikit banyak ngertilah masalah begitu-begitu, hehe), atau ketika ada kejanggalan penggunaan sebuah istilah saya pasti akan langsung kasih masukan 🙂 . Sebelumnya maaf ya mbak/mas.. bukan saya bermaksud keminter/sok pinter ya .. tapi akan lebih baik kalau kita tahu mana yang benar ya kenapa tidak kita share ke beliau-beliau itu? iya kan? Siapa tahu kita akhirnya bisa saling tukar pikiran tentang itu. Saya sih ambil positifnya aja ya, toh selama maksud kita baik ya why not? Memang sebagian orang yang saya ceritain pasti bilang, “ya ampun lu tuh ya, kagak ada kerjaan deh “, atau ada juga yang bilang :  “sebelum mengkritisi seorang penulis jadilah penulis lebih dulu, maka kamu akan tahu gimana sulitnya mempublish sebuah buku, menerima pujian sampai kritikan pedas”.

 

O’ow, saya bukan kritikus buku ya. Maaf..  Saya cuma penikmat hasil tulisan mereka. Sejauh ini saya tidak pernah mengkritisi mereka secara berlebihan kok karena saya juga bukan penulis buku, saya juga belum pernah ngerasain gimana sulitnya nulis buku, jadi saya kasih masukan yang umum-umum aja.

 

Mostly saya selalu memberikan compliments atas hasil kerja mereka. Saya salut dengan apapun yang mereka sudah hasilkan. Perjuangan mereka bikin gimana supaya bukunya laris, booming, sampai cara menarik audience untuk menghadiri talk show buku mereka.. They’re all just great! Sebagai seorang pembaca wajar kan kalau misal saya ingin berinteraksi dengan penulisnya secara langsung jika ada kesempatan? Even itu hanya sebatas via email, buat saya cukup untuk menyampaikan apresiasi saya kepada mereka 🙂

 

Setiap buku yang saya baca (untuk saat ini utamanya fiksi tapi yang ada unsur  edukasinya buat saya, misal :  fashion (LSDLF & JPVFK – by Syahmedi Dean, perbankan (Divortiare & A Very Yuppy Wedding by Ika Natassa), hukum (Good Lawyer  by Risa Amrikasari & Friends, tapi ada juga beberapa buku yang non fiksi (Talk Inc by presenter Becky Tumewu, Erwin parengkuan & psikolog Alexander Sriewijono) )  saya selalu ambil ilmunya. Pengetahuan kan bisa diambil dari mana aja tho? Nah, kemarin sore saya coba berdiskusi dengan salah satu penulis sekaligus buku Good Lawyer, Mbak Risa Amrikasari. Jujur, pas mau nulis email saya ragu, gimana nanti balasan dari beliau ya? Karena kalau saya lihat dari statement-statement dia kan selalu keras, lugas, tegas  & berbeda dengan yang lain. Sempat saya mau urungkan niat. Tapi ah, kenapa ga di coba dulu sih? Itu kan tampilan luarnya Mbak Risa kaya begitu, siapa tahu dia type very kind person, siapa tahu responnya positif.  Ya sutra, kita coba saja.. Bismillah.. email sent!

 

Pagi ini ketika buka email, taraaaa…. saya kok jadi surprise sendiri dengan jawaban beliau ya. Simply, beliau say thank you buat apresiasi saya terhadap bukunya, trus malah cerita begini, begini, begini.. ujung-ujungnya.. : “Mbak Devi dimana? Aku kirimin yang cetakan keduanya deh, hadiah dari aku hihi… gratis! 😉  “. HAH?!? saya takjub sendiri..  Sampai sedemikian besarnyakah apresiasi saya yang cuma seujung kuku itu dibalas dengan dikasih buku cetakan kedua yang sudah seperti saya inginkan, gratis langsung oleh penulis sekaligus publishernya ..  🙂  . Mbak Risa, saya anggap buku ini hadiah buat ulang tahun saya minggu depan ya.. hehehehe 🙂

 

Meskipun buat orang lain, “Oh, cuma gitu doang?Hmm, biasa aja kali..”. Tapi buat saya, jujur.. saya merasa dihargai. Memang sih soal diberi buku langsung oleh penulisnya bukan hal pertama buat saya. Tapi jarang lho ada orang yang sedemikian besar perhatiannya pada hal-hal kecil yang kita perbuat. Ketulusan. Itu yang saya pelajari hari ini. Segala hal yang kita kerjakan dengan tulus, pasti akan berbalas dengan ketulusan pula. Buat Mbak Risa & friends.. have a good work ya.. 🙂

 

 

 

 

Continue Reading

Berubah ..

Kenapa ya ketika kita diminta mengerjakan sesuatu yang baru, posisi yang baru, sesuatu yang berbeda, yang sedikit lebih sulit, sedikit lebih mengerahkan tenaga, atau apapunlah itu yang intinya mengusik zona nyaman, mengubah kebiasaan & cara pandang kok pasti ada penolakan & sentimen negatif lebih dahulu? Kalaupun nantinya di terima pasti dengan tidak ikhlas alias setengah hati. Tapi ketika hal baru itu sudah berjalan beberapa waktu & akhirnya menjadi kebiasaan baru kok kita jadi merasa nyaman dengan hal itu ya. Sering ga merasakan itu?

Hhhm, kok jadi teringat sebuah tulisan Putu Wijaya yang judulnya “Berubahlah.. BABI !!” ya. Yang menceritakan tentang sulitnya orang mengubah kebiasaannya. Kurang lebih ceritanya begini   :

Tersebutlah seorang lelaki dengan kelainan unik yang dideritanya. Kelainan itu sangat mengganggu dan kini malah membahayakan kariernya. Setiap disuruh menuliskan nama, selalu saja tanpa sengaja dia menuliskan kata “BABI”. Entah darimana awalnya kebiasaan itu bermula, yang jelas kebiasaan itu kini telah lebih dari sekedar berurat akar, ia telah menjelma menjadi monster. Karena telah demikian frustasi, si pria akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke psikiater. Berbagai analisa kejiwaan pun dilakukan. Kesimpulannya ? simple. “Tangan kanan Anda tampaknya iri dengan tangan kiri nya. Betapa tidak, jam tangan dan cincin berada ditangan kiri Anda, sedangkan tangan kanan hanya kebagian kerja”, ujar psikiater tenang. Mereka berdua sepakat memindahkan jam si pasien dari tangan kiri ke tangan kanan, sementara tangan kiri tetap kebagian cincin. Biar adil. Secarik kertas dan pulpen diberikan kepada si pasien, dan psikiater itu menyuruh nya menuliskan “namanya” disana. Pergulatan hebat terjadi. Tangan yang gemetar, keringat bercucuran, urat-urat birupun bermunculan, menandakan tidak mudah melakukan tugas sederhana itu. Singkat cerita setelah satu jam berlalu, akhirnya tertulislah kata “Prakoso” di kertas itu. Dia berhasil ! Si pasien telah sembuh, dan psikiaterpun merasa terharu dan bangga. “Nah Anda sudah sembuh” , ujar psikiater bersemangat, “Nih..lihat…”Pra-ko-so”..nama Anda. Coba baca tulisan ini”. Si pasien tertawa.. mengangguk-angguk.. kemudian membaca tulisannya sendiri…  “B A B I” ujarnya kalem..

Ketika ada hal yang mengharuskan untuk mengubah kebiasaan & cara pandang kita terhadap hal tertentu kenapa kita selalu ada kecenderungan apriori dulu? Wong padahal ya belum dijalani. Memangnya sudah pasti kalau hal/kebijakan/kebiasaan baru itu pasti nantinya akan memberatkan? Pasti akan merugikan? Pasti memberikan dampak yang kurang baik buat kita? Belum tentu juga kan? Ok, saya pribadi sepakat dan percaya bahwa tidak ada shortcut untuk berubah. Tapi bukan berarti bahwa setiap perubahan itu sangat sulit, cenderung mustahil atau selalu memerlukan waktu yang lama (meskipun kadang bener juga sih, apalagi kalau sudah yang menyangkut namanya mengubah kebiasaan/mindset yang sudah tertanam sejak kecil, mengubahnya pasti sulit. Hanya orang itu & Tuhan yang tahu kapan bisa berubah  😀 ). Tetapi yang ingin saya garis bawahi disini adalah untuk berubah utamanya memang memerlukan niat yang bulat, kesungguhan dan keikhlasan.

Perubahan itu larinya ke masing-masing pribadi kita juga kok. Mengubah cara pandang. Mengubah sesuatu yang dalam pandangan kita negatif, apriori, berubah jadi positif & lebih optimis. Kalau selama ini kita merasa terbebani ketika kita harus melakukan sebuah perubahan yang “mengusik zona nyaman” kita, coba deh ambil sisi positifnya aja dulu. Contoh nih ya, ketika oleh pihak management kita diberikan tugas & tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya ya itu berarti management percaya bahwa kita capable, kita mampu. Jadi, sudah saatnya kita juga percaya akan apa yang kita punya, pada kemampuan diri sendiri.

Perubahan kebiasaan, perubahan ritme kerja, perubahan apapun itu yang sifatnya positif & harus dilakukan memang di awal akan terasa berat dan memerlukan niat yang bulat. Soal jangka waktunya mau berapa lama ya tergantung kita sendiri. Tapi yang pasti tidak ada sesuatu yang tidak akan kita peroleh dari perubahan itu. Apapun hasilnya anggaplah itu sebagai sebuah achievement  buat kita. Selama perubahan itu untuk sesuatu yang positif ya why not tho?  🙂

 [devieriana]

Continue Reading

Be careful of your thought ..

 

thought

 

 

“Be careful of your thoughts, for your thoughts inspire your words. Be careful of your words, for your words precede your actions. Be careful of your actions, for your actions become your habits. Be careful of your habits, for your habits build your character. Be careful of your character, for your character decides your destiny.”

– Chinese proverb –

 

Dulu, kedua orangtua saya pernah berkata, “you are what you eat”, kamu adalah apa yang kamu makan, ketika melihat semakin banyak tetangga/kerabat kami yang sakit karena tidak mengatur pola makannya & makanan apa saja yang masuk ke perutnya. Awalnya saya cuma melihat hal itu sebagai “sebatas nasehat  semata”, walau dalam hati sih mengiyakan.

 

Ketika sudah menginjak dewasa (alaah..), ada lagi kata-kata yang menyebutkan “we are what we think”. Lama nih mikirnya (maklum kadang kan suka asal loading aja, gak connect-connect). Arti kata-kata ini apa yah? Baru setelah waktu berjalan saya mulai “ngeh” sama kata-kata ini. Kesimpulan saya   :

 

If you believe yourself to be successful, you are.
If you think you have nothing to live for, you won’t.

 

 

So, be careful..  😉

 

 

 

picture source   :    here

Continue Reading

Fear : Out Of The Comfort Zone ..

Pernah ga sih kita berada dalam kondisi “takut” terhadap sesuatu yang baru? Entah itu lingkungan baru, pekerjaan baru, teman baru, lokasi baru, habit baru, perspektif baru, hidup baru? Ketakutan yang setelah dijalani ternyata berbuntut “oalah”?  “Oalah, ternyata aku bisa tho.. Oalah, ternyata cuma begini aja.. Oalah, ternyata sama aja kaya kemarin.. Oalah, ternyata begini..begitu.. Oalah, ternyata enak juga ya”. Dan masih banyak sejuta “oalah” lainnya. Pasti pernah kan? Ga mungkin kalau sampai ga pernah 😀

Khawatir dan takut adalah dua hal yang berbeda, sekalipun nyaris mirip. Rasa takut punya objek yang jelas, contoh : saya takut sama tikus, saya takut sama bos saya yang galak, saya takut sama hantu. Tetapi khawatir  tidak, lebih abstrak. Ada perasaan tak menentu terhadap sesuatu yang tak jelas. Ketakutan, paranoid terhadap sesuatu yang asing, sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dijalani sebelumnya itu pasti pernah dirasakan semua orang. Punya rasa seperti itu wajar-wajar saja. Tapi jika berlebihan dan sudah mengganggu, itu namanya sudah tak wajar. Kekhawatiran sifatnya hanya sementara, karena ketika kita sudah involve di dalamnya kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti & menjadi sesuatu yang biasa, yang menyenangkan, yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Kekhawatiran yang diciptakan oleh pikiran. “Aduh, besok mau kerja di tempat yang baru nih, Duh, bisa ga ya gue? Kira-kira nanti temennya asik-asik kaya di tempat kerjaku yang lama ga ya? Lingkungan kerjanya nanti kondusif ga ya? Kerjaan gue tar sulit ga ya?” dan sejuta pertanyaan paranoid yang lain, padahal ya belum tentu, wong belum dijalani 🙂

It is about worry,  about “what if  I couldn’t?”. Terus, gimana dong biar kita ga kuatir lebay lagi?  🙁  . Ini sebagian tips yang pernah saya praktekkan ya, siapa tahu bisa berguna juga. Lumayan working juga kok   🙂    :

1. Beranilah keluar dari zona nyaman.

Pada saat kita sudah merasa nyaman dengan posisi/keadaan kita sekarang membuat kita sulit menerima hal-hal baru. Jangankan kita yang pindah tempat, menerima orang baru saja pasti juga bukan hal yang mudah kan? Belum-belum sudah paranoid duluan tentang kepribadian seseorang, “aduh, ni orang asik ga ya? bisa ga sih nanti dia jadi bawahan/atasan gue? enak diajak temenan gak ya?”. Atau ketika ada peraturan baru yang jauh lebih mengikat pasti protes duluan kan? Karena apa, ya itu tadi sudah terlanjur merasa nyaman dengan kondisi sebelumnya. Semua pasti butuh penyesuaian. Terus siapa yang harus menyesuaikan, kita atau lingkungan? Jelasnya sih kita ya. Ga mungkin lingkungan yang menyesuaikan kita. Seperti beberapa waktu yang lalu saya sempat ngobrol dengan salah seorang teman yang lumayan zaakelijk (baca : saklek, tanpa kompromi) , memandang dirinya tidak perlu berubah, maunya begini ya harus begini, lingkungan yang harus bisa menerima dia yang seperti itu. Ya ga bisa begitu juga kan. Suatu saat kita butuh untuk zaakelijk, tapi di saat yang lain kita juga dibutuhkan untuk bersikap luwes, bisa menyesuaikan dengan situasi yang ada.

2. Jangan biarkan kekhawatiran menguasai pikiran kita.

Coba tulislah apa yang kita khawatirkan di atas secarik kertas. Tulis dengan jelas. Tulisan setidaknya bisa kita jadikan alasan berbagi, ketika kita tidak bisa menceritakan apa yang kita khawatirkan pada orang lain. Orang yang tahu kekhawatiran kita akan memberikan solusi. Dengan demikian, kita akan tahu dan mampu membedakan mana yang pantas dikhawatirkan dan mana yang tidak.

3. Buatlah daftar tindakan yang seharusnya kita lakukan secara spesifik.

Setelah itu, lakukan tindakan itu. Lakukan mulai dari hal yang kita anggap paling kecil, sederhana, remeh temeh. Lakukan step by step sampai semua daftar “keharusan” kita itu selesai. Cara ini lumayan dapat membantu kita untuk fokus pada hal yang lebih besar, yang lebih banyak membutuhkan perhatian kita.

4. Take a deep breathe.

 Tenangkan hati & pikiran agar bisa menjernihkan pikiran & logika.

5. Think Positive

Memberikan sugesti pada diri sendiri bahwa kita akan mampu kok menjalani apa yang akan kita jalani. Kita mampu menyelesaikan permasalahan dan akan mencapai tujuan yang kita inginkan. Ini bukan masalah percaya/tidak ya, tapi persoalan keyakinan dan proses struggling. Isi pikiran kita dengan hal-hal positif setiap hari.

6. Tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras

Tidak ada sesuatu yang akan terjadi jika kita hanya memikirkannya & do no action . Mereka yang gagal terus menerus keebanyakan pikirannya diliputi oleh kekhawatirannya yang semakin bertambah dari waktu ke waktu & ketika mereka memikirkannya tanpa melakukan tindakan apa pun. Sebaliknya, orang-orang yang berhasil adalah orang-orang yang memperlajari hal-hal yang baru, kemudian langsung menerapkannya. Sehingga apabila mereka salah, mereka akan langsung dapat menelusuri letak kesalahannya dan memperbaikinya sampai berhasil.

So, siapkah kita memasuki dunia, kondisi & lingkungan yang baru? Buka hati, buka mata & buka pikiran, bahwa dunia yang sudah kita pilih ini adalah dunia yang menyenangkan. Always positive thinking, itu yang akan membuat kita lebih relieve, lebih mudah menerima kondisi yang berbeda dengan sebelumnya & berkarya lebih maksimal. Ketakutan itu hanya bersifat sementara, kalau bahasa telekomunikasinya nih : temporary network problem 🙂 . Kita yang menciptakan, kita pula yang bisa menghilangkannya 🙂

Have a good day  🙂

* dedicated for a friend who will walk the new path, mmh.. in a better place I guess, good luck for you 🙂 *

 [devieriana]

Continue Reading