Drama itu bernama Long Weekend

mood-swing

Seperti umumnya perempuan, pasti akan mengalami masa datang bulan. Dan, seperti biasa juga, pasti kita akan mengalami yang namanya mood swing alias mood senggol bacok a.k.a supersensitive. “Ah, siapa bilang? Aku lempeng-lempeng aja, kok…”. Sini, berantem sama saya, yok! Hahaha…

Seperti bulan ini misalnya, seminggu sebelum datang bulan, saya sudah ‘mengendus’ bau-bau sensi dan nafsu makan yang gila-gilaan. Sudah makan nasi, masih makan roti. Sudah makan roti masih juga ngembat buah. Istirahat sebentar, eh ngemil keripik singkong. Habis keripik singkok, dilanjut Belvita. Tidur. Bangun-bangun makan cincau. Habis itu nimbang. Eh, kaget sendiri karena jarum timbangan mengarah ke kanan menjadi 52 kg, setelah sebelumnya 48-49 kg. Itu kayanya yang 3 kg selain camilan, juga mengandung emosi deh, karena kalau sudah selesai datang bulan ya berat badan kembali ‘normal’.

Nah, 3 hari libur kemarin itu jadi masa yang penuh drama buat saya. Kami memang sengaja tidak pergi ke mana-mana selain ke Superindo untuk belanja bulanan, selebihnya di rumah saja, main sama Alea dan jadi ibu rumah tangga sejati. Ciyeee, sejati. Kaya ibu kita Kartini. Putri Sejati. Nggak ke mana-mana selama long weekend itu sebenarnya ada positifnya juga sih, saya jadi punya quality time sama keluarga, utamanya sih sama Alea. Mulai nonton youtube/film bareng, main masak-masakan bareng, bikin bubble dari air sabun, atau mainan play dough dari tepung terigu. Ada waktu juga buat masak ala kadarnya buat Alea dan papanya, beberes lemari yang selama ini cuma janji palsu. “Iya, tenang, nanti aku beresin…”. Tapi itu janji 6 bulan yang lalu dan baru sempat ‘kepegang’ kemarin, pas semua pada pulas tidur siang. Eh, jangan salah, beberes rumah atau lemari itu butuh niat dan tekad yang bulat, didukung dengan kesempatan dan waktu yang tepat.

Trus, kemarin cranky, nggak? Iya, biasalah, namanya juga perempuan mau datang bulan, kadang lebaynya suka berlebihan. Sudah lebay, berlebihan pula. Eh, tapi beneran deh, kemarin itu full kejadian yang menuntut kesabaran tingkat nasional. Suami saya itu tipe suami panikan. Kalau Alea nangis, atau merengek minta sesuatu, dan dia nggak ngerti apa maksudnya, pasti akan mengarahkan, “ya udah ke mommy aja ya… yuk, yuk…”. Kalau saya lagi nggak ngerjain apa-apa sih, ya nggak apa-apa. Lha kalau lagi banyak yang harus dikerjain ya kenapa nggak dibantu ngasuh dulu sih *usap peluh*. Nah, kemarin gara-garanya juga sepele banget, tapi berhubung sayanya juga lagi mood senggol bacok, makanya jadi agak ngambek-ngambekan sama suami. Cuma gara-gara, youtube di i-Pad lagi no connection, gara-garanya saya salah tekan apalah, nah saya yang lagi masak minta tolong ke suami buat setting ulang modem, atau benerin apalah biar internet lancar lagi. Ya kan saya lagi nyambi masak, nanti gosong dong masaknya, ya kan? Ndilalah Aleanya lagi baperan, maunya saya aja yang benerin internetnya, jangan papanya, karena katanya papanya nggak bisa benerin. Yaelah, Nak. Kamu ini nambahin PR mama aja. Duh, pokoknya lagi pada lebaylah serumah.

Itu pertama, kasus kedua. Pas lagi beberes dapur, mendadak rumah kaya kok berasa ada aromaterapinya ya, kaya wangi-wangi minyak gosok, gitu. Feeling saya agak nggak enak nih. Nah, bener deh, di kamar, Alea lagi asik menuangkan minyak gosok ke lantai sampai kecret ke mana-mana, sebagian lagi diolesin ke badan bonekanya. Jadilah itu boneka wangi minyak gosok, plus lantai-lantainya tentu saja. Antara geli, kesel, dan capek, numpuk jadi satu, tapi tetap lumer juga ketika melihat senyum tengil di wajah Alea yang innocent, demi melihat saya menyemprot lantai, mengepel, dan membereskan bonekanya yang wangi obat gosok.

OK, berarti sudah aman ya, Kakak? Aman sih, sampai setengah jam kemudian hal yang sama terjadi berulang. Kali ini Alea kembali beraksi. Kali ini bukan dengan obat gosok, melainkan dengan minyak rambut kemiri. Minyak kemirinya tidak lagi dioleskan ke badan bonekanya, tapi dituang ke lantai, buat ngepel. Huhuhuhuhu…. Alea, huhuhuhu… Suami saya karena judulnya masih sensi, dia cuma menengok sebentar lalu sibuk dengan outstanding pekerjaannya. Pokoknya judulnya saya lagi dicuekin sama suami, ceritanya masih marah gara-gara kejadian tadi pagi yang menurut saya sih… come on,.. sudah kedaluwarsa.

Hingga puncaknya sore, menjelang maghrib, setelah seharian ‘tegangan tinggi’, pecah juga tangis saya, hanya gara-gara camilan yang tidak sengaja ditendang Alea hingga berhamburan ke lantai yang baru saja saya sapu dan pel. Alea, seperti merasa bersalah, langsung mendekati saya dan memeluk saya erat. Lah, saya ya jadi makin baper. Saya tahu dia tidak sengaja menumpahkan makanan di lantai, saya juga sedang dalam kondisi emosi yang ‘berantakan’ karena hormonal, ditambah dengan suasana yang emosi-emosian antara saya dan suami, walaupun saya sendiri sudah tidak marah. Saya itu kalau marah cuma 5 menit kok, habis itu ya sudah selesai. Enak lho kalau mau berantem sama saya, marahnya sebentar. Eh, gimana, gimana?

Tapi ada hal positif yang saya pelajari selama 3 hari kemarin. Tugas menjadi seorang perempuan, seorang ibu, seorang isteri, seorang perempuan bekerja, itu tidak pernah mudah. Dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk memainkan 3 peranan itu secara bergantian. Menjadi orang tua itu juga tidak ada sekolahnya, begitu juga menjadi suami/isteri. Kita tiba-tiba saja ‘diceburkan’ dalam peran-peran itu tanpa terlebih dulu ditanya kesiapan kita. Karena kalau ditanya siap tidak siap ya selamanya akan tidak siap. Jadi anggap saja ini semua semacam pembelajaran seumur hidup.

Di situ, sebagai orang tua, saya bukan hanya belajar mengendalikan emosi, tapi saya juga belajar melihat bagaimana Alea mengelola emosinya, perasaannya, bagaimana dia menempatkan diri ketika ada salah satu orangtuanya yang sedang marah (entah itu marah kepada dirinya, atau ketika orang tua sedang bersitegang). Itulah kenapa saya dan suami berkomitmen untuk tidak bertengkar di depan anak. Kalaupun terpaksan kami sedang marahan, jangan sampai melibatkan/melampiaskan kepada anak. Karena bagaimana pun perasaan seorang anak itu sangat peka, melebihi kepekaan perasaan orang dewasa.

Sebagai seorang pasangan, saya juga masih terus belajar mengendalikan emosi, terutama lisan saya, jangan sampai lisan atau perbuatan saya mencederai perasaan suami saya atau orang-orang di sekitar saya. Terutama dalam kehidupan berumah tangga, karena bagaimana pun ridho suami adalah ridho Allah. Bukankah begitu, pemirsa? Tentu saja begitu!

Jadi, pesan moralnya apa? Sesungguhnya seminggu menjelang datang bulan adalah masa-masa berat bagi seorang perempuan. Bukan hanya berat di mengelola emosinya, tapi juga berat di sesi menahan nafsu makannya… hiks… 😐

[devieriana]

 

 

sumber gambar dari : sini

Continue Reading

Selagi Masih Ada Waktu

myxj_20160919141103_save

Beberapa waktu lalu, sepulang dari kantor, di dalam sebuah taksi, Alea waktu itu sudah lelap dalam dekapan saya lantaran capek seharian beraktivitas di daycare, ngobrollah saya dengan pengemudi taksi sebut saja Pak Budi. Sebenarnya saya bukan tipikal orang yang sering membuka percakapan ketika di dalam taksi, tapi berhubung Pak Budi yang memulai percakapan duluan, dan kebetulan setelah ngobrol orangnya asik juga, jadi ya sudah lanjut saja. Tapi siapa sangka justru dari obrolan itu jadi membuat saya merenung sendiri.

Pak Budi adalah seorang bapak berusia sekitar 60 tahun. Beliau seorang ayah dari 2 orang putri yang sudah dewasa dan keduanya tinggal di Amerika Serikat. Isteri beliau sudah meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kanker rahim. Dulu, sebelum menjadi pengemudi taksi, Pak Budi adalah seorang karyawan di sebuah BUMN yang sengaja mengambil pensiun dini demi menemani sang istri menjalani pengobatan/terapi. Namun takdir berkata sebaliknya, sang istri tercinta dipanggil Allah terlebih dulu meninggalkan Pak Budi bersama kedua buah hati mereka.

Setelah beberapa waktu, sepeninggal istrinya, Pak Budi pun mulai melamar pekerjaan demi mengisi waktu luangnya. Di antara beberapa pilihan pekerjaan, pilihannya jatuh menjadi seorang pengemudi taksi.

Him: “Sebenarnya saya juga nggak niat-niat banget cari kerja, Mbak. Wong usia saya juga sudah nggak muda lagi. Cuman ya namanya sendirian ya, Mbak…, anak jauh, istri sudah nggak ada, kalau saya di rumah aja tanpa ada kesibukan kok bosen amat. Makanya saya jadi supir taksi sajalah.”

Me: “Bapak biasa narik sampai jam berapa, Pak?”

Him: “Ah, habis nganter Mbak ini saya langsung ngembaliin mobil trus pulang kok, Mbak. Saya itu narik paling malam jam 7. Lagian ngapain juga saya ngoyo-ngoyo kerja, buat siapa lagi, coba? Kan cuma buat hidup saya sendiri…”

Lalu Pak Budi menceritakan betapa nelangsanya ketika Ramadan menjelang. Beliau yang biasanya melewatkan puasa Ramadan bersama sang istri, sekarang harus menghabiskan puasa Ramadan sendirian. Sahur sendiri, buka sendiri, ibadah sendiri, mengerjakan segala sesuatunya serba sendiri. Bahkan ketika Idul Fitri pun hanya dirayakannya sendirian. Kebetulan kedua putrinya tidak sempat pulang, hanya sempat menelepon mengucapkan selamat lebaran sambil meminta maaf karena belum bisa pulang ke Indonesia.

Me: “Kenapa mereka nggak pulang pas lebaran, Pak? Nggak bisa cuti emangnya?”

Him: “Mereka itu hanya bisa libur di bulan Juli aja, Mbak. Selain bulan itu mereka nggak bisa cuti. Ya tapi alhamdulillah Juli kemarin mereka sempat pulang walaupun nggak lama. Lumayan kesepian saya sedikit terobatilah, Mbak. Sebenarnya mereka itu mengizinkan saya untuk menikah lagi, biar saya ada temannya. Tapi namanya cari jodoh kan nggak segampang membalikkan telapak tangan ya, Mbak. Apalagi yang mau terima saya apa adanya gini kan ya nggak mudah…”

Me: “Oh, gitu. Kenapa Bapak nggak ikut aja ke Amerika, kan enak kumpul sama anak-anak, ada yang merawat, merhatiin…”

Him: “Ah, saya orangnya nggak seneng ngerepotin anak, Mbak. Memang sih saya pernah ke sana, gantian jengukin mereka, tapi ya nggak bisa lama-lama, kan mereka juga kerja, saya ngapain juga bengong di rumah nggak ke mana-mana kecuali sama mereka. Lagi pula kan mereka nggak tinggal satu kota, Mbak…”

Me: “Oh… gitu…”, jawab saya pendek.

Jujur sekelumit cerita Pak Budi tadi membuat saya mendadak sedih, baper sebagai orang tua.

Setiap keluarga pasti mendambakan kehadiran anak yang akan menyemarakkan kehidupan berumah tangga. Celoteh, tawa riang, dan tingkah lucu anak, pasti menjadi hiburan tersendiri bagi tiap orang tua. Anak adalah pelepas lelah yang paling mujarab. Selelah apapun orang tua, kalau sudah ketemu anak pasti lelahnya tak terasa. Walaupun sering kali setelah bekerja masih harus ditambah dengan membereskan rumah akibat ‘kekacauan’ yang diciptakan oleh si kecil, misalnya membersihkan tumpahan susu, remahan biskuit yang ada di mana-mana, membereskan pensil/crayon setelah mereka mencoret ‘karya masterpiece’ mereka di dinding-dinding rumah, membereskan mainan yang berserakan di mana-mana. Itu pun masih ditambah ketika si kecil tidak mau ditinggal sedetik pun oleh kita, alhasil mengerjakan apapun sambil menggendong si kecil. Been there done that.

Si kecil pun agaknya tahu makna quality time bersama kedua orang tuanya. Di hari Sabtu/Minggu atau hari libur lainnya, ketika kedua orang tuanya ada di rumah, si kecil seolah seperti menagih haknya. Dia hanya mau main, disuapi, dimandikan, dan dikeloni cuma sama orangtuanya. Jangankan ke salon untuk me time, lha wong ke kamar mandi saja ditungguin di depan pintu.

Pernah tak sengaja saya mengeluh betapa capeknya membereskan rumah setelah pulang kerja, sepertinya kok tidak beres-beres, karena satu selesai, satunya masih ada. Nanti yang ini beres, kerjaan berikutnya sudah menunggu. Apalagi saya dan suami memang belum sepakat untuk menggunakan jasa support village (pengasuh) bagi Alea, dan juga jasa asisten rumah tangga untuk sekadar membereskan rumah. Rumah cuma sepetak ini, masa iya pakai jasa asisten rumah tangga.

“wis tho, ini cuma soal waktu kok. Nanti akan ada masa di mana rumahmu akan tampak seperti rumah-rumah yang ada di majalah-majalah itu, bersih, rapi, wangi. Akan ada masanya juga nanti kamu bisa menikmati waktumu sebebas-bebasnya tanpa ada yang mengganggu. Akan ada saatnya juga capekmu akan berkurang, nanti pas anak-anak mulai beranjak besar. Sekarang ini, nikmati saja semua kebersamaan dan waktu ‘ribet’ bersama mereka, karena percaya sama Mama, keribetan itu nggak akan lama…”

Di situ saya langsung baper.

Iya, semua cuma masalah waktu. Nanti, ketika anak-anak mulai besar, belum tentu mereka mau kita ajak ke mana-mana seperti sekarang; mereka akan mulai bisa memilih acara mereka sendiri, teman-teman mereka sendiri. Selama masih bisa uyel-uyel, cium-cium, dan peluk-peluk mereka, lakukan sepuas hati, karena akan ada suatu masa ketika mereka risih kita cium dan peluk, apalagi di depan umum/teman-teman mereka. Suatu saat nanti mereka akan meminta kamar sendiri, terpisah dari orang tuanya. Privacy. Seketika itu pula peran kita tak lagi ‘sepenting’ ketika mereka masih bayi/anak-anak.

Kelak, ketika mereka sudah mulai dewasa, akan ada saat di mana mereka pergi meninggalkan kedua orang tuanya untuk menggapai cita-cita mereka, dan mungkin hanya sesekali pulang untuk melepas rindu. Bahkan terkadang untuk sekadar menanyakan kabar ayah ibunya saja tidak mungkin mereka lakukan setiap hari. Kitalah yang akan gantian menunggu telepon mereka. Kitalah yang akan menyiapkan cerita-cerita ‘tak penting’ hanya supaya bisa mengobrol bersama mereka lebih lama.

Sebagai orang tua kadang kita kelepasan, membiarkan ego kita berjalan begitu saja di masa-masa anak-anak sedang membutuhkan kehadiran utuh kita sebagai orang tua dalam kehidupan mereka.

“Yah, Dev… gue juga butuh gaul sama temen-temen gue kali, masa iya ngendon aja di rumah. Masa iya jalur gue rumah-kantor-rumah, gitu melulu. Sesekali gue juga butuh ngopi-ngopi cantik bareng sama temen-temen gue. Gue butuh refreshing dan me time juga selepas pening di kantor. Gue yakin lo juga gitu, kan?”

Dulu, ketika belum ada Alea, saya masih bisa begitu. Tapi ketika sudah anak, rutinitas dan aktivitas saya berubah 180 derajat. Rute saya hanya rumah-kantor-rumah. Hari libur saatnya jadi ‘upik abu’ dan waktunya full untuk anak. Kalaupun iya saya bisa me time, itu juga kalau Aleanya sudah tidur, atau ada yang bantu jagain Alea. Kalau tidak ada, waktu dan kesempatan saya bersama Alea itulah yang menjadi me time saya, mengingat saya seorang ibu bekerja yang harus membagi waktu antara menjadi seorang ibu sekaligus perempuan bekerja.

Selagi masih ada waktu, sayangilah anak-anak kita dengan sepenuh hati, karena waktu dan kebersamaan dengan mereka tak akan pernah bisa ditarik mundur. Sekalipun itu cuma sedetik.Begitu pula sebaliknya, sayangilah kedua orang tua kita selagi mereka masih ada, karena waktu kita untuk mereka pun tidak lama.

 

 

[devieriana]

 

Foto: koleksi pribadi

Continue Reading

Jadi Ibu ‘Beneran’

Alea dan Mama :D

Lama juga ya saya tidak up date blog, padahal ada banyak cerita yang bisa ditulis di sini. Tapi ya semua terkait masalah waktu, kesempatan, dan niat menulis yang kadang menguap begitu saja *self toyor*

Jadi ceritanya sudah hampir sebulan ini Alea saya bawa ke kantor, bukan ikut saya kerja seharian di ruangan, tapi saya titipkan di daycare Taman Balita Sejahtera yang kebetulan dikelola oleh Dharma Wanita Persatuan kantor saya. Lah, kenapa kok tiba-tiba Alea harus dititipkan di daycare? Tentu keputusan ini sudah melalui pemikiran yang masak walaupun pada awalnya terasa berat. Bukan hanya berat buat saya, tapi juga buat eyangnya, dan tentu saja buat Alea yang tiba-tiba harus merasakan ‘berpisah’ sejenak dengan keluarga yang dikenalnya, dan seharian harus berada di tempat ‘asing’/baru, dengan teman-teman baru dan para bunda yang pengasuh. Tapi gapapalah, sekalian latihan buat Alea bersosialisasi dan mendapatkan pendidikan pra sekolah, walaupun usia Alea belum genap 2 tahun.

Rasanya waktu hampir 2 tahun ini sudah ‘cukup’ bagi mama saya untuk mengasuh/menjaga Alea. Sejak Alea lahir sampai dengan Alea hampir berusia 2 tahun mamalah yang setiap hari merawat dan menjaga Alea. Jadi memang saya lumayan terbantu dengan adanya mama di rumah. Tapi dengan berbagai pertimbangan, mama memang harus kembali pulang untuk menemani papa di Surabaya. Sementara untuk memutuskan mencari baby sitter/pengasuh saya masih banyak mikirlah. Makanya, sebulan pertama adalah masa percobaan bagi saya, Alea, dan mama untuk menjalani rutinitas baru sebelum akhirnya nanti mama benar-benar pulang.

Hari pertama Alea di daycare lumayan terlihat menyenangkan, dia terlihat antusias dengan komentar pertamanya ketika melihat banyak anak kecil seusianya, “wooow!. Tak disangka-sangka, dia pun langsung bisa mingle dengan teman-teman barunya, ikut senam, main perosotan, dlll. Melihat tingkah polahnya yang lucu itu antara sedih dan haru karena saya harus meninggalkan batita saya sendirian. Jujur, jauh dalam hati sih saya baper abis; tidak tega meninggalkan Alea di tempat baru dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Tapi bismillah sajalah, semoga dia baik-baik saja. Tapi ya namanya bocah, lama-lama dia sadar juga kalau mama, papa, dan eyangnya tidak ada bersamanya, kalau mulai rewel ya sangat dimaklumi. Tapi ada yang lumayan melegakan, menurut bunda pengasuhnya, nafsu makan Alea bagus, minum susunya juga bagus, dan kemampuannya menyesuaikan diri di tempat baru sangat cepat, termasuk berbeda dengan anak lain seusianya.

Hari pertama dilalui dengan alhamdulillah lumayan tanpa drama. Hari kedua, lihat pagarnya daycare saja dia sudah tidak mau, apalagi hari ketiga, dan keempat (yang kebetulan bertepatan dengan hari Jumat dan ndilalahnya dia pas flu berat), dramananya lumayanlah. Mungkin karena badannya lagi kurang nyaman, jadi maunya ya sama mamanya aja. Jadi kata bunda-bundanya di daycare Alea memang agak rewel.

Trus, apa kabar setelah hari keempat? Alea nggak masuk selama 2 minggu karena flu batuk pilek disertai demam tinggi. Ya menurut dokter sih common cold saja sih, kalau demam tingginya itu karena radang tenggorokan. Tapi ya tetap saja saya baper karena pikiran sudah ke mana-mana. Untungnya waktu itu mama belum pulang ke Surabaya, jadi masih ada yang merawat Alea selama dia sakit.

Sebagai ibu kadang memang harus ‘tegaan’ ya. Maksudnya, jangan terlalu baperan, harus kuat gitu. Kebetulan dokternya Alea menyarankan Alea harus dinebulizer supaya pernafasannya agak enakan, saya sih nurut saja, selama ini kebetulan flu batuk pileknya memang tidak separah yang ini, jadi kalau memang harus diuap mendingan diuap deh, biar flunya beres sekalian. Nah, melihat Alea harus dinebulizer dan menangis meraung-raung itu pun sebenarnya antara tega nggak tega tapi ya kalau nggak tega nanti dia nggak sembuh-sembuh dong. Dinebulizer itu kan sebenarnya nggak sakit, tapi berhubung bocahnya tegang lihat suster, liat alat-alat yang buat dia, “eh, aku mau diapain nih…” itu ya jadi bikin dia nangis, hehehe. Tapi lucunya, setelah proses penguapan itu selesai, Alea diajak ngobrol oleh suster yang menangani penguapan, “Nah, udah selesai nih. Nggak sakit, kan? Enak, kan?”. Dengan muka lucu Alea menjawab, “enyak..”, sambil mengangguk. Kalau enak kok nangis? *uyel-uyel*

Nah, baru terasa beneran jadi ibu itu ya pas mama beneran pulang ke Surabaya. Jungkir balik iya, karena Alea maunya apa-apa sama saya. Kalaupun mau sama papanya ya kalau lagi main, atau nonton film. Nah, selama mereka sedang nonton film atau tidur saya membereskan rumah. Sempat keteteran sih, sampai akhirnya menemukan format yang pas, terutama buat saya. Pokoknya nyuci, beberes rumah, nyiapin perlengkapan yang harus dibawa Alea, dan setrika baju yang dipakai besok pagi itu harus malam hari, karena kalau baru dipegang pagi, nggak bakal beres semua. Jadi, di awal-awal kemarin sih baru tidur pukul 1 malam, dan bangun pukul 4 pagi. Tapi makin ke sini setelah mengutak-atik ‘formula’ beberes ini itu, lumayan bisa tidur pukul 11 malam, dan bangun pukul 5 pagi.

Pukul 06.30 saya dan Alea sudah harus siap berangkat. Berhubung kantor papanya Alea di Sudirman, jadi kalau harus nganter dulu ke kantor saya di Veteran, bakal ribet di jalur balik menuju kantornya, karena biasanya macet parah di sekitaran Kanisius. Tapi kalau berangkatnya pagi banget Aleanya belum bangun, dianya nanti malah uring-uringan. Jadi dibikin enjoy sajalah, win-win solution biar sama-sama nggak terlambat, salah satu harus naik Go-Jek.

Kalau biasanya ke kantor cuma bawa 1 tas kerja saja, sekarang tambah 1 tas baby plus gendongannya Alea. Kadang kalau dilihat-lihat kaya bukan orang mau ngantor, tapi udah kaya orang mau mudik, hahahaha. Ternyata jadi ibu ‘beneran’ itu tidak mudah, ya. Iya, ibu beneran, ketika masih ada mama kemarin saya belum merasa jadi ibu yang sesungguhnya, karena saya belum merasakan sendiri mengasuh anak, merasakan bangun paling pagi dan tidur paling malam demi mengerjakan segala sesuatu agar selesai tepat waktu dan tidak keteteran. Untuk semua perjuangan yang telah dilakukan oleh seorang ibu demi keluarganya, itulah kenapa Betty White pernah bilang, “It’s not easy being a mother. If it were easy, fathers would do it.”

“Sometimes being a mom is just the most overwhelming job on the planet. But when you pause to filter you response trough love, your children will learn how to handle life well instead of letting life handle them. “
– Stephanie Shott –

Selamat pagi, selamat menjelang akhir pekan 🙂

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Mommy Wars: Berhenti Membandingkan

parenting

Ada kalanya saya lelah menyimak perdebatan tak kunjung akhir di antara para ibu. Perdebatan tentang apa yang (dianggap) paling baik untuk anak-anak/keluarga mereka. Seperti misalnya pilihan antara menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, pemberian ASI atau susu formula, bubur instant atau bubur homemade, melahirkan secara normal atau sectio, popok sekali pakai atau cloth diapers, memilih tidak berkata ‘jangan’ atau tetap menggunakan kata ‘jangan’, dan lain-lain.

Ketika Alea masuk usia MPASI, saya paham bahwa saya akan memasuki masa ‘tantangan’ menjadi seorang ibu. Bukan hanya akan menghadapi masa-masa bayi melakukan Gerakan Tutup Mulut atau melepeh makanannya, tapi lebih dari itu; saya akan menghadapi ‘mommy wars’, masa ‘persaingan’ antara para ibu di mana ada anggapan bahwa keberhasilan MPASI adalah salah satu bentuk achievement dan milestone sebuah motherhood.

Dari semua madzab MPASI, saya memilih aliran yang fleksibel saja. Saya tidak anti terhadap makanan instant, tapi tetap salut kepada para ibu yang bisa memberikan MPASI homemadehomecooking yang semua bahannya organik. Tapi meski begitu, bukan berarti kalau saya memilih bubur bayi instant atau biskuit bayi sebagai makanan MPASI bayi saya, saya adalah orang yang pilih gampangnya. Bukan juga berarti saya tidak melek gizi untuk bayi saya. Saya tetap belajar, banyak baca referensi, diskusi, plus konsultasi dengan DSA anak saya sebelum melakukan apapun untuk bayi saya. Selama masih aman, masih diperbolehkan oleh DSA, ya saya lanjut. So, buat saya pribadi, tidak ada masalah apakah seorang ibu memberikan MPASI instant atau organik untuk bayinya. Begitu juga dengan pemberian ASI atau susu formula.

Pada suatu hari ketika saya mengikuti diklat, dan harus pumping di jam istirahat siang, saya bersama beberapa ibu menyusui lainnya pumping di salah satu ruang di Pusdiklat sambil ngobrol. Di situ kebetulan ada satu teman yang sebenarnya bayinya masih usia ASI, tapi dia tidak pumping seperti kami. Awalnya saya pun heran, kenapa kok tidak pumping? Padahal kalau sudah waktunya pumping tapi tidak di-pumping kan sakit ya. Jujur saya melihat tatapan sedih ketika dia melihat kami sedang pumping. Dia bercerita, sejak bayinya lahir sampai dengan saat itu usia si bayi menginjak 6 bulan, dia belum pernah menyusui bayinya. Bukan dia tidak mau, atau tidak ingin, karena naluri seorang ibu pasti menginginkan adanya bonding dengan anaknya, yang salah satu caranya dengan menyusui. Benar adanya, seorang ibu harus dalam keadaan bahagia, rileks, tidak dalam kondisi tertekan ketika menyusui. Namanya ibu baru, kalau belum luwes/lancar ketika menggendong atau menyusui ya wajar. Tapi tidak dengan si teman, dia tidak mendapatkan bimbingan yang layak tentang bagaimana seharusnya menyusui, menggendong, dan memperlakukan bayi, yang didapat justru ‘bullying‘ dari sang ibu, orang dekatnya sendiri. Dia dianggap belum siap menjadi ibu, karena menggendong/menyusui saja tidak tahu caranya. Duh, saya beneran sedih dengar ceritanya. Dan sudah bisa ditebak, perpaduan antara bingung, panik, sedih, dan tertekan itu menghasilkan kombinasi yang ‘sempurna’ tidak keluarnya air susu. Jangan ditanya sudah usaha apa saja yang sudah dijalani oleh si teman demi bisa menyusui bayinya, tapi kondisi psikis yang kurang kondusif dan tekanan yang dirasakan hampir setiap harinya menyebabkan ASI-nya malah tidak keluar sama sekali. Di situlah cerita berawal kenapa si bayi harus mengonsumsi susu formula sejak awal kehidupannya.

Pun ketika saya harus menjalani sectio ketika melahirkan Alea, ada beberapa teman yang menanyakan kenapa kok tidak melahirkan secara normal saja, kan lebih ‘bagus’. Bahkan ada yang bilang, seorang perempuan akan lebih sempurna ketika melahirkan secara normal. Duh! Andai riwayat kehamilan saya normal-normal saja, mungkin saya juga akan mengambil pilihan untuk melahirkan secara normal. Tapi kondisinya saya mengalami placenta previa, di mana plasenta bayi saya menutup jalan lahir. Jadi, gimana ceritanya saya mau ngotot ngeden kalau jalan lahirnya saja tertutup plasenta? Dengan kondisi yang force majeur seperti itu apa iya saya dianggap belum sempurna sebagai seorang perempuan hanya gara-gara saya melahirkan secara sectio? Padahal, apapun cara yang harus dijalani, setiap ibu adalah sejatinya wanita, karena mereka rela bertaruh nyawa untuk melahirkan buah hati mereka ke dunia.

There’s a story behind everything. Sudah saatnya kita menghentikan mommy wars dan mulai menyadari bahwa sebenarnya kita berada di sisi yang sama kok; kita pasti ingin memberikan yang terbaik untuk buah hati dan keluarga. Kalau setiap ibu punya treatment yang berbeda untuk bayinya ya wajar saja karena saya kondisi setiap bayi tidak sama, pun dengan situasi yang dihadapi oleh masing-masing ibu. Tanpa disadari, ketika kita menge-judge orang lain ini-itu lantaran dia tidak menjalankan hal yang ‘tidak seharusnya’ itu sama saja menyakiti orang lain karena bagaimanapun sudah melabel dengan asumsi tentang bagaimana sosok ‘ibu yang baik’ itu.

Masih banyak tugas besar yang harus kita jalani dalam mendidik dan membesarkan buah hati daripada sibuk berdebat dan saling membandingkan. Sometimes you know what path you’ll choose, but sometimes, you just make your choice and hope for the best. Apapun pilihan yang kita ambil semoga itulah yang terbaik untuk buah hati kita. Let’s love more, and judge less…

So, tetap semangat, Bunda!

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

foto-foto tentang mommy wars bisa dilihat di sini

Continue Reading

Membawa Alea Ke Kantor Itu…

Jadi ceritanya hari Selasa minggu yang lalu sampai dengan hari Senin kemarin, Eyangnya Alea (Mama saya) pulang ke Surabaya karena Eyang Kakungnya Alea (Papa saya) lagi kurang sehat. Alhasil, karena selama ini yang menjaga Alea sehari-hari itu Mama saya, jadilah selama 3 hari kemarin Alea ‘ngantor’ bareng saya.

Ini pengalaman kedua, mengajak Alea ngantor seharian. Sedikit ribet memang, tapi sejauh ini saya masih menikmatinya, walaupun ada rasa kasihan karena jadwal anak yang biasanya tertib jadi kurang tertib karena ada part-part yang terpaksa harus di-skip. Tapi ya itulah yang namanya hidup, tho? Selalu saja ada adjustment yang harus kita lakukan, termasuk dengan mengajak anak ke tempat kerja.

Untuk sementara waktu lupakanlah soal busana yang modis, hijab yang tertata rapi seharian. Memilih baju pun yang penting breast feeding friendly, karena Alea masih ASI. Risiko mengajak bayi/batita ke tempat kerja itu yang pasti barang bawaan jadi jauh lebih banyak. Barang bawaan Alea saja bisa satu tas sendiri. Isinya baju ganti, pampers, perlengkapan mandi, perlengkapan setelah mandi, jaket, topi kupluk, boneka, snack, dan jeruk. Kebetulan Alea sudah bisa makan segala, sehingga saya tidak perlu membawa makanan khusus bayi, Alea bisa berbagi makanan dengan saya, yang penting tidak spicy/pedas karena lidahnya masih sensitif.

perlengkapan Alea yang harus dibawa selama ikut ke Mama ke kantor

Untunglah lingkungan kerja memungkinkan saya dan teman lainnya yang kebetulan juga tidak punya pengasuh, bisa membawa anak ke kantor. Jadi membawa anak ke kantor itu sudah jadi pemandangan yang biasa. Membawa anak ke kantor sudah jadi risiko ibu bekerja ketika para support village atau yang biasa menjaga anak sedang berhalangan mengasuh. Ndilalah, dalam minggu kemarin atasan sedang banyak tugas/dinas di luar kantor, sementara pekerjaan juga sedang tidak terlalu hectic; hanya pekerjaan yang sifatnya rutin saja.

Membawa bayi/batita yang lagi senang-senangnya jalan juga tidak mudah. Alea adalah anak yang tidak betah diam, ada saja yang ingin disentuh, dipegang, diutak-atik, dan ditarik ke sana-sini. Jadi sambil bekerja, saya juga harus tahu di mana ‘titik koordinat’ Alea saat itu dan sedang apa, karena dia suka jalan-jalan sendiri ke kubikel lainnya dan lalu asyik mainan sendiri di sana, misalnya kertas, printer, atau apapun yang menarik perhatiannya. Disetelkan film kartun di youtube pun kadang suka tidak betah. Jadi untuk amannya, kadang suka saya alihkan perhatiannya dengan cara menggendong dan menyetelkan Big Hero, film favoritnya di youtube, terutama di jam-jam dia seharusnya istirahat. Sejauh ini sih, it works, bahkan sampai ngantuk sendiri.

Untungnya di ruangan ada juga teman yang selalu membawa balitanya ke kantor, jadi Alea punya teman main. Dia seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang sudah bersekolah di TK. Alea jadi lumayan terhibur karena ada teman main, tapi tetap saja harus diawasi, karena teman mainnya pun masih kecil.

Alea dan teman baru
Alea dan teman baru

Ada sisi positif/negatifnya membawa anak ke kantor. Negatifnya, konsentrasi bekerja jadi kurang maksimal karena harus berbagi perhatian ke anak dan pekerjaan. Positifnya, ada bonding yang jauh lebih kuat antara ibu dan anak karena ibu bekerja yang biasanya baru bertemu anak di sore/malam hari sepulang kantor, sekarang mulai anak bangun tidur sampai dengan tidur malam menjadi tugas dan tanggung jawab ibu. Sedikit lebih capek memang, tapi sejauh ini saya merasa fun kok.

Ada perasaan haru ketika malam hari melihat Alea tidur nyenyak setelah seharian ikut saya bekerja. Di usianya yang baru menginjak 15 bulan dia ternyata bisa menyesuaikan diri dengan cepat, pun halnya dengan fleksibilitas. Seolah dia tahu mamanya sedang sibuk, jadi dia tidak pernah rewel, kalau pun menangis sesekali wajarlah, paling kalau ngantuk atau tidak sengajak jatuh/kepentok sesuatu, ya namanya juga masih bayi. Tapi secara keseluruhan dia anak yang lovable.

Hari ini Alea tidak ikut ke kantor lagi seperti 3 hari yang lalu, sekarang dia ada di rumah bersama Eyangnya, dan sudah kembali menjalani aktivitas dan rutinitas seperti biasa.

To my lovely Alea, I love you dearly and always…

Buat para ibu bekerja di luar sana, tetap semangat ya! 🙂

[devieriana]

Continue Reading