“Hari ini ‘ku gembira
Melangkah di udara
Pak Pos membawa berita
Dari yang ‘ku damba…”
—–
Bagi generasi tahun 2000-an mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba eletronik, termasuk hal surat-menyurat. Tapi bagi yang tumbuh di era ’90-an seperti saya, tentu masih ingat bagaimana memaksimalkan jasa PT Pos Indonesia dengan segenap fitur pelayanannya. Keberadaan surat kala itu masih menjadi media yang sangat diandalkan terutama untuk berkirim kabar dengan keluarga/teman yang tinggal di luar kota atau luar negeri. Bagi saya yang sangat menggilai korespondensi, pengiriman surat bukan cuma untuk bertukar kabar dengan teman/keluarga saya yang di luar kota saja, teman sebangku yang tinggalnya masih satu kecamatan pun saya ajak kirim-kiriman surat. Bahkan jarak rumahnya saja jauh lebih dekat dengan rumah saya ketimbang kantor pos tempat saya mengirim surat. Serius! :-j
Beda Pak Pos generasi saya dengan Pak Pos generasi orang tua saya mungkin ada di tampilan Pak Posnya. Kalau di zaman orang tua saya dulu, Pak Pos menjalankan tugasnya dengan naik sepeda kumbang. Di jok belakang sepedanya ada tas mirip pelana kuda, berisi surat-surat yang siap diantar. Sedangkan di zaman saya, sudah ada sedikit kemajuan, dia naik motor berwarna oranye cerah, kadang membawa tas yang mirip pelana kuda itu, tapi tak jarang juga membawa kotak yang tampilannya mirip bus surat.
Oh ya, ngomong-ngomong tentang bus surat, dulu keberadaan bus surat sangatlah eksis. Dia berada di mana-mana untuk memudahkan para pengguna jasa pos menyampaikan suratnya tanpa harus ke kantor pos. Beberapa hari sekali dipastikan akan ada Pak Pos yang mengambil surat-surat dari dalam bus surat itu untuk kemudian dibawa ke kantor pos dan diproses lebih lanjut. Tapi sepertinya keberadaan bus surat sekarang sudah jarang, ya? Kalaupun masih ada, jumlahnya tidak sebanyak dulu, dan kondisinya pun nyaris tak terawat.
Setiap mendengar deru suara motor berwarna oranye yang berhenti di depan rumah selalu saja menimbulkan keriangan dan adrenalin tersendiri. Terlepas dari Pak Pos akan menyampaikan surat untuk siapa, saya selalu berharap setidaknya ada satu surat yang akan saya terima. Apalagi kalau sepulang sekolah/kuliah/kantor dan melihat ada sebuah amplop yang sengaja diletakkan di meja belajar oleh Mama saya sudah senang luar biasa. Apalagi kalau tahu itu surat dari gebetan. Uhuk! *batuk rejan*
Traffic pengiriman dan penerimaan surat saya termasuk cukup tinggi, di hari biasa saya bisa mendapatkan surat 3-4 surat dalam seminggu. Apalagi ketika menjelang Lebaran; saya dan adik saya seperti ‘berlomba’ banyak-banyakan menerima kartu Lebaran. Bahkan saking kecanduannya, saya sering sengaja mengirim surat untuk keluarga atau teman dengan harapan mereka akan membalas surat saya beberapa hari kemudian. Isi surat saya pun sangat random, selalu ada saja hal yang saya ceritakan di sana. Saking semangatnya saya bisa menulis lebih dari 2-3 lembar halaman folio bergaris; ukuran font-nya normal lho ya, bukan font berukuran 40-an (hih, pakai istilah font, padahal nulis suratnya saja pakai tangan, bukan diketik pakai komputer [-(). Walaupun habis itu saya keretekin jari karena terasa keriting papan. Ah, mungkin karena saya memang suka sekali bercerita dan menulis essay ketika pelajaran Bahasa Indonesia, ya? Atau jangan-jangan sebenarnya dari sanalah awal mula saya menyukai dunia tulis menulis sehingga akhirnya saya ‘terjerumus’ dalam dunia blogging? :-??
Dari surat menyurat itu saya bisa berkenalan dengan beberapa teman baru. Bukan cuma bertukar cerita, tapi juga bertukar foto (iya tahu, cupu banget), tukar menukar hadiah, dikirimi bermacam-macam stiker lucu, cinderamata, dan yang jelas dari hobby korespondensi itu saya bisa menambah koleksi perangko. Ah, untung waktu itu cuma koleksi perangko ya, bukan koleksi pacar… :-”
Tapi sejak saya menginjak bangku kuliah, intensitas berkirim surat sudah mulai banyak berkurang. Mungkin ada faktor kejenuhan juga, ya? Tapi yang jelas surat-surat manual itu lambat laun sudah mulai tergantikan dengan sms dan email. Surat menyurat yang dulu bisa seminggu 3-4 kali, berkurang drastis menjadi 1-2 kali dalam sebulan. Apalagi setelah saya bekerja, saya lebih banyak menggunakan e-mail sebagai salah satu cara untuk menjalin komunikasi dengan teman/kerabat yang lain, pun untuk koordinasi dan pengiriman laporan pekerjaan. Lama-kelamaan pengiriman surat secara manual itu telah tergantikan dengan e-mail, sms, bbm, dan teknologi lainnya yang jauh lebih praktis, hemat, dan cepat.
Dibandingkan dengan surat yang diketik komputer, saya lebih suka menerima surat yang ditulis tangan. Bukan apa-apa, terasa jauh lebih berkesan dan pribadi saja buat saya, karena ternyata masih ada orang yang rela meluangkan waktu untuk menulis surat , tidak peduli bagus/tidaknya bentuk tulisan tangannya walaupun habis itu saya harus mendekrip tulisan mereka menjadi bentuk tulisan yang lebih mudah dibaca.
Sampai sekarang saya masih menggunakan jasa pos untuk mengirimkan paket/surat, karena kebetulan di basement kantor saya ada kantor pos kecil yang menyediakan jasa pengiriman paket/surat baik pribadi maupun dinas; ya daripada harus keluar kantor kan makan waktu dan tenaga, gitu 🙂
Hari ini tiba-tiba saya merasa rindu kedatangan surat-surat yang ditulis tangan, rindu mendengar suara deru motor berwarna oranye yang berhenti di depan rumah, rindu Pak Pos yang menyampaikan surat-surat pribadi secara langsung ke tangan saya (bukan surat tagihan kartu kredit atau promosi perbankan lainnya).
Ah, maafkan saya yang sering mengubah syair lagunya Vina Panduwinata menjadi:
Hari ini ‘ku gembira,
Pak Pos melayang di udara
Semoga masih boleh lebay sedikit; cuma mau bilang, “terima kasih sudah menjadi bagian dalam hidup saya. Wish you the greatest thing in life, dear Mr. Postman… :)”
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini