Wacana Kejujuran

“Indonesia ini mentalnya udah terpuruk bener ya, Dev…”
“Kok tiba-tiba bilang kaya gitu, Mbak?
“Duh, trenyuh aku… Hmm, ini masalah anakku, dia kan hari ini Ujian Nasional…”
“Trus, kenapa?”
“Anakku di sekolah kan prestasinya lumayan, selalu 3 besar. Semalem pas aku lagi nememin dia belajar, dia curhat sama aku…”
“Cerita apa, Mbak?”

Lalu mengalirlah sebuah cerita yang boleh dibilang basi-basi mengenaskan. Saya bilang basi, karena ini bukan kasus pertama. Tapi ini juga kasus yang mengenaskan. Ketika orangtua dengan susah payah mengajarkan kejujuran pada anak, ternyata sekolah, yang notabene sebagai tempat pendidikan anak ternyata mengajarkan hal yang tidak jujur.

Anak teman saya itu “dibriefing” oleh guru-gurunya di sekolah supaya besok ketika ujian berlangsung, sekitar pukul 9 pagi diminta untuk pura-pura ke kamar kecil. Di sana nanti oleh si oknum guru akan diberikan kunci jawaban yang harus dihafalkan, dan disebarkan ke teman-teman di kelasnya. Ironisnya, si oknum guru itu berpesan, “kamu nanti sebarkan ini ke teman-teman kamu. Sama temen itu jangan pelit-pelit, ya…” Jauh di dalam hati kecil si anak itu sebenarnya menolak, itulah kenapa dia terpaksa curhat pada ibunya, “Bu, sebenarnya aku nggak boleh bilang ini ke Ayah/Ibu sama Bu Guru, tapi aku nggak enak. Masa aku udah belajar tapi jawabannya harus aku contekkan ke temen-temenku…”

Nah, ternyata cerita ini bukan hanya dialami oleh teman ini saja, teman lain yang juga memiliki anak yang seusia dan sama-sama Ujian Nasional pun curhat hal yang sama.

“Sama kali, Dev… anak gue juga. Tadi pagi yang biasanya berangkat jam 6, jam 05.30 udah pamit. Pas gue tanya ngapain berangkat pagi-pagi bener. Katanya ada briefing dulu sama gurunya di sekolah. Gue awalnya sih percaya dia beneran ada briefing karena ini kan UN hari pertama. Lah, nyatanya barusan gue telepon tadi katanya briefingnya itu ya bagi-bagi kunci jawaban. Gimana gue nggak gemes, Dev…”

“Trus, anaknya Mbak nyontek juga?”

“Dia bilang sih enggak, katanya: “Enggak kok Bun, soalnya ternyata lebih gampang daripada soal try out. Kakak bisa ngerjain sendiri kok. Temen yang lain sih banyak yang nyontek, tapi kakak ngerjain aja sendiri…”

Kembali mengutip apa yang dulu pernah saya tuliskan juga di postingan #IndonesiaJujur: Tip of an Iceberg:

“Ada semacam paradigma yang berkembang di Indonesia, tidak lulus ujian itu sama seperti menghadapi vonis kematian. Tampak begitu menyeramkan, bukan hanya bagi siswa tapi juga bagi sekolah. Karena jika pada kenyataannya ada banyak siswa yang tidak lulus ujian nasional, maka akan menyebabkan jatuhnya peringkat dan kredibilitas sekolah di mata masyarakat. Semakin tinggi nilai yang diraih siswa dan besarnya prosentase kelulusan siswa, akan menjadi pengukur keberhasilan guru dalam mendidik siswanya. Nah, adanya tuntutan untuk mengusahakan agar siswa bisa lulus semua ini menyebabkan siswa dan sekolah pun akhirnya seperti menghalalkan segala macam cara untuk menghadapi Ujian Nasional.

Seperti halnya make up yang berfungsi untuk memperindah dan mengoreksi wajah, sekolah yang sebenarnya tidak sanggup mendidik anak untuk  mampu menjawab UAN ikut memakai make up. Anak didik bisa lulus dengan nilai bagus tapi dari hasil menyontek. Sehingga hasil pendidikan yang bisa dibawa anak setelah lulus tetap  tidak terpecahkan, karena orientasinya masih berkutat pada kisaran nilai yang bagus. Jadi, selama root cause-nya tetap sama ya selamanya akan tetap ada usaha untuk “mengakali” ujian demi nilai bagus dan membentuk citra pendidikan yang berhasil. Padahal pada kenyataannya tidak begitu.”

Dalam hati diam-diam merasa skeptis sendiri. Sekarang aja sudah sedemikian kacaunya, lha gimana zaman anak saya sekolah nanti? 😕

 

 

[devieriana]

Continue Reading