Sekitar tahun 2004-2005, saya pernah membaca trilogy David Pelzer True Story, yang terdiri dari buku yang berjudul A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Sebuah trilogy mengharukan tentang bagaimana kisah nyata seorang anak terbuang dan menderita, yang mencoba bertahan hidup melawan child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, hingga sampai pada kisah dia dewasa dan mulai menemukan jati dirinya. David Pelzer menuturkannya dalam bahasa yang sangat menyentuh, hingga kita bisa merasakan apa yang dialaminya dulu.
Dari ketiga buku itu yang paling berkesan adalah buku yang berjudul A Man Called Dave. Dalam buku ini Dave bercerita tentang keberhasilannya menemukan jati diri, dan terlebih lagi adalah kekuatannya yang luar biasa untuk memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya dulu.
Ngomong-ngomong tentang memaafkan, ternyata memaafkan itu bukan perkara mudah. Butuh kebesaran hati dan keikhlasan luar biasa untuk mau memaafkan orang yang telah menyakiti hati. Jujur, saya juga pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan dengan seseorang, dan sampai sekarang saya belum mampu memaafkan apa yang sudah dia lakukan beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnya untuk urusan maaf-memaafkan saya adalah orang yang paling mudah memaafkan, karena pada dasarnya bukan tipikal pendendam. Kalau ada yang kurang sreg dan lalu saya melampiaskannya dengan ngomel, saya pikir masih wajar, toh tidak sampai berlarut-larut. Setelah semua uneg-uneg sudah tersampaikan, dan saya juga sudah berhasil menguasai emosi, biasanya sudah tidak ada lagi yang saya simpan untuk diungkit-ungkit. Saya juga berusaha melupakan apa yang sudah membuat saya marah, jengkel, dll itu seketika ketika kami saling meminta maaf. Saat itu juga kasus itu selesai. Bahkan sering kali saya sudah memaafkan mereka jauh sebelum mereka meminta maaf.
Tapi entah kenapa, untuk sebuah kasus yang tidak bisa saya ceritakan detailnya di sini, sampai sekarang saya belum bisa memaafkan. Kasus yang buat saya luar biasa, karena melibatkan seorang public figure yang dikenal sangat bersih pencitraaannya di media. Untuk sebuah urusan yang awalnya saya tidak berminat untuk ikut terlibat di dalamnya, akhirnya malah jadi terseret ke mana-mana, ikut dimaki-maki (mulai yang berbahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa binatang, sampai bawa-bawa istilah kaum zaman dahulu). Orang tua saya saja tidak pernah memaki anak-anaknya, lha kok dia yang baru lahir tahun berapa sudah sefasih itu memaki-maki orang seenak perut. Bahkan yang paling jahat, dia menggunakan ‘kekuatan hitam’ untuk menyakiti sahabat saya. Bukan itu saja, dia juga memutarbalikkan fakta, dan menempatkan dirinya sebagai korban. Hadeeeh…. L-)
Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak dibiasakan berkata kasar; apalagi memaki atau ‘ringan tangan’. Dulu, kalau ada salah satu dari kami yang ketahuan Mama ngomong kasar sedikit saja (baik itu ke teman atau saudara), sebagai hukumannya kami harus menahan panas dan pedasnya cabe merah yang dilumat mentah-mentah di bibir kami sampai habis. Tindakan yang lumayan keras, tapi efeknya terasa sampai sekarang 😕
Saya tidak peduli apakah dia artis film/sinetron, model, pengusaha, dll… buat saya dia butuhkan saat ini adalah pendidikan tentang manner, karena saya curiga sepertinya di keluarganya tidak pernah diajarkan tentang bagaimana harus berbicara dengan sesama manusia. Seringkali saya tersenyum miris melihat hampir setengah juta follower dia di twitter yang memuja dan menyanjung fisiknya, memuji betapa baik dan manis sikapnya, tanpa tahu bagaimana kepribadian asli sosok yang mereka puja itu :-q
Saya bukan orang yang berhati malaikat; yang dengan mudah memaafkan orang lain. Saya bukan nabi, pun Tuhan yang Maha Pemaaf. Dalam hal tertentu ada prinsip-prinsip hidup yang tidak bisa diutak-atik, terutama jika itu berkaitan dengan saya dan keluarga. Saya tahu, ada kalanya kemarahan yang tidak harus dibalas dengan kemarahan. Ada dendam yang tidak harus dibalas dengan dendam. Ada perlakuan buruk yang tidak harus dibalas dengan perlakuan yang sama buruknya. Tapi untuk kasus yang satu itu mungkin cuma waktu yang akan menyembuhkan saya.
Seperti yang saya bilang tadi, memaafkan bukan perkara yang mudah. Semoga seiring dengan waktu, kelak saya akan lebih dewasa, lebih terbuka hati, sehingga bisa ikhlas memaafkan orang yang telah menyakiti saya, dan melupakan kejahatan apa yang telah dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Semoga saya segera diberikan kesadaran bahwa mempertahankan rasa marah, benci, dan sakit hati itu sangat melelahkan.
Tidak selamanya kita hidup di masa lalu, life must go on. Again, semoga saya segera diberikan kemudahan untuk memaafkan. Aamiin… [-o<
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini