“Isteri itu tiga…”

Ustadz WijayantoSetiap bulan, di kantor saya hampir selalu diadakan pengajian bulanan yang diperuntukkan bagi seluruh pegawai. Penceramahnya pun berganti-ganti, mulai dari yang belum dikenal sampai yang sudah terkenal.

Dari sekian banyak ustadz yang pernah didatangkan ke kantor, tidak semuanya bisa memikat hati saya. Halah! Maksudnya, terkait dengan communication skill mereka gitu, Kak. Kan masing-masing pendakwah punya gaya masing-masing; dan tentu saja subjektif sekali tingkat kemenarikannya. Ada yang gaya berdakwahnya lurus, lempeng, nggak ada becandanya sama sekali. Ada juga yang lucu sampai sepanjang acara kita tertawa terus (jadi sebenarnya yang diundang ini ustadz apa komedian?). Atau, ada juga yang gaya bicaranya ceplas-ceplos dan ‘tanpa rasa bersalah’. Ya, intinya semua pendakwah punya gaya dan ciri khas masing-masing; toh intinya tetap sama, berdakwah. Nah, entah mungkin karena saya cenderung makhluk visual dan auditory makanya saya lebih bisa ‘masuk’ ketika diceramahi dengan gaya dan kalimat-kalimat yang menarik :mrgreen:.

Tapi di antara mereka ada satu ustadz yang sejak awal kemunculannya di televisi sudah saya sukai karena gaya berceramahnya yang ‘segar’, gaya bahasa yang digunakan sederhana, lucu, dan tidak lebay. Beliau juga datang dari kalangan akademisi; seorang pengajar program Magister Manajemen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan pengisi acara di beberapa stasiun televisi. Beliau adalah Ustadz Wijayanto.

Nah kok ya ndilalah hari Rabu (18/09) kemarin seolah dream come true buat saya, ustadz yang saya kagumi itu diundang untuk memberi tausiyah di kantor saya. Ndilalahnya lagi, kok ya pas saya yang jadi MC-nya. Ya walaupun nggak ngaruh, tapi… ya nggak apa-apa sih, saya cuma seneng aja! 😆

Ceramah yang seharusnya sudah dimulai sejak pukul 12.30 ternyata baru bisa dimulai sekitar pukul 13.30-an, karena kami harus menunggu beliau selesai syuting untuk salah satu program televisi yang syutingnya dilakukan di Taman Mini. Ah, tak apalah Pak, yang penting Bapak bisa datang :mrgreen:

Ceramah baru saja masuk sesi preambule, tapi lobby sudah digemuruhkan dengan gelak tawa. Beliau dengan ekspresi datar menceritakan sebab mengapa beliau sampai datang terlambat.

“Maaf, menunggu lama. Tadi saya syuting dulu, jadi ke sininya agak terlambat. Sebenarnya yang lama itu bukan syutingnya, tapi nunggunya. Nunggu mbak-mbak hijabers pada dandan. Itu jilbab diuwel-uwel, dilapis kain warna-warni, dipenitiin sana-sini, dibikin tali-tali, dikasih kembang, trus di ujung kepala dikasih gembok. Nah, itu… makanya lama. Maaf ya, Pak/Bu…”

Digembok? Emangnya pager kos-kosan? 😆

Dari situ mulai mengalir kalimat-kalimat lucu dari bibir ayah 3 orang putra itu. Saya yang duduk di balik sketsel di samping meja sound system pun tertawa sendiri. Secara fisik beliau sama sekali jauh dari kesan lucu, sosok lelaki Jawa berperawakan sedang, berpenampilan kalem dan sederhana, berbaju koko warna putih yang dipadu dengan peci hitam dan celana panjang warna gelap itu ternyata mampu membius perhatian semua yang hadir di sana. Pilihan kata-katanya sederhana, mudah dipahami, tidak semua berisi ayat-ayat Quran, tapi lebih ke keseharian. Mungkin karena latar belakang beliau yang seorang pendidik sehingga menerapkan hal yang sama seperti ketika beliau sedang mengajar mahasiswa-mahasiswanya. Ya kali… :p

Sesekali beliau menyelipkan guyonan segar yang tak disangka-sangka, seperti beberapa kalimat di bawah ini.

“Ibu-ibu suka poligami? | ENGGAAAK! | Kalau bapak-bapak, suka poligami? | SUKAAAA! | Sudah, jangan dibahas lagi. Karena sesungguhnya poligami itu bukan untuk dibahas, tapi untuk dilaksanakan!”

*pecah tawa se-lobby :lol:*

“Lha iya, ibu-ibu ini ya aneh, dulu Nabi pun waktu ditanya siapa yang paling diprioritaskan dan dihormati, beliau menjawab yang pertama adalah? | Ibumuuu… | Lalu? | Ibumuuu… | Lalu siapa lagi? | Ibumuuu… | Baru siapa? | Ayahmuu.. | Jadi, ibunya ada berapa? | Tigaaa… | Ayahnya? | Satuuu.. | Nah, kan? Ibu itu memang harus tiga, ayahnya satu aja cukup; karena ‘is-tri’ itu memang artinya kan 3. Kalau satu namanya ‘is one’. Dua itu ‘is two’. Kalau Eyang Subur itu ‘is seven’. Ibu ini gimana sih; udah nggak bisa matematika, nggak bisa bahasa Inggris pula. Kalau saya sih alhamdulillah, isteri saya tiga. Anaknya…”

*ngakak sambil up date twitter :lol:*

“Manusia itu kalau sudah mengalami ’10 B’ berarti dia harus segera tobat. Nah, ‘B’ apa saja itu? Buta/burem. Kalau Bapak/Ibu bbman aja milih font-nya ukuran 24, itu tandanya sudah harus berhati-hati. Budheg (tuli). Kalau Bapak/Ibu diajak ngomong sudah hah-heh-hah-heh, nanya berkali-kali, itu juga sudah harus waspada. Beser (sering ke toilet untuk buang air kecil), batuk-batuk, boyok (back pain, encok, pegel linu). Cirinya gampang, biasanya sering ditemui kalau pas lagi di pengajian, maunya sandaran di tembok melulu. Nah itu juga harus diwaspadai. Bau balsem/PPO/minyak kayu putih, nah itu apa lagi. Saya itu kalau ketemu sama orang yang bawaannya jaketan terus, kening kiri kanan ditempeli koyo, kalau tiap kali ketemu baunya minyak angin melulu udah pasti mikir, “wah, pasti udah ‘deket’ nih…” Trus, ‘B’ selanjutnya yaitu beruban, bingung (pikun), buyuten (gemetaran), dan bungkuk. Kalau bapak/ibu sudah banyak yang merasa begitu segeralah tobat…”

Sampai sini saja saya sudah terpingkal-pingkal; membayangkan bbm-an dengan font ukuran 24 itu handphone-nya segede apa coba? Talenan? :mrgreen: 😆

“Uban itu jangan dicabuti Pak/Bu, karena uban itu sebagai penanda. Jadi bagi yang sudah beruban… ya sudahlah, wabillahitaufiq wal hidayah, ya. Kemarin ada yang nanya ke saya, “Pak, gimana kalau ubannya saya semir aja?” Halah, ya pasti ketahuan tho ya, malaikat kok arep mbok apusi karo semir!”

Dikira malaikatnya dulu mantan kapster di Johny Andrean apa, ya?

“Bapak/ibu pasti punya panggilan untuk pasangan masing-masing, kan? Mulai sekarang berikan panggilan yang baik untuk pasangan masing-masing. Jangan mentang-mentang isterinya gemuk, terus bapak seenaknya manggil, “Mbrot! Sini, Mbrot!” Ya walaupun memang isteri bapak gemuk, tapi jangan terlalu jujur. Atau, mentang-mentang suami ibu kulitnya item, trus ibu kalau manggil suaminya, “Bleki, sini!””

Sampai sini saya ngakak tak tertolong. Bleki! Emangnya guguk? :mrgreen: 😆

“Saya itu ngapalin Qur’an butuh waktu lumayan lama; 6 tahun. Kalah jauhlah sama Bapak/Ibu. Kalau Bapak/Ibu kan ngapalinnya cepet, 3 bulan pasti sudah hafal… Qulhuallahu ahad sama Inna a’toina”

Pak! 😆

Di sepanjang acara yang berdurasi 1.5 jam itu kami bukan hanya mendapat tambahan pengetahuan tentang agama saja, tapi juga dibuat tergelak-gelak oleh celetukan-celetukan spontan ala beliau. Belum lagi melihat mimik muka beliau yang selalu tanpa ekspresi dan ‘tak bersalah’ itu membuat kami gemas sendiri.

Bahkan di ujung acara, sebelum doa bersama, beliau masih sempat melontarkan celetukan,

“Ini pengajian rutin bulanan? | Iyaa.. | Halah, kok kaya perempuan aja, bulanan. Hambok ya ceramah kaya gini ini diadakan 2 minggu sekali. Mau kan, saya ada di sini 2 minggu sekali?”

Tuh, kan? :mrgreen:

Ah, kalau saya sih mau-mau aja, Pak. Soalnya Bapak lucu… 😆

[devieriana]

 
foto dipinjam dari sini

Continue Reading