Kami lucu? Ah, masa?

Seringkali saya & suami dikomentari sebagai pasangan yang  lucu dan unik. Bukan. Bukan karena saya nikah sama gajah, atau tapir. Tapi mungkin karena keunikan pribadi kami yang menyebabkan orang berkomentar seperti itu. Tapi apa iya kami sebenarnya “selucu” dan “seunyu” itu? 😕

Sebenarnya dulu, waktu jaman penjajahan.. eh kelamaan, dulu diawal pernikahan, kami sebenarnya adalah pasangan yang paling egois sedunia! Okelah saya memang sedikit berlebihan untuk menggambarkan kehidupan awal pernikahan kami. But, I have no words to describe how “lebay” we were at that time. Kami seringkali hidup dalam dunia kami masing-masing. Mengalah adalah kata-kata yang kami hindari. Sama-sama gengsi [-(. Lha iya, wong kami adalah dua orang yang sama-sama keras kepala ~X(.

Saya sebagai anak sulung yang biasa dituakan (berasa kepala suku nggak sih?), dan dikantor juga “terbiasa” memimpin sekian anak buah, tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan karakter suami yang juga sama-sama kerasnya dan nggak mau mengalah. Sementara suami yang dalam keluarganya juga termasuk anak laki-laki yang tertua juga punya sifat yang nyaris sama seperti saya. Kalau pas pacaran kan biasanya kelihatan yang bagus-bagusnya aja tuh. Pas sudah menikah? Wohoho, belum tentu. Friksi itu pasti ada. Jadilah kehidupan awal pernikahan kami layaknya kompor yang selalu panas. Ada saja hal yang dipertentangkan. Eh, masih mending ya kalau penting, seringkali pertengkaran kami justru berawal dari hal-hal sepele dan remeh temeh lho. Ujungnya sudah pasti bisa ditebak, adu argumentasi yang sifatnya debat kusir. Untungnya nggak pernah sampai ada KDRT 😀

Capek? Normalnya sih pasti iyalah ya. Sekarang siapa yang nggak capek harus adu argumen setiap hari. Hingga pernah dalam puncak kondisi lelahnya kami masing-masing, mulai sama-sama eneg dan nggak mau berkomunikasi satu sama lain selama beberapa waktu. Intinya stadium enegnya sudah cukup parahlah untuk ukuran pasangan baru seperti kami. Satu tahun pertama kehidupan perkawinan kami adalah masa perang antar suku. Lalu bagaimana ceritanya kami sekarang bisa saling merasa nyaman satu sama lain dan jadi lucu unyu seperti ini? Kami LUCU? Ah, masa sih? :-j

Ada sebuah sebuah titik balik yang membuat kami sadar tentang besarnya arti sebuah kehilangan. Ketika Tuhan memberikan cobaan pada kami berdua dengan diambilnya si kecil dalam usia 6 bulan dalam kandungan. Itu sebuah kejadian maha besar yang membuat kami sadar kalau ternyata ada hal yang jauh lebih penting daripada sekedar mempedulikan ego, yaitu anak. Dari situlah kami mulai belajar sabar, mulai mengerti satu sama lain. Mencoba mengalah yang bukan berarti kalah. Mencoba membuka dan membersihkan kembali keran komunikasi kami yang nyaris tersumbat. Berusaha lebih mendengar apa yang dimaui oleh pasangan dan berdiskusi sehat dengan kepala dan hati yang dingin. Meminta maaf tidak perlu menunggu dari siapa yang dianggap sudah bikin salah duluan. Intinya berusaha menjadi jauh lebih baiklah.

Alhamdulillah memang, berkah dari Yang Diatas tak pernah putus sejak saat itu. Rezeki dan kemudahan selalu mengalir kepada kami. Menjalani kehidupan perkawinan dengan format yang jauh lebih serius tapi santai. Suami saya kebetulan orangnya kaku dan serius, sementara saya pecicilan dan banyak becandanya. Mungkin akhirnya jadi balance-nya disitu. Malah sekarang suami saya suka kadang-kadang tertular ikut pecicilan, tapi anehnya kenapa saya nggak bisa ikut tertular jadi serius 😐

Jadi kalau sekarang teman-teman melihat kami sebagai pasangan yang mesra dan lucu, itu adalah hasil proses benturan-benturan psikologis sampai lebam dan babak belur. Nggak ada yang menyangka kan?  ;)). Sampai sekarang pun sebenarnya kami masih berusaha belajar memahami & menyesuaikan diri kami masing-masing. Mau se-ego apapun kita kalau sudah niatnya berkeluarga, harus mau menurunkan ego masing-masing karena ini bukan lagi masalah kalah atau menang tapi kehidupan bersama. Berusaha lebih open mind, mau mengerti & mendengarkan pasangan. Dan yang paling penting dari semua itu adalah komunikasi dan saling support untuk kebaikan berdua. Eh, gampang banget ya ngomongnya?  Tapi mengimplementasikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu, dan kebesaran hati untuk menerima pasangan apa adanya.

Menikah itu butuh kesiapan mental dan psikologis, selain faktor-faktor pendukung lainnya ya. Kalau kata Dr. Rose Mini, AP. M.Psi., begini :

1. Jangan takut akan pernikahan.
Sebaiknya sebelum melangkah ke pernikahan, kenali sisi baik dan buruk masing-masing. Karena setelah memasuki pernikahan, akan makin terlihat sifat-sifat yang tadinya tertutup. Jujur akan segala hal dengan pasangan jika ingin pernikahan berhasil.

2. Siapkan diri.
Tanya dengan diri sendiri, sudah siapkah untuk berbagi segala hal dengan si pasangan? Siapkah untuk maju bersama? Sebab, untuk bisa maju bersama butuh upaya dan kerja keras, karena si pasangan tidak memiliki pola pikir yang sama dengan kita, perlu kesabaran dan tenaga ekstra untuk mau menyamakan visi.

3. Jangan takut perubahan.
Perilaku seseorang bisa diubah. Perilaku bukanlah gen yang tak bisa diubah. Jadi, ketika Anda harus berubah untuk bisa keep up dengan pasangan yang berubah, begitu juga si dia.

Ah, sebenarnya ini cuma sharing seorang yang masih hijau dan newbie dalam kehidupan berumah tangga kok :-”

[devieriana]

Continue Reading

You love me, you love me not..

Suatu pagi, saya datang dengan wajah setengah bersungut-sungut lantaran merasa kesal sama suami. Gimana nggak kesel, lha wong saya lagi sakit eh malamnya saya malah diomel-omelin. Bukannya dirawat atau dikasih kata-kata yang manis gitu, atau didoain biar cepat sembuh, tapi malah diomelin panjang lebar sampai rasanya kuping meleleh. Ah, mulai lebay lagi kan? ;))

Begitu naruh tas saya langsung ngomel ke temen saya :

Saya : “Hadeuh, kesel banget deh sama suamiku. Masa sakit-sakit begini semalem malah dimarahin. Nggak ada kasian-kasiannya..”, ngomel sambil terbatuk-batuk.

Teman : “hehehe, kenapa? kenapa? Kamunya bandel kali Dev? “

Saya : “halah, bandel apa sih? kebanyakan mainan layangan juga kagak. Cuma gara-gara aku minum obat batuk yang menurut dia over dosis aja. Yang harusnya 4 jam sekali, aku minum 2 jam sekali.. Ketauan sama suamiku, aku terus dimarahin..” (diucapkan dengan nada tanpa bersalah)

Teman : “Lha yo mesti. Wong kamu emang cari perkara, bikin aturan sendiri. Keracunan obat kapok kamu ;)). Tenang, kamu nggak sendirian, aku juga habis marahin istriku gara-gara dia bandel. Nggak aku bolehin makan bakmi karena aku takut perutnya sakit. Eh maksa makan bakmi juga. Wong namanya lagi hamil, aku nggak tega, ya sudah aku turutin. Tak beliin bakmi. Akibatnya perutnya kembung sampai sekarang nggak sembuh-sembuh.Tak marahin, tak diemin. Gitu sama suami nggak nurut. Aku emang marah banget sama dia Dev, tapi lama-lama nggak tega. Semarah-marahnya aku sama dia itu ya karena bentuk sayangku ke dia. Kalau orang Jawa bilang, “ngeman”, tapi kadang yang di-eman itu nggak nyadar kalau dia lagi disayang sama suaminya…”

Saya :
“wogh, gitu ya ternyata?” *manggut-manggut*

Sebagai pasangan hidup, suami saya termasuk pasangan yang kadar romantisme dibawah 50%. Jangankan ngasih bunga sama saya (dibahas lagi? ;)) ), bilang “I love you..” aja bisa dihitung dengan jari. Kalau pasangan lain mungkin bisa bilang I love you di facebook sehari sepuluh kali, kita nggak pernah tuh bilang kaya begitu di facebook. Ngiri? Ah, nggaklah. Kalau soal kemesraan kita sudah sepakat nggak akan show off di situs-situs pertemanan. Ya lagian juga buat apa? Wong handphone juga ada, kalau komunikasi ya tinggal BBM atau sms, lebih pribadi juga tho? Ya itu kalau kami. Prinsipnya bisa beda sama pasangan lain.. 🙂

Nah dialog diatas itu kebetulan saya lakukan bersama seorang teman kantor. Niat awalnya sih curhat. Tapi ujung-ujungnya kok saya jadi ketawa sendiri. Karena ndilalah orang yang saya curhati kok sifatnya hampir sama sama suami saya. Bahkan saya akhirnya bisa paham bahwa rasa sayang/perhatian suami itu tidak selalu lewat kata-kata mesra tapi justru lebih ke tindakan. Semarah-marahnya suami saya, sejahat-jahatnya dia menurut saya kadang ya dia masih ada benarnya. Rasa sayang yang ditunjukkan dia sama saya memang beda bentuk dengan apa yang saya inginkan. Kadang nih ya, yang namanya perempuan pengen sekali-kali diromantisin sama pasangan, dikasih kata-kata yang indah. Err.. digombalin gitu ya? Eh, ya enggak gitu juga, tapi pengenlah sekali-kali dikasih perhatian yang romantis sama suami sebagai bentuk rasa sayang dia ke kita. Uhuk! @};-

Tapi kalau nyatanya ke kita justru nggak seperti apa yang kita bayangkan, gimana coba? Disaat kita pengennya diperhatikan, dianya malah ngomel-ngomel nggak jelas. Ya siapa yang nggak kesel kalau kaya begitu ya? (mulai cari massa) ;)). Tapi ternyata kita (terutama saya) seringkali salah terima. Justru dibalik omelan & ceracauannya itu dia menunjukkan rasa perhatiannya sama kita. Tsaaahh.. (menyibakkan poni)

Seperti contohnya saya yang ngarang sendiri dosis obat batuk itu tadi. Dia ngomel karena takut lambung saya atau bahkan ginjal saya yang kena, sama kaya mertua saya. Dia nggak pengen itu terjadi sama saya. Atau ketika saya memaksakan dia untuk menerobos hujan (yang menurut saya cuma) gerimis itu & dia menolak mentah-mentah, itu karena dia nggak pengen saya & dia jadi sakit. Karena dia tahu badan saya itu rentan banget sama flu. Pun halnya ketika saya santai menyantap sambal tanpa kira-kira, dia yang sibuk ngomel panjang lebar karena nggak pengen perut saya bermasalah. Juga ketika dia ngomel tak henti-henti ketika melihat saya bandel tetep mantengin layar laptop ketika malam beranjak larut & saya nggak tidur-tidur. Itu karena dia khawatir badan saya demam lagi, karena dia hafal betul kondisi badan saya yang nggak bisa dipaksakan itu ;;) .

Jadi kesimpulannya, emang sayanya yang bandel kok. Seringkali menuntut pasangan harus begini-begitu, menutup mata ketika perhatian pasangan diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Sekarang pilih mana, dikasih bunga & dikasih kata-kata mesra yang belum tentu keluar dari hati (sekedar menyenangkan hati kita)  atau diperhatikan dengan tulus & tanpa basa-basi? Pasti pilihan kedua kan? (moga-moga nggak cuma saya yang memilih opsi kedua ya ;)) ).

Jadi, berhentilah mengeluhkan & membandingkan pasangan kita. Mulailah bersyukur dengan jodoh kita masing-masing karena sejatinya Allah menjodohkan kita karena Dia tahu apa yang sesungguhnya kita butuhkan bukan yang kita inginkan 😉

[devieriana]

gambar ngambil dari sini

Continue Reading

The Magical of Wedding Ring

Nice ilustration. Boleh percaya boleh nggak lho 🙂

Mengapa Cincin Pernikahan Harus Ditaruh di jari manis?? Coba ikuti langkah berikut ini, Tuhan benar2 membuat keajaiban (ini berasal dari kutipan Cina)   :

1. Pertama, tunjukkan telapak tangan anda, jari tengah ditekuk ke dalam (lihat gambar)

2. Kemudian, 4 jari yang lain pertemukan ujungnya.

3. Permainan dimulai, 5 pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak terpisahkan…

4. Cobalah membuka ibu jari Anda, ibu jari menwakili orang tua, ibu jari bisa dibuka karena semua manusia mengalami sakit dan mati.  Dengan demikian orang tua kita akan meninggalkan kita suatu hari nanti.

5. Tutup kembali ibu jari anda, kemudian buka jari telunjuk Anda, jari telunjuk mewakili kakak dan adik Anda, mereka memiliki keluarga sendiri, sehingga mereka juga akan meninggalkan kita.

6. Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda, buka jari kelingking, yang mewakili anak2.  cepat atau lambat anak-anak juga akan meninggalkan kita.

7. Selanjutnya, tutup jari kelingking Anda, bukalah jari manis Anda tempat dimana kita menaruh cincin perkawinan Anda, Anda akan heran karena jari tersebut tidak akan bisa dibuka. Karena jari manis mewakili suami dan istri, selama hidup Anda dan pasangan akan terus melekat satu sama lain.

Real love will stick together ever and forever..


Thumb represent parents
Second finger represent brothers & sisters
Centre finger represent own self
Fourth finger represent your partner
Last finger represent your children

notes : pasti baca postingan ini sambil mainin jari deh ;))

[devieriana]

Continue Reading