Don't Judge the book from it's cover ..

Seringkali kita terjebak & terpesona oleh tampilan luar, fisik yang menarik, kemasan yang aduhai. Padahal belum tampilan luar sebagus isinya & disitulah kita seringkali tertipu. Kadang kita hanya mau menerima seseorang yang sama dengan kita, yang sejajar, yang selevel dengan kita. Mengecilkan keberadaan orang lain yang kita anggap aneh & tak sepadan.

Sebenarnya ini adalah posting lama di blog saya, yang menceritakan tentang seorang unemployment bernama Susan Boyle, seorang wanita usia 47 tahun yang nekad mengikuti ajang pemilihan Britain Got Talent 2009. Jika melihat tampilan fisiknya yang “enggak banget” siapapun bakal mikir, “dih, emang situ bisa apa sih? Apa? nyanyi? Yakin suara kamu bagus? Kagak kalah bagus sama kaleng rombeng?”, sambil melihat dengan sinis dari atas kebawah. Sama halnya dnegan kita yang saat pertama kali memandang seseorang yang di mata kita kurang ok, aneh, atau pandangan underestimate yang lain, banyak kalangan yang mencibir & meremehkan penampilan Susan yang jauh dari cantik (jika kita melihat dengan ukuran & kacamata calon artis, calon superdiva, calon selebritis, calon mahabintang atau superstar yang idealnya ya pasti dari segi fisik ada selling point-nyalah : cantik, langsing, enak dilihat, fabulous).

Tapi apa yang terjadi setelah beberapa waktu mereka merendahkan Susan? Membuat komentar miring, mentertawakan, dll. Apa reaksi mereka ketika Susan mulai menyanyi? Ekspresi mereka bukan hanya ternganga, kagum, tapi juga sampai rela memberikan standing applause untuk suaranya yang dahsyat, tak terkecuali para juri yang tadinya juga memandang sebelah mata. This reality show was so inspiring. Menyadarkan mata banyak orang bahwa tak selamanya yang terlihat buruk itu pasti buruk. Tak selamanya seseorang yang berpakaian kumal, sangar & bertato itu pasti penjahat. Tak selamanya orang yang lemah itu terlihat selemah apa yang kita sangka.

Belajar menerima seseorang in a whole package, lengkap dengan segala kelebihan & kekurangannya. Karena dibalik kekurangan pasti ada kelebihan yang kita tidak sangka-sangka.

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=deRF9oEbRso&hl=en_US&fs=1&rel=0]

I dreamed a dream in time gone by
When hope was high and life worth living
I dreamed that love would never die
I dreamed that God would be forgiving

Then I was young and unafraid
And dreams were made and used and wasted
There was no ransom to be paid
No song unsung, no wine untasted

But the tigers come at night
With their voices soft as thunder
As they turn your hope apart
As they turn your dreams to shame

And still I dream he’d come to me
That we would live the years together
But there are dreams that cannot be
And there are storms we cannot weather

I had a dream my life would be
So different from the hell I’m living
So different now from what it seemed
Now life has killed the dream I dreamed

(I Dreamed A Dream – Les Miserables)

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Maaf, level kita beda..

foto20080710085619-news

Pagi tadi ketika saya baru turun dari motor & melepaskan helm, melintas didepan saya seorang bapak renta mendorong gerobak barang loakan. Sudah cukup renta, punggungnya bungkuk, badannya kurus, tapi ada yang tak biasa yang saya lihat dari pancaran wajahnya.. dia tersenyum & terlihat menikmati sekali pekerjaannya. Walau saya yakin kehidupan seperti itu diluar kuasanya, diluar kehendak & kemauannya. Sedikit trenyuh saya melihatnya, tapi di sisi lain saya kagum ada orang serenta itu masih ada semangat mencari nafkah. Padahal seharusnya dia sudah menikmati kehidupan masa tuanya bersama anak cucunya.

Itulah sekilas pemandangan mengharukan yang saya lihat pagi ini. Kalau soal kelas masyarakat seperti kakek itu di Indonesia saya yakin banyak sekali. Mereka hidup alakadarnya, jangankan punya rumah, bisa makan sehari sekali saja rasanya sudah bersyukur sekali.

crocs-jpg

Tapi saya kembali tercengang ketika beberapa hari yang lalu ketika di salah satu channel berita di televisi menayangkan betapa panjang antrian menuju ke salah satu toko sepatu yang  berasal dari USA. Pengunjung rela antri & berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan sepatu CROCS yang telah didiskon sebesar 70%, padahal sih kalau menurut saya sih (maaf mungkin saya seleranya agak kampung ya jadi kurang bisa menilai mana sepatu keren, mana yang bukan)  modelnya biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya dengan model sepatu itu.  Toh kalau sudah dipakai apa iya orang lain sampai se-aware itu mengenali brand sepatu tertentu? Kecuali pengamat mode atau kolektor barang-barang branded mungkin ya..

Ironis sekali dengan pemandangan antrian warga miskin yang sedang mengantri pembagian Bantuan Langsung Tunai. Hanya demi Rp 200.000,-  s/d Rp 300.000,- mereka rela mengantri berjam-jam bahkan ada yang sampai pingsan kelelahan. Jangankan untuk berpikir membeli sepatu, nama mereka tercantum dalam daftar penerima BLT saja mereka sudah senang sekali, karena itu adalah harapan mereka bisa memenuhi sedikit kebutuhan hidup mereka dalam beberapa hari ke depan.

Pernah saya berdiskusi dengan salah seorang sahabat saya tentang tingkat kemiskinan di Indonesia.  “Aku heran, sebenarnya negara kita itu negara miskin atau kaya sih? Ngakunya bukan negara kaya, tapi bisa ngantri beli I-phone ataau Blackberry & barang-barang branded lainnya..”.  Demikian komentar sahabat saya ketika saya bercerita tentang antusiasme pelanggan ketika membeli gadget keluaran terbaru milik perusahaan tempat saya bekerja saat ini. Jujur saya bingung mau menjawab apa. Kalau menurut teori diatas kertas dengan kenyataannya di lapangan memang jauh berbeda. Apalagi saat melihat daya beli masyarakat & tingkat kebutuhan barang-barang bermerk di negara kita cukup tinggi.

Ada lho teman saya yang kalau barang-barangnya kurang berkelas rasanya kurang puas, dengan alasan : “aku kan butuh penampilan & image, darliiing. Ini untuk tandatangan buku aku…”. Bayangkan, hanya untuk sebuah pena saja dia rela merogoh kantong kisaran Rp 6 juta sepasang. Tak heran karena pulpen yang saya maksud adalah keluaran Mont Blanc Meisterstück 149 Fountain Pen dengan  mata pena terbuat dari emas 18 karat. Atau benda-benda branded lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan disini satu-persatu lantaran terlalu banyak & belum tentu semuanya familiar dengan merk itu. Anyway, memangnya beda ya hasil tandatangan antara paakai pulpen merk PILOT dengan Mont Blanc?

Saya sih sadar ya,  tingkat ekonomi, profesi, status sosial, pergaulan masing-masing orang pasti beda, dan itulah yang menentukan kelas & strata masing-masing orang di lingkungan sosialnya. Kita yang pandai-pandai menyesuaikan  & membawa diri ke lingkungan mana kita akan berdiri.

Bukan berarti saya setuju dengan kelas-kelas sosial yang ada sekarang ya.. tapi lebih menjaga supaya bisa lebih relaks ketika bergaul dengan lingkungan yang sesuai dengan kita. Maksud saya begini : ketika kita yang termasuk kalangan rata-rata ini (saya bilang rata-rata karena kan tidak semuanya kalangan high end)  masuk ke dalam lingkungan high end yang namanya rasa minder, malu, kurang percaya diri itu pasti ada (saya pakai sudut pandang “rata-rata” ya. Kalau kebetulan Anda fine-fine saja blended di lingkungan sosial manapun ya tidak masalah). Ujung-ujungnya apa? Kurang nyaman kan saat berada bersama mereka? Obrolan kurang “nyambung” karena topiknya berbeda dengan yang biasa kita obrolkan bersama teman-teman di lingkungan kita, atau mungkin yang dibahas sudah out of space-nya kita. Jadilah kita kurang tune in dengan mereka. Kalau cuma sekedar kurang percaya diri sih masih mending. Kalau ujung-ujungnya kita sampai ingin menjadi seperti mereka, dengan gaya hidup yang sama persis bagaimana? Apa ga ngoyo namanya? Sementara uang di kantong pas-pasan tapi kita “ngebet” ingin beli I-phone seperti salah satu teman di lingkungan itu, contohnya seperti itu. Atau, kita yang hanya seorang staff di kantor yang biasa-biasa saja tapi berhubung kita “gaulnya” dengan teman-teman yang suka pakai baju keluaran Michael Kors & stiletto  keluaran Manolo Blahnik atau Jimmy Choo, misalnya. Ya jelas tidak akan pernah sampai. Seperti yang saya bilang tadi, ngoyo yang ujung-ujungnya stress..

Kaya-miskin, strata/status sosial, semuanya hanyalah status semu manusia di dunia yang fana ini. Tuhan tidak pernah menilai seseorang dari tingkat kekayaannya, status sosialnya, banyaknya barang bermerk yang dia miliki. Tapi lebih melihat what you have inside. Semua yang saya sebutkan tadi hanya titipan-Nya. Harta benda, anak, jabatan, status sosial, semuanya adalah titipan Tuhan. Dia berhak meminta dari kita sewaktu-waktu, mencabutnya seperti pohon yang tercerabut dari tanah, menimpakan musibah ketika umatnya mulai lalai.

[devieriana]

picture source : http://foto.inilah.com/topik.php?id=3188

Continue Reading

Read their body language ..

 

body-language-chin

 

 

Manusia menggunakan dua cara dalam berkomunikasi dengan yang lainnya. Yang pertama adalah dengan bahasa verbal. Yaitu apa yg saling kita bicarakan atau katakan dan sesuatu yang dapat kita tangkap melalui pendengaran. Cara lainnya adalah dengan bahasa non-verbal atau dengan sebutan bahasa tubuh.

 

Menurut wikipedia : merupakan proses pertukaran pikiran dan gagasan dimana pesan yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan, artifak (lambang yang digunakan), diam, waktu, suara, serta postur dan gerakan tubuh.

 

Dalam beberapa buku sudah dibahas tentang ciri-ciri orang yang “berkomunikasi” dengan bahasa tubuh. Memang ada kalanya benar, tapi ada juga yang kurang tepat, apalagi jika orang tersebut pandai bersandiwara, menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan. Jadi kalau in my opinion.. ini menurut pendapat saya aja ya.. buku panduan itu belum bisa dijadikan standar referensi 100% juga sih karena dalam kenyataannya pasti terjadi deviasi. Ya kalau cuma sekedar sebagai tambahan pengetahuan & untuk membuktikan “eh bener ga sih? kalau bahasa tubuhnya begini, artinya begini?”, ya bolehlaaah.. 🙂 . Pembacaan bahasa tubuh banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya digunakan ketika melakukan interview kerja, melakukan test kebohongan, melakukan penyelidikan, dll. Tapi juga ketika ingin mengetahui apakah seseorang tertarik dengan kita, tertarik dengan topik pembicaraan yang kita bawa, suka dengan attitude kita, dll.

 

Seperti beberapa hari yang lalu salah seorang sahabat saya mengeluh ketika ada seorang wanita yang sebenarnya tidak dia kehendaki mendekati dia, melakukan approach-lah istilahnya. Sebenarnya rekan saya sudah memberi sinyal penolakan secara halus, memberikan sinyal ketidaknyamanan, risih & sejenisnya, tapi rupanya si  “mbak” ini kurang peka membaca sinyal yang dilontarkan sahabat saya. Hmm… susah juga ya kalo kaya gini 🙁

 

Sebagai seorang trainer, interviewer, saya banyak berhadapan dengan macam-macam tipe pribadi manusia.  Apalagi saat memberikan materi yang menurut saya agak sulit atau membosankan, saya mencoba mengukur sampainya penyampaian materi saya dengan melihat gesture peserta training saya. Jika sudah ada gearakan-gerakan mencurigakan yang mengarah pada kebosanan, segera saya alihkan pada permainan, jokes, atau break sebentar sekadar mengurangi kebosanan & saya alihkan ke sesi tanya jawab yang bisa membuat otak lebih terangsang untuk lebih aktif. Sejauh ini sih it works ya. Pun halnya ketika melakukan interview, saya harus jeli melihat profil kandidat calon karyawan ini apakah berpotensi ke arah negatif atau tidak, cepet nyambung/gak ketika kita sodori pertanyaan, dll.

 

Bersikap peka, sangat diperlukan dalam membaca bahasa tubuh seseorang. Ada kalanya seseorang sudah menyampaikan sinyal penolakan yang jelaspun masih saja lawan bicara kurang peka menerima sinyal itu sebagai penolakan (atau jangan-jangan dia memang tidak mau menerima penolakan tersebut?). Sampai saking geregetannya si sahabat berkata, “duuh, rese banget nih orang, ga ngerti apa ma bahasa tubuhku? annoying banget. Kalau dia bukan temenku sih udah aku ketusin dari tadi..  🙁  “

 

Kadang susah juga ya kalau sudah berkaitan dengan perasaan. Hanya karena supaya tidak ingin menyinggung perasaan orang tersebut kita akhirnya membohongi diri sendiri, hanya sekedar supaya lawan bicara tidak tersinggung, supaya dia senang, padahal batin kita tersiksa. Menurut saya sih jadinya malah suatu upaya yang sia-sia …

 

Okelah, membuat orang lain senang/bahagia itu bagus, bagian dari ibadah. Tapi kalau perasaan kita sendiri justru jadi korbannya, ya ga fair juga kan? Menurut saya sih tetap harus ada win-win solution. Yang menguntungkan 2 belah pihak. Kalau mau ngomongin sakit ya pasti salah satu diantara mereka pasti ada yang sakit, namanya juga menerima sesuatu yang diluar ekspektasi. Tapi at least berusaha jujur dengan diri sendiri menurut saya itu juga akan membuat kita lebih relieve, lebih enjoy. Sepahit apapun kenyataannya kalau memang harus dibicarakan ya.. kenapa enggak? Mending dia tahu langsung dari kita daripada tahunya dari orang lain, apa gak malah lebih runyam?

 

Jadi, selagi masih bisa dikomunikasikan, silahkan dikomunikasikan. White lie, memang kadang diperlukan dalam kita berinteraksi dengan orang lain/pasangan/sahabat. Tapi jika kita sendiri merasa tidak nyaman, buat apa harus dipaksakan? Jadi, biar kitanya juga ga “ngarep” terlalu banyak, kepekaan kita juga harus mulai sedikit demi sedikit mulai diasah. Kita memang bukan Mama Laurent atau Deddy Corbuzier yang bisa membaca pikiran orang tapi berusaha untuk lebih mengerti & membaca situasi sekitar kita itu yang saya rasa lebih tepat..  🙂

 

 

Continue Reading

Empati : Perasaan diri yang tulus ..

empathy

 

Empati boleh dibilang ialah fondasi dari semua interaksi hubungan antar manusia. Karena memiliki kemampuan merasakan kondisi emosional orang lain, maka dari itu kita baru bisa merajut hubungan yang akrab dengan orang lain.

 

Empati (dari Bahasa Yunani yang berarti “ketertarikan fisik”) didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.

 

Contoh : Si Tono yang sedang dilanda gelisah lantaran masalah pekerjaan. Sepulang kerja, pacarnya mengajak keetemuan untuk ngobrol & jalan-jalan bersama, namun pacarnya yang teliti sempat mendeteksi bahwa hari ini Si Tono sedang tidak mood, sehingga si pacar menunda keinginannya untuk jalan-jalan dan sebagai gantinya mengajak Tono bertukar curahan hati. Jika pacar si Tono tidak peka, maka reaksinya pasti cemberut, ngambeg lantaran Tono tidak antusias ketika diajak jalan-jalan. Sudah bisa ditebak kan, mana wanita yang menjengkelkan, dan mana wanita yang bisa membuat Tono lebih tenang?

 

Seiring dengan kehidupan materi yang semakin lama semakin maju, orang zaman sekarang semakin lama semakin terlalu mementingkan penonjolan karakter ego dan bersifat kritis. Tidak hanya pada anak muda, tapi hampir semua kalangan, tidak pandang usia. 

 

Ketika kita bisa menempatkan diri secara tepat, bagaimana harus bersikap & bertingkah laku maka orang akan jauh lebih respek kepada kita. Misalnya : dalam forum publik, sudah sewajarnya kita yang harus lebih banyak peduli dengan perasaan orang lain, berbicara terlalu direct , tanpa tedeng aling-aling bisa dengan cepat menyulut kemarahan oarng lain. Tapi jika misal kita ada di forum reuni atau acara kumpul-kumpul bersama sahabat, jika kita yang terlalu hati-hati malah nantinya disangka kita menjauh.

 

Itulah yang sering saya rasakan ketika saya berhubungan dengan orang lain. Mencoba berusaha tune in dengan perasaan & mood orang lain. Kebetulan karena saya bekerja di bidang jasa pelayanan sehingga pernyataan “empati” ini adalah hal wajib yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di bidang pelayanan publik. Berangkat dari pekerjaan, tersambung ke keseharian. Memang awalnya sulit, “ah, masa bodohlah.. derita lu! Kamu  juga belum tentu ngerasain apa yang aku rasain. Mending kalo kamu ngerti masalahku apaan..Ke laut aja sono!! “. Itu awalnya. Tapi lama-kelamaan saya coba reframing, coba menempatkan posisi saya di posisi mereka. Coba mengerti apa yang mereka rasakan, if I were them.

 

Tapi kadang memang empati itu tidak bisa diterapkan oleh orang lain, instantly. Kebanyakan baru sampai pada tahan iba & kasian, belum sampai ke tahap “empati”. Saya pernah menangis melihat salah seorang korban Situ Gintung yang harus kehilangan anak & istri hanya dalam hitungan detik, ketika air bah Situ Gintung meluluhlantakkan lingkungan sekitarnya. Saya membayangkan jika lelaki itu adalah saya. Jika saya yang harus membopong jenazah anak saya, jika saya yang harus menyaksikan istri saya terbujur kaku tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan.

 

Saya sering merasakan empati kepada orang lain, tapi sayangnya orang lain tidak semuanya mencoba empati kepada saya. Bahkan ada yang ujung-ujungnya malah mencela ketika saya mengalami kesulitan. Tapi ya sudahlah tak apa, saya bisa mengerti. Tingkatan empati seseorang dengan orang lain bisa saja berbeda-beda. Toh dalam hidup kan ga semuanya satu sama lain harus sama, harus persis, harus searah.

 

Hanya mencoba untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga kita tahu bagaimana kita harus bertingkah laku/berhadapan/memperlakukan orang lain sesuai dengan kondisi & situsi saat itu. Belajar membedakan sikon yang bagaimana seharusnya banyak ber-empati terhadap orang lain dan pengendalian diri, sikon yang bagaimana seharusnya mengekspresikan diri dengan tulus dan komunikasi tanpa tedeng aling-aling. Ketika kita telah berhasil mempelajari hal ini, di dalam suatu grup kita akan memperoleh pengakuan secara luas, diantara kawan-kawan & memperoleh persahabatan yang tulus.. 🙂

 

 

 

Continue Reading

Be Proactive ..

Hari ini entah apa yang sedang terjadi dengan (lagi-lagi) sahabat saya. “Aura”-nya saya rasakan sedang dalam kondisi yang kurang nyaman, kurang semangat. Bisa saya rasakan dari cara berbincangnya, gaya bahasanya, saya kenal betul dengan karakternya. Sejenak saya mengkoreksi diri sendiri apakah saya sudah melakukan kesalahan.. Ya namanya manusia, kita kan ga pernah sengaja kalau kita sudah melakukan kesalahan terhadap orang lain.

 

Tapi jujur saya merasakan perubahan yang signifikan akhir-akhir ini terhadap sikap & moodnya dia. Gampang sekali up & down-nya. Kadang saya melihat ada persamaan sifat-sifat tertentu saya dengannya, hehehehhe.. Tapi kita mencoba untuk mengimbangi. Ketika saya down dia yang menyemangati saya, menghibur saya. Ketika dia down saya yang gantian menghibur, memberikan dia semangat, andai saya bisa carikan solusi saya akan coba carikan semampu saya. Baik banget kan saya? hehehehe.. 😀

 

Saya suka mengamati orang lain. Tanpa kita sadari saat kita melakukaan kesalahan dengan mudah kita menyalahkan orang lain/keadaan/lingkungan, emosi & mood  mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Jika lingkungan sedang tidak enak, kita jadi ikut terpengaruh tidak enak. Intinya kita yang dikontrol oleh mood, bukan kita yang mengkontrol mood. Mungkin saya juga pernah seperti itu (baca : sering) 😀

 

Saya pernah membaca & pernah berdiskusi dengan salah seorang sahabat saya yang lain mengenai buku fenomenal Steven Covey, 7 Habits of Highly Effective People. Poin perpoin kami diskusikan bersama. Dan, ternyata ada hal yang slapped me much.. Yaitu : poin pertama bahasan di buku itu : BE  PROACTIVE

 

Baiklah, sekedar mereview poin-poin dalam buku tersebut :

habit 1 – be proactive
This is the ability to control one’s environment, rather than have it control you, as is so often the case. Self determination, choice, and the power to decide response to stimulus, conditions and circumstances. –> ini nih yang bikin saya ketampar, saya yang suka menyalahkan keadaan, mood yang berubah-ubah karena menurut saya lingkungan sayalah yang salah sehingga mood saya sering berantakan. Moga-moga sekarang lebih berkurang dibanding sebelumnya.. 😀

habit 2 – begin with the end in mind
Covey calls this the habit of personal leadership – leading oneself that is, towards what you consider your aims. By developing the habit of concentrating on relevant activities you will build a platform to avoid distractions and become more productive and successful.

habit 3 – put first things first
Covey calls this the habit of personal management. This is about organising and implementing activities in line with the aims established in habit 2. Covey says that habit 2 is the first, or mental creation; habit 3 is the second, or physical creation.

habit 4 – think win-win
Covey calls this the habit of interpersonal leadership, necessary because achievements are largely dependent on co-operative efforts with others. He says that win-win is based on the assumption that there is plenty for everyone, and that success follows a co-operative approach more naturally than the confrontation of win-or-lose.

habit 5 – seek first to understand and then to be understood
One of the great maxims of the modern age. This is Covey’s habit of communication, and it’s extremely powerful. Covey helps to explain this in his simple analogy ‘diagnose before you prescribe’. Simple and effective, and essential for developing and maintaining positive relationships in all aspects of life. (lihat tentang the Johari Window –> Joseph Luft dan Harrington Ingham , mengembangkan konsep Johari Window sebagai perwujudan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain yang digambarkan sebagai sebuah jendela. ‘Jendela’ tersebut terdiri dari matrik 4 sel, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat sel tersebut adalah daerah publik, daerah buta, daerah tersembunyi, dan daerah yang tidak disadari)

johariwindow

Keterangannya gini :

Open area adalah informasi tentang diri kita yang diketahui oleh orang lain seperti nama, jabatan, pangkat, status perkawinan, lulusan mana, dll. Ketika memulai sebuah hubungan, kita akan menginformasikan sesuatu yang ringan tentang diri kita. Makin lama maka informasi tentang diri kita akan terus bertambah secara vertical sehingga mengurangi hidden area. Makin besar open area, makin produktif dan menguntungkan hubungan interpersonal kita.

Hidden area berisi informasi yang kita tahu tentang diri kita tapi tertutup bagi orang lain. Informasi ini meliputi perhatian kita mengenai atasan, pekerjaan, keuangan, keluarga, kesehatan, dll. Dengan tidak berbagi mengenai hidden area, biasanya akan menjadi penghambat dalam berhubungan. Hal ini akan membuat orang lain miskomunikasi tentang kita,  yang kalau dalam hubungan kerja akan mengurangi tingkat kepercayaan orang

Blind area yang menentukan bahwa orang lain sadar akan sesuatu tapi kita tidak. Misalnya bagaimana cara mengurangi grogi, bagaimana caranya menghadapi dosen A, dll. Sehingga dengan mendapatkan masukan dari orang lain, blind area akan berkurang. Makin kita memahami kekuatan dan kelemahan diri kita yang diketahui orang lain, maka akan bagus dalam bekerja tim.

Unknown area adalah informasi yang orang lain dan juga kita tidak mengetahuinya. Sampai kita dapat pengalaman tentang sesuatu hal atau orang lain melihat sesuatu akan diri kita bagaimana kita bertingkah laku atau berperasaan. Misalnya ketika pertama kali seneng sama orang lain selain anggota keluarga kita. Kita tidak pernah bisa mengatakan perasaan “cinta”. Jendela ini akan mengecil sehubungan kita tumbuh dewasa, mulai mengembangkan diri atau belajar dari pengalaman.

habit 6 – synergize
Covey says this is the habit of creative co-operation – the principle that the whole is greater than the sum of its parts, which implicitly lays down the challenge to see the good and potential in the other person’s contribution.

habit 7 – sharpen the saw
This is the habit of self renewal, says Covey, and it necessarily surrounds all the other habits, enabling and encouraging them to happen and grow. Covey interprets the self into four parts: the spiritual, mental, physical and the social/emotional, which all need feeding and developing.

 

Nah, yang pengen saya garisbawahi adalah kebanyakan kita nih yang suka dikontrol oleh keadaan, kita yang dikontrol oleh lingkungan. Kalau ada yang kurang enak di hati nih, langsung ngaruh ke mood, emosi (heheh.. saya juga masih begitu, tapi lately saya belajar untuk ga gitu lagi kok.. 🙂   ).  Semoga tulisan ini dibaca oleh sahabat saya. Saya ga tahu masalah kamu apa, mungkin kamu sekarang ada di HIDDEN AREA. Ok, tapi tak apalah, saya coba pahami itu karena tidak semua hal saya boleh/perlu tahu kan? 🙂 . Jangan kelamaan BT-nya ya..  jadi gak asik tau ga?

 

Hope you’ll be fine soon ya.. 🙂

 

 

 

Continue Reading