Bagi yang sudah sering bermain di ranah social media pasti familiar dengan yang namanya twitter, kan? Tempat dimana kita bisa berceloteh dan menceracau tentang apa saja. Tempat berbagi hal positif sekaligus negatifnya.
Pasti kita juga sudah tidak asing dengan hashtag memetwit atau twit memedi, atau twit horor, atau twit menyeramkan yang kerap ‘disajikan’ tiap malam Jumat, kan? Kisahnya sendiri ada yang berdasarkan pengalaman nyata, atau hanya cerita rekaan belaka. Tapi yang jelas pasti bertema horor. Namun dalam perkembangannya, #memetwit mengalami penyimpangan ide, mungkin maksudnya untuk mengubah timeline malam Jumat menjadi tidak melulu berisi cerita horor ya, sehingga ada yang memodifikasinya dengan memberikan tweet-tweet lucu walaupun dengan tetap menggunakan tema dan tokoh seram.
Tapi, ketika menyimak timeline twitter dengan hashtag #hororgagal beberapa minggu yang lalu kok rasanya itu adalah timeline dengan tema horor komedi yang paling nggak lucu. Apa lucunya kalau yang dijadikan bahan lelucon adalah perkosaan?
“Bang.. Ingatkah kau yang telah memperkosaku? | Perkosa apaan sih Neng, masuk aja enggak! #eaaaa”
“Bang, ingatkah kau telah memperkosaku? | Se-se-setan! | Apa? Jadi gue dulu diperkosa sampai mati??? #hororgagal #barunyadar
“Bang , kau telah memperkosaku | m4caa ce3hhh | iya bang | 0u9hT c3muN9udht eaaa | (?_?’!l) #diperkosa ababil #hororgagal”
Itu adalah sebagian kecil contoh tweet yang dibuat untuk lucu-lucuan, yang awalnya di-tweet oleh seseorang dan lalu menyebar dalam bentuk retweet oleh banyak orang, termasuk oleh para selebtwit yang memiliki ribuan follower pun ikut ‘khilaf’ menge-tweet dengan tema yang sama.
Ok, katakanlah saat itu saya yang sedang tidak berada dalam frekuensi kelucuan yang sama dengan mereka. Atau, mungkin saya yang waktu itu lagi sensi sehingga merasa sangat kurang nyaman menyimak timeline malam itu. Kalau memang perkosaan adalah hal yang lucu dan pantas dijadikan bahan becandaan, kok sampai sekarang saya belum bisa menemukan di mana letak kelucuannya, ya? Bukankah perkosaan itu adalah musibah yang seharusnya disikapi dengan empati, tapi mengapa malah dijadikan bahan lelucon, ya? 😕
Bersyukurlah, karena keluarga dan orang-orang terdekat kita masih dijaga keselamatannya oleh Tuhan sehingga terhindar dari berbagai tindak kriminal, termasuk salah satunya perkosaan. Tapi coba deh sejenak kita lihat di luar sana, ada berapa banyak perempuan korban perkosaan; rape survivors & sexual abuse yang bukan hanya terluka secara fisik, namun juga psikis, dan bahkan ada yang harus menanggung hasil perkosaan yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki. Bagaimana perjuangan mereka untuk tetap survive, dan berusaha melupakan kejadian pahit yang pernah dialaminya? Ibaratnya, mereka sedang menyimpan sebuah kotak pandora di dalam sebuah ruang rahasia yang tidak ingin mereka buka, tidak ingin mengeluarkan isinya, apalagi memamerkannya sebagai benda istimewa pelengkap mebel. Kebanyakan mereka tidak punya teman untuk bertukar cerita; kalau ada teman pun belum tentu mereka sanggup untuk bercerita; cenderung menjadi sosok yang introvert, dan memilih untuk menyimpan lukanya sendiri. The silent cry!
Seringkali terjadi, walaupun mereka sudah diberikan layanan medis, psikologis, dan pendampingan hukum, namun tetap saja luka dan ingatan tentang kejadian buruk itu tidak bisa serta merta hilang begitu saja bersama waktu. Tak jarang kelebatan kejadian masa lalu yang buruk itu mendadak berlompatan muncul silih berganti. Belum lagi jika ada trigger yang mengingatkan kembali pada kejadian itu. Coba bayangkan, apa yang akan kita lakukan jika yang menjadi korban perkosaan itu adalah orang terdekat kita? Naudzubillah mindzalik, ya. Kalau sampai seperti itu, apa iya kita masih sanggup menggunakan kata perkosaan sebagai bahan becandaan?
Pernah baca tentang kisah nyata siswi SMA di Jepang berusia 17 tahun yang bernama Junko Furuta yang meninggal di tahun 1988 setelah diperkosa beramai-ramai selama 44 hari, disiksa secara biadab, dan akhirnya dimutilasi oleh teman-temannya sendiri? Kalau belum, silakan search di google, baca sendiri kisahnya hingga selesai, dan rasakan feel penderitaan Junko Furuta hingga menjelang ajal. Fakta lain yang juga tak kalah menyakitkan adalah para pembunuh Furuta sekarang adalah manusia-manusia yang bebas dari jeratan hukum dengan alasan kurang adanya bukti kuat yang mendukung bahwa mereka adalah pelakunya. Lagi, setelah membaca kisah sedih itu, masih layakkah perkosaan menjadi bahan lelucon/becandaan?
Jika dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah “tweet-mu, harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, atau “statusmu, harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status/tweet dan lalu menekan tombol publish/enter, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya sampai dengan batas yang tidak mampu kita tentukan. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh tetap saja bisa diterima secara berbeda oleh orang lain. Itulah saat dimana kita sudah kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian. Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca statement kita itu juga manusia, yang punya punya perasaan, martabat, dan harga diri. Bukan berarti tidak boleh mengeluarkan pendapat, akan tetapi lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan statement, apalagi yang sifatnya pribadi.
Think before you post!
Jika Anda peduli dengan para korban perkosaan dan sexual abuse, silakan support dan follow @lenteraID. Atau jika berkenan untuk menjadi relawan atau sekedar ingin berbagi cerita silakan mengirim email ke lenteraid[at]gmail[dot]com. Semoga kita bisa saling menguatkan.. 🙂
[devieriana]
ilustrasi dari sini