Tak terasa, sebentar lagi puasa, dan lalu lebaran. Sebuah moment yang pasti sudah ditunggu-tunggu bagi semua muslim yang merayakannya, bukan? Tapi bagi sebagian orang mungkin acara kumpul-kumpul dengan keluarga tidak selalu menjadi saat yang menyenangkan. Kenapa? Berkumpulnya keluarga besar justru akan memberi kesempatan terlontarnya pertanyaan-pertanyaan klise seputar the ‘kapan’ things. Iya, pertanyaan: “kapan lulus?”, “kapan nikah?”, “kapan punya anak?” dan sejenisnya itu.
Ketika kita berada di tengah banyak anggota keluarga seperti itu rasanya tidak mungkin kalau kita tiba-tiba menghilang, atau menghindar pergi tanpa basa-basi. Apalagi di moment yang memungkinkan kita mengobrol dengan banyak teman atau keluarga yang tidak setiap hari bertemu. Jadi jangan heran kalau pertanyaan ‘the kapan things’ akan menjadi pertanyaan yang tidak mungkin untuk dihindari.
Setiap kali kita melewati satu tahap, maka akan ada pertanyaan mengenai tahap berikutnya. Ketika sampai pada tahap berikutnya, akan muncul pertanyaan baru untuk tahap yang lebih tinggi, begitu seterusnya. Mungkin bagi yang sudah melewati berbagai fase kehidupan yang hampir lengkap (lulus kuliah, sudah bekerja, sudah menikah, sudah punya anak, dan sudah mau punya mantu), tidak sepenuhnya pertanyaan itu bermaksud untuk menyakiti atau menyinggung orang yang diajak bicara. Tapi terkadang justru ‘ice breaker’ semacam itulah yang tanpa sadar bisa menimbulkan rasa sedih, tersinggung, atau tersakiti bagi orang yang ditanya, sekalipun mereka berusaha menjawab dengan wajah yang (di)ceria(-ceriakan), karena bagi sebagian orang pertanyaan-pertanyaan semacam itu termasuk pertanyaan pribadi, dan tidak selalu membuat yang ditanya merasa nyaman.
Sadarkah bagi yang bertanya kalau orang yang belum lulus itu benar-benar tidak ingin menyelesaikan kuliahnya? Atau bagi yang belum punya pasangan itu bukan berarti dia sengaja tidak berusaha mencari calon tambatan hati? Atau bagi yang sudah lama pacaran tapi belum menikah, itu berarti mereka tidak punya rencana ke arah sana sehingga harus ditanya berulang kali dan diburu-buru? Atau bagi yang sudah menikah tapi belum dikaruniai keturunan itu sudah pasti mereka tidak ingin punya anak dan tidak berusaha, sehingga harus ‘dinasihati’ kalau punya anak itu jangan ditunda-tunda? Belum tentu seperti itu, kan? Sadarkah bagi yang bertanya kalau jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati itu masih menjadi otoritas Sang Mahakuasa? Saya percaya, ketika ada doa dan harapan kita yang belum diijabah oleh Allah, sebenarnya Dia ingin menjadikan kita seorang yang terbaik dari diri kita lebih dulu; become an ultimate us.
I have been dealing with those questions for last 7 years since 2007. Respon saya? Mulai ekspresi saya yang masih bisa cengar-cengir, lalu berubah jadi cuek, berubah mulai BT, lalu jadi BT beneran, dan jadi BT banget, sampai malas ketemuan, dan akhirnya berubah jadi netral dan santai lagi. Jujur, bukan hal mudah untuk mengendalikan perasaan saya, butuh proses yang panjang untuk bisa berdamai dengan hati saya sendiri.
Hingga akhirnya, ketika saat itu tiba; ketika Allah memberikan saya kembali kesempatan untuk mengandung, reaksi saya jelas bersyukur, tapi tidak lantas euforia. Saya bahkan cenderung lebih pendiam, tidak terlalu banyak ‘omong’ di dunia nyata maupun di social media. Bahkan di kantor pun pada awalnya juga tidak ada yang ngeh kalau saya sedang mengandung hingga kehamilan saya menginjak usia 5 bulan dan perut saya terlihat mulai membuncit. Saya juga tidak lantas menulis secara heboh apapun yang saya rasakan selama menjalani masa kehamilan, baik itu di blog pun di status bbm/socmed.
Saya juga tidak lantas ganti melontarkan pertanyaan yang dulu sering ditanyakan ketika saya belum hamil ke teman/saudara yang belum hamil, karena saya tahu bagaimana rasanya berada di posisi yang sama dengan mereka. Bahkan untuk mengunggah foto kehamilan saya ke socmed atau menjadikannya sebagai profil picture gadget pun sengaja tidak saya lakukan. Bukan bermaksud tidak ingin berbagi kebahagiaan, selain memang kebetulan selama hamil saya jadi tidak suka difoto (dilarang narsis sama yang di perut kayanya sih), buat saya lebih penting adalah menghargai perasaan orang-orang terdekat yang belum diberikan kesempatan itu oleh Yang Di Atas.
Teman saya pernah bilang begini,
“Kalau kamu ditanya soal jodoh, itu masih jauh lebih ringan ketimbang kamu ditanya soal “kapan punya anak?” Karena menurutku, itu sama aja seperti kita sedang di-judge sama mereka tentang kemampuan kita untuk hamil”.
Andai saja jodoh dan anak bisa dibeli di supermarket, mungkin kita bisa memilih kapan dan dengan siapa kita akan menikah. Kapan saatnya kita ‘membeli’ anak untuk pertama kali dan kapan akan menambahnya sesuai dengan yang kita mau.Tapi toh kenyataannya tidak seperti itu, bukan? Buat saya dua-duanya itu murni rezeki dari Allah. Sebagai manusia kita cuma bisa menjalani sambil berdoa dan berusaha. Rezeki Allah itu bisa hadir dalam bentuk apa saja dan dari mana saja. Kedatangannya pun bisa dipercepat atau diperlambat tergantung dari kesiapan kita menerima rezeki itu. Mungkin menurut kita, kita sudah siap, tapi kalau menurut Allah belum, ya berarti memang belum saatnya. Begitu juga sebaliknya. I do believe, if God brought you to it, He will bring you through it.
Pertanyaan basa-basi seperti “kapan menikah”, “kapan punya anak”, dan berbagai pertanyaan ‘kapan’ lainnya tidak akan seketika berhenti setelah kita menikah atau punya anak. Pertanyaan “kapan nambah anak”, hingga “kapan mantu” pun harus siap kita hadapi saat kita sudah menikah. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai makhluk sosial kita tidak mungkin menghindari obrolan-obrolan ice breaker semacam itu. Tinggal siapkan saja hati dan mental kita sembari menebalkan telinga. Tapi tidak perlulah sampai kita masukkan ke dalam hati, dibawa rileks saja. Keep enjoy the whole process, dan tetap percaya bahwa Allah selalu memberi sesuatu tepat pada waktunya.*group hugs*
Try to speak for peace and (always) think before you speak
🙂
[devieriana]
sumber ilustrasi dipinjam dari @komik_jakarta