Different Angle

different angle

Sudah sifat alamiah manusia selalu merasa kurang, entah kurang bahagia, kurang beruntung, kurang kaya, dan berbagai kurang lainnya. Melihat ke arah yang ‘sepertinya’ lebih bagus, padahal kenyataannya belum tentu. Kalau kata orang Jawa, “urip iku mung sawang sinawang”, secara harafiah berarti saling memandang terhadap (hidup) orang lain. Ketika kita memandang kehidupan orang lain yang sepertinya jauh lebih baik, ternyata pada kenyataannya mereka justru melakukan hal yang sama, melihat kehidupan mereka tidak seberuntung kehidupan kita. Vice versa.

Seperti sebuah obrolan dengan seorang sahabat, di sebuah sore di akhir pekan, sambil menunggu jam pulang kantor. Dia baru diterima kerja di tempat yang baru, dan baru dijalani selama beberapa bulan. Tapi dia sudah mengeluh bosan dengan pekerjaannya yang sekarang dengan alasan klise: kurang tantangan, kurang greget, beda dengan tempat kerja sebelumnya.

Dia bercerita, dulu dia adalah staf andalan, sekarang staf ‘biasa’, tidak ‘seistimewa’ di tempat kerjanya yang dulu. Pekerjaannya dulu menuntut ketelitian dan hal-hal yang detail, sekarang kadang sibuk, kadang tidak ada yang harus dikerjakan sama sekali. Sampai suatu ketika dia memutuskan untuk pindah ke tempat kerja yang sekarang dengan berbagai alasan. For your information, tempat kerja yang sekarang jauh berbeda jenis, bentuk, dan core business-nya dengan perusahaan yang lama.

“Jadi sekarang ceritanya kamu nyesel?”, tanya saya.
“Hmmm, gimana ya, Mbak. Abisnya kok kayanya kerjaan yang sekarang itu ternyata cuma gini-gini aja…”

“Maksudnya, kurang ‘susah’, gitu? Kurang ada gregetnya? Kurang cetar? Kurang hype? Hehehe…”
“Ummm, a little bit, jadi kesannya agak ngebosenin gitu, Mbak. Pernah aku curhat sama kakakku kalau kerja di sini itu lama-lama bisa bikin otakku beku, hahaha…”

Saya jadi cengengesan. Dejavu dengan ketika pertama kali bekerja dan menginjakkan kaki di tempat kerja yang sekarang. Sempat mengalami culture shock, karena apa yang saya kerjakan dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Sering tiba-tiba blank, lost focus karena tidak tahu apa yang harus dikerjakan, dan suka mendadak loading lama. Akibatnya jadi salah melulu kalau kerja. Parahnya lagi, itu terjadi hampir setengah semester. Lama banget, kan?

Sempat merasa khawatir dengan diri sendiri, sampai akhirnya curhat kepada seorang teman untuk meminta pencerahan supaya tidak jadi bego berkepanjangan. Jangan sampai saya salah memilih karier yang salah, padahal itu pilihan saya sendiri.

Sampai akhirnya dia bilang sesuatu yang ‘makjleb’, dan membuat saya berpikir.

“Ok, sebenarnya sederhana saja. Coba deh, mulai sekarang kamu berhenti membandingkan, karena bagaimana pun jenis pekerjaanmu yang dulu dan sekarang jauh berbeda. Yang kedua, mulai sekarang coba turunkan sedikit saja egomu. Jangan pernah meremehkan pekerjaan sekecil dan seremeh apapun itu, karena sedikit saja kamu remehkan, dia akan jadi sesuatu yang tidak seremeh yang kamu kira. Dan, lihat pekerjaanmu dari sudut pandang yang berbeda…”

Benar juga, ya. Sejak saat itu saya mulai introspeksi diri. Mungkin saja waktu itu saya sudah merasa sok bisa, dan sok pintar, sehingga tanpa sadar saya tidak mau belajar, dan meremehkan pekerjaan saya, membanding-bandingkan jenis pekerjaan yang dulu dengan yang sekarang, melihat karier orang lain yang sepertinya jauh lebih mengasyikkan ketimbang pekerjaan saya sendiri. Akhirnya yang ada bukan pekerjaan yang selesai dengan sempurna, tapi malah berantakan karena saya tidak fokus dalam bekerja.

Bersyukur, karena akhirnya pelan-pelan sindrom gegar budaya kerja tadi menghilang seiring dengan waktu dan mulai enjoy-nya saya dengan suasana, lingkungan, dan pekerjaan yang saya jalani. Kalau saya ditanya apakah selama bekerja di sini pernah merasakan jenuh. Jujur, pasti pernah. Tapi ternyata yang dibutuhkan adalah ‘trik’ untuk menyiasatinya.

Ketika kita masuk ke dunia kerja, tanpa sadar ada hal dan etika yang kita lupakan. Kita ‘lupa’, bahwa ada aturan main dan pakem-pakem yang telah ditetapkan oleh perusahaan yang harus kita taati dan sepakati sebagai code of conduct. Terkait dengan job description, perusahaan bebas melakukan modifikasi dalam menerapkan sebuah ilmu yang tujuannya justru untuk mempermudah pekerjaan kita.

Hidup dan bekerja itu kalau tidak pintar-pintar menyiasati ya pasti ada saja trigger jenuhnya. Kalau memilih pekerjaan sekadar melihat besaran gaji atau faktor lain yang bisa membuat sebuah pekerjaan itu lebih ‘keren’ secara title atau gaji, mungkin saya akan memilih pekerjaan lainnya. Tapi, lebih dari itu ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan saya dalam memilih karier, dan itu membuat saya bersyukur bekerja di kantor yang sekarang.

Perasaan jenuh itu manusiawi dan bisa datang dari mana saja. Bisa dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Ketika jenuh tiba-tiba datang, coba bangun sugesti positif terhadap pekerjaan dan apapun yang kita kerjakan. Bersyukur atas segala hal yang kita terima, termasuk pekerjaan, karena di luar sana ada banyak orang yang masih sibuk mencari pekerjaan tapi belum mendapatkannya.

Kalau saya sedang jenuh, saya ‘rekreasi’ saja dengan mengerjakan hal lain yang sementara bisa mengalihkan rasa jenuh, misalnya mendengarkan lagu favorit, membereskan file yang berantakan di meja kerja, atau menulis di blog yang saya yakini bisa jadi terapi untuk jiwa. Psst, sebagian besar tulisan di blog ini hasil produksi di meja kerja lho, kadang saya lakukan di jam kerja, kadang di jam pulang kerja sambil menunggu jemputan. Tapi bukan berarti kalau saya sering posting itu indikator saya sering mengalami kejenuhan lho ya, hahaha… Itu sih karena mumpung sedang ada ide saja, sebelum mood-nya hilang mending idenya diselamatkan dulu dalam bentuk postingan di blog.

Meja kerja adalah dunia kecil kita selama di kantor. Jadi buat senyaman dan se-homy mungkin karena sejak pagi hingga sore hari akan kita habiskan di kantor. Jadi, kalau meja kerja kita saja sudah ‘nggak asik’, bagaimana mau asik dalam bekerja?

Masih jenuh juga? Coba curhat dengan teman, siapa tahu bisa sedikit lega atau malah punya inspirasi, motivasi, dan semangat baru dalam bekerja. Masih jenuh juga? Kenapa tidak ambil cuti atau berlibur ke mana gitu yang bisa membuat kembali fresh dan semangat dalam bekerja.

Sudah melakukan segala cara tapi masih jenuh juga? Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk kembali mengevaluasi diri. Apakah masih memungkinkan untuk bertahan di tempat kerja yang sekarang atau mulai mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan jiwa dan passion kita?

Hidup itu kita sendiri yang menentukan akan menjadi bagaimana, pun halnya pekerjaan. Kalau hidup kita mulai terasa kurang asyik, mengapa tidak mencoba me-refresh-nya dengan melihat segala sesuatunya dari sudut yang berbeda demi mendapatkan rasa syukur. Hidup itu cuma sekali, jalani dengan penuh syukur dan bahagia.

Seperti kata Tadashi Hamada di film Big Hero 6,

“Listen up! Use those big brains of yours to think your way around the problem! Look for a new angle!”

Have a good day!

 

 

[devieriana]

ilustrasi dari pxleyes.com

Continue Reading

Batuk Yang Tak Kunjung Sembuh Itu

coughDari dulu, musuh utama saya adalah batuk. Karena kalau batuk, yang ‘menderita’ bukan cuma saya, tapi juga orang yang ada di sekitar saya; bukan cuma keluarga, tapi juga teman yang dengar saya batuk. Bukan cuma iba, tapi juga pasti akan meminta saya untuk segera ke dokter supaya ada solusi buat batuk saya. Padahal saya sebenarnya paling malas ke dokter, masa dikit-dikit ke dokter, dikit-dikit ke dokter. Ke dokter kok dikit-dikit… *eh, lho?!*

Kalau soal flu/pilek/demam ringan/pusing, masih bisa saya taklukkan dengan obat yang biasa dijual umum. Atau kalau misalnya parah, dan sudah mengganggu aktivitas di kantor ya paling saya ke klinik kantor untuk minta obat. Jadi, catatan di kartu pasien saya di klinik itu sama dari atas ke bawah: batuk, pilek, demam, radang; begitu saja diulang-ulang. Lha wong memang yang suka menghampiri saya ya itu-itu melulu.

Hingga akhirnya di sekitar bulan Juni kemarin saya mulai didera batuk. Awalnya ya biasa, radang, demam, pilek, trus mulai deh batuk-batuk ringan. Berhubung obat umum yang biasa saya minum sudah tidak mempan, terpaksalah saya ke dokter, itu pun selang setelah 3 minggu batuk pileknya tak kunjung reda, bahkan sudah mulai dibilang berat. Dua kali saya datang ke dokter kantor dengan resep yang berbeda tak mempan, akhirnya saya menyerah. Udah, nggak ke dokter-dokter lagi, bosen. Lho, gimana deh, sakit parah kok malah nggak ke dokter. Bahkan lebaran kemarin saya nggak cihuy sama sekali, lha wong bunyi batuknya sudah seperti perokok berat. Padahal kan saya nggak merokok 🙁 . Sudah habis vitamin dan obat batuk berbotol-botol hasilnya tetap nihil. Sepertinya ini adalah batuk terparah yang pernah saya alami deh… *sedih*

Mama sempat menyarankan saya untuk pergi ke internist untuk memastikan batuk apa sih sebenarnya yang kerasan banget di badan saya ini. Tapi saya sempat menolak, bukan apa-apa, saya malah takut. Takut kalau ternyata di dalam paru-paru saya ada apa-apanya. Iya, saya aneh ya? Bukannya malah bagus kalau ketahuan penyakitnya apa biar cepat diobati, mengingat saya kan punya balita yang lagi lengket-lengketnya sama saya. Sempat antara geli dan sedih kalau Alea ditanya sama papanya, “gimana kalau Mama batuk?”. Dengan ekspresi lucu Alea menirukan gaya saya batuk, “uhuk, uhuk, uhuk!”

Akhir bulan lalu akhirnya saya beranikan diri ke rumah sakit untuk mengecek kondisi saya. Jangan ke internist dulu deh, ke THT aja. Dengan diantar suami, saya pun ke RS Medistra yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal saya. Di sana saya diperiksa oleh dr. Nirmala, Sp.THT. Ya saya ceritakan apa keluhan saya yang sudah mengalami kebosanan tingkat akut dengan batuk yang saya derita ini. Setelah dicek sana-sini, dokter bilang batuk saya ini berawal dari pilek, bisa juga karena alergi (entah debu, atau udara dingin), jadilah radang dan sebagian lendirnya turun hingga menyebabkan batuk. Dalam hati saya alhamdulillah, berarti tidak semengkhawatirkan apa yang ada di dalam pikiran saya sebelum ke rumah sakit. Oleh dokter saya dikasih obat yang dosisnya ringan saja mengingat saya masih menyusui. Awalnya kalau memang sudah parah, mau dikasih obat yang mengandung morfin, tapi risikonya ya saya bakal teler berat. Lha ya nanti anak saya ikutan teler dong? Nggaklah, jangan, ini aja dulu. Toh belum seberapa berat.

Selama mengonsumsi obat itu, lumayanlah batuk pileknya berkurang, tapi masalah datang lagi, ketika obat itu habis lha kok batuk pileknya datang lagi :(( *stress* . Sampai akhirnya saya menyerah, ya sudah… saya ke spesialis penyakit dalam :((. Sore itu, sepulang kantor saya langsung ke RS Medistra lagi sambil terbatuk-batuk. Suara saya sudah serak tak ‘berbentuk’ lagi. Sesampainya di loket pendaftaran saya tanpa memilih dokter (karena saya belum pernah ke internist mana pun di sini), akhirnya saya dipilihkan dengan dr. Telly Kamelia, SpPD. Setelah menunggu selama 30 menit, dr. Telly pun datang. Dokter yang ramah dan komunikatif, itulah kesan pertama saya pada dokter berhijab di depan saya itu.

Saya diinterview hingga detail kira-kira apa penyebab batuk yang tak kunjung sembuh ini. Dicari penyebabnya, mulai faktor dari dalam keluarga, teman, lingkungan rumah, lingkungan kerja, aktivitas sehari-hari, dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Hingga akhirnya tiba di kesimpulan yang sama dengan dr. Nirmala, SpTHT, sepertinya saya alergi debu dan udara dingin. Setelah diperiksa dada, punggung, hidung, tenggorokan, akhirnya penyakit saya ‘ketemu’, saya didiagnosa terkena rhino-faringitis, faringitis, dan bronchitis. Intinya saluran pernafasan saya terkena infeksi, gitu deh kira-kira kesimpulannya. Dan saya harus foto thorax untuk lebih memastikan apa yang ada di sekitaran paru-paru saya. Sampai sekarang foto thoraxnya belum saya ambil, nanti saja sekalian pas kontrol lagi hari Rabu, 16/09/2015. Semoga sih nggak sampai ada apa-apa di paru-paru saya ya, hiks… 🙁

resep
Alhamdulillah, sepertinya obatnya mulai bereaksi. Kata dokter sengaja memang diberi obat yang agak tinggi dosisnya, nanti ketika kontrol kedua akan dilihat hasilnya apakah ada perubahan/tidak. Kalau memang manjur, akan pelan-pelan dikurangi dosisnya. Baru setelahnya akan diterapi. Syarat terapinya saya harus total washed out dari segala konsumsi obat, vitamin, atau jamu selama kurang lebih satu minggu. Kalau terapi itu diberikan sekarang ketika saya masih sakit, kata dokter tidak bisa. Karena saya jadi tidak punya tameng untuk menangkal penyakitnya. Jadi biar sembuh dulu baru diterapi.

Dalam sakit kemarin, walaupun ‘cuma’ batuk, saya jadi merasakan betapa kesehatan itu amat sangat berarti. Pilek sedikit saja, itu sudah pengaruh ke mana-mana. Sudah saatnya jaga kondisi kesehatan dengan lebih baik lagi, mengingat kondisi badan saya termasuk rentan, plus saya bukan pehobi olahraga pula *self keplak*.

Baik-baik jaga kondisi badan ya, temans. Sehat itu mahal dan ribet (sekalipun biaya ditanggung asuransi). Ribet karena tetap harus pergi ke rumah sakit, ketemu dokter, nebus obat, and the blablabla. Semoga kita selalu diberikan kesehatan, supaya bisa memanfaatkan usia, kesempatan, dan hari-hari yang diberikan Allah dengan lebih baik lagi, terutama bersama orang-orang tercinta. Aamiin…

 

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi: nedandlarry.com dan pribadi

Continue Reading

Makrempong

friendship

‘Makrempong’ adalah salah satu nama dari 10 grup whatsapp yang ada di handphone saya. Baru 10 grup? Ah, cuma dikiiit… Dibentuk pertama kali oleh salah satu teman sekitar bulan April 2015. Isinya pun cuma 11 orang, tapi ramenya mengalahkan puluhan orang yang ada di grup whatsapp lainnya. Kebetulan kami bersebelas ini teman satu angkatan ketika baru masuk di operator merah tahun 2004. Sejak awal dipertemukan di Surabaya, kami sudah mendadak akrab begitu saja, semacam sudah punya chemistry.

Kami ‘lulus’ dari operator merah sekitar tahun 2006. Sejak saat itu kami terpisah menjalani karir berikutnya di kota masing-masing. Ada yang ‘meneruskan’ di operator yang sama dengan beda bendera, ada juga yang menjadi PNS, ada yang menjadi staf di oil company, staf di hotel, menjadi guru, atau ibu rumah tangga. Sampai akhirnya salah satu dari kami berinisiatif membentuk grup watsapp, dan voilaa… jadilah grup bernama ‘Makrempong’, yang artinya emak-emak yang rumpi, bawel, dan rempong tentu saja. Eh, padahal 11 orang itu sebenarnya terdiri dari 10 orang perempuan, dan 1 orang laki-laki, tapi berhubung mayoritas adalah perempuan, jadilah 1 orang laki-laki itu kita anggap perempuan juga… *toyor para emak di grup*

Dari sekian banyak grup yang ada di handphone saya, ada 4 grup yang keaktifannya luar biasa. Luar biasa menghabiskan daya batere handphone, maksudnya. Mereka adalah whatsapp grup kantor, whatsapp grup SMA, whatsapp group SMP, dan whatsapp group ‘Makrempong’ itu tadi. Keempat-empatnya punya karakter yang berbeda-beda. Kalau di grup kantor isinya variatif, selain sebagai grup hore-hore juga bisa digunakan untuk koordinasi kedinasan. Kalau grup SMP dan SMA isinya hampir sama, ngobrol ngalor ngidul, dengan topik yang beragam, mulai serius sampai dengan OOT dan absurd. Sedangkan grup Makrempong walaupun sama-sama rame tapi sedikit beda. Bedanya ada di chemistry di antara kami bersebelas. Jiyeee…

friendship makrempongDi Makrempong, topik apapun bisa dibahas, mulai topik yang berat sampai yang remeh-temeh. Topik tentang keuangan, keluarga, parenting, pekerjaan, curhat tentang pasangan, pendidikan anak, soal tetangga yang menyebalkan, curhat soal pekerjaan, sampai tips dan trik bercinta pun ada. Intinya Makrempong adalah ruang untuk katarsis dan membahas topik yang all in!

Tapi dari sekian banyak grup yang saya ikuti, saya melihat Makrempong adalah grup yang isinya paling tulus. Mungkin karena anggota grupnya tidak terlalu banyak, jadi masing-masing bisa chat secara ‘personal’ di grup. Lagi pula kami juga sudah mengenal pribadi masing-masing sejak 11 tahun yang lalu jadi kami bisa jadi diri sendiri dan nyaman ngobrol tanpa harus jaga image. Intinya adalah toleransi, saling percaya, dan kasih sayang kami terhadap satu sama lainlah yang membuat pertemanan kami awet hingga saat ini.

Bahkan tak jarang, kalau sedang ada topik yang hangat, penting, dan itu memicu komentar para anggota grup, saya bisa ketinggalan hingga ratusan chat lantaran baru sempat mengecek handphone selang setelah sekian menit/jam kemudian. Kalau sudah ketinggalan sekian ratus chat begitu ya sudah, pasrah saja, kalau sudah senggang, baru deh saya sempatkan untuk scroll up membaca satu persatu chat yang masuk. Eh, padahal di grup lainnya saya belum tentu begitu, bahkan sering saya skip-skip saja.

Namanya saja grup yang isinya 11 orang yang punya kepala berbeda, jadi tidak selamanya kami isinya selalu happy, atau punya pemikiran yang sama dan sejalan dalam melihat sesuatu. Pasti adalah saat-saat di mana salah satu dari kami sedang labil, baper (sensitif), down, dan atau menjengkelkan bagi sebagian orang, entah itu karena bawaan PMS, stress di kantor, masalah di rumah, atau memang sudah saatnya menjengkelkan, hehehe. Tapi justru itulah yang seninya persahabatan. Kalau Makrempong isinya orang-orang yang emosinya lurus-lurus saja kok malah kurang seru ya. Perbedaan itu justru membuat persahabatan kami semakin berwarna.

Konon, katanya, kita bisa punya teman sampai puluhan hingga ratusan teman, tapi jumlah sahabat yang dimilikinya tak pernah melebihi jumlah jari di kedua tangannya. Entahlah, benar atau tidak. Tapi kebetulan yang ada di Makrempong ini kok jumlahnya pas, persis sama dengan kedua jari tangan saya ya… hehehehe…

“Family isn’t always blood. It’s the people in your life who want you in theirs. The ones who accept you for who you are. The ones who would do anything to see you smile, and who love you no matter what.”
– unknown –

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini dan dokumentasi pribadi

Continue Reading

Tentang Hijab Itu

Hai, apa kabar? Lama lagi ketemunya sama postingan baru ya. Alasannya agak klise sih ya, selain load pekerjaan yang sedang tinggi ditambah dengan mood menulis yang tak kunjung muncul, padahal ide tentang postingan ini sudah ada sejak sebulan lalu.

Ada sebuah perubahan besar yang terjadi pada saya selama hampir sebulan ini; pada tampilan keseluruhan saya setelah lebaran tahun ini. Setelah sekian lama ‘cuma berjanji’ akhirnya janji itu saya penuhi. Per 27 Juli 2015 kemarin saya memutuskan untuk berhijab. Sebuah keputusan yang buat saya termasuk besar, karena saya ingin hijab ini akan menyertai keseharian saya, dan bukan cuma sekadar ikutan trend atau ikut-ikutan teman.

Setiap perempuan muslim yang belum berhijab kalau ditanya, “kamu pengen nggak pakai hijab?”, jawabannya pasti beragam. Tapi pasti ada yang menjawab, “iya, pengen”. Nah, kalau sudah ditanya, “kapan?”, dulu saya pasti menjawab, “nanti, kalau saya sudah siap lahir batin”. Dan jawaban itu semacam jawaban template karena sampai lebaran kemarin pun saya belum ada niatan serius pakai hijab.

Janji pakai hijab itu sempat terlontar secara emosional ketika saya kehilangan putri pertama saya, “kalau anakku bisa diselamatkan, aku berjanji akan pakai hijab!”, dan nyatanya memang bayi saya tidak dapat diselamatkan, ya… saya berarti belum wajib pakai hijab. Saya paham, seharusnya niat pakai hijab bukan seperti itu, sampai akhirnya niat memakai hijab itu pun menguap begitu saja. Bahkan ketika melihat ada teman yang baru berhijab, belum ada sama sekali keinginan saya untuk berbuat hal yang sama. Bahkan saya sempat BT ketika ada teman yang meminta saya untuk berhijab. Buat saya, biarlah keinginan berhijab itu muncul dengan sendirinya. Kelak ketika saya sudah ikhlas, tanpa diminta pun saya akan menggunakan hijab kok. Begitu pikir saya waktu itu.

Hingga akhirnya ketika saya kembali dipercaya untuk mengandung lagi setelah 6 tahun berselang. Di moment kehamilan saya kali ini ada sebuah kedekatan antara saya dan Sang Pemilik Hidup. Begitu banyak limpahan pertolongan, perlindungan, berkah, rezeki, dan kemudahan-kemudahan yang saya terima selama hamil hingga melahirkan putri kedua saya pada medio 17 Juli 2014 silam. Saya jadi lebih rajin beribadah dibandingkan sebelumnya. Hingga entah bagaimana awalnya, di akhir tahun yang sama muncul keinginan untuk mulai berhijab murni dari dalam diri saya. Tapi karena sesuatu dan lain hal keinginan itu baru sebatas keinginan walaupun saya mulai mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk berhijab.

Hingga menjelang lebaran pun saya masih belum menggunakan hijab. Saya masih sempat menggunting rambut saya dengan model yang sedang hits tahun ini, dan mewarnainya dengan warna kecokelatan.

Keinginan berhijab itu baru muncul ketika saya dalam perjalanan pulang menuju Jakarta setelah cuti lebaran di Surabaya. Tapi jangan ditanya, bagaimana perang batin yang terjadi pada saya sebelum akhirnya saya memutuskan untuk berhijab. Ada pertanyaan-pertanyaan yang saling berlompatan dalam pikiran saya, ada perang dalam batin saya:

“ah, emang yakin kamu bisa seterusnya berhijab? emangnya kamu pikir berhijab itu gampang? banyak lho di luar sana yang akhirnya lepas hijab dan kembali ke tampilan dia sebelumnya…”

“kamu berhijab bukan karena pengen ngikutin trend fashion para hijabers itu, kan?

“yakin kamu mau berhijab? nggak sayang sama rambut kamu? rambut kamu lagi bagus-bagusnya lho, lagi in lho potongan rambut kaya kamu itu. trus, badan kamu juga lagi bagus, udah balik normal, yakin kamu mau pakai baju yang longgar-longgar?”

“ngapain kamu susah-susah potong rambut, rambut pakai diwarnain segala kalau kamu akhirnya berhijab? udahlah, nggak usah hijab-hijabanlah… tar ajaa…”

Begitu banyak pertanyaan yang meragukan diri saya sendir. Tapi entah kenapa justru itu makin menguatkan saya untuk mulai menyortir busana-busana saya yang pas badan dan pendek-pendek, dan mulai memilah mana baju yang masih bisa saya kenakan dan mana yang harus saya karduskan. Dan mulai memadupadankan jilbab mana yang pas dengan baju yang mana. Semacam menemukan keasyikan sendiri sembari membereskan baju-baju saya.

Pagi harinya, 27 Juli 2015, dengan mengucap bismillah, saya mulai berangkat ke kantor dengan menggunakan hijab untuk pertama kali dengan perasaan yang masih campur aduk. Kalau sekadar berhijab dalam rangka memandu acara keagamaan di kantor sih sudah sering, tapi yang untuk nantinya jadi kostum sehari-hari ya hari itulah awalnya. Suami dan mama saya yang sebenarnya sudah memberikan restu sempat kaget karena tidak mengira permintaan izin berhijab yang saya lontarkan beberapa hari sebelumnya akan saya realisasikan hari itu.

----

Sesampainya di kantor, suasana ruangan masih tampak sepi, karena masih ada teman yang cuti atau sarapan di kantin dan belum kembali ke ruangan. Saya dengan sedikit mengendap-endap memasuki kubikel saya dan jadi kaget sendiri karena saya ‘dipergoki’ oleh salah seorang teman yang ternyata tidak saya sangka dia juga berhijab. Dia kaget melihat saya berhijab, pun saya ketika melihat dia juga berhijab, mengingat celetukan dia beberapa waktu lalu kalau berhijab itu nggak bisa fashionable, dia malah terlihat seperti nenek-nenek. Rasanya ‘ajaib’ melihat dia hari itu sudah berhijab, dan tampak jauh dari sosok yang dia gambarkan, dia terlihat lebih cantik dan anggun dengan hijabnya. Kami berdua berpelukan dan mewek berjamaah, terharu; karena sama-sama tidak menyangka bahwa kami yang beberapa minggu yang lalu masih ‘mainan’ jilbab sekadar untuk foto-foto selfie, sekarang kami berdua berhijab beneran.

Alhamdulillah respon yang saya terima semuanya positif walaupun seperti yang saya duga sebelumnya pasti lebih banyak yang terkaget-kaget melihat perubahan saya yang drastis. Bahkan ada yang (saya tahu dia pasti bercanda), “ah, ini pasti pencitraan…”. Tapi ya nggak apa-apa, namanya manusia pasti berproses.

Banyak secara pribadi menanyakan di watsap/bbm/DM twitter apakah (tampilan saya) ini untuk selamanya, apakah saya serius dengan penampilan saya yang sekarang, dan berbagai pertanyaan sejenis. Tapi ya ada juga yang mengira saya berhijab dalam rangka edisi (bulan) Syawal, atau ya kalau ada yang melihat penampakan DP BBM/watsap saya yang berhijab pasti mengira ya itu sekadar pasang DP berhijab saja, bukan untuk selamanya.

Dengan segala kerendahan hati, sederhana saja, saya cuma mohon didoakan, semoga saya istiqamah dengan hijab yang saya kenakan…

Matur nuwun….

 

 

[devieriana]

Continue Reading

“You cant make everyone happy…”

happiness

Di suatu sore, di salah satu sudut sebuah coffee shop.

“Akhir-akhir ini kok gue ngerasa kayanya hidup gue nggak ada benernya di mata orang lain. Ada aja yang salah. Mulai pilihan pekerjaan gue yang bukan kantoran kaya orang kebanyakan, selera fashion gue yang sering dibilang aneh sama orang lain, pilihan parfum gue yang katanya baunya santer banget, koleksi tas dan sepatu gue yang katanya modelnya itu-itu melulu, atau komentar tentang cowok gue. Banyak, deh. Ntar lama-lama muka gue juga salah di mata mereka”, gerutu seorang teman.

Saya tertawa sendiri mendengar gerutuannya. Jangan-jangan dia hidup saja sudah salah… *silet-silet nadi di bawah pancuran*

By the way, kita memang hidup di lingkungan masyarakat yang selalu ‘peduli’ dengan apa yang kita lakukan. Judgmental folks. Orang akan selalu memberikan ‘penilaian’ terhadap apa yang kita lakukan. Kalau penilaiannya positif berarti kita ‘aman’. Tapi kalau ternyata negatif, berarti… you’re dead! Kita merasa khawatir kalau orang lain tidak sependapat dengan kita. Khawatir kalau keputusan yang kita ambil itu ternyata mengecewakan orang lain. Orang akan melihat kita sebagai makhluk galaksi lain kalau kita ‘berbeda’ atau ‘unik’ di mata mereka. Alhasil, apapun akan kita lakukan asalkan orang lain senang.

Dulu, saya adalah orang yang paling takut membuat orang lain kecewa, padahal saya pun tak jarang dikecewakan oleh orang lain. Pokoknya dulu, kalau sampai membuat seseorang kecewa atau tidak senang itu akan membuat saya jadi orang yang paling merasa bersalah. Saya akan dibanjiri dengan pikiran-pikiran yang obsesif tentang bagaimana caranya memperbaiki situasi supaya orang lain tidak kecewa lagi, happy lagi dengan apa yang saya lakukan.

Apalagi waktu masih jadi anak baru di salah satu kantor. Ketika senior saya komentar begini-begitu tentang baju yang saya pakai, esoknya saya mengubah cara berpakaian saya. Atau ketika ada teman yang tidak setuju dengan opini saya, saya lantas berusaha menyesuaikan dengan apa yang mereka bilang. Kalau ada teman yang minta tolong, saya tidak bisa menolak. Kalau menolak, saya khawatir teman saya akan kecewa. Pokoknya saya sangat peduli dengan apa kata orang. Jangan sampai saya jadi terlihat ‘beda’ dengan orang lain. Jangan sampai saya mengecewakan mereka. Jangan sampai teman/lingkungan saya tidak suka sama saya. Akhirnya kok saya merasa bukan jadi diri sendiri ya. Apa-apa takut salah, khawatir di-bully, takut dicemooh. Itu dulu.

Sampai akhirnya saya sadar bahwa, we cant make everyone happy all of the time. And we shouldn’t. People will always have an opinion not only on what we do, but on almost everything.

society
Kita jelas tidak bisa selalu membuat orang lain selalu senang. Oleh karenanya, kita juga tidak perlu berharap agar orang lain menyenangkan kita. Dont even try to think about it, because it’s pointless. Akan selalu ada orang-orang di luar diri kita yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan, atau tidak setuju dengan keputusan yang kita ambil. Akan selalu ada orang-orang yang akan membuat kita merasa bersalah atau tidak nyaman dengan diri kita sendiri. Wajar.

Masa iya, demi memuaskan orang lain, kalau ada orang lain bilang muka kita jelek, terus kita buru-buru operasi plastik ke Korea biar semua orang tidak merasa ‘terganggu’ dengan wajah kita? Atau, kalau misalnya ada satu orang yang sedang bad mood, adalah kewajiban semua orang jadi untuk menjaga mood-nya sepanjang hari supaya terus stabil? Hei, kita ini bukan malaikat penjaga mood yang berkewajiban membuat orang lain selalu senang. Our mood and feelings are still our own responsibility and decision.

Jadi ingat, dulu pernah ada seorang teman yang meminta saya untuk mengganti avatar saya di Whatsap, karena dia kurang suka dengan baju yang saya pakai. Baju saya dianggap ‘kurang pantas’ menurut dia. Sempat berpikir, di mana letak tidak sopannya, ya? Saya pakai baju lengan panjang dengan kerah model V-neck, posenya pun biasa saja, bukan pose-pose yang ‘menantang’ umat manusia layaknya pose cover majalah dewasa. Tapi ya sudahlah, berhubung saya malas ribut dengan teman, akhirnya saya langsung mengganti sesuai ‘request’. Selesai. Tapi dongkol. Hahahaha…

Nah, penting juga tuh untuk tidak melakukan sesuatu karena keterpaksaan, karena apapun hasilnya tidak akan maksimal dan memuaskan hati. Menjadi orang yang baik itu penting, tapi (disarankan) jangan sampai orang lain mengambil keuntungan dari kemurahan hati kita. Katakan ‘iya’ kalau memang benar-benar sanggup, tapi jangan segan untuk menolak jika memang tidak mampu. Bukan berarti kita tidak boleh menolong orang lain lho. Menolong orang lain jelas boleh. Tapi menolong yang bagaimana dulu, itu yang perlu kita pilah. Kuncinya satu: ikhlas; jangan ngedumel di belakang.

Makin ke sini, kalau ada komentar apapun tentang saya, saya sikapi saja dengan lebih santai. Selama masukan itu bersifat positif dan membangun, pasti akan saya terima dengan hati terbuka. Tapi kalau komentarnya agak ‘kurang penting’ ya sudah, terima kasih saja buat atensinya. Saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai saya dan apapun yang saya lakukan, pun sebaliknya. If people like it, great. But if some dont, it is OK! Intinya, nggak masalah.

Ada saatnya kita memberi kesempatan dan ruang bagi diri sendiri untuk bahagia, bukan melulu menyenangkan orang lain. Sesekali bolehlah, tapi tidak selalu. Belajar berkata tidak, kalau memang tidak bisa, tidak sanggup, atau tidak mau. Jadi diri sendiri akan jauh lebih melegakan ketimbang menjadi orang yang selalu menyenangkan/memuaskan orang lain, padahal ada keterpaksaan di balik itu semua.

Instead of trying to make others happy, make yourself happy and share that happiness with others.

Just my two cents…

[devieriana]

 

ilustrasi diambil secara semena-mena dari Pinterest ini dan Pinterest itu

Continue Reading