Rabu (27/7) lalu, saya berkesempatan hadir, tepatnya diundang, dalam acara Bincang Edukasi di @atamerica Pacific Place. Kreshna, salah satu inisiator Bincang Edukasi inilah yang mengundang saya untuk hadir malam itu. Kebetulan saya juga pernah menyumbangkan tulisan untuk #IndonesiaJujur beberapa waktu lalu, yang lagi-lagi gerakan ini juga dipelopori oleh Kreshna 😀
Jujur, awalnya saya masih belum “nyambung” dengan format acara ini. Akan seperti apakah bentuk acaranya? Apakah semacam talkshow, diskusi, sharing idea, forum tanya jawab, atau yang seperti apa? Tapi ketika acara mulai bergulir, akhirnya saya mulai paham dengan format acara ini, dan mulai menemukan keasyikan tersendiri menyimak acara yang mengulas tentang pendidikan dalam berbagai sisi namun disajikan secara ringan sesuai dengan keahlian si narasumber.
Saya sengaja mengambil posisi duduk yang nyaman dan strategis, yang sekiranya cukup nyaman untuk melaporkan dalam bentuk foto dan live tweet. Tidak ada yang meminta saya untuk membuat live tweet. Bahkan saya sengaja meminta izin terlebih dahulu kepada follower saya di twitter, barangkali malam itu saya dianggap “menyampah” di timeline (walaupun isinya sama sekali bukan sampah). Ya, rasanya sayang aja, kalau acara sekeren itu tidak ada reportase secara live-nya.
Kreshna membuka acara dengan mengemukakan secara singkat tentang latar belakang berdirinya Bincang Edukasi serta visi misi mereka. Ternyata ada 5 orang penyaji yang akan tampil malam itu.
Diawali oleh paparan Agus Sampurno, beliau adalah seorang Creative Teaching Evangelist, bisa ditemukan dalam akun twitter @gurukreatif, serta aktif mengelola blognya di http://gurukreatif.wordpress.com. Malam itu beliau menyampaikan sebuah bahasan yang sangat menarik tentang realita pendidikan di Indonesia. Betapa beliau merasakan kemonotonan dalam dunia pendidikan kita. Belajar, ibarat sebuah kegiatan yang harus dilakukan secara formal dan serius. Padahal hal-hal yang serius pun sebenarnya tetap bisa dilakukan secara fun, karena sebenarnya belajar itu menyenangkan.
Beliau lalu menunjukkan sebuah foto kegiatan training untuk para pendidik, yang masih diadakan dalam bentuk yang sangat konvensional. Layaknya sedang mengikuti penataran, para peserta duduk berjajar, mendengarkan, bertanya, dan mencatat. Padahal seorang pendidik yang menginginkan siswanya aktif seharusnya juga mendapatkan training yang bentuknya aktif pula, bukan duduk manis macam itu, kan? Tanpa sadar saya juga mengiyakan.
Guru sebagai sebuah sosok panutan bukan hanya memanggul sebuah tanggung jawab dalam hal pendidikan saja tapi juga dari sisi moral. “Menjadi seorang guru itu sangat berat. Selain dia harus selalu menjadi orang dewasa di dalam kelas, dia juga harus walk the talk. Bahkan, dalam kehidupan online pun kami masih dituntut harus menjadi dewasa”, ujarnya.
Pak Agus juga menunjukkan pada kami bagaimana cara bertepuk tangan ala “silent cheers”. Wah, tepuk tangan yang bagaimana itu? Cukup mengangkat kedua tangan menghadap ke depan, lalu goyangkan seperti lambaian tangan Miss Universe :D. Apa maksud gerakan ini? Ketika seorang siswa maju ke depan kelas, pasti dia sudah mencoba menampilkan semaksimal mungkin apa yang dia mampu. Namun kadang, jika kita mengapresiasi apa yang sudah dia lakukan di depan kelas dengan tepuk tangan, akan ada perbedaan perlakuan antara satu siswa dengan siswa yang lain ketika ternyata siswa yang satu penampilannya tidak sebagus siswa sebelumnya atau sebaliknya. Itulah mengapa Pak Agus menciptakan gerakan tepuk tangan tanpa suara ini. Siswa akan mendapatkan perlakuan yang sama, tidak mendapatkan tepukan tangan yang riuh, tapi dia tetap bisa merasakan apresiasi yang diberikan oleh teman-teman dan gurunya.
Pak Agus menutup paparannya dengan kalimat yang sangat bagus, “Seorang guru yang baik bukan hanya seseorang yang pintar di subjeknya, melainkan seseorang yang bisa menginspirasi bagi lainnya.”
—–
Pembicara kedua yang selanjutnya hadir adalah Nandha Julistya. Beliau adalah inisiator Reading Bugs and KKS Melati. Judul slidenya sangat mengundang rasa penasaran : Tahu Membaca atau Mau Membaca.
Komunitas Reading Bugs ini terbentuk dari mimpi dan keinginan besar untuk melihat anak-anak dan bangsa Indonesia gemar membaca. “Tahu/bisa membaca” dan “mau/gemar membaca” jelas dua hal yang berbeda. Disinilah dibutuhkan usaha orangtua (orang dewasa ) agar kebiasaan membaca menjadi hal yang mengasyikkan bagi anak, sehingga menumbuhkan rasa gemar membaca hingga dewasa nanti.
Dia lalu mencontohkan Dr. Ben Carson. Doktor jenius ini dibesarkan oleh seorang ibu yang hanya lulusan kelas 3 SD dan bekerja sebagai pramuwisma. Namun ternyata dari tangan ibu yang “hanya” mengenyam pendidikan hingga kelas 3 SD ini tumbuh seorang psikolog sekaligus dokter ahli bedah ternama di USA. Si ibu memilih mendidik sendiri anaknya dengan sering memberikan buku-buku bacaan, dan tak jarang pula dia membacakannya sendiri. Pada usia 33, Carson menjadi Direktur Bedah Saraf Anak termuda di USA. Bukan hanya itu, pada tahun 1987, dia juga mengukir sejarah dengan keberhasilannya memisahkan kembar siam di bagian kepala yang pada operasi-operasi sebelumnya selalu mengalami kegagalan.
Pak Nandha lalu menunjukkan slide yang berisi data perbandingan beberapa negara dalam kaitannya dengan skor melek baca. Negara kita, skor melek bacanya tinggi. Namun sayang, tingkat kemauan bacanya rendah. Se-Asia, Indonesia menduduki peringkat 57 dari 65 negara. Duh! 🙁
Beliau juga menyampaikan fenomena membaca di Indonesia, antara lain:
1. anak Indonesia dipaksa sesegera mungkin untuk tahu membaca;
2. pelajaran membaca di Indonesia membuat anak stress;
3. sekolah dan ortu menjadi pembunuh minta baca anak;
4. terjadi manipulasi saat anak belajar membaca.
Di Indonesia ada sebuah fenomena unik, dimana para orangtua seakan berlomba-lomba untuk membuat anak-anaknya bisa membaca sejak dini. Bahkan di salah satu mall di Jakarta ada lho, kursus membaca untuk anak usia 7 bulan dengan biaya mulai dari 900 ribu per bulan hingga sekian juta. Sepertinya kita perlu mencontoh Finlandia. Finlandia adalah negara yang sangat konsisten dalam mendidik anak-anak di negaranya terutama untuk mulai mengenal aksara. Anak-anak Finlandia dikenal sebagai pembaca paling baik. Mereka rata-rata mulai diperkenalkan membaca di usia 7 tahun, tidak ada yang kurang dari usia 7 tahun.
Di akhir paparan Pak Nandha menyampaikan beberapa butir harapan untuk pelajaran membaca di Indonesia:
1. pelajaran membaca dibuat menyenangkan;
2. biarkan anak belajar membaca secara alami;
3. orangtua dan guru berperan aktif dengan membacakan buku (read aloud) secara rutin pada anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah;
4. bermain sambil belajar benar-benar diterapkan sesuai dengan maknanya;
5. membaca, menulis, berhitung, tidak dijadikan syarat penerimaan siswa TK menjadi siswa SD.
Sungguh ulasan yang sangat menarik dan membuat saya jadi lebih paham bahwa untuk menjadikan anak gemar membaca caranya bukan hanya dengan memberikan mereka buku bacaan yang bermutu saja, namun dengan juga dengan mendampingi dan membacakan buku untuk mereka. Yang paling penting bukan target anak bisa membaca, tapi bagaimana membuat waktu membaca menjadi menyenangkan.
—–
Tiga penyaji berikutnya semuanya perempuan. Diawali oleh Karina Adistiana. Dia adalah inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, bisa dijumpai di akun twitter @Anyi_Karina. Dalam acara ini Karina mengajak mendidik anak melalui lagu. Mengasyikkan sekali mengikuti paparan yang disajikan secara musikal oleh Karina dan teman-temannya ini. Bahkan di awal sajian, dia sudah mengajak ibunya menyanyi di panggung dengan diiringi petikan gitar. Dengan sedikit berseloroh dia mengatakan, “menjadi orangtua itu enak, kalau mau nyanyi nggak perlu suara bagus. Anak-anaknya pasti mau dengerin dan nggak akan protes” ;))
Dia bercerita, ketika menempuh S2 Psikologi, Karina membuat thesis yang berhubungan dengan anak tuna netra yg mengalami Specific Language Impairment (anak mengalami kesulitan berbahasa sedangkan kemampuan non verbal atau kepandaian adalah normal). Dia juga membawakan sebuah lagu hasil ciptaan guru dan murid SLB G Rawinala yang berjudul Tanganku. Yayasan pendidikan Dwituna Rawinala ini merupakan lembaga yang melayani kebutuhan pendidikan penyandang cacat ganda netra. Lagu itu dibawakan dengan iringan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari piring, gelas, dan peralatan makan lainnya yang dipukul-pukul dengan irama tertentu.
Dalam kesempatan yang sama Karina juga menyampaikan bahwa ada beberapa kenyataan tentang lagu anak di Indonesia :
1. anak menyanyi lagu yang belum tentu sesuai dengan tahap perkembangannya;
2. anak dilarang menonton film dewasa tapi boleh menyanyikan lagu (dengan topik) dewasa;
3. orangtua tidak menyadari manfaat musik anak;
4. di sekolah, guru TK mengeluhkan kurangnya lagu anak yang baru
Hmm, iya juga ya. Sekarang coba ingat deh, setelah eranya Tasya, Sherina, dan Joshua, adakah lagu anak-anak yang lain dan sepopuler mereka? Yang ada justru kontes penyanyi anak tapi membawakan dengan lagu-lagu dewasa.Nah, kebetulan nih, di akhir acara, Karina memberikan CD Musik Anak yang bertajuk “Yo Mari Berdendang”, for free lho \:D/
Jadi, bagi teman-teman yang berbakat menciptakan lagu, silakan menciptakan lagu anak, gih. Siapa tahu nantinya lagu kalian bisa lebih dikenal banyak orang dan utamanya mendidik anak 🙂
—–
Pembicara selanjutnya yang tampil malam itu adalah Wiwiet Mardiati. Beliau adalah seorang Homeschooling Evangelist, bisa ditemui dalam akun twitternya @wietski dan blognya http://atalaprasetyo.com. Paparannya malam itu bertemakan “Gerakan Pemberdayaan Keluarga: Adaptasi Spirit dari Homeschooling”
Seringkali homeschooling disikapi secara salah dan berbeda. Dalam anggapan masyarakat awam, anak homeschooling kualitasnya kurang bagus jika dibandingkan dengan yang menjalani pendidikan formal di sekolah. Ada kecenderungan pendapat pula yang mengatakan jika anak-anak yang homeschooling cenderung tidak bisa bersosialisasi, dan eksklusif. Seluruh pendapat ini ditepis oleh Mbak Wiwiet yang memang adalah seorang penggiat homeschooling.
Jadi ingat, beberapa waktu lalu saya juga sempat berdiskusi ringan dengan seorang teman, dan ketika itu saya juga berpendapat sama dengan orang kebanyakan tentang homeschooling. Namun ternyata saya keliru. Jika kita perhatikan, ternyata anak yang bersekolah di sekolah umum itu sebenarnya tidak “sebebas” anak-anak yang homeschooling. Mereka harus tinggal dalam sebuah kelas yang kesempatan mengekspos tempat-tempat terbuka dan atau jalan-jalan tidak sebanyak anak-anak yang homeschooling. Mereka sengaja “dikelompokkan” dalam sebuah grup anak-anak yang seusia, dan terpaksa mengikuti aturan “mainstream” yang dibuat oleh sekolah. Sehingga mereka kurang memiliki kebebasan untuk berkreasi dan mempelajari apa yang mereka sukai karena terbentur oleh jam sekolah dan kurikulum sekolah.
Dalam acara ini, Mbak Wiwiet mengatakan bahwa keluarga sebenarnya adalah penanggung jawab utama pendidikan anak. Artinya, orangtua adalah penanggung jawab pendidikan anak, pihak-pihak di luar orangtua bisa disebut sebagai “asisten” orangtua. Sebenarnya manfaat lain dari homeschooling adalah adanya koneksi yang kuat antara orangtua dan anak. Oh ya, kenyataan yang terjadi di Indonesia, pemilihan sekolah di Indonesia masih didasarkan pada pemilihan budget dan lokasi. Ada orangtua-orangtua yang sengaja memilih sekolah yang bayar SPP-nya saja jutaan hanya untuk menunjukkan gengsi dan “kualitas pendidikan”. Padahal sekolah mahal belum tentu kualitasnya (selalu) bagus, kan?
Saya yakin, Mbak Wiwiet malam itu berhasil membuka mata banyak orang tentang homeschooling. Di akhir paparannya yang lebih banyak share tentang pengalaman itu, beliau memberikan sebuah kalimat yang sangat menginspirasi:
“Do something so you can be together not be together to do something”
Mbak Wiwiet, you did a great job! Thanks for sharing 🙂
—–
Pembicara terakhir acara Bincang Edukasi malam itu adalah Mbak Ainun Chomsum, atau yang lebih dikenal dengan Mbak Pasarsapi @pasarsapi , atau kepala sekolahnya Akademi Berbagi . Tema sesi kali ini adalah “Berbagi Bikin Happy”. Tagline social movement yang digaungkan oleh Mbak Ainun ini memang sesuai sekali dengan kegiatan di Akademi Berbagi.
Bermula dari niatan Mbak Ainun untuk belajar copywriting dengan Pak Subiyakto, ternyata Pak Subiyakto menyetujui untuk mengajar dan bahkan meminta beberapa orang untuk sekalian ikut dalam kelasnya. It’s for free! Ketika ditawarkan lewat twitter langsung disambut dengan sangat positif oleh banyak orang.
Akademi Berbagi terbentuk salah satunya juga karena kegelisahan Mbak Ainun (mungkin juga sebagian besar kita) karena mahalnya biaya pendidikan. Nah, Akademi Berbagi merupakan salah satu sarana belajar seumur hidup, sebagai wadah untuk berbagi ilmu, supaya kita lebih menghargai proses untuk sukses, dan supaya kita lebih menghargai ilmu walaupun gratis.
Ketika ditanya, “gampang nggak sih bikin social movement?” Beliau menjawab bahwa sebenarnya tantangan utamanya bukan di masalah pendanaan, tapi mental siswa yang kurang menghargai “gratisan”. Maksudnya bagaimana? Ya, biasanya orang akan berduyun-duyun menghadiri sebuah pelatihan tertentu yang berbayar, karena sudah yakin kalau narasumbernya pasti qualified. Padahal belum tentu. Di Akademi Berbagi semua ilmu yang katanya narasumbernya mahal bisa dengan gratis dihadirkan disini. Tentu saja dalam kelas yang jumlah muridnya terbatas. Karena kalau terlalu banyak jadinya kurang fokus.
Sharing menarik ini pun akhirnya ditutup dengan kata-kata yang sangat inspiratif,
“Tidak ada yang tidak bisa, tinggal kita mau/tidak. Semua orang boleh bermimpi, tapi jangan lupa beri kaki pada mimpimu. Karena mimpi pun harus menjejak bumi… “
—–
Sungguh sebuah acara yang sangat menarik. Tidak rugi saya harus bermacet-macet ria menuju ke Pacific Place. Karena ternyata ada banyak ilmu yang bisa saya dapat dari acara Bincang Edukasi malam itu. Ternyata disinilah saya bertemu dengan orang-orang yang punya semangat luar biasa dan sangat peduli dengan dunia pendidikan. Orang-orang yang memiliki mimpi dan cita-cita yang sama untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
“Life ends when you stop dreaming. Hope ends when you stop believing… “
Thanks to Kresna who let me join to this event 🙂
Sampai jumpa di Bincang Edukasi sesi berikutnya ya 🙂
[devieriana]
dokumentasi pribadi