Perayaan Natal selalu membuat saya flashback kepada kenangan masa kecil dulu, ketika masih tinggal di Lawang, sebuah kota kecil di Kabupaten Malang. Tentang hubungan harmonis yang terjalin antara keluarga kami dengan murid-murid kolintangnya Papa. Entah, kok rasanya di jaman saya masih kecil dulu kehidupan beragama sepertinya jauh lebih tenang, harmonis, dan penuh toleransi, ya? Tidak seperti sekarang yang kayanya mau ibadah aja dibikin ribet. Belum lagi keamanan ketika menjalankan peribadatan yang belum jelas terjamin. Uniknya lagi hampir setiap tahun selalu ada ‘debat tahunan’ tentang halal/haramnya pemberian ucapan selamat Natal kepada pemeluk agama Nasrani. Trenyuh :|. Inikah negara yang katanya menjunjung tinggi azas kebebasan beragama itu? 🙁
Dulu, selain menjadi PNS, Papa mengisi waktu luangnya sebagai pengajar kolintang (alat musik tradisional asal Manado). Dulu memang Papa aktif di kegiatan bermusik, dan kebetulan bisa bermain kolintang, sehingga Papa sering diminta mengajar di sana-sini. Murid Papa bermacam-macam, ada ibu-ibu Dharma Wanita, dan jemaat di beberapa gereja.
Sangat menarik jika saya mencermati hubungan baik yang terjalin antara keluarga kami dengan para murid Papa, terutama dengan para jemaat gereja. Ketika kami merayakan lebaran, secara otomatis murid-murid Papa datang ke rumah untuk sekadar bersilaturahmi. Begitu juga ketika Natal tiba, biasanya selain acara utama di gereja mereka berkumpul di rumah salah satu anggota jemaat untuk sekadar kumpul bersama, dan Papa Mama pun biasanya diundang kesana (acara ini murni acara kumpul-kumpul, makan bersama, semacam acara silaturahmi). Sebagai bentuk penghormatan dan toleransi umat beragama Papa Mama pun hadir memenuhi undangan mereka.
Sebagai konsekuensi mengajar kolintang di gereja tentu saja Papa harus paham beberapa lagu gereja yang ingin mereka pelajari/mainkan. Papa juga tidak segan untuk tampil membantu mereka di atas panggung. Kalau sore, kadang saya suka ikut Papa ketika mengajar kolintang, ya walaupun akhirnya saya sibuk bermain sendiri dengan salah satu anak pengurus gereja. Namanya juga anak-anak 😀
Yang paling berkesan hingga saat ini adalah kebaikan sepasang suami isteri jemaat gereja bernama Pak Peter & Bu Peter, yang ternyata punya perhatian dan kepedulian yang tinggi dengan keluarga kami. Pernah suatu malam yang gerimis, seusai mereka berkonsultasi tentang perkolintangan menyambut Natal, tanpa sengaja Bu Peter mendengar adik bungsu saya —yang waktu itu masih kecil— batuk-batuk. Kebetulan adik saya memang sedang sakit flu batuk pilek. Sebenarnya sudah diberi obat pereda flu oleh Mama, tapi entah mengapa belum sembuh juga, kebetulan memang belum sempat ke dokter.
Tak lama setelah mereka berpamitan (kurang lebih setengah jam kemudian) ternyata mereka berdua kembali ke rumah kami dengan membawa obat flu untuk anak yang dikenal manjur di keluarga mereka. Terharu. Alhamdulillah, beberapa hari setelah mengonsumsi obat itu adik saya sembuh. Terharu, segitu perhatiannya, mereka bela-belain kembali ke rumah kami padahal sudah malam dan hujan, cuma untuk membelikan adik saya obat flu ala keluarga mereka. Saya yang waktu itu masih kecil pun sudah bisa merasakan betapa tulusnya hati mereka berdua.
Entah bagaimana kabar mereka berdua sekarang, karena memang sudah lama tidak pernah ada kontak lagi selepas Papa pensiun dan memilih untuk menetap di Sidoarjo.
Persembahan saya untuk teman-teman yang merayakan Natal, dari grup acapella asal Italia favorit saya Neri Per Caso , semoga berkenan 🙂
Semoga kelak kebebasan beragama bukan hanya sebagai slogan kosong dan retorika semata, namun nyata adanya…
“Selamat Natal, Kawan. Semoga kasih dan damai Natal senantiasa dilimpahkan di tengah keluarga kalian. Damai di bumi, damai di hati…”
[devieriana]
sumber gambar dari sini