Judul postingan ini sengaja saya ambil bukan bermaksud untuk menyamai judul bukunya Adhitya Mulya, ataupun terinspirasi Tuesday With Morrie-nya Mitch Albom. Tapi memang hanya judul inilah yang pas untuk postingan yang merujuk pada kebersamaan saya bersama ayah mertua saya yang baru saja wafat hari Minggu, 7 Juni 2015 lalu.
Hubungan saya dengan ayah mertua yang kami panggil Bapak ini lumayan baik walaupun tidak terlalu akrab. Bapak hanya hadir di acara lamaran saya di penghujung tahun 2006, tapi ketika hari pernikahan saya di bulan Juli 2007, Bapak tidak bisa hadir di Surabaya karena terbaring sakit. Tapi tak apa, saya yakin, meskipun beliau tidak bisa hadir, tapi doa beliau sampai ke kami kok.
Selepas mengalami kecelakaan kerja di off shore, sehingga mata kakinya cedera menyebabkan aktivitas Bapak tidak bisa lagi seleluasa dulu. Ada satu moment mengharukan di tahun 2008, di mana Bapak yang sebenarnya kakinya belum terlalu baik kondisinya memaksakan diri untuk datang di pemakaman putri pertama saya yang meninggal di usia 7 bulan dalam kandungan. Di sore menjelang malam, di tengah rintik hujan, Bapak mengayuh sepeda menuju ke pemakaman menemani suami dan ibu mertua saya yang sudah ada di sana duluan.
Kondisi beliau sempat up and down beberapa kali hingga akhirnya beliau menyerah dan harus terbaring saja selama kurang lebih 5 tahun di tempat tidur karena beberapa penyakit yang dideritanya, yang salah satunya adalah osteoporosis. Sebagai orang yang dulunya aktif lalu menjadi tidak aktif sama sekali dan menjadi sangat tergantung pada orang lain, tentu saja menimbulkan perasaan yang kurang mengenakkan bagi Bapak. Emosinya naik turun, tingkah lakunya kembali seperti anak kecil. Kami berusaha memaklumi, karena kami yakin Bapak sedang dalam kondisi psikologis yang labil akibat perubahan yang signifikan terhadap kondisi tubuhnya.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencurahkan segenap kesabaran dan ketelatenan dalam merawat Bapak, terutama bagi ibu mertua saya. Hormat dan salut saya tercurah untuk beliau. Di tengah kesibukannya mencukupi kebutuhan sehari-hari plus merawat Bapak, kerap kali beliau terlihat lelah, gusar, sedih, dan emosi, tapi toh semua itu cuma berupa curhatan yang ditelan kembali oleh Ibu, karena langsung ingat, yang sedang dihadapi adalah suaminya, seorang lelaki yang sudah sepuh, dan tidak berdaya. Sering saya berdoa, semoga kesabaran Ibu merawat Bapak menjadi ladang pahala Ibu.
Hingga akhirnya kurang lebih seminggu yang lalu, Bapak tiba-tiba jatuh dari tempat tidur dan dahinya luka. Sejak saat itulah Bapak total menggantungkan hidupnya hanya pada pertolongan dan perawatan Ibu saja.
Seminggu sebelum Bapak wafat, saya sempat ke sana bersama suami dan Alea. Waktu itu Bapak masih bisa ngobrol dan bercanda dengan kami, bahkan sempat mengomentari Alea yang menurut beliau cepat besar.
Bapak: “Berapa usia anak kau ini?”
Me: “10.5 bulan, Pak”
Bapak: “Wah, sudah besar ya… Sudah berapa giginya?”
Me: “Baru empat, Kek. Dua di atas, dua di bawah…”
Bapak: “Oooh, sehat terus ya, Nak…”
Me: “Iya, Kek… Insyaallah Alea sehat selalu. Kakek juga ya… :)”
Kami tidak sempat ngobrol lama karena Alea merengek minta keluar kamar, dan Bapak juga lebih sering tidur ketimbang terjaga. Tapi ada pesan terakhir Bapak untuk saya; ketika saya dan Alea bermaksud berpamitan pulang. Setelah saya cium tangan Bapak, beliau berpesan:
“Jaga anakmu baik-baik ya, Dev…”
Dan saya pun mengangguk, “Pasti, Kek. Akan Devi jaga Alea baik-baik. Kakek juga sehat, ya. Insyaallah nanti kami main lagi ke sini. Ya sudah, kami pulang dulu, ya, Kek. Daagh, Kakek. Assalamualaikum…”.
Bapak hanya mengangguk dan tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kami berdua. Uniknya Alea pun sempat kiss bye ke kakeknya padahal sebelumnya dia rewel tiap kali diajak ke kamar Bapak.
Tak disangka ternyata itulah pertemuan terakhir kami dengan Bapak. Ternyata itu adalah kiss bye perpisahan Alea dengan kakeknya. Masih teringat betapa riang dan sumringah wajah Bapak ketika melihat saya membawa Alea pulang dari rumah sakit setelah lahiran. Melihat matanya berbinar-binar melihat bayi saya yang seharusnya saya bedong malah saya dandani dengan rok terusan dan bando merah. Maklum, baru kali ini melihat ada cucu perempuan. Kebetulan adik ipar saya sudah memberikan dua cucu laki-laki, makanya ketika melihat saya melahirkan bayi perempuan, beliau terlihat gembira.
Kini mata sayu itu sudah tertutup untuk selama-lamanya. Pun tubuh Bapak yang kian mengurus itu pun kini telah pergi meninggalkan dunia yang fana. Hanya kenangan bersama beliau saja yang tersisa.
Sugeng tindak, Pak. Selamat jalan. Selamat beristirahat di tempat Bapak yang baru. Purna sudah perjuangan Bapak dalam melawan rasa sakit dan ketidakmampuan fisik yang disebabkan oleh sakit yang bertahun-tahun Bapak derita. Semoga Allah melapangkan jalan Bapak menuju surag, menerima segala amal ibadah Bapak, dan menempatkan Bapak di tempat terbaik di sisi-Nya. Doa kami menyertai kepergian Bapak menghadap Sang Pencipta…
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini