Sketsa : Dibalik Keisengan saya

Dulu saya pernah cerita tentang hobby yang waktu SMP & SMA hobby ini benar-benar saya tekuni itu di sini. Iya, hobby otodidak gara-gara saya cuma seneng nggambar itu. Hampir setiap minggu saya menggambarkan pesanan teman atau sesekali menggambar untuk Mama.

Waktu kuliah saya juga masih aktif mendesain, mulai mendesain model seragam untuk jurusan saya sampai memilihkan bahan seragamnya (nggak tahu sekarang masih dipakai atau nggak ya). Yang jelas seragamnya atasan pink plus jas & rok/celana abu-abu, sama satu seragam lagi atasa merah maroon dengan rok A line kotak-kotak warna pink dengan scarf yang dililit di leher 😀 . Pertama lihat temen-temen kompak pakai baju itu rasanya seneeeng banget.. :-bd. Ada rasa yang nggak bisa digambarkanlah pokoknya 😉

Waktu saya masih kerja di Malang  juga gitu, sempat membuat untuk seragam kantor yang kalau dipakai jadi keliatan seperti seragamnya pramugari (pramugarinya angkot) ;)). Oh iya, saya mengerjakan semua itu (mendesain) nggak dibayar lho. Karena rasanya ada kepuasan tersendiri aja kalau hasil karya kita dipakai orang & terlihat bagus, dan itulah “bayaran” buat saya *terharu :((*

Oh ya, waktu diklat prajabatan bulan kemarin saya juga sempat membuat oret-oretan di kertas buram untuk mengusir kantuk. Ya daripada saya yang diketawain temen-temen gara-gara terkantuk-kantuk di kelas kan mending saya jaga mata biar tetep melek ;)). Hasilnya seperti ini  :

Sekarang sih sudah hampir nggak pernah lagi menggambar. Nah kemarin pas kerjaan lagi kosong iseng-iseng saya ambil kertas, pensil, spidol & penghapus, trus saya menggambar lagi & hasilnya adalah ini  :

dan ini :

Ah, ternyata masih bisa ;))  <:-P

[devieriana]

Continue Reading

Hobby Yang Terabaikan

Kalau beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah menceritakan hobby saya disini , sebenarnya ada lagi hobby yang sudah sejak jaman SMP saya tekuni tapi sekarang-sekarang ini sudah mulai menurun trafficnya karena sudah nggak ada waktu, hiks 🙁 . Apakah itu?

Menggambar (baca : mendesain baju).

Awalnya saya cuma suka menggambar aja, nggak mengkhususkan diri untuk membuat desain baju. Tapi berhubung mendadak terinspirasi sama salah satu lomba di harian pagi di Jawa Timur waktu saya masih SMP, alhasil kecemplunglah saya sama dunia desain yang hanya saya pelajari secara otodidak itu. Namun walaupun otodidak, saya toh memberanikan diri juga untuk mengisi posisi sebagai desainer di salah satu perusahaan garment di Malang – Jawa Timur :D. Modal nekat & pengetahuan tentang jahit yang nol besar, tapi toh betah juga saya jalani sampai dengan 3 tahun lamanya sebelum saya berkarir di dunia telekomunikasi. Dua-duanya sama-sama nggak nyambung dengan background edukasi saya sih, tapi apa salahnya mencoba hal-hal baru, toh semua pasti ada ilmu yang bisa kita ambil & terapkan di pekerjaan kita yang lain jika nantinya kita masih berniat mencari pekerjaan baru. Gitu aja sih pikir saya waktu itu 😀 .

Dari satu, dua desain menjadi puluhan bahkan ratusan desain yang sudah saya buat untuk saya pakai sendiri, untuk keluarga, atau teman. Wong namanya otodidak, ya ngerancangnya suka-suka saya, se-mood-moodnya saya. Inspirasi kan nggak bisa dipaksakan ya 😀 . Sampai teman-teman saya yang pesen suka ngeledek , ” Dev, gue nggak tahu elunya masih inget apa nggak, kayanya gue pernah pesen bikinin gambar ke elu, gue mesti nunggu berapa tahun lagi ya biar desain buat gue kelar? ” , gyahahahaha.. Ya begitulah, namanya itu tadi.. nunggu mood & senggangnya waktu, baru saya bikinin. Namanya gratis ya mesti sabarlah.. *dilempar sapu* .

Pernah beberapa tahun lalu iseng saya ikut nyerahin desain ke majalah GADIS, dua buah rancangan busana promnite party buat remaja. Saya yang waktu itu sudah kuliah & ngerasa sudah agak ketuaan untuk segmen pembaca majalah remaja favorit saya sejak SMP ini, lagi-lagi nekat. Kirim ajalah, siapa tahu dimuat. Lumayan untuk mengukur kemampuan diri sendiri. Eh ternyata beneran dimuat lho xixixix. Lah, kok bisa? Iyalah, wong saya pakai identitas adik saya yang waktu itu masih kelas 1 SMA. Alhasil, adik saya dikasih selamat oleh seluruh penjuru sekolah & dia nggak tahu apa-apa :D. Oh ya, jangan salah, gambar mereka bagus-bagus banget lho.Ya, kepuasan tersendiri melihat gambar saya terpampang di majalah gaulnya para gadis itu 😀 .

Berikutnya, kali ini saya pakai identitas jujur nih, saya iseng kirim lagi ke majalah Cita Cinta . Pas dikantor mendadak banyak yang kasih komentar & kasih selamat. Lho, ada apa nih? Kirain karena saya habis ulangtahun. Wong saya juga nggak banyak berharap dimuat karena pasti banyak yang lebih ok daripada saya nih. Baru ngeh ketika salah satu teman saya di HRD kasih lihat majalahnya & ada sekelumit profil saya & 2 desain saya terpampang disana. Siangnya saya juga langsung ditelpon sama mbak dari majalah Cita Cinta untuk konfirmasi masalah honorarium. Ah senangnya, Walaupun nggak seberapa tapi lumayanlah, keisengan saya bermanfaat juga ternyata ;)) . Makanya pas kemarin dapat kesempatan untuk menulis tentang pagelaran Jakarta Fashion Week saya seneng banget, seolah nostalgia aja 🙂 .

Sekarang sih masih suka nggambar, tapi sudah nggak seaktif dulu. Lebih sering beli baju jadi entah buat pesta atau sehari-hari. Bukan apa-apa, pilih praktisnya aja. Toh kalaupun iya baju pesta, saya juga jarang pesta. Lebih sering mix & match aja. Kecuali kebaya ya. Kalau kebaya kayanya saya tetep harus bikin. Jadi inget sama kain yang mangkrak di lemari belum sempat saya apa-apain & mau saya bikin desainnya seperti apa padahal pernikahan adik saya kurang 2 bulan lagi :(( .

[devieriana]

sumber gambar: foto pribadi

Continue Reading

Menari Bersamaku ..

.. rantoyo putri I alus, rantoyo putra I alus, golek sri rejeki, gambyong pareanom, srimpi gelas, retno tinanding, gambiranom, gunungsari, golek asmorondono ..

Rasanya sudah belasan tahun lalu terakhir saya menarikan tari-tarian Jawa alus tersebut. Menari, dalam keluarga saya sudah mendarah daging. Terlahir dari seorang Mama seorang penari lulusan sekolah tari Wilwatikta membuat kami berdua (saya & adik perempuan saya) harus bisa menguasai tari tradisional Jawa halus & kontemporer. Awalnya banyak yang mengira kami sengaja diarahkan untuk menjadi penari, tapi sebenarnya maksud kedua orang tua kami adalah supaya kami punya kegiatan ekstrakurikuler, jadi nggak melulu sekolah.

Berawal dari sebuah sanggar tari pimpinan Pompong Supardjo di Malang, saya mulai belajar tari Jawa mulai tahap yang paling dasar. Waktu itu saya masih usia 8 tahun (kelas 3 SD). Semua siswa setelah mengikuti beberapa bulan latihan (dulu saya 6 bulan sekali) wajib ikut ujian tari yang diadakan di Taman Budaya Jawa Timur dengan menari secara berkelompok maximal 5 atau 6 orang sekali tampil di depan 3 orang juri yang notabene semuanya penari senior. Yang dinilai meliputi wiraga (keluwesan gerak), wirama (ketepatan gerak dengan irama/gending), wirasa (penghayatan), dan kerapian busana.

Busana yang kami kenakan hanya terdiri dari atasan kaos sanggar tari, jarid wiron (parang kecil untuk menari tari jawa putri alus, parang besar untuk menarikan tarian jawa putra alus), plus stagen & sampur (selendang tari). Saking seringnya ujian saya kelas 5 SD sudah bisa membuat wiron & pakai jarid (kain) sendiri :D. Kadang saya kangen pengen kembali lagi ke masa culun-culunnya saya nari, ikut ujian, & kumpul-kumpul sama teman-teman sanggar tari saya.

Menari buat saya ibarat delicacy, makanan yang enak. Saya suka menciptakan tarian, tampil sendiri menarikannya, kadang mengajarkannya kepada teman, atau ikut lomba.  Suatu kepuasan tersendiri saat bisa menampilkannya di depan penonton. Itu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan kepuasan ketika melihat orang lain menarikan tarian kita. Rasanya tidak ada yang bisa membayar saya kecuali kepuasan itu tersendiri.

Kalau saya sendiri lebih suka menari tunggal, dengan alasan : Pertama, kalau salah nggak bakal kelihatan! ;)) Iyalah, coba kalau nari berpasangan salah satu salah kan bisa jadi pikiran orang , “ih… kok narinya ga kompak?”. Kedua, bisa berekspresi (sesuka saya) sesuai dengan karakter tari yang saya bawakan. Ketiga, perhatian penonton bisa fokus ke saya! Kalau yang ini sih cari perhatian banget ya.  Enggaklah, becanda kok ;))   Sebenarnya buat saya menari solo maupun menari secara berpasangan tidak ada masalah, tapi berhubung setting default-nya penari tunggal jadi kalau harus menari berpasangan/rame-rame harus di-briefing dulu (maksudnya sayanya yang harus di briefing ;)))

Kalau ditanya kapan terakhir kali saya menari & tari apa yang saya bawakan, jawabannya : sudah lama banget, sekitar tahun 1998 & waktu itu saya menari didepan peserta rakernas something (saya lupa) yang dibuka oleh Akbar Tandjung yang waktu itu masih menjabat sebagai Menpora, diadakan di Universitas Brawijaya dengan peserta rakernas dari seluruh Indonesia. Tari yang saya bawakan adalah Jaipong Adumanis, salah satu tari favorit saya karena termasuk tarian yang energik & ekspresif. Kalau disuruh memilih tari apa yang saya sukai, saya suka semua, eh disuruh memilih ya tadi? :p  Tari Jawa & Sunda.

Kenapa tari Jawa karena tari Jawa itu basic skill seorang penari. Ya seperti yang saya sebutkan tadi wiraga, wirama, wirasanya harus bener. Menghayati tari Jawa klasik itu sulit, kita harus sabar mengikuti setiap ketukan irama yang mengalun lembut, pelahan. Harus ikut pakem tari yang sudah ada karena bukan tari kontemporer. Contohnya tari Gambyong Pareanom atau Golek Sri Rejeki, di seluruh Indonesia ya gerakannya sama, mau yang menarikannya orang Jawa, Sunda, Sumatra, Kalimantan, Papua (kalau semua mau belajar) ya gerakannya sama semua sesuai pakem tari Gambyong & Golek  itu seperti apa.

Beda dengan tari kontemporer (tradisional kreasi baru), kita bisa mengkreasikan sesuai dengan inspirasi & kemauan kita, asal enak dilihat & variasi gerakannya tidak monoton ya nggak masalah. Misal : Tari Punjari (tari tradisional asal Banyuwangi) yang tersohor sekitar tahun 1990-an itu versi masing-masing pencipta tari tidak sama. Ngomong-ngomong soal tarian yang satu ini jadi ingat masa “kejayaan” saya sebagai penari. Tarian awal yang saya kuasai & berani saya tampilkan didepan publik ya Tari Punjari ini :D. Kemanapun saya tampil ya tarian ini yang saya bawakan ;)). Sampai ada celetukan yang bilang, “gimana kalau sekarang nama kamu diganti jadi Devi Punjari” Berasa sutradara film. Itu Punjabi, ding ;))

Lalu, kenapa saya suka tari Sunda, saya kurang tahu apa ada hubungannya atau enggak, saya terlahir dengan darah a half sundanese. Almarhumah nenek saya adalah orang asli Sunda yang bsama sekali nggak bisa ngomong Jawa. Menurut saya tarian Sunda – terutamanya Jaipong – gerakannya sangat energik, bisa full ekspresi & semangat ketika menarikannya. Apalagi dengan diiringi hentakan gendang & suara sinden yang nyaringnya khas, rasanya durasi 10 menit itu nggak terasa banget, padahal sudah ngos-ngosan.  Jadi mikir, nari dengan durasi segitu aja sudah ngos-ngosan apalagi nari Bedhaya Ketawang yang durasinya 130 menit ya..

Andai saya masih ada kesempatan untuk sekedar menyalurkan rasa kangen saya untuk menggung, ya. Sudah kurang punya cukup waktu untuk sekedar melemaskan otot-otot saya berliak-liuk menari dengan iringan gending Jawa/Sunda..

Ada yang mau ngajak saya nari? Yuk! 😉

[devieriana]

Source gambar  ada di sini

Continue Reading