#Bined03 : Bincang Santai Tapi Seru

“Mbak, jaga kesehatan ya, kan kamu hari Jumat ngemsi”, demikian bunyi BBM Kreshna siang hari seminggu sebelum acara Bincang Edukasi tanggal 30 September 2011. Sedikit menunjukkan perhatian, walaupun ada butuhnya disitu, dan saya pun mengiyakan. Toh saya juga tidak ingin mengecewakan sahabat saya itu dengan tampil buruk di muka audiens dia nanti. Uhuk! *batuk beneran*

Tapi apa daya, justru di hari Minggu, tepat beberapa hari sebelum acara Bincang Edukasi berlangsung saya justru mengalami radang tenggorokan dan dilanjutkan batuk hingga saya pun demam. Mungkin efek kecapekan juga, karena hampir tiap minggu nonstop sebelum acara saya tidak punya waktu untuk istirahat. Ada saja kegiatan yang membuat saya harus keluar rumah seharian. Efeknya saya pun ambruk. Sakit ini mungkin salah satu cara badan saya berkomunikasi dan minta waktu untuk istirahat.

Dengan segera saya menuju klinik di kantor (itu juga karena dipaksa sama sahabat saya yang satu lagi yang dengan setia hampir setiap jam mengontrol saya, sekadar bertanya apakah saya sudah ke klinik atau belum). Entahlah, kalau saya nggak segera ke klinik mungkin suara saya akan tetap seperti suara nenek sihir. Singkat cerita batuk saya pun mereda dan alhamdulillah tidak membatukkan diri selama saya memandu Bincang Edukasi malam itu hingga acara selesai. *sujud syukur*

Seperti Bincang Edukasi sebelumnya, acara kali ini masih diadakan di @atamerica – Pacific Place, dengan menghadirkan 5 pembicara yang merupakan praktisi pendidikan yang sangat berkompeten di bidangnya dan akan berbagi ilmu serta pengalaman-pengalaman mereka dalam durasi 17 menit. Dalam Bincang Edukasi Meetup #3 kali ini menghadirkan Novi Hardian, Lala Purwono, Petrus Briyanto Adi, Chandra Marsono, dan Najeela Shihab sebagai pembicara.

Acara dibuka oleh Mbak Adelaine dari @atamerica yang menjelaskan sedikit tentang @atamerica beserta program-program kegiatannya, baru setelah itu menyerahkan acara sepenuhnya pada saya.

It’s a show time!

*****

Sebagai pembicara pertama yaitu Mas Novi Hardian dari Sekolah Alam Indonesia. Mas Novi ini adalah Direktur Akademik di Sekolah Alam Indonesia. Malam itu beliau berbagi cerita tentang suka dukanya selama 10 tahun mengelola Sekolah Alam Indonesia.

“Kami memiliki mimpi kelak anak-anak yang bersekolah di Sekolah Alam Indonesia akan menjadi generasi yang memimpin,” demikian kata Mas Novi membuka paparannya malam itu.

Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah yg tidak hanya berbasis alam, tapi juga berbasis komunitas di mana yayasan, guru dan orang tua bertanggung jawab pada pelaksanaan pendidikan. Sekolah Alam Indonesia berdiri sejak tahun 1998 dan berlokasi di Ciganjur. Bisa dijumpai di situs http://sekolahalamindonesia.org.

Ada beberapa alasan mengapa dibentuk Sekolah Alam. Diantaranya adalah karena adanya keprihatinan akan kualitas hasil pendidikan nasional. Sekolah menjadi bisnis, sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal. Hubungan lembaga sekolah dengan orangtua siswa semakin tereduksi sebatas penjual jasa dan konsumen. Akibatnya, peran orangtua dalam pendidikan anak-anaknya pun semakin menyempit.

Beberapa alasan itulah yang menjadi landasan awal berdirinya Sekolah Alam. Sekolah Alam memberikan sebuah konsep pembelajaran yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar, sekaligus memanfaatkna kekuatan komunitas dalam menyelenggarakan pendidikan. Kenapa memilih alam? Karena alam menyediakan segala sesuatu yang bisa kita pelajari. Learning is fun, anytime, anywhere.

Dalam slide terebut Mas Novi menayangkan metamorfosa Sekolah Alam tahun 2001 hingga 2000. Sekolah Alam yang awalnya hanyalah sebuah bangunan sederhana diatas tanah rawa, pelan-pelan berubah menjadi sekolah dengan lingkungan yang hijau dan teduh. Para konseptor Sekolah Alam ini juga meyakini bahwa mutu pendidikan di Indonesia ditentukan oleh 3 faktor, yaitu guru yang berkualitas, metode pengajaran yang tepat, dan ketersediaan sumber-sumber ilmu.

Lalu, apa maksud sekolah yang berbasis komunitas? Tidak ada pemilik individual. Pemilik sekolah adalah semua pemangku berkepentingan. Siapa saja mereka? Mereka adalah guru, orangtua, karyawan, dan siswa. Penyelenggaraan pendidikan tidak berorientasi pada profit semata. Kalau boleh saya meminjam istilah Mas Novi, “pendidikan anak adalah fardhu ain yang dikerjakan secara berjamaah”. Tumbuh kembang sekolah adalah tanggung jawab bersama.

Di akhir paparan Mas Novi menyebutkan bahwa, pendidikan yang berkualitas bukan hanya untuk kalangan tertentu saja, tapi untuk semua. Setiap anak itu unik. Mereka punya potensi yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik sesuai dengan potensinya.

Ah, sudah selayaknya saya menjura dalam-dalam buat Mas Novi dan segenap pengajar di Sekolah Alam. Thumbs up! :-bd

 

*****

Malam itu praktisi homeschooling Mira Julia (bisa dijumpai di akun twitter @_lala_ ) menjadi pembicara yang kedua. Secara pribadi, ini adalah topik yang selalu mengulik rasa penasaran saya tentang bagaimana seorang anak bisa menjalani pendidikan yang maksimal di rumah. Mbak Mira Julia –yang akrab dipanggil Mbak Lala– membagikan tips dan pengalamannya tentang bagaimana beliau menggunakan konsep homeschooling sebagai cara untuk memberikan pendidikan bagi putranya sehingga mampu mengantarkan putra tercintanya lulus Ujian Nasional SD dengan hasil yang baik. Kuncinya adalah di konsep : belajar itu dilakukan karena membutuhkan dan menyukai.

Pendidikan itu identik dengan istilah belajar-mengajar. Menurut Mbak Lala ada dua perbedaan signifikan tentang cara pandang patut dicermati antara metode pengajaran sekolah dan homeschooling. Yang pertama, sekolah berpandangan bahwa anak itu ibarat kertas putih kosong yang harus diisi. Sementara cara pandang homeschooling adalah setiap anak terlahir jenius, tinggal kita sebagai pengajar dan orangtua yang menggali potensi anak. Jadi bukan hanya melulu menjejalkan materi, tapi juga mengeluarkan apa yang mereka miliki. Cara pandang berikutnya yang berbeda adalah di fokus pendidikan. Fokus sekolah adalah menjadikan anak pintar. Sedangkan homeschooling berfokus pada bagaimana menjadikan anak sebagai pembelajar mandiri. Oh ya, ternyata kebiasaan mengobrol dan bertukar pikiran (berdiskusi) dengan anak juga merupakan fondasi terbaik dalam pendidikan anak lho. Jadi, mulailah sering menjalin komunikasi dengan anak 😉

Mbak Lala mengutip pernyataan Robert T. Kiyosaki, “arti kata Education dalam bahasa asalnya adalah Educare, yang artinya mengeluarkan”. Jadi, jika menilik arti kalimat yang dikemukakan oleh Robert T. Kiyosaki tersebut berarti konsep homeschooling ini sudah dalam konsep pengajaran yang sesuai.

Oh ya, ada hal menarik yang dikemukakan oleh Alvin Toffler, dalam slide yang dipaparkan oleh Mbak Lala itu menyebutkan bahwa yang dinamakan buta huruf abad ke-21 itu bukanlah orang yang tidak mampu membaca/menulis, tapi orang-orang yang tidak mampu melakukan learn, unlearn, dan relearn. Semoga kita bukan termasuk dalam golongan orang yang buta huruf itu ya :-s

Homeschooling membebaskan anak untuk mengeksplorasi dunianya. Namun lebih dari itu, homeschooling juga mengajak orangtua untuk ikut berperan aktif dalam kualitas pendidikan anak-anaknya. Karena seperti yang diutarakan oleh Naomi Aldort, seorang penulis buku parenting :

“Raising Our Children, raising ourselves..”

 

*****

Pembicara ketiga memberikan tema pembelajaran yang tak kalah menariknya dengan dua pembicara sebelumnya. Kali ini kita menghadirkan Mas Petrus Briyanto Adi yang bisa dijumpai di akun twitter @pbadi, lebih akrab dipanggil Adoy. Mas Adoy ini adalah produser, composer dan musisi band Cozy Street Corner. Dia juga composer, co-produser dan musisi di BONITA & the husBand. Kali ini Mas Adoy akan berbagi tentang Valuing Music Project. Penasaran kan apa itu Valuing Music Project? Sama, saya juga 😀

Mas Adoy membuka presentasinya dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul Rumah Temanku. Walaupun dibawakan secara sederhana tapi asli keren banget, suaranya itu lho meneduhkan (pohon kali’ teduh). Dia mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak musikal. Musikal artinya mampu menginderai dan merespon musik. Dia lalu meminta kita untuk memejamkan mata, membayangkan sebuah lagu yang paling berkesan dan paling kita ingat. Saya pun mulai memutar ingatan saya pada lagu Mama yang pernah dinyanyikan oleh Spice Girls. Lagu itu berkesan karena sangat “saya dan Mama” banget :D. Beberapa diantara kami ditanya apa lagu yang ada dalam benak kami dan sebutkan apa alasannya menyukai/mengingat lagu tersebut. Ternyata bisa ditarik kesimpulan bahwa musik itu bukanlah sebuah objek, melainkan experience. Setuju! 😉

Tidaklah terlalu berlebihan jika ada yang mengatakan tanpa musik dunia akan hampa. Sama seperti hidup, peak experience atau tingkatan paling advance dalam musikal adalah fase ketika ketika kita bisa memberi makna dalam musik. Namun kenyataan yang ada di dunia pendidikan kita adalah ketika di sekolah murid diminta untuk hafal not, tahu hitungan, birama, dst. Yang intinya pendidikan musik itu tidak ada kaitannya dengan pengalaman. Hmm, atau mungkin maksudnya biar murid “melek” notasi dulu kali ya? CMIIW..

Mas Adoy mengatakan bahwa ada irisan antara musik dengan pendidikan. Ada hubungan antara musik dan pendidikan, karena sejatinya musik bisa menciptakan atmosfer yang memudahkan proses belajar. Selain itu musik juga berfungsi sebagai sarana survival, teman hidup, cara untuk mengekspresikan diri, dll. Keren ya? Padahal selama ini mungkin kita hanya menganggap musik sebagai salah satu sarana hiburan. Eh tapi kalau saya, musik itu juga bisa sebagai sarana untuk relaksasi diri dan pembangkit mood lho. Curhat dikit gapapa ya 😉

Di akhir presentasi Mas Adoy mengajak kita untuk membayangkan satu kualitas baik yang membuat hidup lebih baik lagi. Pilih dua suku kata saja. Wiih, mau bikin lagu apa lagi nih Mas Adoy dengan kata-kata itu ya? ;;). Saya pun memilih kata “indah”.

“Aku indah, kamu indah, semuanya indah. Bersama semua, dunia semakin indah”.

JREEENG! 😉

*****

Setelah kita sedikit dihibur sama Mas Adoy, kita kembali ke topik yang serius tapi masih tak kalah menariknya. Kita menghadirkan Mas Chandra Marsono yang membawakan topik Cross Culture Management. Mas Chandra Marsono ini adalah Dosen di STIE Trianandra, Business Development Manager di Oxford Course Indonesia Education, Founder & Board of Director di PT Sedna: Writers Academy, TOEFIS, dan Committee Member di FreSh [Freedom of Sharing]. Wiih, banyak ya jabatannya? 😀

Nah, sekarang apa itu Cross Culture Management? Cross Culture Management itu adalah cara bagaimana memahami kultur budaya seseorang, dan menggunakannya untuk mendapatkan sebuah hubungan yang kondusif dan saling menghormati.

Pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh Mas Chandra, “ketika bertemu dengan orang asing banyak orang Indonesia yang minder, kenapa?”. Budaya itu diwariskan, tidak terletak pada DNA manusia. Budaya juga akan membentuk asumsi dasar, norma, dan nilai. Budaya mencitra dalam diri seseorang hingga dia berusia 7 tahun melalui Mental Conditioning. Jadi kalau ada orang Indonesia yang minder ketika bertemu dengan orang asing berarti ada budaya Indonesia yang membentuk perilaku seperti itu. Dari mana saja pengaruh itu didapatkan? Bisa dari orangtua, lingkungan, sekolah, dan pribadi.

Nah, itulah jawabannya 🙂

 

*****

Sebagai pembicara terakhir adalah Mbak Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal & Rumah Main Cikal. Malam ini Mbak Ela –demikian beliau kerap dipanggil– akan berbagi pengalaman dan kisah tentang konsep & mimpi-mimpi pendidikan yang coba diterapkan melalui Sekolah Cikal.

“Saya punya pengalaman sekolah ‘sukses’. Kuliah cepat & lulus cumlaude. Tapi saya merasa tidak bermakna,” demikian Mbak Ela membuka paparannya malam itu. Dari situlah bermula ide terbentuknya Sekolah Cikal dan Rumah Main Cikal.

Belajar itu sequential atau continuous? Sekolah Cikal percaya bahwa belajar itu continuous. Sekolah Cikal berdiri 13 tahun yang lalu, berawal dari preschool. Hingga saat ini sudah berdiri SD, SMP, dan tahun ini mulai berdiri SMA-nya. Sekolah Cikal juga sudah berada di Jakarta dan Surabaya, dalam waktu dekat segera menyusul berdiri di kota-kota lainnya.

Sekolah Cikal menerapkan sistem Five Stars Competencies:
1. Emmotionally, spiritually, and morally rich;
2. Skilfull and an effective thinker;
3. Breadminded and phisically sound;
4. Self-regulated learner;
5. Empowering member of just, sustainable, and peaceful global society

Mbak Ela menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan itu ada 2, intangible curriculum (tidak konkret, abstrak) & tangible curriculum (nyata). Alasan mengapa Sekolah Cikal didirikan adalah karena sesungguhnya pendidikan itu dibentuk oleh intangible curriculum, karena Sekolah Cikal percaya bahwa creativity comes from a diciplined mind.

Dalam slide-nya Mbak Ela juga menyebutkan bahwa konspirasi terbesar pendidikan adalah school then life dan school for life. Ada hal yang harus dipilih antara apakah kita sekolah dulu baru kerja untuk hidup (meskipun pekerjaan itu nantinya tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan yang pernah dijalani), ataukah sekolah itu harus mampu merepresentasikan dunia yang akan dihadapi sehingga anak siap utk terjun kesana? Sepertinya (idealnya) pilihan kedua ya, walaupun banyak yang “terjerumus” dalam pilihan pertama. Iya, termasuk saya ;))

 

*****

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 21.00, berakhir pulalah acara Bincang Edukasi Meetup #3. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan menyenangkan. Ada banyak pembelajaran yang saya dapatkan malam itu, dan utamanya bisa bertemu dengan beberapa teman baru yang sebelumnya hanya saya kenal di timeline.

Terima kasih juga buat Mas Adoy yang sudah memberikan pencerahan seusai acara Bincang Edukasi tentang apa itu suara Voice Over. Ternyata itu adalah istilah untuk suara yang sering digunakan untuk iklan, sulih suara, suara MC, dan suara yang biasa digunakan dalam acara-acara kenegaraan. Suara yang “utuh”.

Uhuk! I’m honored.. *menjura*

Terima kasih buat semuanya. Sampai bertemu dalam Bincang Edukasi Meetup #4 bulan November nanti ya 🙂
:-h

 

 

[devieriana]

 

dokumentasi pribadi

Continue Reading